Inilah Kisah
Perjalanan Astral Menembus Dimensi Waktu Ke Masa Lampau
Perjalanan astral atau proyeksi astral (Astral Traveler/Projection) adalah sebuah situasi pemisahan tubuh astral (roh atau kesadaran) dari tubuh fisik. Kalau sebelumnya kisah perjalanan astral ke dasar samudera lebih ke arah menembus dimensi ruang, maka dalam kisah perjalanan astral berikut ini adalah subyek mampu melakukan perjalanan menembus dimensi waktu. Pergi bertemu pamannya di masa muda, ketika saat itu sang subyek belum lahir.
Perjalanan astral atau proyeksi astral (Astral Traveler/Projection) adalah sebuah situasi pemisahan tubuh astral (roh atau kesadaran) dari tubuh fisik. Kalau sebelumnya kisah perjalanan astral ke dasar samudera lebih ke arah menembus dimensi ruang, maka dalam kisah perjalanan astral berikut ini adalah subyek mampu melakukan perjalanan menembus dimensi waktu. Pergi bertemu pamannya di masa muda, ketika saat itu sang subyek belum lahir.
Menyadari saat keluar dari tubuh
Menjelang
sore sekitar pukul 17 : 00 Wib, setelah mandi saya masuk ke dalam kamar. Rasa
letih membuat ingin segera berbaring dan tidur. Setelah di atas pembaringan
rasa mengantuk malah sirna. Namun, saya tetap berusaha untuk memejamkan mata.
Tak
lama berselang antara sadar dan tidak, badan terasa mengambang. Lalu keluar
dari tubuh. Sempat saya berkata dalam hati, apakah ini mimpi. Tetapi mengapa
saya bisa melihat seluruh ruang kamar dan benda–benda dengan jelas. Keyakinan
memang itu bukan mimpi semakin jelas, pada saat saya mendengar ada suara
tetangga sedang berjalan lewat.
Yang
terasa adalah badan begitu ringan dan rasa letih hilang. Sementara itu badan
yang lain mirip saya terlihat sedang terlelap tidur di atas pembaringan. Karena
peristiwa ini bukan baru sekali, saya tidak merasa takut dan cemas.
Justru kadang saya berusaha menikmati keadaan, dimana tubuh dirasakan seringan kapas dan dengan satu kali gerakan saja jika saya mau, maka bisa terbang melesat cepat seperti angin.
Justru kadang saya berusaha menikmati keadaan, dimana tubuh dirasakan seringan kapas dan dengan satu kali gerakan saja jika saya mau, maka bisa terbang melesat cepat seperti angin.
Pengalaman terbang dan bertemu banyak manusia lain
Saya
keluar dari kamar tanpa perlu membuka pintu, lalu membubung ke angkasa dan
semakin tinggi. Di sepanjang perjalanan, saya menjumpai beberapa orang yang
juga terbang dengan cara yang sama seperti saya
Di
atas saya bahkan terlihat sekelompok anak–anak seusia kira–kira 6 tahunan,
mereka terbang dan bermain-main dengan gembira. Lalu ada seorang pemuda dan
nenek yang terbang begitu cepat seperti berkejaran hampir menabrak tubuh saya.
Tapi anehnya, tak ada tabrakan atau sentuhan yang saya rasakan . Semua berlalu
seperti deru angin yang berlalu.
Terhisap ke dalam sebuah terowongan panjang
Dari atas awan–awan, saya menikmati pemandangan di bawah. Terlihat
ada sebuah terowongan berbentuk seperti sumur bawah tanah, lalu tubuh ini
tiba–tiba seperti terhisap ke sana dan melesat sangat cepat.
Lorong itu remang–remang dan sempit, mau mundur kembali sudah
tidak mungkin karena kecepatan terbang saya dalam lorong seperti tak
terkendali. Padahal biasanya dalam pengalaman terbang seperti ini saya bisa
mengatur kecepatan.
Baiklah, akhirnya saya nekad terus memasuki lorong panjang itu,
lama–kelamaan lorong tersebut makin luas dan terang. Tidak tahu bagaimana
prosesnya secara detail, yang jelas saya saat sudah keluar dari lorong dan
berada di sebuah mulut gua yang menghadap ke bibir pantai. Tepatnya diatas
ketinggian sebuah tebing.
