MACAM-MACAM BUDAYA POLITIK
1. Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukkan
Pada negara yang memiliki sistem ekonomi dan teknologi
yang kompleks, menuntut kerja sama yang luas untuk memper padukan modal dan
keterampilan. Jiwa kerja sama dapat diukur dari sikap orang terhadap orang
lain. Pada kondisi ini budaya politik memiliki kecenderungan sikap ”militan”
atau sifat ”tolerasi”.
a. Budaya Politik Militan
Budaya politik dimana perbedaan tidak dipandang
sebagai usaha mencari alternatif yang terbaik, tetapi dipandang sebagai usaha
jahat dan menantang. Bila terjadi kriris, maka yang dicari adalah kambing
hitamnya, bukan disebabkan oleh peraturan yang salah, dan masalah yang
mempribadi selalu sensitif dan membakar emosi.
b. Budaya Politik Toleransi
Budaya politik dimana pemikiran berpusat pada masalah
atau ide yang harus dinilai, berusaha mencari konsensus yang wajar yang mana
selalu membuka pintu untuk bekerja sama. Sikap netral atau kritis terhadap ide
orang, tetapi bukan curiga terhadap orang.
Jika pernyataan umum dari pimpinan masyarakat bernada
sangat militan, maka hal itu dapat men ciptakan ketegangan dan menumbuhkan
konflik. Kesemuanya itu menutup jalan bagi pertumbuhan kerja sama. Pernyataan
dengan jiwa tolerasi hampir selalu mengundang kerja sama. Berdasarkan
sikap terhadap tradisi dan perubahan. Budaya Politik terbagi atas :
a. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental
Absolut
Budaya politik yang mempunyai sikap mental yang
absolut memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang. dianggap selalu sempurna dan
tak dapat diubah lagi. Usaha yang diperlukan adalah intensifikasi dari kepercayaan,
bukan kebaikan. Pola pikir demikian hanya memberikan perhatian pada apa yang
selaras dengan mentalnya dan menolak atau menyerang hal-hal yang baru atau yang
berlainan (bertentangan). Budaya politik yang bernada absolut bisa tumbuh dari
tradisi, jarang bersifat kritis terhadap tradisi, malah hanya berusaha
memelihara kemurnian tradisi. Maka, tradisi selalu dipertahankan dengan segala
kebaikan dan keburukan. Kesetiaan yang absolut terhadap tradisi tidak
memungkinkan pertumbuhan unsur baru.
b. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental
Akomodatif
Struktur mental yang bersifat akomodatif biasanya
terbuka dan sedia menerima apa saja yang dianggap berharga. Ia dapat melepaskan
ikatan tradisi, kritis terhadap diri sendiri, dan bersedia menilai kembali
tradisi berdasarkan perkembangan masa kini.
Tipe absolut dari budaya politik sering menganggap
perubahan sebagai suatu yang membahayakan. Tiap perkembangan baru dianggap
sebagai suatu tantangan yang berbahaya yang harus dikendalikan. Perubahan
dianggap sebagai penyimpangan. Tipe akomodatif dari budaya politik melihat
perubahan hanya sebagai salah satu masalah untuk dipikirkan. Perubahan
mendorong usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih sempurna.
1. Berdasarkan Orientasi Politiknya
Realitas yang ditemukan dalam budaya politik, ternyata
memiliki beberapa variasi. Berdasarkan orientasi politik yang dicirikan dan
karakter-karakter dalam budaya politik, maka setiap sistem politik akan
memiliki budaya politik yang berbeda. Perbedaan ini terwujud dalam tipe-tipe
yang ada dalam budaya politik yang setiap tipe memiliki karakteristik yang
berbeda-beda.
