Sunday, April 30, 2017

Teori Interaksionisme Simbolik dan Teori Konstruksi Realitas Sosial


I. TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK
Teori interaksionisme simbolik adalah salah satu dari teori aliran tradisi sosiokultural yang memberikan pemahaman tentang apa yang dibuat dan dibangun dalam sebuah percakapan. Bagaimana makna muncul dalam percakapan, dan bagaimana simbol – simbol diartikan melalui interaksi. Teori – teori aliran ini memberitahu pada kita tentang tema percakapan apa yang menyatukan manusia dan bagaimana pelaku percakapan berbagi makna, dan juga berfokus pada bagaimana pelaku komunikasi bekerjasama dalam sebuah cara yang tersusun untuk mengatur pembicaraan mereka.
Interaksioneime simbolik merupakan sebuah pergerakan dalam sosiologi, dimana berfokus pada cara – cara manusia dalam membentuk makna dan susunan dalam masyarakat melalui percakapan. Barbara Ballis Lal meringkaskan dasar – dasar pemikiran gerakan ini :
  • Manusia membuat keputusan dan bertindak sesuai dengan pemahaman subjektif mereka terhadap situasi ketika mereka menemukan diri mereka.
  • Kehidupan sosial terdiri dari proses – proses interaksi daripada susunan, sehingga terus berubah.
  • Manusia memahami pengalaman mereka melalui makna – makna yang ditemukan dalam simbol – simbol dari kelompok utama mereka dan bahasa merupakan bagian penting dalam kehidupan sosial.
  • Dunia terbentuk dari objek – objek sosial yang memiliki nama dan makna yang ditentukan secara sosial.
  • Tindakan manusia didasarkan pada penafsiran mereka, dimana objek dan tindakan yang berhubungan dalam situasi yang dipertimbangkan dan diartikan.
  • Diri seseorang merupakan sebuah objek yang signifikan dan layaknya semua objek sosial, dikenalkan melalui interaksi sosial dengan orang lain.
George Herbert Mead yang dianggap sebagai pendiri gerakan interaksionisme simbolis mengemukakan tiga konsep utama, yakni :
  1. 1.    Masyarakat (society)
Atau yang biasa disebut kehidupan kelompok yang terdiri atas perilaku – perilaku kooperatif anggotanya. Kerjasama manusia mengharuskan kita untuk memahami maksud orang lain yang juga mengharuskan kita untuk mengetahui apa yang akan kita lakukan selanjutnya. Jadi, kerjasaman terdiri dari ‘membaca’ tindakan dan maksud orang lain serta menanggapinya dengan cara yang tepat.
Makna merupakan sebuah hasil komunikasi yang penting. Pemaknaan kita merupakan hasil dari interaksi dengan orang lain. Kita menggunakan makna untuk menafsirkan kejadian – kejadian di sekitar kita. Penafsiran itu seperti percakapan internal ; pelaku memilih, memeriksa, menahan, menyusun kembali, dan mengubah makna untuk mengetahui situasi dimana ia ditempatkan dan arah dari tindakan – tindakannya. Jelasnya, kita tidak dapat berkomunikasi tanp berbagi makna dari simbol – simbol yang kita gunakan.
Mead menyebut gerak tubuh sebagai simbol signifikan. Karena gerak tubuh (gesture) mengacu pada setiap tindakan yang dapat memiliki makna. Biasanya, hal ini bersifat verbal juga non verbal. Ketika ada makna yang dibagi, gerak tubuh menjadi nilai dari simbol yang signifikan. Masyarakat ada karena ada simbol – simbol yang signifikan. Secara harfiah kita dapat mendengar diri kita sendiri dan meresponnya seperti yang orang lain lakukan pada kita karena adanya kemampuan untuk menyuarakan simbol. Kita dapat membayangkan seperti apa rasanya menerima pesan kita sendiri dan kita dapat berempati dengan pendengar tersebut, secara mental mengisi respon orang lain. Oleh karena itu, masyarakat terdiri atas sebuah jaringan interaksi sosial dimana anggota – anggotanya menempatkan makna bagi tindakan mereka da tindaka orang lain dengan menggunakan simbol – simbol.
Kegiatan saling mempengaruhi antara merespon orang lain dan diri sendiri ini adalah konsep Mead yang penting, karena akan membentuk konsep kedua yaitudiri.
  1. 2.    Diri
Kita memiliki diri karena kita dapat merespon diri kita sendiri sebagai sebuah objek. Kadang – kadang kita bereaksi dengan baik terhadap diri kita sendiri, misalnya merasakan kebanggaan, kebahagiaan, dan keberanian. Kadang pula kita merasakan takut, marah atau jijik pada diri sendiri.
Cara kita dalam melihat diri kita adalah seperti orang lain melihat diri kita melalui pengambilan peran atau menggunakan sudut pandang orang lain. Inilah yang menyebabkan kita memiliki konsep diri. Istilah lainnya adalah refleksi umum orang lain (generalized others), semacam sudut pandang yang memandang kita sendiri. Refleksi umum orang lain merupakan keseluruhan persepsi kita dari cara orang lain melihat kita.
Diri memiliki dua segi yang masing – masing menjalankan fungsi yang penting :
  • I adalah bagian dari diri kita yang menurutkan kata hati, tidak teratur, tidak terarah, dan tidak dapat ditebak.
  • Me adalah refleksi umum orang lain yang terbentuk dari pola – pola yang teratur dan tetap, yang dibagi dengan orang lain.
Setiap tindakan dimulai dengan adanya dorongan dari I dan selanjutnya dikendalikan oleh me. I adalah tenaga penggerak dalam tindakan, sedangkan mememberikan arah dan petunjuk.
  1. 3.    Pikiran
Kemampuan kita untuk menggunakan simbol – simbol yang signifikan untuk merespon pada diri kita sendiri menjadikan berpikir adalah sesuatu yang mungkin. Berpikir adalah konsep ketiga Mead yang disebut pikiran. Pikiran bukanlah sebua benda, tetapi merupakan sebuah proses. Berpikir melibatkan keraguan ketika kita menafsirkan situasi. Kita berpikir melalui situasi dan merencanakan tindakan selanjutnya. Kita membayangkan beragam hasil dan memilih serta menguji alternatif – alternatif yang ada.
Manusia menggunakan simbol – simbol yang berbeda untuk menamai objek. Kita selalu mengartikan sesuatu berhubungan dengan bagaimana kita bertindak terhadap hal tersebut. Menurut Blumer, objek terbagi ke dalam tiga jenis :
  1. 1.    Fisik (benda – benda)
Manusia mendefinisikan objek secara berbeda, bergantung pada bagaimana mereka bertindak terhadap objek tersebut.
  1. 2.    Objek sosial
Merupakan objek yang dalam proses menyepakatinya memerlukan interaksi antar manusia.
  1. 3.    Abstrak (berupa gagasan – gagasan)
Adalah hasil pemikiran logis terhadap suatu objek.
II. TEORI KONSTRUKSI REALITAS SOSIAL
Istilah konstruksi sosial atas realitas (social construction of reality) didefinisikan sebagai proses sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif.
Dalam aliran filsasat, gagasan konstruktivisme telah muncul sejak Socrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia, sejak Plato menemukan akal budi dan id. Gagasan tersebut semakin lebih konkret lagi setelah Aristoteles mengenalkan istilah, informasi, relasi, individu, subtansi, materi, esensi, dan sebagainya. Ia mengatakan bahwa, manusia adalah makhluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah fakta. Aristoteles pulalah yang telah memperkenalkan ucapannya ‘Cogito ergo sum’ yang berarti “saya berfikir karena itu saya ada”. Kata-kata Aristoteles yang terkenal itu menjadi dasar yang kuat bagi perkembangan gagasan-gagasan konstruktivisme sampai saat ini.
Ada tiga macam Konstruktivisme yakni konstruktivisme radikal; realisme hipotesis;  dan konstruktivisme biasa
  1. Konstruktivisme radikal hanya dapat mengakui apa yang dibentuk oleh pikiran kita. Bentuk itu tidak selalu representasi dunia nyata. Kaum konstruktivisme radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai suatu kriteria kebenaran. Pengetahuan bagi mereka tidak merefleksi suatu realitas ontologism obyektif, namun sebuah realitas yang dibentuk oleh pengalaman seseorang. Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari individu yang mengetahui dan tidak dapat ditransfer kepada individu lain yang pasif karena itu konstruksi harus dilakukan sendiri olehnya terhadap pengetahuan itu, sedangkan lingkungan adalah sarana terjadinya konstruksi itu.
  2. Realisme hipotesis, pengetahuan adalah sebuah hipotesis dari struktur realitas yang mendekati realitas dan menuju kepada pengetahuan yang hakiki.
  3. Konstruktivisme biasa mengambil semua konsekuensi konstruktivisme dan memahami pengetahuan sebagai gambaran dari realitas itu. Kemudian pengetahuan individu dipandang sebagai gambaran yang dibentuk dari realitas objektif dalam dirinya sendiri.

Beberapa asumsi dasar dari Teori Konstruksi Sosial menurut Berger dan Luckmann :
  1. Realitas merupakan hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuataan konstruksi sosial terhadap dunia sosial di sekelilingnya.
  2. Hubungan antara pemikiran manusia dan konteks sosial tempat pemikiran itu timbul, bersifat berkembang dan dilembagakan.
  3. Kehidupan masyarakat itu dikonstruksi secara terus menerus.
  4. Membedakan antara realitas dengan pengetahuan. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam kenyataan yang diakui sebagai memiliki keberadaan (being) yang tidak bergantung kepada kehendak kita sendiri. Sementara pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik.
Berger dan Luckman mengatakan institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara obyektif, namun pada kenyataan semuanya dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subyektif yang sama. Pada tingkat generalitas yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolis yang universal, yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh, yang memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberi makna pada berbagai bidang kehidupannya.
Menurut Rom Harre, inti teori ini adalah gagasan bahwa diri sendiri tersusun oleh sebuah teori pribadi yang mempengaruhi bagaimana kita mendekati dunia. Bagi Harre, seseorang adalah bentuk yang dapat dilihat yang terkarakterisasi oleh sifat – sifat tertentu dan karakteristik yang terbentuk dalam sebuah kelompok sosial dan budaya. Diri Sendiri, berbeda dengan seseorang yang merupakan pikiran pribadi kita mengenai kesatuan kita sebagai seseorang.
Selanjutnya, Harre menguraikan konsep diri sendiri dengan menggunakan tiga elemen yang membentuknya; kesadaran, riwayat hidup, dan perantara.
  1. Kesadaran, ini berarti bahwa kita memiliki kemampuan untuk melakukanobjektivitas terhadap diri sendiri. Kesadaran merupakan dimensi diri sendiri yang sangat berhubungan dengan keadaan saat ini karena ketika kita menyadari bahwa diri kita bergerak melalui ruang dan waktu, kita menggunakan persepsi, pengalaman, dan interaksi kita untuk menjalani tempat kita di dunia.
  2. Riwayat hidup terdiri atas ingatan (kenangan, keyakinan, atau pemahaman mengenai apa yang terjadi di masa lalu dan terbiasa menafsirkan pengalaman), pengalaman saat ini dan masa depan.
  3. Perantara adalah dimensi ketiga tentang diri sendiri dan lebih berhubungan dengan masa depan. Perantara lebih terlihat ketika kita bermaksud untuk melakukan sesuatu. Hal ini melibatkan susunan atau hipotesis mengnai kemampuan seseorang, kemungkinan apa yang ada untuk masa depan.


