BAB
I
PENDAHULUAN
Latar
belakang
Sebagai makhluk sosial, manusia
senantiasa saling berhubungan satu sama lain. Untuk itulah peran komunikasi
dibutuhkan. Dalam hidup bermasyarakat, orang yang tidak pernah berkomunikasi
dengan orang lain niscaya akan terisolasi dari masyarakatnya. Oleh sebab itu,
menurut dokter Everett Kleinjan dari East West Center Hawaii, komunikasi sudah
merupakan bagian kekal dari kehidupan manusia seperti halnya bernapas.
Sepanjang manusia ingin hidup, maka mereka memerlukan komunikasi. Tak bisa
dipungkiri bahwa dunia yang kita tempati telah berkembang menjadi demikian maju
dan menjelma menjadi apa yang kemudian dikenal sebagai “global
Village” (desa dunia). Salah satu implikasinya adalah makin
meningkatnya kontak-kontak komunikasi dan hubungan antar berbagai bangsa dan negara untuk mencari dan memperoleh informasi.
Namun dalam melakukan komunikasi tidak setiap orang
terampil melakukannya dengan efektif. Hal ini terlebih lagi bila orang yang
terlibat dalam komunikasi itu berbeda budaya, kesalahan dalam memahami pesan,
perilaku atau peristiwa komunikasi tidak bisa dihindari. (Khotimah, 2000:47).
Kesalahan ini dapat smenyebabkan terjadinya suasana yang tidak diharapkan
bahkan dapat menimbul pertikaian yang menjurus munculnya konflik sosial
.Budaya yang dimiliki seseorang sangat menentukan bagaimana
cara kita berkomunikasi, artinya cara seseorang dalam berkomunikasi dengan
orang lain apakah dengan orang yang sama budaya maupun dengan orang yang
berbeda budaya, karakter budaya yang sudah tertanam sejak kecil sulit untuk
dihilangkan, karena budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki
bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi
(Tubbs-Sylvia Moss, 1996:237). Dengan demikian konstruksi budaya yang dimiliki
oleh seseorang itu, diperoleh sejak masih bayi sampai ke liang lahat, dan ini
sangat mempengaruhi cara berpikir, berperilaku orang yang bersangkutan dalam
berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang yang berbeda budaya. Bahkan
benturan persepsi antar budaya sering kita alami sehari-hari, dan bilamana
akibatnya fatal kita cenderung menganggap orang yang berbeda budaya tersebut
salah, aneh tidak mengerti maksud kita. Hal ini terjadi karena, kita cenderung
memandang perilaku orang lain dalam konteks latar belakang kita sendiri dan
karena bersifat subyektif.
Sejak akhir tahun 60-an sampai
sekarang, dunia seakan-akan semakin menyempit, karena orang-orang bertambah
mudah untuk pergi ke tempat-tempat yang semula asing baginya. Di sana ia bertemu, bergaul dan
bekerja sama dengan orang-orang yang mungkin berbeda dalam hal cara berkomunikasi,
berpikir dan kebiasaanya. Perkembangan alat-alat perhubungan dan juga sarana
komunikasi, menjadi pemicu makin meningkatnya hubungan-hubungan antarbudaya
sehingga waktu, jarak dan ruang makin tak berarti.
Rumusan
masalah
1. Apa
itu komunikasi antar budaya prinsip-prinsip komunikasi antar budaya serta
saluran komunikasi antar budaya?
2. Bagaimana
fungsi komunikasi antar budaya?
3. Apakah
budaya seseorang bisa tercermin dari cara mereka berkomunikasi?
Tujuan
1. Untuk
mengetahui apa itu komunikasi antar budaya dan bagaimana prinsip-prinsip
komunikasi antar budaya serta saluran komunikasi antar budaya.
2. Untuk
mengetahui apa fungsi komunikasi antar budaya.
3. Untuk
mengetahui Apakah budaya seseorang bisa tercermin dari cara mereka
berkomunikasi?
BAB
II
LANDASAN
TEORI
Gundykunst (1983) mengemukakan bahwa
terdapat lima pendekatan dalam ilmu komunikasi yang diasumsikan dapat menerangkan
komunikasi lintas (antar) budaya. Kelima pendekatan tersebut adalah :
1.