Dari realitas budaya politik yang berkembang di dalam
masyarakat, Gabriel Almond mengklasifikasikan budaya politik
sebagai berikut :
a. Budaya politik parokial (parochial
political culture), yaitu tingkat partisipasi politiknya sangat rendah,
yang disebabkan faktor kognitif (misalnya tingkat pendidikan relatif rendah).
b. Budaya politik kaula (subyek
political culture), yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif maju (baik
sosial maupun ekonominya) tetapi masih bersifat pasif.
c. Budaya politik partisipan (participant
political culture), yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran
politik sangat tinggi.
Dalam kehidupan masyarakat, tidak menutup kemungkinan
bahwa terbentuknya budaya politik merupakan gabungan dari ketiga klasifikasi
tersebut di atas. Tentang klasifikasi budaya politik di dalam masyarakat lebih
lanjut adalah sebagai berikut.
No
|
Budaya Politik
|
Uraian / Keterangan
|
1.
|
Parokial
|
a. Frekuensi orientasi terhadap sistem sebagai obyek
umum, obyek-obyek input, obyek-obyek output, dan
pribadi sebagai partisipan aktif mendekati nol.
b. Tidak terdapat peran-peran politik yang khusus
dalam masyarakat.
c. Orientasi parokial menyatakan alpanya
harapan-harapan akan perubahan yang komparatif yang diinisiasikan oleh sistem
politik.
d. Kaum parokial tidak mengharapkan apapun dari
sistem politik.
e. Parokialisme murni berlangsung dalam sistem
tradisional yang lebih sederhana dimana spesialisasi politik berada pada
jenjang sangat minim.
f. Parokialisme dalam sistem politik yang
diferensiatif lebih bersifat afektif dan normatif dari pada kognitif.
|
2.
|
Subyek/Kaula
|
a. Terdapat frekuensi orientasi politik yang tinggi
terhadap sistem politik yang diferensiatif dan aspek output dari sistem itu,
tetapi frekuensi orientasi terhadap obyek-obyek input secara khusus, dan
terhadap pribadi sebagai partisipan yang aktif mendekati nol.
b. Para subyek menyadari akan otoritas pemerintah
c. Hubungannya terhadap sistem plitik secara umum,
dan terhadap output, administratif secara esensial merupakan hubungan yang
pasif.
d. Sering wujud di dalam masyarakat di mana tidak
terdapat struktur input yang terdiferensiansikan.
e. Orientasi subyek lebih bersifat afektif dan
normatif daripada kognitif.
|
3.
|
Partisipan
|
a. Frekuensi orientasi politik sistem sebagai obyek
umum, obyek-obyek input, output, dan pribadi sebagai
partisipan aktif mendekati satu.
b. Bentuk kultur dimana anggota-anggota masyarakat
cenderung diorientasikan secara eksplisit terhadap sistem politik secara
komprehensif dan terhadap struktur dan proses politik serta administratif
(aspekinput dan output sistem politik)
c. Anggota masyarakat partisipatif terhadap obyek
politik
d. Masyarakat berperan sebagai aktivis.
|
Kondisi masyarakat dalam budaya politik
partisipan mengerti bahwa mereka berstatus warga negara dan memberikan
perhatian terhadap sistem politik. Mereka memiliki kebanggaan terhadap sistem
politik dan memiliki kemauan untuk mendiskusikan hal tersebut. Mereka memiliki
keyakinan bahwa mereka dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan publik dalam
beberapa tingkatan dan memiliki kemauan untuk mengorganisasikan diri dalam
kelompok-kelompok protes bila terdapat praktik-praktik pemerintahan yang
tidak fair.
