Chaer (2003:30) menyebutkan bahwa bahasa
adalah alat verbal untuk komunikasi. Sebelumnya (1994), ia menegaskan bahwa
bahasa sebagai “suatu lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang digunakan oleh
sekelompok anggota masyarakat untuk berinteraksi dan mengidentifikasi diri”.
Chaer mengemukakan definisi bahasa itu berdasarkan pandangan Barber (1964:21),
Wardhaugh (1997:3), Trager (1949:18), de Saussure (1996:16), dan Bolinger
(1975:15), yang kemudian, Badudu (1989:3) dan Keraf (1984:16) juga sepakat
bahwa bahasa adalah alat komunikasi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
edisi III (2005:88) disebutkan bahwa:
- bahasa
merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota
satu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi
diri;
- bahasa
merupakan percapakan (perkataan) yang baik.
Pendapat lainnya dikemukakan oleh Brown dan
Yule (1983: 1) yang menyatakan bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi. Lebih
dari itu, kedua pakar linguistik ini menyebutkan dalam penggunaannya bahasa (language
in use) merupakan bagian dari pesan dalam komunikasi. Dalam bahasa Brown
dan Yule, hal ini disebut dengan istilah ‘transaksional’ dan ‘interpersonal’.
Artinya, ada kebiasaan dan kebudayaan dalam menggunakan bahasa sebagai
media/alat berkomunikasi.
Budaya adalah pikiran, akal budi, yang di
dalamnya juga termasuk adat istiadat (KBBI, 2005:169). Dengan demikian, budaya
dapat diartikan sebagai sesuatu yang dihasilkan dari pikiran atau pemikiran.
Maka tatkala ada ahli menyebutkan bahwa bahasa dan pikiran memiliki hubungan
timbal-balik dapat dipahami bahwa pikiran di sini dimaksudkan sebagai sebuah
perwujudan kebudayaan.
Setelah para ahli sepakat menyataka bahwa
bahasa adalah “alat” dalam berkomunikasi, sebagai alat tentunya ada yang
menggunakan alat tersebut sehingga ia dapat dimanfaatkan (sebagai komunikasi).
Dalam hal ini pengguna atau pemanfaat bahasa adalah manusia (terlepas kajian
ada tidaknya bahasa juga digunakan oleh hewan) yang selanjutnya disebut sebagai
penutur. Orang atau manusia yang mendengar atau yang menjadi lawan pentur
disebut dengan “lawan tutur” atau “pendengar” atau “lawan bicara”. Dalam
interaksi antara penutur dan lawan tutur inilah timbul beberapa perilaku
berdasarkan pemikiran masing-masing sehingga lahirlah kebiasaan atau budaya.
Budaya dan kebiasaan ini akan berbeda tergantung siapa dan di mana bahasa atau
pengguna bahasa itu berada.
Dalam interaksi sosial, kita tidak jarang
menemukan bahwa apa yang kita ucapkan atau kita sampaikan kepada lawan bicara
tidak bisa dipahami dengan baik. Kegagalan memahami pesan ini disebabkan
beberapa faktor, antara lain: beda usia, beda pendidikan, beda pengetahuan, dan
lain-lain. Selain itu, faktor budaya juga berhubungan dengan bahasa. Kata
“Kamu” dan “Kau” misalnya, diucapkan berbeda dalam konteks budaya berbeda.
Sebutan “Bapak” di negara yang menggunakan bahasa pengantarnya adalah bahasa
Inggris tidak cenderung digunakan. Masyarakat penutur bahasa Inggris akan
langsung menggunakan sebutan nama diri/nama orang kepada lawan bicara yang
lebih tua sekalipun. Hal yang wajar bagi masyarakat penutur bahasa Inggris ini
tentu saja tabu jika dipakai oleh penutur bahasa Melayu atau Indonesia. Bahkan,
akan lebih tabu lagi jika dipakai dalam masyarakat Aceh yang terkenal kental
adat istiadatnya dalam menghormati orang lebih tua. Contoh lainnya dalam bahasa
Inggris adalah kata “mati”. Bahasa Indonesia memiliki beberapa kata yang
memiliki makna yang sama dengan maksud kata “mati” misalmampus, meninggal
dunia, punah, mangkat, wafat, tewas, lenyap, dsb., sedangkan dalam
bahasa Inggris hanya ada dua kata saja, yaitu die danpass
away.
Pemilihan kata-kata yang sesuai untuk
kepentingan interaksi sosial sangat tergantuk pada budaya tempat bahasa itu
digunakan. Ini sejalan dengan apa yang dikemukan oleh Sumarjan & Partana
(2002: 20) bahwa bahasa sering dianggap sebagai produk sosial atau produk
budaya, bahkan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan itu.
Sebagai produk sosial atau budaya tertentu, bahasa merupakan wadah aspirasi
sosial, kegiatan dan perilaku masyarakat, wadah penyingkapan budaya termasuk
teknologi yang diciptakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu. Bahasa bisa
dianggap sebagai cermin zamannya. Artinya, bahasa itu dalam suatu masa tertentu
mewadahi apa yang terjadi dalam masyarakat, tergantung kultur daerah yang
bersangkutan.
Bahasa sebagai hasil budaya atau kultur
mengandung nilai-nilai masyarakat penuturnya. Dalam bahasa Bali misalnya,
terdapat ungkapan berbunyi Da ngaden awak bisa ‘jangan
menganggap diri ini mampu’ mengandung nilai ajaran agar orang jangan merasa
mampu; yang kira-kira senada dengan ungkapan dalam bahasa Jawa, rumongso
biso, nanginging ora biso rumongso ‘merasa mampu, tetapi tidak mampu
merasakan apa yang dirasakan orang lain’. Dalam bahasa Aceh pun ada ungkapan ubiet
takalon geuhön tatijik ‘kecil kita lihat, (tapi) berat dijinjing.
Bahasa-bahasa (ungkapan) tersebut memiliki ciri khas budaya masing-masing
penuturnya yang tak pula terlepas dari konteks.
Penelitian Dede Oetomo pada tahun 1987
(Sumarsono dan Partana, 2002:336) menyebutkan bahwa bahasa juga dapat mempengaruhi
kelompok. Anggapan ini berdasarkan pengamatannya terhadap etnik Cina di
Pasuruan dengan melihat tutur masyarakat Cina di sana sehari-hari. Ia
berkesimpulan bahwa masyarakat Cina dapat dikelompokkan menjadiCina Totok dan Cina
Pernakan. Ini menunjukkan bahwa bahasa itu dapat mencerminkan identitas
kelompok.
Bahasa yang tidak dapat terlepas dari budaya
juga dibuktikan oleh Blom dan Gumperz (Sumarsono dan Partana, 2002:338).
Berdasarkan penelitiannya pada tahun 1972 terhadap sebuah guyup di Norwegia
yang menggunakan dialek lokal dan ragam regional bokmal (satu
dari dua ragam baku bahasa Norwegia) terbukti bahwa masyarakat pengguna dialek
masing-masing itu mengalami perbedaan penyampaian bahasa sebagai media
komunikasi, terutama saat sampai pada di mana dan tujuan komunikatif apa mereka
menggunakan bahasa tersebut. Ada bentuk-bentuk tertentu yang digunakan para
penutur dari kedua dialek berbeda itu dalam menandai inferensi (simpulan) tak
langsung terhadap komunikasinya, yang hanya dapat dipahami oleh penutur dari
dialek tersebut.
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete