Sunday, April 2, 2017

Menumbuhkan Ruh Syahadat


“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Alloh; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Alloh. Adapaun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Alloh. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa(pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Alloh semuanya dan bahwa Alloh amat berat siksa-Nya(niscaya mereka menyesal). (Al Baqoroh:165)”
Dalam sebuah acara khitbah(lamaran) terjadi peristiwa yang cuku menarik. Saat itu dua pihak keluarga sudah sepakat untuk melangsungkan akad nikah bagi putra-putri mereka pada bulan Maulud, hari Minggu Legi. Keputusan itu diambil berdasarkan hitungan weton masing-masing calon pengantin. Saat berpamitan, sang calon pengantin laki-laki dilarang ikut pulang bersama keluarganya. Ia diwajibkan tinggal dirumah calon istrinya. Yang mewajibkan tinggal bukan calon mertuanya tapi justru keluarganya sendiri. Tentu saja ia kaget. Bagaimana mungkin ia akan menginap dirumah calon istrinya, padahal calon istrinya belum dihalalkan untuk dirinya. “khansaya belumdinikahkan” kilahnya. “Ini sebagai syarat, kamu tidak boleh membantah” sergah salah satu pak denya. “Berdasarkan hitungan jawa, agar pernikahan kamu langgeng dan tidak ada rintangan, kamu harus menjalani syarat ini.” tambahnya.
Karena perdebatan tidak berujung, maka pihak keluarga calon pengantin perempuan menawarkan agar keduanya dinikahkan hari itu juga. “Nanti dulu, jangan sembarangan” Jawab salah satu keluarga laki-laki. “Kita hitung dulu” tambahnya. Akhirnya tawaran disetujui karena saat itu tepat hari Minggu Legi. Keduanyapun dinikahkan. Sang pengantin laki-lakipun tidak lagi ngeyel ingin ikut pulang. Dengan senang hati ia menerima ditinggal pulang oleh keluarganya.
Peristiwa diatas sangat mungkin sering terjadi ditanah Jawa ini. Atau bisa jadi disuku-suku lain di Indonesia. Keyakinan bahwa seluruh aktifitas dan kegiatan harus didasari pada hitungan-hitungan weton terlebih dahulu masih tumbuh subur. Terutama diwilayah-wilayah pedesaan. Jika ditelisih lebih dalam, mereka adalah muslin yang bersyahadat. Namun mengapa mereka masih memiliki keyakinan semacam itu yang sangat bertentangan dengan syahadat yang mereka ucapkan ?.
Ya..!!! Diakui atau tidak, saat ini pemahaman umat Islam terhadap syahadat memang masih sangat dangkal. Banyak diantaranya hanya tau artinya saja. Sedang konsekuensi dan perkara-perkara yang membatalkan syahadat tidak diperhatikan. Syarat-syaratnya tidak dipelajari dan dipahami. Akibatnya mereka tetap berkubang dalam kesyirikan yang menyesatkan. Jika mereka di da’wahi kepada Tauhid, mereka justru menjawab “Awakmu dikandani wong tuwo gak gak nggatekno..!!” Titenono le” (kamu dibilangi orang tua, nggak percaya, Tunggu akibatnya..!!).
Kehilangan Ruh Syahadat
Dalam kalimat Laa ilaha illalloh,ada perkara-perkara yang harus ditiadakan. Padanya juga ada perkara-perkara yang harus ditetapkan sebagai syarat kelengkapan syahadat.
Ada beberapa penetapan terhadap Alloh yang harus harus ditanamkan kuart-kuat dalam bangunan akidah kita agar kokoh tak tergoyahkan. Sehingga tidak lagi tumbuh penyakit syirik. Agar tidak ada lagi keyakinan bahwa masih ada dzat selain Alloh yang layak untuk dituju, dicintai, ditakuti, dan diagungkan aturan-aturannya. Kebanyakan syahadat diucapkan hanya asbun (asal bunyi) saja. Akhirnya hilanglah ruh syahadat dari kebanyakan muslim.
Semestinya seseorang yang bersyahadat harus menetapkan beberapa perkara terhadap Alloh, agar syahadat itu memiliki nilai, daya penyemangat, dan kekuatan untuk menegakkan Islam. Termasuk memilki kekuatan untuk menolak keyakinan-keyakinan batil. Ada empat perkara adalah :
1. Al Qosdu wa An-niyyah (tujuan dan niat)
Maksudnya, dalam menjalani seluruh aktifitas kehidupan ini yang harus dijadikan sebagai tolok ukur amal adalah karena Alloh. Dalam melakukan setiap kegiatan harus selalu diniatkan untuk mencari ridlo Alloh. Allo ta’ala berfirman :”Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Alloh Robb semesta alam.” (Al An’am:162)