Budaya politik partisipan merupakan lahan yang ideal
bagi tumbuh suburnya demokrasi. Hal ini dikarenakan terjadinya harmonisasi
hubungan warga negara dengan pemerintah, yang ditunjukan oleh tingkat
kompetensi politik, yaitu menyelesaikan sesuatu hal secara politik, dan
tingkat efficacy atau keberdayaan, karena mereka merasa
memiliki setidaknya kekuatan politik yang ditunjukan oleh warga negara. Oleh
karena itu mereka merasa perlu untuk terlibat dalam proses pemilu dan
mempercayai perlunya keterlibatan dalam politik. Selain itu warga negara
berperan sebagai individu yang aktif dalam masyarakat secara sukarela, karena
adanya saling percaya (trust) antar warga negara. Oleh karena itu dalam
konteks politik, tipe budaya ini merupakan kondisi ideal bagi masyarakat secara
politik.
Budaya Politik subyek lebih rendah satu derajat dari budaya
politikpartisipan. Masyarakat dalam tipe budaya ini tetap memiliki pemahaman
yang sama sebagai warga negara dan memiliki perhatian terhadap sistem politik,
tetapi keterlibatan mereka dalam cara yang lebih pasif. Mereka tetap mengikuti
berita-berita politik, tetapi tidak bangga terhadap sistem politik negaranya
dan perasaan komitmen emosionalnya kecil terhadap negara. Mereka akan merasa
tidak nyaman bila membicarakan masalah-masalah politik.
Demokrasi sulit untuk berkembang dalam masyarakat
dengan budaya politik subyek, karena masing-masing warga negaranya tidak aktif.
Perasaan berpengaruh terhadap proses politik muncul bila mereka telah melakukan
kontak dengan pejabat lokal. Selain itu mereka juga memiliki kompetensi politik
dan keberdayaan politik yang rendah, sehingga sangat sukar untuk mengharapkan
artisipasi politik yang tinggi, agar terciptanya mekanisme kontrol terhadap
berjalannya sistem politik.
Budaya Politik parokial merupakan tipe budaya politik yang paling rendah, yang
didalamnya masyarakat bahkan tidak merasakan bahwa mereka adalah warga negara
dari suatu negara, mereka lebih mengidentifikasikan dirinya pada perasaan
lokalitas. Tidak terdapat kebanggaan terhadap sistem politik tersebut. Mereka
tidak memiliki perhatian terhadap apa yang terjadi dalam sistem politik,
pengetahuannya sedikit tentang sistem politik, dan jarang membicarakan
masalah-masalah politik.
Budaya politik ini juga mengindikasikan bahwa
masyarakatnya tidak memiliki minat maupun kemampuan untuk berpartisipasi dalam
politik. Perasaan kompetensi politik dan keberdayaan politik otomatis tidak
muncul, ketika berhadapan dengan institusi-institusi politik. Oleh karena itu
terdapat kesulitan untuk mencoba membangun demokrasi dalam budaya politik
parokial, hanya bisa bila terdapat institusi-institusi dan perasaan
kewarganegaraan baru. Budaya politik ini bisa dtemukan dalam masyarakat
suku-suku di negara-negara belum maju, seperti di Afrika, Asia, dan Amerika
Latin.
Namun dalam kenyataan tidak ada satupun negara yang
memiliki budaya politik murni partisipan, pariokal atau subyek. Melainkan
terdapat variasi campuran di antara ketiga tipe-tipe tersebut, ketiganya
menurut Almond dan Verbatervariasi ke dalam tiga
bentuk budaya politik, yaitu :
a. Budaya politik subyek-parokial (the parochial-
subject culture)
b. Budaya politik subyek-partisipan (the
subject-participant culture)
c. Budaya politik parokial-partisipan (the
parochial-participant culture)
PENERTIAN SOSIALISASI POLITIK
A. Sosialisasi Politik, merupakan
salah satu dari fungsi-fungsi input sistem politik yang berlaku di
negara-negara manapun juga baik yang menganut sistem politik demokratis,
otoriter, diktator dan sebagainya.
B. Sosialisasi politik, merupakan
proses pembentukan sikap dan orientasi politik pada anggota masyarakat.