Teori Feminisme & Jenisnya




Teori feminis melihat dunia dari sudut pandang perempuan. Teori feminis adalah sistem gagasan umum dengan cakupan luas tentang kehidupan sosial dan pengalaman manusia yang berkembang dari perspektif yang berpusat pada perempuan.
Dalam perjalanan sejarahnya, teori feminis secara konstan bersikap kritis terhadap tatanan sosial yang ada dan memusatkan perhatiannya pada variabel-variabel sosiologi esensial seperti ketimpangan sosial, perubahan sosial, kekuasaan, institusi politik, keluarga, pendidikan, dan lain-lain.
Teori feminis dipandu oleh empat pertanyaan dasar, yaitu 1) Bagaimana dengan para perempuan? 2) Mengapa situasi perempuan seperti ini? 3) Bagaimana dapat mengubah dan memperbaiki dunia sosial ini? dan 4) Bagaimana dengan perbedaan antarperempuan?
Teori feminis berpusat pada tiga hal. Pertama ‘objek’ penelitian utamanya, pijakan awal dari seluruh penelitiannya, adalah situasi (atau situasi-situasi) dan pengalaman perempuan di dalam masyarakat. Kedua, teori ini memperlakukan perempuan sebagai ‘subjek’ sentral dalam proses penelitiannya. Ketiga teori feminisme bersikap kritis dan aktif terhadap perempuan, berusaha membangun dunia yang lebih baik bagi perempuan dan dengan demikian juga bagi umat manusia.

Jenis Teori Feminisme
a.       Feminisme Kultural
Feminisme kultural memusatkan perhatian pada eksplorasi nilai-nilai yang dianut perempuan yaitu bagaimana mereka berbeda dari laki-laki. Feminisme kultural menyatakan bahwa proses berada dan mengetahui perempuan bisa jadi merupakan sumber kekuatan yang lebih sehat bagi diproduksinya masyarakat adil daripada preferensi tradisional pada budaya androsentris bagi cara mengetahui dan cara mengada laki-laki.
b.      Feminisme Liberal
Feminisme liberal berpendapat perempuan dapat mengklaim kesetaraan dengan laki-laki berdasarkan kemampuan hakiki manusia untuk menjadi agen moral yang menggunakan akalnya, bahwa ketimpangan gender adalah akibat dari pola pembagian kerja yang seksis dan patriakal dan bahwa kesetaraan gender dapat dihasilkan dengan mentransformasikan pembagian kerja melalui pemolaan ulang institusi-institusi kunci hukum, kerja, keluarga, pendidikan dan media.
c.       Feminisme Radikal
Feminisme Radikal didasarkan pada keyakinan sentral (1) bahwa perempuan memiliki nilai mutlak positif sebagai perempuan, keyakinan yang berlawanan dengan apa yang mereka klaim sebagai perendahan secara universal terhadap perempuan (2) perempuan dimanapun berada selalu tertindas secara kejam oleh patriarki.
d.      Teori Psikoanalitis Feminis
Teori ini menjelaskan penindasan perempuan berdasarkan deskripsi psikoanalitis dorongan psikis laki-laki menggunakan kekerasan untuk memaksa perempuan tunduk.
e.       Feminisme Sosialis
Proyek teoritis feminisme sosialis mengembangkan tiga tujuan (1) untuk melakukan kritik atas penindasan berbeda namun saling terkait yang dilakukan oleh patriarki dan kapitalisme dari sudut pandang pengalaman perempuan (2) mengembangkan metode yang eksplisit dan tepat untuk melakukan analisis sosial dari pemahaman yang luas tentang materialisme historis (3) memasukkan pemahaman tentang signifikasi gagasan ke dalam analisis materialis tentang determinasi kehidupan manusia. Feminisme sosialis telah menetapkan proyek formal yaitu mencapai sintesis dan langkah teoritis di luar teori feminis.
f.       Teori Interseksionalitas
Teori ini diawali dari pemahaman bahwa perempuan mengalami penindasan dalam berbagai konfigurasi dan dalam berbagai tingkat intensitas. Penjelasan utama dari teori interseksionalitas adalah semua perempuan secara potensial mengalami penindasan berdasarkan gender, perempuan secara berbeda tertindas oleh beragam interaksi tatanan ketimpangan sosial.

Sumber :
George Ritzer dan Douglas Goodman. 2011. Teori Sosiologi. Bantul : Kreasi Wacana