Alloh juga berfirman:”Dan diantara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridloan Alloh; dan Alloh Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya”.(Al Baqoroh:207)
Jika hal ini telah bisa dilakukan, maka seseorang tidak akan sembarangan dalam berucap, berbuat, dll. Ia akan selalu menyesuaikan apa yang dilakukan dengan kehendak Alloh semata. Jika Alloh melarang, maka dengan suka rela ia akan menjauhinya. Sebaliknya jika Alloh memerintah, maka dengan senang hati ia akan mengerjakannya. Orang semacam ini telah memiliki tujuan dan niat yang benar. Dengan keduanya seseorang tidak akan terjebak pada sikap riya'(beramal ingin dilihat), sum’ah(beramal ingin didengar) dan ujub(sikap pamer). Semua itu adalah kesyirikan.
2. Al mahabbah (Kecintaan)
Maksudnya kecintaan ini kepada Alloh harus melebihi kecintaan kita kepada yang selainnya. Bahkan menyamakan cinta kita kepada Alloh dengan yang selain Alloh pun dilarang. Alloh berfirma:”Dan orang-orang beriman amat cinta kepada Alloh”(Al Baqoroh:165)
Dalam surat At-Taubah Alloh berfirman:”Katakanlah: Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatir kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Alloh dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad dijalan-Nya, maka tunggulah sampai Alloh mendatangkan keputusan-Nya”. “Dan Alloh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”(At-Taubah:24)
Bukti cinta itu harus dilakukan dengan kerelaan berkorban dan kesiapan untuk menyesuaikan diri terhadap apa yang dikehendaki Alloh. Bukan justru membuat aturan-aturan sendiri yang tidak ada tuntunannya dari Alloh dan Rasul-Nya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:”Tidak ada kesenangan dan kenikmatan yang sempurna bagi hati kecualidalam kecintaan kepada Alloh dan bertaqorrub kepada-Nya dengan mengerjakan apa-apa yang dicintaiNya. Kecintaan tak akan terjadi kecuali dengan berpaling dari kecintaan kepada selain-Nya. Inilah hakikat Laa ilaha illalloh. Inilah jalan Ibrahim a.s. dan semua nabi serta Rasul”.
3. Khouf dan Roja’ (rasa takut dan harap)
Maksudnya seluruh harapan terkait dengan kehidupan didunia maupun akhirat kita, hanya boleh menggantungkan harapannya kepada Alloh. Nasib baik dan buruk diserahkan kepada Alloh, bukan kepada weton, bulan suro, dll. Tidak boleh pula ada perasaan takut kepada yang selainAlloh. Karena pada hakikatnya segala sesuatu yang terjadi pasti atas sepengetahuan Alloh. Manusia tidak akan didzolimi sedikitpun. Jika terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan bagi manusia tidak lain adalah karena ulah manusia itu sendiri. Allo berfirman:”Dan jika Alloh menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Alloh menghendaki kebaikan bagimu, maka tak ada yang bisa menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Yunus:107)
4. Taqwa
Taqwa adalah rasa takut terhadap kemarahan Alloh dan siksa-Nya. Rasa takut ia buktikan dengan cara meninggalkan kesyirikan dan maksiat, memurnikan ibadah kepada Alloh, mengikuti perintah-Nya seperti yang sudah disyariatkan-Nya.
Ibnu Mas’ud menjelaskan pengertian taqwa:”Hendaklah kamu berbuat dengan taat kepada Alloh, berada diatas cahaya Alloh, mengharapkan cahaya Alloh, meninggalkan kedurhakaan kepada Alloh berdasarkan cahaya dari-Nya dan takut kepada siksa-Nya.”
Ali bin Abi Tholib berkata:”Taqwa yaitu takut kepada dzat yang Maha Tinggi(Alloh), beramal dengan yang diturunkan(AlQuran), bersyukur jika mendapat nikmat yang banyak, dan sabar ketika mendapat yang sedikit, dan selalu bersiap-siap untuk menghadapi hari yang sangat panjang(Hari Kiamat).”
Karena itu dalam banyak ayat Alloh menyebutkan agar orang-orang yang beriman untuk bertaqwa dengan sebenar-benarnya taqwa kepada Alloh. Hal itu karena sangat urgennya taqwa bagi orang yang beriman. Jika orang yang beriman mampu menetapkan empat perkara itu kepada Alloh saja, maka ia tidak akan kehilangan ruh syahadat. Ia akan tampil sebagai sosok yang tangguh dan tidak mudah digoyahkan oleh keyakinan yang menyesatkan.

(Baitul Maal Hidayatullah–Lembar Tausiyah–;Edisi:102;Thn.1428 H/2007 M)

No comments:

Post a Comment