Mendarat di tempat masa kecil
Dan saya segera melesat terbang lagi di atas. Melintasi pegunungan
dan hutan–hutan, lalu terlihat ada areal persawahan yang sangat luas dan hijau
subur. Sepertinya saya mengenal daerah itu.
Dengan gerakan menukik tubuh ini menuju ke areal persawahan itu. Saya mendarat di bawah pohon mangga yang rindang dan 20 meter dari pohon itu tampak beberapa petani sedang membersihkan gulma.
Pelan–pelan saya melangkah melewati para petani itu. Sempat juga
saya takut terlihat mereka dan kuatir mereka akan bertanya tentang saya. Namun
rupanya, tak seorangpun dari kelima petani itu bisa melihat kehadiran saya.
Merasa yakin bahwa mereka ternyata tidak menyadari dan tidak melihat keberadaan
saya, saya dengan tenang melewati para petani itu.
Melihat Pak Min tetanggaku dan rumah nenek
Saya tidak tahu hendak menuju ke mana lagi setelah ini. Keinginan
untuk terbang lagi muncul dan saya tinggal menghentakkan sedikit tubuh dan
menggerakkan kaki, lalu saya sudah melesat lagi di atas pematang sawah itu.
Terlihat ada rumah beratap genteng berbentuk joglo. Sepertinya
saya akrab dengan rumah itu, bukannya itu rumah nenekku? Tetapi kapan ya
terakhir saya di sana. Saya coba berpikir keras uuntuk mengingat–ingat.
Oh, ada seorang bapak–bapak lewat depan rumah tersebut dengan
membawa kayu bakar. Wajahnya saya tahu persis. Bukankah bapak itu yang sering
ku panggil pak Min putih ketika aku masih kecil
Aku heran bagaimana mungkin dia ada di sini, dan mengapa rambutnya
tidak berwarna putih, dan wajahnya masih belum tua benar. Apakah aku salah
lihat? Berbagai pertanyaan berkecamuk di pikiranku.
Ini seperti memutar film saja. Aku melihat orang–orang lain yang
pernah kulihat, tapi dalam kondisi yang berbeda. Mereka terlihat masih sangat
muda dan segar. Sungguh Aneh.
Aku ingin pulang
Lalu saya memutuskan untuk berjalan kaki saja sambil mencoba
mengingat–ingat tentang tempat yang kudatangi tersebut. Rasanya aku pernah
tinggal di sini tapi kapan aku tidak ingat persis.
Pada saat aku berjalan di jalan setapak dekat saluran irigasi
sawah, aku mulai menguasai keadaan. Oh, aku masih ada tugas malam ini yang
harus ku kerjakan dan aku ingin segera kembali ke rumahku.
Tapi pasti akan terlambat tiba di rumah, karena aku yakin tempat
ini jauh sekali. Herannya saat itu saya seolah lupa, bahwa bisa melakukan
terbang dengan cepat untuk kembali lagi ke tempat asal.
Bertemu laki–laki bermantel kuning
Saat saya merasa panik dan gelisah itu, ada seorang laki–laki
separuh baya mengenakan mantel kuning menyapa saya. “Ada apa denganmu?”
Terus terang saya menjadi kaget setengah mati, lho ada yang bisa
melihat saya rupanya. Padahal dari tadi saya aman–aman saja berjalan–jalan di
desa ini, tanpa seorangpun yang melihat.
Lalu saya jawab, “Saya mau tanya, ada orang yang punya alat komunikasi
jarak jauh tidak ya disini? Semacam telepon atau radio panggil.”
Dia tidak menjawab banyak, hanya menunjukkan arah rumah seseorang
dan dia berpesan, bahwa saya nanti akan bertemu seorang bapak yang akan
mengantar saya pada keluarga yang punya radio panggil itu.
Setelah dia mengatakan itu, lalu berjalan lagi kearah yang
berlawanan dengan saya, jalannya sangat cepat seolah terbang. Dalam sekejab
saya sudah tidak melihatnya lagi.