C. Gabriel A. Almond Sosialisasi
politik menunjukkan pada proses dimana sikap-sikap politik dan pola-pola
tingkah laku politik diperoleh atau dibentuk, dan juga merupakan sarana bagi
suatu generasi untuk menyampaikan patokan-patokan politik dan
keyakinan-keyakinan politik kepada generasi berikutnya.
D. Irvin L. Child Sosialisasi
politik adalah segenap proses dengan mana individu, yang dilahirkan dengan
banyak sekali jajaran potensi tingkah laku, dituntut untuk mengembangkan
tingkah laku aktualnya yang dibatasi di dalam satu jajaran yang menjadi
kebiasaannya dan bisa diterima olehnya sesuai dengan standar-standar dari
kelompoknya.
E. S.N. Eisentadt, dalam From
Generation to Ganeration Sosialisasi politik adalah komunikasi dengan
dan dipelajari oleh manusia lain, dengan siapa individu-individu yang secara
bertahap memasuki beberapa jenis relasi-relasi umum. Oleh Mochtar Mas’oed
disebut dengan transmisi kebudayaan.
F. Denis Kavanagh Sosialisasi
politik merupakan suatu proses dimana seseorang mempelajari dan menumbuhkan
pandangannya tentang politik.
ALAT-ALAT PERANTARA SOSIALISASI POLITIK.
Adapun sarana alat yang dapat dijadikan sebagai perantara/sarana dalam sosialisasi
politik, antara lain :
1) Keluarga (family)
Wadah penanaman (sosialisasi) nilai-nilai politik yang
paling efisien dan efektif adalah di dalam keluarga. Di mulai dari keluarga
inilah antara orang tua dengan anak, sering terjadi “obrolan”
politik ringan tentang segala hal, sehingga tanpa disadari terjadi tranfer
pengetahuan dan nilai-nilai politik tertentu yang diserap oleh si anak.
2) Sekolah
Di sekolah melalui pelajaran civics education (pendidikan
kewarganegaraan), siswa dan gurunya saling bertukar informasi dan berinteraksi
dalam membahas topik-topik tertentu yang mengandung nilai-nilai politik
teoritis maupun praktis. Dengan demikian, siswa telah memperoleh pengetahuan
awal tentang kehidupan berpolitik secara dini dan nilai-nilai politik yang
benar dari sudut pandang akademis.
3) Partai Politik
Salah satu fungsi dari partai politik adalah dapat
memainkan peran sebagai sosialisasi politik. Ini berarti partai politik
tersebut setelah merekrut anggota kader maupun simpati-sannya secara periodik
maupun pada saat kampanye, mampu menanamkan nilai-nilai dan norma-norma dari
satu generasi ke generasi berikutnya. Partai politik harus mampu men-ciptakan
“image” memperjuangkan kepentingan umum, agar mendapat dukungan luas dari
masyarakat dan senantiasa dapat memenangkan pemilu.
Khusus pada masyarakat primitif, proses sosialisasi
terdapat banyak perbedaan. Menurut Robert Le Vine yang
telah menyelidiki sosialisasi di kalangan dua suku bangsa di Kenya Barat Daya:
kedua suku bangsa tersebut merupakan kelompok-kelompok yang tidak tersentralisasi
dan sifatnya patriarkis. Mereka mempunyai dasar penghidupan yang
sama dan ditandai ciri karakteristik oleh permusuhan berdarah. Akan
tetapi, suku Neuer pada dasarnya bersifat egaliter (percaya semua orang
sama derajatnya) dan pasif, sedangkan suku Gusii bersifat otoriter dan agresif.
Anak dari masing-masing suku didorong dalam menghayati tradisi mereka
masing-masing.