Teori dramaturgi menurut Erving Goffman


Erving Goffman, lahir di Alberta, Canada pada 11 Juni 1922. Mendapat gelar S1 dari Univ. Toronto dan menerima gelar doctor dari Univ. Chicago. Beliau wafat pada tahun 1982 ketika sedang mengalami kejayaan sebagai tokoh sosiologi dan pernah menjadi professor dijurusan sosiologi Univ. Calivornia Barkeley serta ketua liga Ivy Univ. Pennsylvania. Erving Goffman, dianggap sebagai pemikir utama terakhir Chicago asli (Travers, 1922: Tselon, 1992); Fine dan Manning (2000) memandangnya sebagai sosiolog Amerika paling berpengaruh di abad 20. Antara 1950-an dan 1970-an Goofman menerbitkan sederetan buku dan esai yang melahirkan analisis dragmatis sebagai cabang interaksionisme simbolik. Walau Goffman mengalihkan perhatiannya di tahun-tahun berikutnya, ia tetap paling terkenal karena teoridramtugisnya.
Pernyataan paling terkenal Goffman tentang teori dramaturgis berupa buku Presentation of Self in Everyday Life, diterbitkan tahun 1959. Secara ringkas dramaturgis merupakan pandangan tentang kehidupan sosial sebagai serentetan pertunjukan drama dalam sebuah pentas. Istilah Dramaturgi kental dengan pengaruh drama atau teater atau pertunjukan fiksi diatas panggung dimana seorang aktor memainkan karakter manusia-manusia yang lain sehingga penonton dapat memperoleh gambaran kehidupan dari tokoh tersebut dan mampu mengikuti alur cerita dari drama yang disajikan.
Dalam Dramaturgi terdiri dari Front stage (panggung depan) dan Back Stage (panggung belakang). Front Stage yaitu bagian pertunjukan yang berfungsi mendefinisikan situasi penyaksi pertunjukan. Front stage dibagi menjadi 2 bagian, Setting yaitu pemandangan fisik yang harus ada jika sang actor memainkan perannya. Dan Front Personal yaitu berbagai macam perlengkapan sebagai pembahasa perasaan dari sang actor. Front personal masih terbagi menjadi dua bagian, yaitu Penampilan yang terdiri dari berbagai jenis barang yang mengenalkan status social actor. Dan Gaya yang berarti mengenalkan peran macam apa yang dimainkan actor dalam situasi tertentu. Back stage (panggung belakang) yaitu ruang dimana disitulah berjalan skenario pertunjukan oleh “tim” (masyarakat rahasia yang mengatur pementasan masing-masing actor)
Goffman mendalami dramaturgi dari segi sosiologi. Beliau menggali segala macam perilaku interaksi yang kita lakukan dalam pertunjukan kehidupan kita sehari-hari yang menampilkan diri kita sendiri dalam cara yang sama dengan cara seorang aktor menampilkan karakter orang lain dalam sebuah pertunjukan drama. Cara yang sama ini berarti mengacu kepada kesamaan yang berarti ada pertunjukan yang ditampilkan. Goffman mengacu pada pertunjukan sosiologi. Pertunjukan yang terjadi di masyarakat untuk memberi kesan yang baik untuk mencapai tujuan. Tujuan dari presentasi dari Diri – Goffman ini adalah penerimaan penonton akan manipulasi. Bila seorang aktor berhasil, maka penonton akan melihat aktor sesuai sudut yang memang ingin diperlihatkan oleh aktor tersebut. Aktor akan semakin mudah untuk membawa penonton untuk mencapai tujuan dari pertunjukan tersebut. Ini dapat dikatakan sebagai bentuk lain dari komunikasi. Karena komunikasi sebenarnya adalah alat untuk mencapai tujuan. Bila dalam komunikasi konvensional manusia berbicara tentang bagaimana memaksimalkan indera verbal dan non-verbal untuk mencapai tujuan akhir komunikasi, agar orang lain mengikuti kemauan kita. Maka dalam dramaturgis, yang diperhitungkan adalah konsep menyeluruh bagaimana kita menghayati peran sehingga dapat memberikan feedback sesuai yang kita mau. Perlu diingat, dramatugis mempelajari konteks dari perilaku manusia dalam mencapai tujuannya dan bukan untuk mempelajari hasil dari perilakunya tersebut. Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi antar manusia ada “kesepakatan” perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan kepada tujuan akhir dari maksud interaksi sosial tersebut. Bermain peran merupakan salah satu alat yang dapat mengacu kepada tercapainya kesepakatan tersebut.
Dalam teori Dramatugis menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil dan merupakan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi yang mandiri. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain. Disinilah dramaturgis masuk, bagaimana kita menguasai interaksi tersebut. Dalam dramaturgis, interaksi sosial dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Manusia adalah aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui “pertunjukan dramanya sendiri”. Dalam mencapai tujuannya tersebut, menurut konsep dramaturgis, manusia akan mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung perannya tersebut. Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor drama kehidupan juga harus mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Kelengkapan ini antara lain memperhitungkan setting, kostum, penggunakan kata (dialog) dan tindakan non verbal lain, hal ini tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan.
Oleh Goffman, tindakan diatas disebut dalam istilah “impression management”. Goffman juga melihat bahwa ada perbedaan akting yang besar saat aktor berada di atas panggung (front stage) dan di belakang panggung (back stage) drama kehidupan. Kondisi akting di front stage adalah adanya penonton (yang melihat kita) dan kita sedang berada dalam bagian pertunjukan. Saat itu kita berusaha untuk memainkan peran kita sebaik-baiknya agar penonton memahami tujuan dari perilaku kita. Perilaku kita dibatasi oleh oleh konsep-konsep drama yang bertujuan untuk membuat drama yang berhasil (lihat unsur-unsur tersebut pada impression management diatas). Sedangkan back stage adalah keadaan dimana kita berada di belakang panggung, dengan kondisi bahwa tidak ada penonton. Sehingga kita dapat berperilaku bebas tanpa mempedulikan plot perilaku bagaimana yang harus kita bawakan. Contohnya, seorang teller senantiasa berpakaian rapi menyambut nasabah dengan ramah, santun, bersikap formil dan perkataan yang diatur. Tetapi, saat istirahat siang, sang teller bisa bersikap lebih santai, bersenda gurau dengan bahasa gaul dengan temannya atau bersikap tidak formil lainnya (ngerumpi, dsb). Saat teller menyambut nasabah, merupakan saat front stage baginya (saat pertunjukan). Tanggung jawabnya adalah menyambut nasabah dan memberikan pelayanan kepada nasabah tersebut. Oleh karenanya, perilaku sang teller juga adalah perilaku yang sudah digariskan skenarionya oleh pihak manajemen. Saat istirahat makan siang, teller bebas untuk mempersiapkan dirinya menuju babak ke dua dari pertunjukan tersebut. Karenanya, skenario yang disiapkan oleh manajemen adalah bagaimana sang teller tersebut dapat refresh untuk menjalankan perannya di babak selanjutnya.
Sebelum berinteraksi dengan orang lain, seseorang pasti akan mempersiapkan perannya dulu, atau kesan yang ingin ditangkap oleh orang lain. Kondisi ini sama dengan apa yang dunia teater katakan sebagai “breaking character”. Dengan konsep dramaturgis dan permainan peran yang dilakukan oleh manusia, terciptalah suasana-suasana dan kondisi interaksi yang kemudian memberikan makna tersendiri. Munculnya pemaknaan ini sangat tergantung pada latar belakang sosial masyarakat itu sendiri. Terbentuklah kemudian masyarakat yang mampu beradaptasi dengan berbagai suasana dan corak kehidupan. Masyarakat yang tinggal dalam komunitas heterogen perkotaan, menciptakan panggung-panggung sendiri yang membuatnya bisa tampil sebagai komunitas yang bisa bertahan hidup dengan keheterogenannya. Begitu juga dengan masyarakat homogen pedesaan, menciptakan panggung-panggung sendiri melalui interaksinya, yang terkadang justru membentuk proteksi sendiri dengan komunitas lainnya. Apa yang dilakukan masyarakat melalui konsep permainan peran adalah realitas yang terjadi secara alamiah dan berkembang sesuai perubahan yang berlangsung dalam diri mereka. Permainan peran ini akan berubah-rubah sesuai kondisi dan waktu berlangsungnya. Banyak pula faktor yang berpengaruh dalam permainan peran ini, terutama aspek sosial psikologis yang melingkupinya.
Dramarturgi hanya dapat berlaku di institusi total. Institusi total maksudnya adalah institusi yang memiliki karakter dihambakan oleh sebagian kehidupan atau keseluruhan kehidupan dari individual yang terkait dengan institusi tersebut, dimana individu ini berlaku sebagai sub-ordinat yang mana sangat tergantung kepada organisasi dan orang yang berwenang atasnya. Ciri-ciri institusi total antara lain dikendalikan oleh kekuasan (hegemoni) dan memiliki hierarki yang jelas. Contohnya, sekolah asrama yang masih menganut paham pengajaran kuno (disiplin tinggi), kamp konsentrasi (barak militer), institusi pendidikan, penjara, pusat rehabilitasi (termasuk didalamnya rumah sakit jiwa, biara, institusi pemerintah, dan lainnya. Dramaturgi dianggap dapat berperan baik pada instansi-instansi yang menuntut pengabdian tinggi dan tidak menghendaki adanya “pemberontakan”. Karena di dalam institusi-institusi ini peran-peran sosial akan lebih mudah untuk diidentifikasi. Orang akan lebih memahami skenario semacam apa yang ingin dimainkan. Bahkan beberapa ahli percaya bahwa teori ini harus dibuktikan dahulu sebelum diaplikasikan. Teori ini juga dianggap tidak mendukung pemahaman bahwa dalam tujuan sosiologi ada satu kata yang seharusnya diperhitungkan, yakni kekuatan “kemasyarakatan”. Bahwa tuntutan peran individual menimbulkan clash bila berhadapan dengan peran kemasyarakatan. Ini yang sebaiknya dapat disinkronkan.
Dramaturgi dianggap terlalu condong kepada positifisme. Penganut paham ini menyatakan adanya kesamaan antara ilmu sosial dan ilmu alam, yakni aturan. Aturan adalah pakem yang mengatur dunia sehingga tindakan nyeleneh atau tidak dapat dijelaskan secara logis merupakan hal yang tidak patut.
1. Konteks sosial kelahiran teori
Dramaturgi yang dicetuskan Erving Goffman merupakan hasil pendalamannya terhadap konsep interaksi sosial. Konsep ini lahir sebagai aplikasi atas ide-ide indivi dualis yang baru dari peristiwa-peristiwa evolusi sosial ke dalam masyarakat kontemporer. Kalangan interaksionis simbolis berpendapat sebagai berikut :
• Manusia berbeda dari binatang, manusia ditopang oleh kemampuan berfikir.
• Kemampuan berfikir dibentuk melalui interaksi sosial.
• Dalam interaksi sosial, orang mempelajari makna dan symbol yang memungkinkan mereka menggunakan kemampuan berfikir mereka.
• Makna dan symbol memungkinkan orang melakukan tindakan dan interaksi khas manusia.
• Orang mampu memodifikasi atau mengubah makna dan symbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi bedasarkan tafsir mereka terhadap situasi tersebut.
Menurut Goffman, subjek sosiologi dramaturgi adalah penciptaan, pemeliharaan utama, dan perusakan pemahaman umum dari realitas oleh orang yang bekerja secara individual dan kolektif untuk menyajikan gambar bersama dan terpadu dari kenyataan itu. Ini adalah klaim Goffinan bahwa jika kita memahami bagaimana seorang aktor Amerika kontemporer dapat menyampaikan kesan seorang pangeran yang sarat kecemasan Denmark selama presentasi Hamlet, kita juga dapat memahami bagaimana sebuah agen asuransi mencoba untuk bertindak seperti operasi profesional dengan kombinasi ahli pengetahuan dan goodwill. Jika kita dapat memahami bagaimana sebuah panggung kecil dapat digunakan untuk mewakili seluruh Roma dan Mesir di Antony dan Cleopatra, kita juga dapat memahami bagaimana Disney Store menciptakan rasa petualangan dan bertanya-tanya dalam setiap mal lokal. Juga, jika kita dapat memahami proses dimana dua aktor dibayar meyakinkan kita bahwa mereka sedang di landa cinta dalam Romeo dan Juliet, kita dapat memahami bagaimana pramugari mengelola dan menggunakan emosi mereka untuk keuntungan komersial.
Di luar metafora kehidupan sosial sebagai ritual dramatis, Goffman merasakan potensi untuk membawa keterasingan karena masalah otentik merangkul peran yang bukannya merasa ambivalensi tertentu atau jarak dari itu. Keterasingan ini juga penting untuk analisis Goffman, untuk Goffman, berbicara tentang individual sebagai semacam agen otonom tidak benar, melainkan individu harus selalu dianggap dalam hubungan dengan keseluruhan sosial. Dengan demikian, unit dasar dari analisis sosial, Goffman (1959), bukan individu melainkan apa yang ia sebut sebagai “tim.” Dia menulis, “rekan satu tim adalah seseorang yang dramaturgi kerjasama satu tergantung pada dalam mengembangkan definisi yang diberikan dari situasi” . Tim, kemudian, bertanggung jawab untuk penciptaan persepsi realitas dalam Settings ditetapkan sosial. Inti dari teori dramaturgi sosial adalah bahwa analisis tentang bagaimana tim bekerja sama untuk mendorong kesan tertentu dari realitas mengungkapkan sistem yang kompleks dari interaksi yang, dalam banyak hal, adalah seperti memainkan penyajian.
Goffman mendalami dramaturgi dari segi sosiologi. Beliau menggali segala macam perilaku interaksi yang kita lakukan dalam pertunjukan kehidupan kita sehari-hari yang menampilkan diri kita sendiri dalam cara yang sama dengan cara seorang aktor menampilkan karakter orang lain dalam sebuah pertunjukan drama. Cara yang sama ini berarti mengacu kepada kesamaan yang berarti ada pertunjukan yang ditampilkan. Goffman mengacu pada pertunjukan sosiologi. Pertunjukan yang terjadi di masyaraka/t untuk memberi kesan yang baik untuk mencapai tujuan. Tujuan dari presentasi dari Diri -Goffman ini adalah penerimaan penonton akan manipulasi. Bila seorang aktor berhasil, maka penonton akan melihat aktor sesuai sudut yang memang ingin diperlihatkan oleh aktor tersebut. Aktor akan semakin mudah untuk membawa penonton untuk mencapai tujuan dari pertunjukan tersebut. Ini dapat dikatakan sebagai bentuk lain dari komunikasi. Karena komunikasi sebenarnya adalah alat untuk mencapai tujuan. Bila dalam komunikasi konvensional manusia berbicara tentang bagaimana memaksimalkan indera verbal dan non-verbal untuk mencapai tujuan akhir komunikasi, agar orang lain mengikuti kemauan kita. Maka dalam dramaturgis, yang diperhitungkan adalah konsep menyeluruh bagaimana kita menghayati peran sehingga dapat memberikan feedback sesuai yang kita mau. Perlu diingat, dramatugis mempelajari konteks dari perilaku manusia dalam mencapai tujuannya dan bukan untuk mempelajari hasil dari perilakunya tersebut.
Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi antar manusia ada “kesepakatan” perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan kepada tujuan akhir dari maksud interaksi sosial tersebut. Bermain peran merupakan salah satu alat yang dapat mengacu kepada tercapainya kesepakatan tersebut. Dalam pandangan Goffman, diri bukanlah milik aktor tetapi lebih sebagai hasil intersi dramatis antara aktor dan audien. Diri adalah pengaruh dramatis yang muncul dari suasana yang ditampilkan. Dramaturgi Goffman memperhatikan proses yang dapat mencegah gangguan atas penampilan diri. Meski sebagian besar bahasannya ditekankan pada interaksi dramaturgis ini, Goffman menunjukan bahwa pelaksanaannya adalah sukses. Hasilnya adalah bahwa dalam keadaan biasa, diri yang serasi dengan pelakunya,penampilannya berasal dari pelaku.
Goffman beasumsi bahwa saat berinteraksi aktor ingin menampilkan perasaan diri yang dapat diterima oleh orang lain. Tetapi ketika menampilkan diri aktor menyadari bahwa anggota audien dapat mengganggu penampilannya. Oleh karena itu aktor menyesuaikan diri dengan pengendalian audiens terutama unsur yang dapat mengganggu. Aktor berharap perasaan diri yang mereka tampilkan kepada audien cukup kuat dan mempengaruhi audiens. Aktor pun berharap audiens akan bertindak seperti yang diinginkan aktor dari mereka. Goffman menggolongkan hal tersebut sebagai manajemen pengaruh.
Dalam teori Dramatugis menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil dan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi yang mandiri. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain. Disinilah dramaturgis masuk, bagaimana kita menguasai interaksi tersebut. Dalam dramaturgis, interaksi sosial dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Manusia adalah aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui “pertunjukan dramanya sendiri”. Dalam mencapai tujuannya tersebut, menurut konsep dramaturgis, manusia akan mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung perannya tersebut. Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor drama kehidupan juga harus mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Kelengkapan ini antara lain memperhitungkan setting, kostum, penggunakan kata (dialog) dan tindakan non verbal lain, hal ini tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan. Oleh Goffman, tindakan diatas disebut dalam istilah “impression management”.
Goffman juga melihat bahwa ada perbedaan akting yang besar saat aktor berada di atas panggung (“front stage”) dan di belakang panggung (“back stage”) drama kehidupan. Kondisi akting di front stage adalah adanya penonton (yang melihat kita) dan kita sedang berada dalam bagian pertunjukan. Saat itu kita berusaha untuk memainkan peran kita sebaik-baiknya agar penonton memahami tujuan dari perilaku kita. Perilaku kita dibatasi oleh konsep-konsep drama yang bertujuan untuk membuat drama yang berhasil. Sedangkan back stage adalah keadaan dimana kita berada di belakang panggung, dengan kondisi bahwa tidak ada penonton. Sehingga kita dapat berperilaku bebas tanpa mempedulikan plot perilaku bagaimana yang harus kita bawakan.
Goffman (1959) mengklaim bahwa setiap kali mengadopsi peran aktor, mereka harus mengambil posisi pada keyakinan mereka dalam peran-mereka harus memutuskan apakah mereka merasa bahwa kesan realitas mereka akan proyek adalah “benar”. Pada satu ekstrim, orang menemukan bahwa pelaku dapat sepenuhnya diambil oleh tindakan sendiri, ia dapat tulus yakin bahwa kesan realitas adalah realitas yang nyata. Pada ekstrem yang lain, kita menemukan bahwa pelaku mungkin tidak diambil sama sekali oleh rutinitas sendiri. Ketika individu tidak memiliki keyakinan dalam bertindak sendiri dan tidak ada perhatian utama dengan keyakinan para pendengarnya, pemesanan yang “tulus” istilah untuk orang yang percaya pada kesan dipupuk oleh kinerja mereka sendiri.
Penting untuk dicatat bahwa meskipun individu dapat berada di mana saja di antara dua ekstrem kepercayaan pada kinerja mereka sendiri, mereka harus berada di tempat-yaitu, setiap pemain harus, sadar atau tidak, memiliki beberapa tingkat penerimaan dari bagian dia diputar. Jelas, dalam kebanyakan kasus, akan lebih mudah untuk menyajikan kinerja yang meyakinkan jika ada yang relatif tulus tentang kinerja seseorang.
Jadi, dalam dramaturgi Goffman, realitas sosial adalah acara dilakukan, sangat tergantung pada berbagai komponen teater. Untuk individu-individu tertentu untuk berkomunikasi secara efektif realitas sosial yang paling menguntungkan bagi mereka, mereka harus mengadopsi peran tentang pekerjaan mereka. Pada titik tertentu, bagaimanapun, peran-peran kerja akan hampir pasti bertabrakan dengan peran individu nonpekerjaan, seharusnya diri mereka yang sebenarnya. Ketika ini terjadi, individu memiliki berbagai macam pilihan, tapi akhirnya tidak satupun dari mereka adalah mungkin untuk sepenuhnya menyelesaikan konflik; solusi yang terbaik, dibanyak kasus, adalah untuk mengabaikan konflik dengan bertindak-dengan menggunakan alat-alat panggung. Goffman (1959) menekankan bahwa ia menggunakan teater sebagai metafora dan mengklaim bahwa pada akhirnya, dunia bukan panggung, dan itu seharusnya tidak sulit bagi pembaca untuk menemukan perbedaan besar antara keduanya.
2. Pemikiran dan Teori yang berpengaruh

