“Dan
diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain
Alloh; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Alloh. Adapaun
orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Alloh. Dan jika seandainya
orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa(pada
hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Alloh semuanya dan bahwa Alloh amat
berat siksa-Nya(niscaya mereka menyesal). (Al Baqoroh:165)”
Dalam
sebuah acara khitbah(lamaran) terjadi peristiwa yang cuku menarik. Saat itu dua
pihak keluarga sudah sepakat untuk melangsungkan akad nikah bagi putra-putri
mereka pada bulan Maulud, hari Minggu Legi. Keputusan itu diambil berdasarkan
hitungan weton masing-masing calon pengantin. Saat berpamitan, sang calon
pengantin laki-laki dilarang ikut pulang bersama keluarganya. Ia diwajibkan
tinggal dirumah calon istrinya. Yang mewajibkan tinggal bukan calon mertuanya
tapi justru keluarganya sendiri. Tentu saja ia kaget. Bagaimana mungkin ia akan
menginap dirumah calon istrinya, padahal calon istrinya belum dihalalkan untuk
dirinya. “khansaya belumdinikahkan” kilahnya. “Ini sebagai syarat, kamu tidak
boleh membantah” sergah salah satu pak denya. “Berdasarkan hitungan jawa, agar
pernikahan kamu langgeng dan tidak ada rintangan, kamu harus menjalani syarat
ini.” tambahnya.
Karena
perdebatan tidak berujung, maka pihak keluarga calon pengantin perempuan
menawarkan agar keduanya dinikahkan hari itu juga. “Nanti dulu, jangan
sembarangan” Jawab salah satu keluarga laki-laki. “Kita hitung dulu” tambahnya.
Akhirnya tawaran disetujui karena saat itu tepat hari Minggu Legi. Keduanyapun
dinikahkan. Sang pengantin laki-lakipun tidak lagi ngeyel ingin ikut pulang.
Dengan senang hati ia menerima ditinggal pulang oleh keluarganya.
Peristiwa
diatas sangat mungkin sering terjadi ditanah Jawa ini. Atau bisa jadi
disuku-suku lain di Indonesia. Keyakinan bahwa seluruh aktifitas dan kegiatan
harus didasari pada hitungan-hitungan weton terlebih dahulu masih tumbuh subur.
Terutama diwilayah-wilayah pedesaan. Jika ditelisih lebih dalam, mereka adalah
muslin yang bersyahadat. Namun mengapa mereka masih memiliki keyakinan semacam
itu yang sangat bertentangan dengan syahadat yang mereka ucapkan ?.
Ya..!!!
Diakui atau tidak, saat ini pemahaman umat Islam terhadap syahadat memang masih
sangat dangkal. Banyak diantaranya hanya tau artinya saja. Sedang konsekuensi
dan perkara-perkara yang membatalkan syahadat tidak diperhatikan.
Syarat-syaratnya tidak dipelajari dan dipahami. Akibatnya mereka tetap
berkubang dalam kesyirikan yang menyesatkan. Jika mereka di da’wahi kepada
Tauhid, mereka justru menjawab “Awakmu dikandani wong tuwo gak gak
nggatekno..!!” Titenono le” (kamu dibilangi orang tua, nggak percaya, Tunggu
akibatnya..!!).
Kehilangan
Ruh Syahadat
Dalam
kalimat Laa ilaha illalloh,ada perkara-perkara yang harus ditiadakan. Padanya
juga ada perkara-perkara yang harus ditetapkan sebagai syarat kelengkapan
syahadat.
Ada
beberapa penetapan terhadap Alloh yang harus harus ditanamkan kuart-kuat dalam
bangunan akidah kita agar kokoh tak tergoyahkan. Sehingga tidak lagi tumbuh
penyakit syirik. Agar tidak ada lagi keyakinan bahwa masih ada dzat selain
Alloh yang layak untuk dituju, dicintai, ditakuti, dan diagungkan
aturan-aturannya. Kebanyakan syahadat diucapkan hanya asbun (asal bunyi) saja.
Akhirnya hilanglah ruh syahadat dari kebanyakan muslim.
Semestinya
seseorang yang bersyahadat harus menetapkan beberapa perkara terhadap Alloh,
agar syahadat itu memiliki nilai, daya penyemangat, dan kekuatan untuk
menegakkan Islam. Termasuk memilki kekuatan untuk menolak keyakinan-keyakinan
batil. Ada empat perkara adalah :
1.
Al Qosdu wa An-niyyah (tujuan dan niat)
Maksudnya,
dalam menjalani seluruh aktifitas kehidupan ini yang harus dijadikan sebagai
tolok ukur amal adalah karena Alloh. Dalam melakukan setiap kegiatan harus
selalu diniatkan untuk mencari ridlo Alloh. Allo ta’ala berfirman
:”Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Alloh Robb
semesta alam.” (Al An’am:162)
Alloh
juga berfirman:”Dan diantara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena
mencari keridloan Alloh; dan Alloh Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya”.(Al
Baqoroh:207)
Jika
hal ini telah bisa dilakukan, maka seseorang tidak akan sembarangan dalam
berucap, berbuat, dll. Ia akan selalu menyesuaikan apa yang dilakukan dengan
kehendak Alloh semata. Jika Alloh melarang, maka dengan suka rela ia akan
menjauhinya. Sebaliknya jika Alloh memerintah, maka dengan senang hati ia akan
mengerjakannya. Orang semacam ini telah memiliki tujuan dan niat yang benar.