Melihat pamanku di masa mudanya
Benar apa yang dikatakan laki–laki bermantel kuning itu, saya
bertemu seorang bapak dan dia mengantarkan pada salah satu keluarga yang kaya
di situ. Setibanya di depan rumahnya, saya melihat pemilik rumah itu persis
sama dengan paman saya yang saya kenal ketika kecil.
Tetapi pakaiannya koq seperti ini ya, pikir saya. Dengan rambut
gondrong dan celana cutbray putih era tahun 60-an. Di tangannya memegang handy
talkie tempo dulu.
Wah, benar ini pamanku. Saya sempat berbicara dengan beliau dan meminta tolong untuk menghubungi tempat saya bekerja, dan menyampaikan bahwa saya akan terlambat hadir mengirim materi tugas.
Wah, benar ini pamanku. Saya sempat berbicara dengan beliau dan meminta tolong untuk menghubungi tempat saya bekerja, dan menyampaikan bahwa saya akan terlambat hadir mengirim materi tugas.
Orang yang mirip dengan pamanku tidak berhasil mengirim pesan dan
gagal menghubungi kantor saya. Akhirnya, saya pamit dan berlari secepat kilat,
lalu sembunyi dari penglihatan orang–orang itu untuk bersiap– iap terbang.
Tak lama kemudian, saya sudah tiba di dekat pohon mangga tempat
dimana saya mendarat pertama kalinya. Dengan konsentrasi penuh, saya segera
terbang dan ingin cepat kembali ke rumah.
Benar–benar kecepatan yang sangat luarbiasa dari seluruh
pengalaman terbang selama ini. Mungkin setara dengan kecepatan terbang jet.
Tempat tinggal tertutup kabut
Lalu ketika berada di puncak awan–awan, saya melihat pulau–pulau
kecil dan anak gunung krakatau. Konsentrasi semakin saya tingkatkan agar cepat
sampai ke rumah.
Dengan sekali gerakan mendorong tubuh, tibalah saya ke tempat
dimana tadi pertama kali berangkat terbang. Mengapa pemandangan menjadi
berubah. Saya tidak berhasil menemukan gedung–gedung yang menjulang di sekitar
tempat tinggal selama ini.
Yang terlihat justru pohon–pohon dan semak rimbun. Padahal, hati
kecil saya begitu yakin, bahwa ini adalah tempat tinggal asal saya. Mungkinkah
ada hubungannya dengan cara saya kembali yang tidak sama, yakni melalui lorong
seperti ketika keberangkatan saya di awal perjalanan tadi?
Saya berusaha untuk terus mengingat dan memikirkan bagaimana
caranya menemukan jalan untuk kembali. Saya memusatkan keinginan dan niat saya
untuk kembali.
Tiba–tiba saya perhatikan pohon dan semak–semak itu mulai menipis,
berganti kabut dan terlihat sedikit demi sedikit bangunan modern dan gedung
bertingkat, lampu kota berkelap kelip.
Oh, betapa leganya saya, ternyata saya tidak salah jalan pulang .
Hanya tadi masih tertutup kabut dan pemandangan yang memiliki perbedaan waktu.
Pulang dan masuk ke tubuh asli
Akhirnya, saya merendahkan posisi terbang dan
mendekati rumah tempat tinggal, lalu memasuki pintu kamar tanpa membukanya.
Tampak tubuh saya terbaring dengan tenang dan nyenyak sekali. Saya berusaha
masuk ke dalam tubuh melalui ujung kaki dan menyusupkan badan sampai kepala.
Kemudian saya bisa menguasai keadaan kembali. Dan
kesadaran menjadi penuh. Saya bangun dan merasa terheran–heran sendiri. Ke mana
saja saya tadi. Hampir tidak menemukan jalan pulang.
Dan yang membuat aneh algi, mengapa bisa bertemu
paman saya dan pak Min Putih, tapi mereka masih muda dan segar? Ini menjadi
misteri pertanyaan bagi saya setiap kali teringat perjalanan tersebut.
Apa sebenarnya makna perjalanan–perjalanan yang
saya tidak pernah mengerti ini? Saat saya lihat jam dinding sudah pukul 18: 25
WIB, berarti tadi hanya kurang lebih satu setengah jam saja dan terasa
seolah–olah sudah berhari–hari.
No comments:
Post a Comment