A. Fenomena sosial yang melahirkan dramaturgi
Teori dramaturgi, sebagai pendalaman dari konsep interaksi sosial merupakan dampak atas fenomena yang terjadi di awal abad 20 di Amerika (George Ritzer, 1996 : 375). Di kala itu, para intelektual Amerika bereaksi atas meningkatnya konflik sosial dan konflik rasial, dampak reprensif birokrasi dan industrialisasi.Goffman menekankan sosiologi pada individu sebagai suatu analisis, khususnya pada aspek interaksi tatap muka.
B. Pemikiran politik atau sosial yang mempengarui
Banyak ahli percaya bahwa dramaturgi Goffman berada di antara tradisi interaksi simbolis dan fenomenologi (Basrowi Sukidin, 2002 : 103). Utamanya yang dikembangkan Herbert Blumer bahwa interaksi sosial menyangkut proses penafsiran makna, baik secara individu maupun kelompok. Masyarakat dikonsepsika sebagai sebuah system tentang proses penafsiran pesan.
Dilihat dari jenis alirannya, interaksi simbolis yang mengilhami teori Goffman terbagi ke dalam dua kelompok besar.Pertama, aliran Chicago School yang dimonitori oleh Herbert Blumer, melanjutkan tradisi humanistis yang dimulai oleh George Herbert Mead.Kedua, lowa school menggunakan pendekatannya yang lebih ilmiah dalam mempelajari interaksi.
Interaksionisme simbolis mengandung inti dasar pemikiran umum tentang komunikasi dan masyarakat. Jerome Manis dan Bernard Meltzer (1967 : 214) memisahkan tujuh hal mendasar yang bersifat teoretis dan metodologi dari interaksionisme simbolis, yaitu :
1) Orang-orang yang dapat mengerti berbagai hal dengan belajar dari pengalaman. Persepsi seseorang selalu diterjemahkan dalam symbol.
2) Berbagai arti dipelajari melalui interaksi diantara orang-orang. Arti muncul dari adanya pertukaran simbol-simbol dalam kelompok-kelompok sosial.
3) Seluruh struktur dan institusi sosial diciptakan dari adanya interaksi diantara orang-orang.
4) Tingkahlaku seseorang tidaklah mutlak ditentukan oleh kejadian-kejadian pada masa lampau saja, tetapi juga dilakukan secara sengaja.
5) Pikiran terdiri atas percakapan internal yang merefleksikan interaksi yang telah terjadi antara seseorang dengan orang lain.
6) Tingkah laku terbentuk atau tercipta di dalam kelompok sosial selama proses interaksi.
7) Kita tidak dapat memahami pengalaman seseorang individu dengan mengamati tingkah lakunya belaka. Pengalaman dan pengertian seseorang akan berbagai hal harus diketahui pula secara pasti.
Esensi interaksi simbolis adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yaitu komunikasi dan pertukaran simbol yang diberi makna.Pada dasarnya, interaksi manusia menggunakan simbol-simbol, cara manusia menggunakan simbol, yakni merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Itulah interaksi simbolis dan itu pulalah yang mngilhami prespektif darmatugis, dimana Erving Goffman sebagai salah satu eksponen interaksionisme simbolis maka hal tersebut banyak mewarnai pemikiran-pemikiran dramaturgisnya.
Pandangan Goffman agaknya harus dipandang sebagai serangkaian tema dengan menggunakan berbagai teori.Ia memang seorang dramaturgis, tetapi juga memanfaatkan pendekatan interaksi simbolis, fenomenologis schutzian, formalism simmelian, analisis semiotic, dan bahkan fungsionalisme durkhemian.
Salah satu kontribusi interaksionisme simbolis (Jones) adalah penjabaran berbagai macam pengaruh yang ditimbulkan penafsiran orang lain terhadap identitas atau citra diri individu yang merupakan objek interpretasi. Dalam kaitan ini, perhatian Goffman adalah apa yang ia sebut “ketertiban interaksi” (interaction order) yang meliputi struktur, proses, dan produk interaksi sosial. Ketertiban interaksi muncul untuk memenuhi kebutuhan akan pemeliharaan “keutuhan diri”. Inti pemikiran Goffman adalah “diri” (self), yang dijabarkan oleh Goffman dengan carayang unik dan memikat yaitu Teori Diri Ala Goffman (Mulyana Deddy, 2004 : 106).

3. Latar belakang sosial dan pribadi Goffman
Dramaturgi adalah sandiwara kehidupan yang disajikan oleh manusia. Kita lihat kembali contoh di atas, bagaiman seorang polisi memilih perannya, juga seorang warga negara biasa memilih sendiri peran yang dinginkannya. Goffman menyebutnya sebagai bagian depan (front) dan bagian belakang (back). Front mencakup, setting, personal front (penampilan diri), expressive equipment (peralatan untuk mengekspresikan diri). Sedangkan bagian belakang adalah the self, yaitu semua kegiatan yang tersembunyi untuk melengkapi keberhasilan acting atau penampilan diri yang ada pada Front. Berbicara mengenai Dramaturgi Erving Goffman, maka kita tidak boleh luput untuk melihat George Herbert Mead dengan konsep The Self, yang sangat mempengaruhi teori Goffman.
Erving Goffman, lahir di Aberta, Canada, 11 Juni 1922.Menyelesaikan pendidikan sarjana di Universitas Toronto pada tahun 1945.Kemudian melanjutkan ke Universitas Cicago dan menyelesaikan M.A dan Ph.D pada tahun 1949 dan 1953.Karier akademisnya diawali di Barkeley dan kemudian ke Universitas Pennsylvania. Minat intelektualnya difokuskan untuk mengembangkan kerangka teoritis untuk analisis interaksi sosial yang didasarkan pada berbagai penelitian (baik informal maupun formal) terhadap proses interaksi sosial (2009 : 398).
Karyanya yang terkenal diantaranya :Presentation of Self in Everyday Life (1959); Asylums (1961), dan Ecounter (1961). Ia wafat pada tahun 1982 ketika sedang mengalami masa kejayaan sebagai tokoh sosiologi dan pernah menjadi professor di jurusan sosiologi Universitas California Berkeley serta ketua liga lvy Universitas Pennsylvania.
Sebagaimana telah kami sebutkan di atas bahwa, karya-karya Erving Goffman sangat dipengaruhi oleh George Herbert Mead yang memfokuskan pandangannya pada The Self. Misalnya, The Presentation of self in everyday life (1955), merupakan pandangan Goffman yang menjelaskan mengenai proses dan makna dari apa yang disebut sebagai interaksi (antar manusia). Dengan mengambil konsep mengenai kesadaran diri dan The Self Mead, Goffman kembali memunculkan teori peran sebagai dasar teori Dramaturgi. Goffman mengambil pengandaian kehidupan individu sebagai panggung sandiwara, lengkap dengan setting panggung dan akting yang dilakukan oleh individu sebagai aktor “kehidupan.” Lalu, bagaimanakah sebenarnya dengan “The Self” Mead tersebut?
“Bagi Mead, The Self lebih dari sebuah internalisasi struktur sosial dan budaya. The Self juga merupakan proses sosial, sebuah proses dimana para pelakunya memperlihatkan pada dirinya sendiri hal-hal yang dihadapinya, didalam situasi dimana ia bertindak dan merencanakan tindakannya itu melalui penafsirannya atas hal-hal tersebut. Dalam hal ini, aktor atau pelaku yang melakukan interaksi sosial dengan dirinya sendiri, menurut Mead dilakukan dengan cara mengambil peran orang lain, dan bertindak berdasarkan peran tersebut, lalu memberikan respon atas tindakan-tindakan itu. Konsep interaksi pribadi (self interaction) dimana para pelaku menunjuk diri mereka sendiri berdasarkan pada skema Mead mengenai psikologi sosial. The Self disini bersifat aktif dan kreatif serta tidak ada satupun variable-variabel sosial, budaya, maupun psikologis yang dapat memutuskan tindakan-tindakan The Self.” (Wagiyo, 2004: 107)
Dari deskripsi di atas, Mead menegaskan bahwa The Self merupakan mahluk hidup yang dapat melakukan tindakan, dan bukan sesuatu yang pasif yang semata-mata hanya menerima dan merespon suatu stimulus belaka. Secara hakiki, pandangan Mead merupakan isu sentral bagi interaksionisme simbolik.
Dramaturgi itu sendiri merupakan sumbangan Goffman bagi perluasan teori interaksi simbolik. Mead menyatakan bahwa konsep diri pada dasarnya terdiri dari jawaban individu atas pertanyaan mengenai “siapa aku” untuk kemudian dikumpulkan dalam bentuk kesadaran diri individu mengenai keterlibatannya yang khusus dalam seperangkat hubungan sosial yang sedang berlangsung. Pendapat Mead tentang pikiran adalah bahwa pikiran mempunyai corak sosial, percakapan dalam batin adalah percakapan antara “aku” dengan “yang lain” pada titik ini, konsepsi tentang “aku” itu sendiri merupakan konsepsi orang lain terhadap individu tersebut. Atau dengan kalimat singkat, individu mengambil pandangan orang lain mengenai dirinya seolah-olah pandangan tersebut adalah “dirinya” yang berasal dari “aku.”
Pada pandangan Goffman, kesadaran diri adalah hasil adopsi dari ajaran-ajaran Durkheim. Dan bagi Goffman, struktur sosial merupakan countless minor synthesis (sintesis-sintesis kecil yang tak terbilang), dimana manusia –ini menurut Simmel- merupakan atom-atom atau partikel-partikel yang sangat kecil dari sebuah masyarakat yang besar. Dan ide serta konsep Dramaturgi Goffman itu sendiri, menolong kita untuk mengkaji hal hal yang berada di luar perhitungan kita (hal-hal kecil yang tak terbilang tersebut), manakala kita menggunakan semua sumber daya yang ada di bagian depan dan bagian belakang (front and back region) dalam rangka menarik perhatian orang-orang yang disekeliling kita. Bentuk-bentuk interaksi, komunikasi tatap muka, dan pengembangan konsep-konsep sosiologi, merupakan sumbangan Goffman bagi interaksionis simbolik bahkan Goffman juga mempengaruhi tokoh-tokoh di luar interaksionis simbolik. Walaupun pada karya terakhirnya, Goffman terfokus pada gerakan-gerakan yang mengarah pada bentuk-bentuk strukturalisme masyarakat