Dengan keduanya seseorang tidak akan terjebak pada sikap riya'(beramal ingin
dilihat), sum’ah(beramal ingin didengar) dan ujub(sikap pamer). Semua itu
adalah kesyirikan.
2.
Al mahabbah (Kecintaan)
Maksudnya
kecintaan ini kepada Alloh harus melebihi kecintaan kita kepada yang selainnya.
Bahkan menyamakan cinta kita kepada Alloh dengan yang selain Alloh pun
dilarang. Alloh berfirma:”Dan orang-orang beriman amat cinta kepada Alloh”(Al
Baqoroh:165)
Dalam
surat At-Taubah Alloh berfirman:”Katakanlah: Jika bapak-bapak, anak-anak,
saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu
usahakan, perniagaan yang kamu khawatir kerugiannya, dan rumah-rumah tempat
tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Alloh dan Rasul-Nya
dan (dari) berjihad dijalan-Nya, maka tunggulah sampai Alloh mendatangkan
keputusan-Nya”. “Dan Alloh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
fasik.”(At-Taubah:24)
Bukti
cinta itu harus dilakukan dengan kerelaan berkorban dan kesiapan untuk
menyesuaikan diri terhadap apa yang dikehendaki Alloh. Bukan justru membuat
aturan-aturan sendiri yang tidak ada tuntunannya dari Alloh dan Rasul-Nya.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata:”Tidak ada kesenangan dan kenikmatan yang sempurna
bagi hati kecualidalam kecintaan kepada Alloh dan bertaqorrub kepada-Nya dengan
mengerjakan apa-apa yang dicintaiNya. Kecintaan tak akan terjadi kecuali dengan
berpaling dari kecintaan kepada selain-Nya. Inilah hakikat Laa ilaha illalloh.
Inilah jalan Ibrahim a.s. dan semua nabi serta Rasul”.
3.
Khouf dan Roja’ (rasa takut dan harap)
Maksudnya
seluruh harapan terkait dengan kehidupan didunia maupun akhirat kita, hanya
boleh menggantungkan harapannya kepada Alloh. Nasib baik dan buruk diserahkan
kepada Alloh, bukan kepada weton, bulan suro, dll. Tidak boleh pula ada
perasaan takut kepada yang selainAlloh. Karena pada hakikatnya segala sesuatu
yang terjadi pasti atas sepengetahuan Alloh. Manusia tidak akan didzolimi
sedikitpun. Jika terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan bagi manusia tidak lain
adalah karena ulah manusia itu sendiri. Allo berfirman:”Dan jika Alloh
menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya
kecuali Dia. Dan jika Alloh menghendaki kebaikan bagimu, maka tak ada yang bisa
menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang
dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah yang Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.”(Yunus:107)
4.
Taqwa
Taqwa
adalah rasa takut terhadap kemarahan Alloh dan siksa-Nya. Rasa takut ia
buktikan dengan cara meninggalkan kesyirikan dan maksiat, memurnikan ibadah
kepada Alloh, mengikuti perintah-Nya seperti yang sudah disyariatkan-Nya.
Ibnu
Mas’ud menjelaskan pengertian taqwa:”Hendaklah kamu berbuat dengan taat kepada
Alloh, berada diatas cahaya Alloh, mengharapkan cahaya Alloh, meninggalkan
kedurhakaan kepada Alloh berdasarkan cahaya dari-Nya dan takut kepada
siksa-Nya.”
Ali
bin Abi Tholib berkata:”Taqwa yaitu takut kepada dzat yang Maha Tinggi(Alloh),
beramal dengan yang diturunkan(AlQuran), bersyukur jika mendapat nikmat yang
banyak, dan sabar ketika mendapat yang sedikit, dan selalu bersiap-siap untuk
menghadapi hari yang sangat panjang(Hari Kiamat).”
Karena
itu dalam banyak ayat Alloh menyebutkan agar orang-orang yang beriman untuk
bertaqwa dengan sebenar-benarnya taqwa kepada Alloh. Hal itu karena sangat
urgennya taqwa bagi orang yang beriman. Jika orang yang beriman mampu
menetapkan empat perkara itu kepada Alloh saja, maka ia tidak akan kehilangan
ruh syahadat. Ia akan tampil sebagai sosok yang tangguh dan tidak mudah
digoyahkan oleh keyakinan yang menyesatkan.
(Baitul
Maal Hidayatullah–Lembar Tausiyah–;Edisi:102;Thn.1428 H/2007 M)
No comments:
Post a Comment