BUDAYA POLITIK YANG BERKEMBANG DI MASYARAKAT INDONESIA
Masyarakat Indonesia sangat heterogen. Heterogenitas bangsa Indonesia tidak
dalam arti budaya saja melainkan membawa pengaruh yang sangat besar terhadap
budaya politik bangsanya. Bentuk budaya politik Indonesia merupakan subbudaya
atau budaya subnasional yang dibawa oleh pelaku-pelaku politik hingga terjadi
Interaksi, kerja sama dan persaingan antar-subbudaya politik itu. Interaksi dan
pertemuan-pertemuan antar subbudaya itu melatarbelakangi tingkah laku para
aktor politik yang terlibat dalam pentas panggung politik nasional.
Menurut Rusadi, budaya politik Indonesia hingga dewasa ini belum banyak
mengalami perubahann pergeseran dan perpindahan yang berarti. Walaupun sistem
politiknya sudah beberapa kali mengalami perubahan ditinjau dari pelembagaan
formal. Misalnya sistem politik demokrasi liberal ke sistem politik demokrasi
terpimpin dan ke sistem politik demokrasi pancasila. Budaya politik yang
berlaku dalam sistem perpolitikan Indonesia relatif konstan.
Di era reformasi sekarang ini sistem politik Indonesia mengalami perkembangan
yang cukup bagus dan lebih demokratis dalam melibatkan partisipan dalam
berbagai macam kegiatan politik seperti pemilu langsung untuk memilih wakil
rakyat.
Dalam pembentukan budaya politik budaya politik nasional, terdapat beberapa
unsur yang berpengaruh, yaitu sebagai berikut :
a. Unsur subbudaya
politik yang berbentuk budaya politik asal.
b. Anaka rupa
subbudaya politik yang berasal dari luar lingkungan tempat budaya politik asal
itu berada.
c. Budaya
Politik Nasional itu sendiri.
Lebih jauh lagi pertumbuhan politik nasional dapat dibagi
dalam beberapa tahap.
a. Berlakunya politik
nasional yang sedang berada dalam proses pembentukannya.
b. Budaya politik nasional
yang tengah mengalami proses pematangan. Pada tahap ini, budaya politik
nasional pada dasarnya sudah ada, akan tetapi masih belum matang.
c. Budaya
politik nasional yang sudah mapan yaitu budaya politik yang telah diakui
keberadaannya secara nasional.
PERKEMBANGAN BUDAYA POLITIK DI INDONESIA.
Budaya yang berasal dari kata ‘buddhayah’ yang berarti
akal, atau dapat juga didefinisikan secara terpisah yaitu dengan dua buah kata
‘budi’ dan ‘daya’ yang apabila digabungkan menghasilkan sintesa arti mendayakan
budi, atau menggunakan akal budi tersebut. Bila melihat budaya dalam konteks
politik hal ini menyangkut dengan sistem politik yang dianut suatu negara
beserta segala unsur (pola bersikap & pola bertingkah laku) yang terdapat
didalamnya.
Sikap & tingkah laku politik seseorang menjadi suatu obyek penanda
gejala-gejala politik yang akan terjadi pada orang tersebut dan orang-orang
yang berada di bawah politiknya. Contohnya ialah jikalau seseorang telah
terbiasa dengan sikap dan tingkah laku politik yang hanya tahu menerima,
menurut atau memberi perintah tanpa mempersoalkan atau memberi kesempatan buat
mempertanyakan apa yang terkandung dalan perintah itu. Dapat diperkirakan orang
itu akan merasa aneh, canggung atau frustasi bilamana ia berada dalam
lingkungan masyarakatnya yang kritis, yang sering, kalaulah tidak selalu,
mempertanyakan sesuatu keputusan atau kebijaksanaan politik.
Golongan elit yang strategis seperti para pemegang kekuasaan biasanya menjadi
objek pengamatan tingkah laku ini, sebab peranan mereka biasanya amat
menentukan walau tindakan politik mereka tidak selalu sejurus dengan iklim
politik lingkungannya. Golongan elit strategis biasanya secara sadar memakai
cara-cara yang tidak demokratis guna menyearahkan masyarakatnya untuk menuju
tujuan yang dianut oleh golongan ini. Kemerosotan demokratisasi biasanya
terjadi disini, walaupun mungkin terjadi kemajuan pada beberapa bidang seperti
bidang ekonomi dan yang lainnya.