4. Jenis Penjelasan
Erving Goffman mengungkapakan teori Presentation of Self atau disebut juga sebagai Dramaturgi. Konsep dramaturgi menurut Erving Goffman adalah, dimana ia memandang kehidupan sosial merupakan seperti pertunjukan drama pentas. Dengan kata lain, Goffman menggambarkan peranan orang-orang yang berinteraksi dan berhubungan dengan realitas sosial yang dihadapinya melalui panggung sandiwara dengan menggunakan skrip (jalan cerita) yang telah ditentukan.
Menurut Erving Gofffman, di dalam situasi sosial, seluruh aktivitas dari partisipan tertentu adalah suatu penampilan(performance), sedangkan orang lain yang terlibat dalam situasi sosial disebut sebagai pengamat atau partisipan lainnya.
Individu dapat menampilkan suatu pertunjukan bagi orang lain, tetapi kesan pelaku terhadap pertunjukan tersebut dapat berbeda-beda. Jadi seseorang dapat bertindak atau menampilkan sesuatu yang diperlihatkannya, tapi belum tentu perilaku sehari-harinya tidak sama seperti apa yang diperlihatkannya tersebut.
Menurut Erving Goffman, dalam dramaturgi perlu dibedakan antara panggung depan (front stage) dengan panggung belakang (back stage). Panggung depan adalah bagian penampilan individu yang secara teratur berfungsi sebagai cara untuk tampil didepan umum sebagai sosok yang ideal. Sedangkan panggung belakang adalah bagian penampilan individu yang tidak sepenuhnya dapat dilihat, hal ini dapat memungkinkan bahwa tradisi dan karakter pelaku sangat berbeda dengan apa yang dipentaskan.
Goffman membagi panggung depan (front stage) ini menjadi dua bagian yaitu, front pribadi (personal front) dan setting front pribadi. Personal front mencakup bahasa verbal dan bahasa tubuh pelaku. Misalnya, berbicara dengan sopan, pengucapan istilah-istilah asing, berbicara dengan intonasi tertentu, bentuk tubuh, ekspresi wajah, pakaian, dan sebagainya. Sedangkan setting front pribadi seperti alat-alat yang dianggap sebagai perlengkapan yang dibawa pelaku ke dalam penampilannya. Misalnya seorang dokter mengenakan jas dokter dan stetoskop.
Dalam teori Dramatugi menjelaskan bahwa identitas manusia itu tidak stabil dan merupakan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi yang mandiri. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain.
Goffman membuat kategori tentang stigma, yaitu orang yang direndahkan (stigma diskredit) dan orang yang dapat direndahkan (discreditable stigma). Orang yang direndahkan adalah orang yang memiliki kekurangan yang dapat dilihat dengan kasat mata, misalnya seperti orang cacat fisik, orang buta, dll. Sedangkan orang yang dapat direndahkan adalah orang yang memiliki aib yang tidak dapat dilihat secara langsung, misalnya seperti orang yang suka sesama jenis.
Analisis framing merupakan situasi yang dibentuk sesuai dengan prinsip-prinsip organisasi yang mengatur peristiwa-peristiwa seperti peristiwa sosial, dan keterlibatan subyetif kita di dalamnya. Dengan arti, kita belajar memaknai suatu peristiwa tertentu dan realitas sosial sesuai dengan pengalaman yang telah kita miliki dalam suatu organisasi sosial masyarakat yang kemudian menjadi tindakan kita.