Teori
Komunikasi berdasarkan analisis kebudayaan implisit dalam kebudayaan
immaterial, kebudayaan yang mbentuknya tidak nampak sebagai benda namun dia
“tercantum” ataum “tersirat” dalam nilai dan norma budaya suatu masyarakat,
misalnya bahasa. Pendekatan kebudayaan implisit mengandung beberapa asumsi
yaitu:
a)
Kebudayaan
mempengaruhi skema kognitif
b)
Kebudayaan
mempengaruhi organisasi tujuan dan strategi tindakan
c)
Kebudayaan
mempengaruhi pengorganisasian skema interaksi; dan
d)
Kebudayaan
mempengaruhi proses komunikasi.
2.
Teori
Analisis Kaidah Peran
Dari
berbagai penelitian yang dilakukan maka diketahui bahwa telah terjadi beragam
variasi penerapan prinsip-prinsip teori “kaidah peran”. Beberapa isu yang
menonjol misalnya:
a)
Apa
saja sifat dasar yang dimiliki suatu masyarakat?
b)
Apa
yang dimaksudkan dengan kaidah peran?
c)
Apa
hubungan antara aktor dan kaidah peran? Apakah setiap kaidah peran mampu
menerangkan atau mengakibatkan perilaku tertentu?
3.
Teori
analisis Interaksi antar budaya
Ada
beberapa pendektan ilmu komunikasi yang sering digunakan untuk menerangkan interaksi
antar budaya, yakni:
a)
Pendekatan
jaringan metateoritikal, yaitu studi tentang bagaimana derajat hubungan antar
pribadi
b)
Teori
Pertukaran. Inti teori ini mengatakan bahwa hubungan antarpribadi bisa
diteruskan dan dihentikan. Makin besar keuntungan yang diperoleh dari hubungan
antarpribadi maka makin besar peluang hubungan tersebut diteruskan. Sebaliknya
makin kecil keuntungan yang diperoleh, maka makin kecil peluang hubungan
tersebut diteruskan. Wood (1982) dalam Liliweri (1994) mengidentifikasi 12
karakteristik pendekatan pertukaran tersebut:
I.
Prinsip
individual
II.
Komunikasi
Coba-coba
III.
Komunikasi
eksplorasi
IV.
Komunikasi
euphoria
V.
Komunikasi
yang memperbaiki
komunikasi pertalian,
VI.
Komunikasi
sebagai pengemudi
VII.
komunikasi
yang membedakan
VIII.
Komunikasi
yang disintegratif
IX.
Komunikasi
yang macet
X.
Pengakhiran
komunikasi
XI.
Individualis.
XI.
4.
Teori
pengurangan tingkat kepastian Berger (1982) menyatakan bahwa salah satu dari
fungsi utama komunikasi adalah fungsi informasi yaitu untuk mengurangi tingkat
ketidakpastian komunikator dan komunikan. Setiap individu memiliki keinginan
yang kuatuntuk memperoleh informasi tertentu tentang pihak lain. Berger merekomendasikan
strategi pencarian informasi sebagai berikut :
a)
Mengamati
pihak lain secara pasif
b)
Menyelidiki
atau menelusuri pihak lain
c)
menanyakan
informasi melalui pihak ketiga
d)
penanganan
lingkungan kehidupan pihak lain
e)
Interogasi
f)
Membuka
diri
BAB
III
PEMBAHASAN
1.
Apa
itu komunikasi antar budaya prinsip-prinsip komunikasi antar budaya serta
saluran komunikasi antar budaya
Ø
komunikasi
antar budaya
Komunikasi
antar budaya adalah komunikasi yang terjadi di antara orang- orang yang
memiliki kebudayaan yang berbeda (bisa beda ras, etnik, atau
sosioekonomi, atau gabungan dari semua perbedaan ini). Kebudayaan adalah
cara hidup yang berkembang dan dianut oleh sekelompok orang serta
berlangsung dari generasi ke generasi (Tubbs, Moss:1996). Komunikasi
antar budaya memiliki akarnya dalam bahasa
(khususnya sosiolinguistik),sosiologi, antropologi budaya, dan
psikologi. Dari keempat disiplin ilmu tersebut, psikologi menjadi
disiplin acuan utama komunikasi lintas budaya, khususnya psikologi lintas
budaya. Pertumbuhan komunikasi antar budaya dalam dunia bisnis
memiliki tempat yang utama, terutama perusahaan – perusahaan yang melakukan
ekspansi pasar ke luar negaranya notabene negara – negara yang
ditujunya memiliki aneka ragam budaya.