Kebudayaan politik Indonesia pada dasarnya bersumber pada pola sikap dan
tingkah laku politik yang majemuk. Namun dari sinilah masalah-masalah biasanya
bersumber. Mengapa? Dikarenakan oleh karena golongan elite yang mempunyai rasa
idealisme yang tinggi. Akan tetapi kadar idealisme yang tinggi itu sering tidak
dilandasi oleh pengetahuan yang mantap tentang realita hidup masyarakat.
Sedangkan masyarakat yang hidup di dalam realita ini terbentur oleh tembok
kenyataan hidup yang berbeda dengan idealisme yang diterapkan oleh golongan
elit tersebut. Contohnya, seorang kepala pemerintahan yang mencanangkan program
wajib belajar 9 tahun demi meningkatkan mutu pendidikan, namun pada aplikasinya
banyak anak-anak yang pada jenjang pendidikan dasar putus sekolah dengan
berbagai alasan, seperti tidak memiliki biaya. Hal ini berarti idealisme itu
tidak diimplikasikan secara riil dan materiil ke dalam masyarakat yang terlibat
dibawah politiknya.
Idealisme diakui memanglah penting. Tetapi bersikap berlebihan atas idealisme
itu akan menciptakan suatu ideologi yang sempit yang biasanya akan menciptakan
suatu sikap dan tingkahlaku politik yang egois dan mau menang sendiri.
Demokrasi biasanya mampu menjadi jalan penengah bagi atas polemik ini.
Indonesia sendiri mulai menganut sistem demokrasi ini sejak awal
kemerdeka-annya yang dicetuskan di dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945. Demokrasi dianggap merupakan sistem yang cocok di Indonesia karena
kemajemukan masyarakat di Indonesia. Oleh karena itu Demokrasi yang dilakukan
dengan musyawarah mufakat berusaha untuk mencapai obyektifitas dalam berbagai
bidang yang secara khusus adalah politik. Kondisi obyektif tersebut berperan
untuk menciptakan iklim pemerintahan yang kondusif di Indonesia. Walaupun
demikian, perilaku politik manusia di Indonesia masih memiliki corak-corak yang
menjadikannya sulit untuk menerapkan Demokrasi yang murni.
Corak pertama terdapat pada golongan elite strategis, yakni kecenderungan untuk
memaksakan subyektifisme mereka agar menjadi obyektifisme, sikap seperti ini
biasanya melahirkan sikap mental yang otoriter/totaliter. Corak kedua terdapat
pada anggota masyarakat biasa, corak ini bersifat emosional-primordial. Kedua
cirak ini tersintesa sehingga menciptakan suasana politik yang
otoriter/totaliter.
Sejauh ini kita sudah mengetahui adanya perbedaan atau kesenjangan antara
corak-corak sikap dan tingkah laku politik yang tampak berlaku dalam masyarakat
dengan corak sikap dan tingkahlaku politik yang dikehendaki oleh Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Kita tahu bahwa manusia Indonesia sekarang ini masih
belum mencerminkan nilai-nilai Pancasila itu dalam sikap dan tingkah lakunya
sehari-hari. Kenyataan tersebutlah yang hendak kita rubah dengan nilai-nilai
idealisme pancasila, untuk mencapai manusia yang paling tidak mendekati
kesempurnaan dalam konteks Pancasila.
Esensi manusia ideal tersebut harus dikaitkan pada konsep “dinamika dalam
kestabilan”. Arti kata dinamik disini berarti berkembang untuk menjadi lebih
baik. Misalkan kepada suatu generasi diwariskan suatu undang-undang, diharapkan
dengan dinamika yang ada dalam masyarakat tersebut dapat menjadikan
Undang-Undang tersebut bersifat luwes dan fleksibel, sehingga tanpa menghilangkan
nilai-nilai esensi yang ada, generasi tersebut terus berkembang. Dinamika dan
kemerdekaan berpikir tersebut diharapkan mampu untuk memperkokoh persatuan dan
memupuk pertumbuhan.