5. Pertanyaan yang diajukan
Ikhwal yang menjadi pijakan pemikiran Goffman berawal dari “ketegangan” yang terjadi antara “I” dan “me” (gagasan Mead). Goffman menyebutnya terjadi: “kesenjangan antara diri kita dengan diri kita yang tersosialisasi”. Konsep I merujuk pada kespontanan, ke-apa-adanya; sedangakan konsep me merupakan konsep yang harus merujuk pada diri orang lain (sosial) (Ritzer dkk, 2009 : 388).
Keterangan ini berasal dari perbadaan antara harapan orang terhadap apa yang mesti kita lakukan dengan harapan kita sendiri. Kita dituntut tidak plin plan dan dituntut untuk melakukan apa yang diharapkan oleh diri kita. Untuk menjaga citra diri, orang harus tampil bagi audience sosial.Oleh karena itu, Goffman mengibaratkan bahwa kehidupan itu sebagai drama teater.Orang harus memainkan peran mereka ketika melakukan interaksi social.
Sementara itu fokus pendekatan dramaturgi adalah bukan apa yang orang lakukan, bukan apa yang ingin mereka lakukan, atau mengapa meraka melakukan, melainkan bagaimana meraka melakukannya.
Dramaturgi menekankan dimensi ekspresi/impresif aktifitas manusia, yakni bahwa makna kegiatan manusia terdapat dalam cara mereka mengekspresikan diri dalam interaksi dengan orang lain yang juga ekspresif. Oleh karena perilaku manusia bersifat ekspresif maka perilaku manusia bersifat dramatik.Pendekatan dramaturgis Goffman berintikan pandangan bahwa ketika manusia berinteraksi dengan sesamanya, ia ingin mengelola pesan yang ia harapkan tumbuh pada orang lain terhadapnya. Untuk itu, setiap orang melakukan pertunjukan bagi orang lain. Kaum dramaturgis memandang manusia sebagai aktor-aktor diatas panggung metaforis yang sedang memainkan peran-peran mereka.
Pengembangan diri sebagai konsep oleh Goffman tidak terlepas dari pengaruh gaagasan Cooley tentang the looking glass self (Morine Nicholas, 2009). Gagasan diri ala Cooley ini terdiri atas tiga komponen.Pertama, kita mengembangkan bagaimana kita tampil bagi orang lain. Kedua, kita mengembangkan bagaimana penilaian mereka atas penampilan kita.Ketiga, kita mengembangkan sejenis perasaan diri, seperti kebanggaan atau malu sebagai akibat membayangkan penilaian oranglain tersebut. Lewat imajinasi, kita mempersepsi dalam pikiran irang lain suatu gambaran tentang penampilan kita, perilaku, tujuan, perbuatan, karakter teman-teman kita, dan sebagainya serta dengan berbagai cara kita terpengaruh olehnya.
Fokus dramaturgis bukan konsep diri yang dibawa sang aktor dari suatu situasi kesituasi yang lainnya atau keseluruan jumlah pengalaman individu, melainkan diri yang tersituasikan secara sosial yang berkembang dan mengatur interaksi-interaksi spesifik. Menurut Goffman diri adalah”suatu hasil kerjasama” (collaborative manufacture) yang harus diproduksi baru dalam setiap peristiwa interaksi sosial.
Menurut interaksi simbolis, manusia belajar memainkan berbagai peran dan mengasumsikan identitas yang ralevan dengan peran-peran ini, terlibat dalam kegiatan menunjukkkan kepada satu sama lainnya siapa dan apa meraka. Dalam konteks demikian, mereka manandai satu sama lain dan situasi-situasi yang mereka masuki dan perilaku-perilaku berlangsung dalam konteks identitas sosial, makna, dan definisi situasi. Presentase diri seperti yang ditunjukkan Goffman bertujuan memproduksi definisi situasi dan identitas sosial bagi para aktor, dan difinisi situasi tersebut mempengarui ragam interaksi yang layak dan tidak layak bagi para aktor dalam situasi yang ada.
Goffman mengasumsikan bahwa ketika orang-orang berinteraksi, mereka ingin menyajikan suatu gambaran diri yang akan diterima orang lain. Ia menyebut upaya itu sebagai “pengelolaan pesa” (impression management), yaitu teknik-teknik yang digunakan aktor untuk memupuk kesan-kesan tertentu dalam situasi tertentu untuk mencapai tujuan tertentu.
6. Proposisi Yang Ditawarkan
Pemikiran Goffman berawal dari ketegangan yang terjadi antara “I dan Me” (gagasan Mead). Ada kesenjangan antara diri kita dan diri kita yang tersosioalisasi. Konsep “I” merujuk pada apa adanya dan konsep “me” merujuk pada diri orang lain. Ketegangan berasal dari perbedaan antara harapan orang terhadap apa yang mesti kita harapkan. Menurut Goffman orang harus memainkan peran mereka ketika melakukan interaksi social. Sebagai drama perhatian utama pada interaksi social.
Fokus pendekatan dramaturgi adalah bukan apa yang orang lakukan, atau mereka melakukan tetapi bagaimana mereka melakukannya. Menurut Burke perilaku manusia harus bersandar pada tindakan. Tindakan sebagai konsep dasar dalam drama. Burke membedakan antara aksi dan gerakan. Aksi adalah tingkah laku yang disengaja dan mempunyai maksud. Sedang gerakan adalah perilaku yang mengandung makna dan tidak bertujuan. Dramaturgi menekankan dimensi ekspresif aktivitas manusia. Karena perilaku ekspresif maka perilaku manusia bersifat dramatic.
Teori dramaturgi tidak lepas dari pengaruh Cooley tentang the looking glass self, yang terdiri tiga komponen; Pertama: kita mengembangkan bagaimana kita tanpil bagai orang lain. Kedua: kita membayangkan bagaimana penilaian mereka atas penampilan kita. Ketiga : kita mengembangkan perasaan diri, seprti malu, bangga, sebagai akibat mengembangkan penilaian orang lain.
Salah satu konsep Goffman yang terkenal adalah Model Dramaturgi. Goffman membedakan dua macam pernyataan yaitu:
a. Pernyataan yang diberikan (expression given), yaitu sarana-sarana tanda yang dengan sengaja dipergunakan untuk menyampaikan informasi tertentu kepada orang lain.
b. Pernyataan lepas (expression given off), yaitu informasi yang disampaikan tanpa sengaja.
Inti dari ajaran Goffman adalah dramaturgy. Dramaturgy yang dimaksud Goffman adalah situasi dramatik yang seolah-olah terjadi di atas panggung sebagai ilustrasi yang diberikan Goffman untuk menggambarkan orang-orang dan interaksi yang dilakukan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Goffman menggambarkan peranan orang-orang yang berinteraksi dan hubungannya dengan realitas sosial yang dihadapinya melalui panggung sandiwara dengan menggunakan skrip (jalan cerita) yang telah ditentukan.
Ada bagian yang disebut frontstage (panggung bagian depan) dan backstage (panggung bagian belakang) di mana keduanya memiliki fungsi yang berbeda. Peranan dan fungsi backstage sangat penting terhadap keberhasilan penampilan di frontstage, kajian-kajian terhadap hal-hal yang berada di luar perhitungan benar-benar bertumpu pada sumber daya-sumber daya yang ada pada kedua bagian tersebut. Di samping itu, konsep dramaturgy Goffman juga dipakai oleh beberapa ahli sosiologi seperti Kennen dan Collins dalam melakukan studi yang menyangkut interaksi antara orang-orang yang menjadi kajian mereka. Dramaturgi merupakan pandangan tentang kehidupan sosial sebagai serentetan pertunjukkan drama dalam sebuah pentas. Diri adalah pengaruh dramatis yang muncul dari suasana yang di tampilkan (interaksi dramatis), maka ia mudah mengalami gangguan.
Dramaturgi menekankan dimensi ekspresif/impresif aktivitas manusia, yakni bahwa makna kegiatan manusia terdapat dalam cara mereka mengekspresikan diri dalam interaksi dengan orang lain yang juga ekspresif. Oleh karena perilaku manusia bersifat ekspresif inilah maka perilaku manusia bersifat dramatik. Pendekatan dramaturgis Goffman berintikan pandangan bahwa ketika manusia berinteraksi dengan sesamannya, ia ingin mengelola pesan yang ia harapkan tumbuh pada orang lain terhadapnya. Kaum dramaturgis memandang manusia sebagai aktor-aktor di atas panggung metaforis yang sedang memainkan peran-peran mereka.
Konsep yang digunakan Goffman berasal dari gagasan-gagasan Burce Gronbeck, dengan demikian pendekatan dramaturgis sebagai salah satu varian interaksionisme simbolik yang sering menggunakan konsep “peran sosial” dalam menganalisis interaksi sosial, yang dipinjam dari khasanah teater. Goffman mengasumsikan bahwa ketika orang-orang berinteraksi, mereka ingin menyajikan suatu gambaran diri yang akan diterima orang lain. Ia menyebut upaya itu sebagai “pengelolaan pesan” (impression management), yaitu teknik-teknik yang digunakan aktor untuk memupuk kesan-kesan tertentu dalam situasi tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Goffman kehidupan sosial itu dapat dibagi menjadi “wilayah depan” (front region) dan “wilayah belakang” (back region).
a. Wilayah depan (front region)
Merujuk kepada peristiwa sosial yang menunjukan bahwa individu bergaya atau menampilkan peran formalnya. Mereka sedang memainkan perannya di atas panggung sandiwara di hadapan khalayak penonton. Sebaliknya wilayah belakang merujuk kepada tempat dan peristiwa yang yang memungkinkannya mempersiapkan perannya di wilayah depan. Wilayah depan ibarat panggung sandiwara bagian depan (front stage) yang ditonton khalayak penonton.
Front stage (panggung depan) bagian pertunjukan yang berfungsi mendefinisikan situasi penyaksi pertunjukan. Goffman membagi panggung depan ini menjadi dua bagian: front pribadi (personal front) dan setting front pribadi terdiri dari alat-alat yang dianggap khalayak sebagai perlengkapan yang dibawa aktor ke dalam setting, misalnya dokter diharapkan mengenakan jas dokter dengan stetoskop menggantung dilehernya. Personal front mencakup bahasa verbal dan bahasa tubuh sang aktor. Misalnya, berbicara sopan, pengucapan istilah-istilah asing, intonasi, postur tubuh, kespresi wajah, pakaian, penampakan usia dan sebagainya.
Ciri yang relatif tetap seperti ciri fisik, termasuk ras dan usia biasanya sulit disembunyikan atau diubah, namun aktor sering memanipulasinya dengan menekankan atau melembutkannya, misalnya menghitamkan kembali rambut yang beruban dengan cat rambut. Setting merupakan situasi fisik yang harus ada ketika aktor melakukan pertunjukan, misalnya seorang dokter bedah memerlukan ruang operasi, seorang sopir taksi memerlukan kendaraan. (Mulyana, 2004:115). Front personal terbagi dua, yaitu penampilan berbagai jenis barang yang mengenalkan status sosial aktor, dan gaya mengenalkan peran macam apa yang dimainkan aktor dalam situasi tertentu.
Fokus perhatian Goffman bukan hanya individu, tetapi juga kelompok atau tim. Selain membawakan peran dan karakter secara individu, aktor-aktor sosial juga berusaha mengelola kesan orang lain terhadap kelompoknya, baik itu keluarga, tempat bekerja, parati politik, atau organisasi lain yang mereka wakili. Semua anggota itu oleh Goffman disebut “tim pertunjukan” (performance team) yang mendramatiasikan suatu aktivitas. Kerjasama tim sering dilakukan oleh para anggota dalam menciptakan dan menjaga penampilan dalam wilayah depan. Mereka harus mempersiapkan perlengkapan pertunjukan dengan matang dan jalannya pertunjukan, memain pemain inti yang layak, melakukan pertunjukan secermat dan seefisien mungkin , dan kalau perlu juag memilih khalayak yang sesuai. Setiap anggota saling mendukung dan bila perlu memberi arahan lewat isyarat nonverbal, seperti isyarat dengan tangan atau isyarat mata, agar pertunjukan berjalan mulus. (Mulyana, 2004:123)
Goffman menekankan bahwa pertunjukan yang dibawakan suatu tim sangat bergantung pada kesetiaan setiap anggotanya. Setiap anggota tim memegang rahasia tersembunyi bagi khalayak yang memungkinkan kewibawaan tim tetap terjaga. Dalam kerangka yang lebih luas, sebenarnya khalayak juga dapat dianggap sebagai bagian dari tim pertunjukan. Artinya agar pertunjukan sukses, khalayak juga harus berpartisipasi untuk menjaga agar pertunjukan secara keseluruhan berjalan lancar.
b. Wilayah belakang (back region)
Wilayah belakang ibarat panggung sandiwara bagian belakang (back stage) atau kamar rias tempat pemain sandiwara bersantai, mempersiapkan diri, atau berlatih untuk memainkan perannya di panggung depan. Back stage (panggung belakang) ruang dimana disitulah berjalan skenario pertunjukan oleh “tim” (masyarakat rahasia yang mengatur pementasan masing-masing aktor).
Dalam Dramaturgi terdiri dari Front stage (panggung depan) dan Back Stage (panggung belakang). Front Stage yaitu bagian pertunjukan yang berfungsi mendefinisikan situasi penyaksi pertunjukan. Front stage dibagi menjadi 2 bagian, Setting yaitu pemandangan fisik yang harus ada jika sang actor memainkan perannya. Dan Front Personal yaitu berbagai macam perlengkapan sebagai pembahasa perasaan dari sang actor. Front personal masih terbagi menjadi dua bagian, yaitu Penampilan yang terdiri dari berbagai jenis barang yang mengenalkan status social actor. Dan Gaya yang berarti mengenalkan peran macam apa yang dimainkan actor dalam situasi tertentu. Back stage (panggung belakang) yaitu ruang dimana disitulah berjalan scenario pertunjukan oleh “tim” (masyarakat rahasia yang mengatur pementasan masing-masing actor).
Goffman mendalami dramaturgi dari segi sosiologi. Beliau menggali segala macam perilaku interaksi yang kita lakukan dalam pertunjukan kehidupan kita sehari-hari yang menampilkan diri kita sendiri dalam cara yang sama dengan cara seorang aktor menampilkan karakter orang lain dalam sebuah pertunjukan drama. Cara yang sama ini berarti mengacu kepada kesamaan yang berarti ada pertunjukan yang ditampilkan. Goffman mengacu pada pertunjukan sosiologi. Pertunjukan yang terjadi di masyarakat untuk memberi kesan yang baik untuk mencapai tujuan. Tujuan dari presentasi dari Diri– Goffman ini adalah penerimaan penonton akan manipulasi. Bila seorang aktor berhasil, maka penonton akan melihat aktor sesuai sudut yang memang ingin diperlihatkan oleh aktor tersebut. Aktor akan semakin mudah untuk membawa penonton untuk mencapai tujuan dari pertunjukan tersebut. Ini dapat dikatakan sebagai bentuk lain dari komunikasi. Karena komunikasi sebenarnya adalah alat untuk mencapai tujuan. Bila dalam komunikasi konvensional manusia berbicara tentang bagaimana memaksimalkan indera verbal dan non-verbal untuk mencapai tujuan akhir komunikasi, agar orang lain mengikuti kemauan kita. Maka dalam dramaturgis, yang diperhitungkan adalah konsep menyeluruh bagaimana kita menghayati peran sehingga dapat memberikan feedback sesuai yang kita mau. Perlu diingat, dramatugis mempelajari konteks dari perilaku manusia dalam mencapai tujuannya dan bukan untuk mempelajari hasil dari perilakunya tersebut. Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi antar manusia ada “kesepakatan” perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan kepada tujuan akhir dari maksud interaksi sosial tersebut. Bermain peran merupakan salah satu alat yang dapat mengacu kepada tercapainya kesepakatan tersebut.
Dalam teori Dramatugis menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil dan merupakan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi yang mandiri. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain. Disinilah dramaturgis masuk, bagaimana kita menguasai interaksi tersebut. Dalam dramaturgis, interaksi sosial dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Manusia adalah aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui “pertunjukan dramanya sendiri”. Dalam mencapai tujuannya tersebut, menurut konsep dramaturgis, manusia akan mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung perannya tersebut. Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor drama kehidupan juga harus mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Kelengkapan ini antara lain memperhitungkan setting, kostum, penggunakan kata (dialog) dan tindakan non verbal lain, hal ini tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan. Oleh Goffman, tindakan diatas disebut dalam istilah “impression management”. Goffman juga melihat bahwa ada perbedaan akting yang besar saat aktor berada di atas panggung (“front stage”) dan di belakang panggung (“back stage”) drama kehidupan. Kondisi akting di front stage adalah adanya penonton (yang melihat kita) dan kita sedang berada dalam bagian pertunjukan. Saat itu kita berusaha untuk memainkan peran kita sebaik-baiknya agar penonton memahami tujuan dari perilaku kita. Perilaku kita dibatasi oleh oleh konsep-konsep drama yang bertujuan untuk membuat drama yang berhasil (lihat unsur-unsur tersebut pada impression management diatas). Sedangkan back stage adalah keadaan dimana kita berada di belakang panggung, dengan kondisi bahwa tidak ada penonton. Sehingga kita dapat berperilaku bebas tanpa mempedulikan plot perilaku bagaimana yang harus kita bawakan. Contohnya, seorang teller senantiasa berpakaian rapi menyambut nasabah dengan ramah, santun, bersikap formil dan perkataan yang diatur. Tetapi, saat istirahat siang, sang teller bisa bersikap lebih santai, bersenda gurau dengan bahasa gaul dengan temannya atau bersikap tidak formil lainnya (ngerumpi, dsb). Saat teller menyambut nasabah, merupakan saat front stage baginya (saat pertunjukan). Tanggung jawabnya adalah menyambut nasabah dan memberikan pelayanan kepada nasabah tersebut. Oleh karenanya, perilaku sang teller juga adalah perilaku yang sudah digariskan skenarionya oleh pihak manajemen. Saat istirahat makan siang, teller bebas untuk mempersiapkan dirinya menuju babak ke dua dari pertunjukan tersebut. Karenanya, skenario yang disiapkan oleh manajemen adalah bagaimana sang teller tersebut dapat refresh untuk menjalankan perannya di babak selanjutnya.
Sebelum berinteraksi dengan orang lain, seseorang pasti akan mempersiapkan perannya dulu, atau kesan yang ingin ditangkap oleh orang lain. Kondisi ini sama dengan apa yang dunia teater katakan sebagai “breaking character”. Dengan konsep dramaturgis dan permainan peran yang dilakukan oleh manusia, terciptalah suasana-suasana dan kondisi interaksi yang kemudian memberikan makna tersendiri. Munculnya pemaknaan ini sangat tergantung pada latar belakang sosial masyarakat itu sendiri. Terbentuklah kemudian masyarakat yang mampu beradaptasi dengan berbagai suasana dan corak kehidupan. Masyarakat yang tinggal dalam komunitas heterogen perkotaan, menciptakan panggung-panggung sendiri yang membuatnya bisa tampil sebagai komunitas yang bisa bertahan hidup dengan keheterogenannya. Begitu juga dengan masyarakat homogen pedesaan, menciptakan panggung-panggung sendiri melalui interaksinya, yang terkadang justru membentuk proteksi sendiri dengan komunitas lainnya. Apa yang dilakukan masyarakat melalui konsep permainan peran adalah realitas yang terjadi secara alamiah dan berkembang sesuai perubahan yang berlangsung dalam diri mereka. Permainan peran ini akan berubah-rubah sesuai kondisi dan waktu berlangsungnya. Banyak pula faktor yang berpengaruh dalam permainan peran ini, terutama aspek sosial psikologis yang melingkupinya.
Dramarturgi hanya dapat berlaku di institusi total,Institusi total maksudnya adalah institusi yang memiliki karakter dihambakan oleh sebagian kehidupan atau keseluruhan kehidupan dari individual yang terkait dengan institusi tersebut, dimana individu ini berlaku sebagai sub-ordinat yang mana sangat tergantung kepada organisasi dan orang yang berwenang atasnya. Ciri-ciri institusi total antara lain dikendalikan oleh kekuasan (hegemoni) dan memiliki hierarki yang jelas. Contohnya, sekolah asrama yang masih menganut paham pengajaran kuno (disiplin tinggi), kamp konsentrasi (barak militer), institusi pendidikan, penjara, pusat rehabilitasi (termasuk didalamnya rumah sakit jiwa, biara, institusi pemerintah, dan lainnya. Dramaturgi dianggap dapat berperan baik pada instansi-instansi yang menuntut pengabdian tinggi dan tidak menghendaki adanya “pemberontakan”. Karena di dalam institusi-institusi ini peran-peran sosial akan lebih mudah untuk diidentifikasi. Orang akan lebih memahami skenario semacam apa yang ingin dimainkan. Bahkan beberapa ahli percaya bahwa teori ini harus dibuktikan dahulu sebelum diaplikasikan.
Teori ini juga dianggap tidak mendukung pemahaman bahwa dalam tujuan sosiologi ada satu kata yang seharusnya diperhitungkan, yakni kekuatan “kemasyarakatan”. Bahwa tuntutan peran individual menimbulkan clash bila berhadapan dengan peran kemasyarakatan. Ini yang sebaiknya dapat disinkronkan.
Dramaturgi dianggap terlalu condong kepada positifisme. Penganut paham ini menyatakan adanya kesamaan antara ilmu sosial dan ilmu alam, yakni aturan. Aturan adalah pakem yang mengatur dunia sehingga tindakan nyeleneh atau tidak dapat dijelaskan secara logis merupakan hal yang tidak patut.

7. Jenis Dan Lingkup Realitas Sosial
Teori ini melihat bahwa konstruksi realitas lahir melalui menajemen pengaruh yang ditimbulkan dari interaksi sosial. Sebagai sebuah drama, actor yang terlibat dalam panggung interaksi tersebut memerankan tindakan yang telah tertata sebelumnya. Sedangkan jika terjadi krisis atau situasi gawat maka untuk menyelamatkan pertunjukkan (interaksi) terdapat atribut tertentu yang dijalankan.
Bila Aristoteles mengacu pada teater maka Goffman mengacu pada pertunjukkan sosiologi. Peertunjukan yang terjadi di masyarakat untuk menunjukan kesan yang baik untuk mencapai tujuan. Tujuan presentasi dari Diri-Goffman ini adalah penerimanaan penonton akan manipulasi. Bila seorang actor berhasil maka penonton akan melihat actor sesuai sudut yang memang ingin diperlihatkan oleh actor tersebut. Actor akan semakin mudah untuk membawa penonton mencapai tujuan pertunjukan tersebut. Ini dapat dikatakan sebagai bentuk lain dari komunikasi.
Komunikasi sebenarnya adalah alat untuk mencapai tujuan. Bila dalam komunikasi konvensional manusia berbicara tentang bagaimana memasimalkan indra verbal dan non-verbal untuk mencapai tujuan akhir komunikasi dan agar orang lain mengikuti kemauan kita. Dengan demikian, dalam dramaturgis yang diperhitungkan adalah konsep menyeluruh bagaimana kita menghayati peran sehingga dapat memberikan feedback yang kita mau. Perlu diingat, dramaturgis mempelajari konteks perilaku manusia dalam mencapai tujuannya dan bukan untuk mempelajari hasil dari perilakunya tersebut.
Lingkup realitas sosial yang dikaji dalam dramaturgi ini merupakan ingkup sosial yang berskala kecil. Goffman menyatakan bahwa “social establishment” sebagai sistem tertutup; dalam arti Goffman hanya memperhatikan pertunjukan yang harus dimainkan saat itu saja tanpa mempertimbangkan arti penting berbagai lembaga lain (Suyanto, Bagong, dkk; 200: 179-180).
Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi antar manusia ada “kesepakatan” perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan kepada tujuan akhir dari maksud interaksi sosial tersebut. Bermain peran merupakan salah satu alat yang dapat mengacu kepada tercapainya kesepakatan tersebut. Dalam pandangan Goffman, diri bukanlah milik aktor tetapi lebih sebagai hasil intersi dramatis antara aktor dan audien. Diri adalah pengaruh dramatis yang muncul dari suasana yang ditampilkan. Dramaturgi Goffman memperhatikan proses yang dapat mencegah gangguan atas penampilan diri. Meski sebagian besar bahasannya ditekankan pada interaksi dramaturgis ini, Goffman menunjukan bahwa pelaksanaannya adalah sukses. Hasilnya adalah bahwa dalam keadaan biasa, diri yang serasi dengan pelakunya,penampilannya berasal dari pelaku.
Goffman berasumsi bahwa saat berinteraksi aktor ingin menampilkan perasaan diri yang dapat diterima oleh orang lain. Tetapi ketika menampilkan diri aktor menyadari bahwa anggota audien dapat mengganggu penampilannya. Oleh karena itu aktor menyesuaikan diri dengan pengendalian audiens terutama unsur yang dapat mengganggu. Aktor berharap perasaan diri yang mereka tampilkan kepada audien cukup kuat dan mempengaruhi audiens. Aktor pun berharap audiens akan bertindak seperti yang diinginkan aktor dari mereka. Goffman menggolongkan hal tersebut sebagai manajemen pengaruh.
Dalam teori Dramatugis menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil dan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi yang mandiri. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain. Disinilah dramaturgis masuk, bagaimana kita menguasai interaksi tersebut. Dalam dramaturgis, interaksi sosial dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Manusia adalah aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui “pertunjukan dramanya sendiri”. Dalam mencapai tujuannya tersebut, menurut konsep dramaturgis, manusia akan mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung perannya tersebut. Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor drama kehidupan juga harus mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Kelengkapan ini antara lain memperhitungkan setting, kostum, penggunakan kata (dialog) dan tindakan non verbal lain, hal ini tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan. Oleh Goffman, tindakan diatas disebut dalam istilah “impression management”.
Goffman juga melihat bahwa ada perbedaan akting yang besar saat aktor berada di atas panggung (“front stage”) dan di belakang panggung (“back stage”) drama kehidupan. Kondisi akting di front stage adalah adanya penonton (yang melihat kita) dan kita sedang berada dalam bagian pertunjukan. Saat itu kita berusaha untuk memainkan peran kita sebaik-baiknya agar penonton memahami tujuan dari perilaku kita. Perilaku kita dibatasi oleh konsep-konsep drama yang bertujuan untuk membuat drama yang berhasil. Sedangkan back stage adalah keadaan dimana kita berada di belakang panggung, dengan kondisi bahwa tidak ada penonton. Sehingga kita dapat berperilaku bebas tanpa mempedulikan plot perilaku bagaimana yang harus kita bawakan.
Goffman (1959) mengklaim bahwa setiap kali mengadopsi peran aktor, mereka harus mengambil posisi pada keyakinan mereka dalam peran-mereka harus memutuskan apakah mereka merasa bahwa kesan realitas mereka akan proyek adalah “benar”. Pada satu ekstrim, orang menemukan bahwa pelaku dapat sepenuhnya diambil oleh tindakan sendiri, ia dapat tulus yakin bahwa kesan realitas adalah realitas yang nyata. Pada ekstrem yang lain, kita menemukan bahwa pelaku mungkin tidak diambil sama sekali oleh rutinitas sendiri. Ketika individu tidak memiliki keyakinan dalam bertindak sendiri dan tidak ada perhatian utama dengan keyakinan para pendengarnya, pemesanan yang “tulus” istilah untuk orang yang percaya pada kesan dipupuk oleh kinerja mereka sendiri.
Dalam dramaturgi Goffman, acara dilakukan sangat tergantung pada berbagai komponen teater. Untuk individu-individu tertentu untuk berkomunikasi secara efektif realitas sosial yang paling menguntungkan bagi mereka, mereka harus mengadopsi peran tentang pekerjaan mereka. Pada titik tertentu, bagaimanapun, peran-peran kerja akan hampir pasti bertabrakan dengan peran individu nonpekerjaan, seharusnya diri mereka yang sebenarnya. Ketika ini terjadi, individu memiliki berbagai macam pilihan, tapi akhirnya tidak satupun dari mereka adalah mungkin untuk sepenuhnya menyelesaikan konflik; solusi yang terbaik, dibanyak kasus, adalah untuk mengabaikan konflik dengan bertindak-dengan menggunakan alat-alat panggung. Goffman (1959) menekankan bahwa ia menggunakan teater sebagai metafora dan mengklaim bahwa pada akhirnya, dunia bukan panggung, dan itu seharusnya tidak sulit bagi pembaca untuk menemukan perbedaan besar antara keduanya.

8. Lingkup Realita Sosial
Manusia hidup dalam sebuah pertunjukan sosial sebagai akibat dari pengaruh tindakan sosial sebelumnya. Aktor manusia hanya perlu memerankan suatu peran yang telah tertata sebelumnya, meskipun demikian jika terjadi krisis maka sang aktor dapat memerankan peran lain untuk menstabilkan keadaan cerita dalam drama. Lebih lanjut Goffman juga menyampaikan bahwasanya pertunjukkan yang ditampilkan tersebut adalah demi kebaikan seluruh umat manusia, masing-masing aktor memiliki tugas tersendiri untuk memanipulasi pikiran penonton. Sebuah tujuan akan semakin mudah dicapai ketika para aktor mampu berkomunikasi dengan baik, dalam kata lain komunikasi merupakan kunci utama tercapainya sebuah tujuan dari masyarakat.
Manusia menciptakan sebuah skenario pertunjukkan yang mengharuskan mereka melaksanakan peran-peran tertentu dan melaksanakan interaksi sosial sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dalam proses ini terdapat bentuk “kesepakatan” yang dipatuhi oleh setiap anggota dalam pertujukan sosial ini. Dramaturgi berada pada tataran mikro dimana Goffman hanya melihat kenyataan bahwa pertunjukan sosial yang dilakukan oleh para aktor hanya pada waktu-waktu tertentu tanpa mengindahkan arti penting lembaga sosial yang lainnya.