Yang menjadi persoalan kini ialah bagaimana dapat menjadikan individu-individu
yang berada di masyarakat Indonesia untuk mempunyai ciri “dinamika dalam
kestabilan” yakni menjadi manusia yang ideal yang diinginkan oleh Pancasila.
Maka disini diperlukanlah suatu proses yang dinamakan sosialisasi, sosialisasi Pancasila.
Sosalisasi ini jikalau berjalan progressif dan berhasil maka kita akan
meimplikasikan nilai-nilai Pancasila kedalam berbagai bidang kehidupan. Dari
penanaman-penanaman nilai ini akan melahirkan kebudayaan-kebudayaan yang
berideologikan Pancasila. Proses kelahiran ini akan memakan waktu yang cukup
lama, jadi kita tidak bisa mengharapkan hasil yang instant terjadinya
pembudayaan.
Dua faktor yang memungkinkan keberhasilan proses pembudayaan nilai-nilai dalam
diri seseorang yaitu sampai nilai-nilai itu berhasil tertanam di dalam dirinya
dengan baik. Kedua faktor itu adalah:
- Emosional psikologis, faktor yang berasal dari hatinya
- Rasio, faktor yang berasal dari otaknya
Jikalau kedua faktor tersebut dalam diri seseorang
kompatibel dengan nilai-nilai Pancasila maka pada saat itu terjadilah
pembudayaan Pancasila itu dengan sendirinya.
Tentu saja tidak hanya kedua faktor tersebut. Segi
lain pula yang patut diperhaikan dalam proses pembudayaan adalah masalah waktu.
Pembudayaan tidak berlangsung secara instan dalam diri seseorang namun melalui
suatu proses yang tentunya membutuhkan tahapan-tahapan yang adalah
pengenalan-pemahaman-penilaian-penghayatan-pengamalan. Faktor kronologis ini
berlangsung berbeda untuk setiap kelompok usia.
Melepaskan kebiasaan yang telah menjadi kebudayaan
yang lama merupakan suatu hal yang berat, namun hal tersebutlah yang diperlukan
oleh bangsa Indonesia. Sekarang ini bangsa kita memerlukan suatu
transformasi budaya sehingga membentuk budaya yang memberikan ciri Ideal kepada
setiap Individu yakni berciri seperti manusia yang lebih Pancasilais.
Transformasi iu memerlukan tahapan-tahapan pemahaman dan penghayatan yang
mendalam yang terkandung di dalam nilai-nilai yang menuntut perubahan atau
pembaharuan. Keberhasilan atau kegagalan pembudayaan dan beserta segala
prosesnya akan menentukan jalannya perkembangan politik yang ditempuh oleh
bangsa Indonesia di masa depan.
FAKTOR PENYEBAB BERKEMBANGNYA BUDAYA POLITIK DI
INDONESIA
(1) Tingkat pendidikan masyarakat sebagai kunc utama
perkembangan budaya politik masyarakat
(2) Tingkat ekonomi masyarakat, semakin tinggi tingkat
ekonomi/sejahtera masyarakat maka partisipasi masyarakat pun semakin besar
(3) Reformasi politik/political will (semangat merevisi
dan mengadopsi system politik yang lebih baik)
(4) Supremasi hukum (adanya penegakan hukum yang
adil,independen,dan Bebas)
(5) Media komunikasi yang independen (berfungsi sebagai control sosial,bebas,dan mandiri)
(5) Media komunikasi yang independen (berfungsi sebagai control sosial,bebas,dan mandiri)
No comments:
Post a Comment