9. Lokus otonom dan penjelasan yang otonom
Aktor-aktor dalam dramaturgi berperan sesuai dengan status yang disandangnya, sehingga keotonoman aktor sangat bergantung pada peran rutin yang disandangnya setiap hari. Peran tersebut selalu menjadi fokus utama kehidupan aktor dalam pertunjukkan, mereka akan memperlihatkan bentuk-bentuk dari status yang disandangnya hingga tercapai kata ideal dan memburamkan berbagai peran yang tidak sesuai dengan citra dirinya. Meskipun individu memilki banyak peran dan status dalam berbagai pertunjukan sosial tetapi pada dasarnya tampilan peran pada interaksi sosial yang tengah dilakukannya adalah yang terpenting.

10. Unit analisis realitas sosial yang menjadi fokus
Teori ini melihat bahwa konstruksi realitas lahir melalui manajemen pengaruh yang ditimbulkan dari interaksi sosial.Sebagai sebuah drama, aktor yang terlibat dalam panggung interaksi tersebut memerankan tindakan-tindakan yang telah tertata sebelumnya.Sedangkan jika terjadi krisis atau situasi gawat maka untuk menyelamatkan pertunjukan (interaksi) terdapat atribut tertentu yang dijalankan.
Goffman mengacu pada pertunjukan sosiologi. Pertunjukan yang terjadi di masyarakat untuk memberi kesan yang baik untuk mencapai tujuan. Tujuan presentasi dari Diri – Goffman ini adalah penerimaan penonton akan manipulasi. Bila seseorang aktor berhasil maka penonton akan melihat aktor sesuai sudut yang memang ingin diperlihatkan oleh aktor tersebut. Aktor akan semakin mudah untuk membawa penonton mencapai tujuan pertunjukan tersebut. Ini dapat dikatakan sebagai bentuk lain dari komunikasi.
Komunikasi sebenarnya adalah alat untuk mencapai tujuan. Bila dalam komunikasi konvensional manusia berbicara tentang bagaimana memaksimalkan indra verbal dan non- verbal untuk mencapai tujuan akhir komunikasi dan agar orang lain mengikuti kemauan kita. Dengan demikian, dalam dramaturgis yang diperhitungkan adalah konsep menyeluruh bagaimana kita menghayati peran sehingga dapat memberikan feedbacksesuai yang kita mau. Perlu diingat, dramaturgis mempelajari konteks perilaku manusia dalam mencapai tujuannya dan bukan untuk mempelajari hasil dari perilakunya tersebut.
Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi antarmanusia ada “kesepakatan” perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan kepada tujuan akhir dari maksud interaksi sosial tersebut.Bermain peran merupakan salah satu alat yang dapat mengacu kepada tercapainya kesepakatan tersebut.Bukti nyata bahwa terjadi permainan peran dalam kehidupan manusia dapat dilihat pada masyarakat kita sendiri. Manusia menciptakan sebuah mekanisme tersendiri, di mana dengan permainan peran tersebut ia bisa tampil sebagai sosok-sosok tertentu.
Lingkup realitas sosial yang dikaji dalam Dramaturgi ini merupakan lingkup sosial yang berskala kecil. Goffman menyatakan bahwa “sosial establishment” sebagai sitem tertutup; dalam arti Goffman hanya memperhatikan pertunjukan yang harus di mainkan saat itu saja tanpa mempertimbangkan arti penting berbagai elemen lain. Sebagai sebuah drama, perhatian utama Dramaturgi pada proses interaksi sosial. Dalam interaksi sosial, aktor-aktor bertindak berdasarkan peran yang disandangnya (status) sehigga keotonoman aktor atau individu sangat bergantung dari peran rutin yang melekat dalam dirinya.
Dramaturgi melihat “diri” sebagai produk yang di tentukan oleh situasi sosial. Seperti dalam drama, karakter di panggung merupakan produk dari naskah yang sebelumnya sudah diatur.

11. Bias keberpihakan = bebas nilai, keterikatan nilai
Banyak pakar menilai bahwa dramaturgi lebih cocok (fittest) untuk institusi total, maksudnya adalah institusi yang memiliki karakter dihambakan oleh sebagian kehidupan atau keseluruhan kehidupan dari individual yang terkait dengan institusi tersebut, dimana individu ini berlaku sebagai subordinat yang mana sangat tergantung kepada organisasi dan orang yang berwenang atasnya. Ciri-ciri institusi total antara lain dikendalikan oleh kekuasaan (hegemoni) dan memiliki hierarki yang jelas. Contohnya, sekolah asrama yang masih menganut paham pengajaran kuno (disiplin tinggi), kamampuan konsentrasi (barak militer), institusi pendidikan, penjara, pusat rehabilitasi (termasuk di dalamnya rumah sakit jiwa, biara, institusi pemerintah, dan lain-lain). Dramaturgi dianggap dapat berperan baik pada instansi-instansi ini peran-peran sosialakan lebih mudah untuk di identifikasi. Orang akan lebih memahami skenario semacam apa yang ingin dimainkan. Bahkan beberapa ahli percaya bahwa teori ini harus dibuktikan dahulu sebelum diaplikasikan.
Teori ini juga dianggap tidak mendukung pemahaman bahwa dalam tujuan sosiologi ada satu kata yang seharusnya diperhitungkan, yakni kekuatan “kemasyarakatan”.Bahwa tuntutan peran individual menimbulkan clash bila berhadapan dengan peran kemasyarakatan.Ini yang sebaiknya dapat disinkronkan. Di sisi lain, dramaturgi dianggap terlalu condong pada positivism. Penganut paham ini menyatakan adanya kesamaan antara ilmu sosial dan ilmu alam, yakni aturan.Aturan adalah pakem yang mengatur dunia sehingga tindakan nyeleneh atau tidak dapat dijelaskan secara logis merupakan hal yang tidak patut.

12. Contoh-contoh Kasus
Contoh kasus daripada teori dramaturgi terdapat pada berbagai peran manusia, seperti seorang presiden, pengemis, selebriti, guru dan dosen, dan lain-lain.
Seorang presiden, contohnya Susilo Bambang Yudhoyono, berpenampilan rapi dan berwibawa saat sedang melakukan pidato di depan umum dan saat mengunjungi berbagai tempat-tempat formal. Tujuannya adalah untuk menunjukkan suatu sosok seorang pemimpin kepada orang lain atau masyarakat. Namun saat di rumah, ia berpenampilan dan berperilaku seperti orang lain pada umumnya. Di rumah, ia berperan sebagai seorang ayah nagi anak-anaknya dan seorang suami bagi istrinya.
Contoh lainnya adalah seorang pengemis yang seringkali kita temukan di depan gerbang lama Universitas Padjadjaran yang berpakaian lusuh selalu menampakkan wajah sedihnya ke setiap orang untuk menerima rasa empati berupa materi. Tak peduli kotor, bau, atau berpenampilan kumuh. Mereka melakukan hal seperti itu sebagai aktor panggung depan karena sedang mendefinisikan sesuatu bagi orang lain yang menyaksikan penampilannya. Berbeda dengan panggung belakangnya, para pengemis menjalani kehidupan seperti orang pada umumnya ketika sedang berada dirumahnya.
Selebriti juga merupakan salah satu contoh kasus yang berkaitan Teori Dramaturgi, misalnya Luna Maya. Beberapa waktu yang lalu, ia terlibat dalam kasus hukum dikarenakan melanggar pasal-pasal yang berhubungan dengan tindakan mesum. Masalah tersebut merupakan masalah yang sangat serius baginya, namun ia berusaha untuk memerankan karakternya sebagai seorang selebriti di berbagai acara dengan penampilan yang tidak memperlihatkan bahwa dirinya sedang mengalami masalah besar. Ia tidak ingin menunjukkan kepada audiens bahwa ia sedang mengalami masalah. Tujuannya tampil di berbagai acara tersebut adalah hanya untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang selebriti yang memiliki peran tersendiri dalam acara yang ia pentasi. Selain Luna Maya, adapun selebriti lainnya yang jelas berkaitan dengan Teori Dramaturgi, di mana orang-orang tersebut memiliki front stage dan back stage yang berbeda. Contohnya adalah para pelawak, seperti Olga Syahputra, Sule, Ruben Onsu, Ade Namnung, dan lain sebagainya. Di depan panggung Dahsyat dan berbagai acara lainnya, Olga tampak seperti sosok orang yang sangat ceria dan penuh dengan humor. Namun, pada saat diwawancarai di suatu berita selebritis, ia menceritakan betapa prihatinnya hidupnya. Ia mengatakan bahwa ia melakukan ini semua untuk mendapatkan uang, sehingga kebutuhan keluarganya terpenuhi. Untuk mendapatkan uang tersebut, ia harus bisa berperan sesuai dengan karakternya dalam acara tersebut, yaitu seorang pelawak atau entertainer. Ia berusaha menunjukkan pada seluruh audiens yang menonton bahwa dirinya adalah seorang host yang humoris dan bisa membuat para penontonnya terhibur dengan acara yang dipentasinya. Sama halnya dengan pelawak lainnya. Mereka memiliki front stage dan back stage yang sangat berbeda.
Selain ketiga contoh tersebut, adapun contoh lainnya, yaitu seorang guru dan dosen. Pada saat di kelas, seorang guru dan dosen berperan sebagai pengajar dan pendidik. Mereka memberi berbagai peraturan dan tugas di kelas. Mereka melakukan tugas di kelas sesuai dengan peran mereka sebagai pengajar. Namun di luar perannya tersebut, mereka berperilaku seperti orang lain yang tidak memiliki peran sebagai pengajar.
Ada sebuah kasus di Ujungberung, Bandung. Wilayah ini merupakan “wadah” dan pusat para musisi dan pecinta musik “Underground”. Disana, terdapat seorang wanita berjilbab yang menjadi vokalis salah satu band “hardcore”. Menariknya adalah wanita tersebut berjilbab dan mempunyai pekerjaan lain, yaitu seorang “Guru TK “. Jika dibayangkan, memang agak sulit seorang guru TK dan berjilbab mengeluarkan suara-suara keras menyeramkan, tetapi hal ini memang terjadi. Sesuatu yang sangat langka, wanita itu bernama Achie. Dia adalah vokalis band metal yang bernama GUGAT yang terdiri dari Achie (vocal), imam (drum), Okid (vokal), Oce (gitar), dan Bayu (bass). Achie merupakan salah satu orang yang sangat langka dan berani menembus nilai-nilai yang berada dalam masyarakat. Dia mempunyai sisi idealisme dan mampu mengimplementasikan sebuah teori sosial yang disebut dengan Teori Dramaturgi.
13. Analisa Contoh-contoh Kasus Tersebut
Keempat contoh-contoh kasus tersebut berkaitan dengan Teori Dramaturgi, karena setiap peran dalam yang disebutkan sebelumnya, yaitu seorang presiden, pengemis, selebriti, dan guru atau dosen memiliki dua macam karakteristik, yaitu karakterisitik secara front stage dan secara back stage. Pada saat di depan panggung atau di depan umum dan audiens, mereka menunjukkan karakteristik yang berbeda dengan pada saat mereka berada di belakang panggung atau di luar tempat di mana mereka menunjukkan karakteristik front stage tersebut.
Layaknya seorang aktor dan aktris, jika berada di depan panggung (front stage), mereka harus memiliki kemampuan untuk menjadi orang lain atau sebuah karakter yang berbeda. Sedangakan back stage ini merupakan karakter asli dari diri mereka yang tidak bisa mereka sembunyikan.