Selain
itu, makin banyak orang yang bepergian ke luar negeri dengan beragam
kepentingan mulai dari melakukan perjalanan bisnis, liburan, mengikuti
pendidikan lanjutan, baik yang sifatnya sementara maupun dengan tujuan
untuk menetap selamanya. Satelit komunikasi telah membawa dunia
menjadi semakin dekat, kita dapat menyaksikan beragam peristiwa yang
terjadi dalam belahan dunia,baik melalui layar televisi, surat kabar,
majalah, dan media on line. Melalui teknologi komunikasi dan
informasi, jarak geografis bukan halangan lagi kita untuk melihat ragam
peristiwa yang terjadi di belahan dunia. Berbicara mengenai komunikasi
antarbudaya, maka kita harus melihat dulu bebrapa defenisi yang diikutif
oleh Ilya Sunarwinadi ( 1993: 7-8 ) berdasarkan pendapat para ahli antara
lain :
a) Sitaram
( 1970 ) : Seni untuk memahami dan saling pengertian
antara khalayak yang berbeda kebudayaan (intercultural communication the art of
understanding and being understood by audience of mother culture )
b) Samovar
dan Porter ( 1972 ) : Komunikasi antarbudaya terjadi manakala
bagaian yang terlibat dalam kegiatan komunikasi tersebut membawa
serta latar belakang budaya pengalaman yang berbeda yang mencerminkan
nilai yang dianut oleh kelompoknya berupa pengalaman, pengetahuan, dan
nilai (intracultural communication obtains whenever the parties to
acommunications act to bring with them different experiential backgrounds
that reflect along- standing deposit of group experience,
knowledge, values).
c) Rich (
1974 ) : Komunikasi antarbudaya terjadi ketika orang-orang yang berbeda
kebudayaan (communication is intercultural when accuring
between peoples of different cultures).
d) Young
Yun Kim ( 1984 ) : Komunikasi antarbudaya adalah suatu peristiwa
yang merujuk dimana orang-orang yang terlibat didalamnya baik secara langsung
maupun tidak langsung memiliki latar belakang budaya yang berbeda
(intercultural communication…refers the communication phenomenon in
which participant, different in cultural background, come into direct or
indirect contact which one another).
Seluruh
defenisi diatas dengan jelas menerangkan bahwa ada penekanan pada
perbedaan kebudayaan sebagai faktor yang menetukan dalam berlangsungnya
proses komunikasi antarbudaya. Komunikasi antarbudaya memang mengakui dan
mengurusi permasalahan mengenai persamaan dan perbedaan dalam
karakteristik kebudayaan antar pelaku–pelaku komunikasi, tetapi titik
perhatian utamanya tetep terhadap proses komunikasi individu-individu
atau kelompok-kelompok yang berbeda kebudayaan dan mencoba untuk melakukan
interaksi. Komunikasi dan budaya mempunyai hubungan timbal balik,
seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku
komunikasi, dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan, memelihara,
mengembangkan atau mewariskan budaya, seperti yang dikatakan Edward T.
Hall, bahwa “komunikasi adalah budaya” dan budaya adalah komunikasi”. Pada
suatu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan
norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal, dari suatu
masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal dari suatu
generasi ke generasi berikutnya. Pada sisi lain budaya menetapkan
norma-norma (komunikasi) yang dianggap sesuai untuk kelompok tertentu.
Ø
prinsip-prinsip
komunikasi antar budaya
a)
Relativitas Bahasa
Gagasan umum bahwa bahasa mempengaruhi pemikiran dan
perilaku paling banyak disuarakan oleh para antropologis linguistik. Pada akhir
tahun 1920-an dan disepanjang tahun 1930-an, dirumuskan bahwa karakteristik
bahasa mempengaruhi proses kognitif kita. Dan karena bahasa-bahasa di dunia
sangat berbeda-beda dalam hal karakteristik semantik dan strukturnya, tampaknya
masuk akal untuk mengatakan bahwa orang yang menggunakan bahasa yang berbeda
juga akan berbeda dalam cara mereka memandang dan berpikir tentang dunia.
b)
Bahasa sebagai cermin
budaya
Bahasa mencerminkan budaya. Makin besar perbedaan
budaya, makin perbedaan komunikasi baik dalam bahasa maupun dalam
isyarat-isyarat nonverbal. Makin besar perbedaan antara budaya (dan, karenanya,
makin besar perbedaan komunikasi), makin sulit komunikasi dilakukan. Kesulitan
ini dapat mengakibatkan, misalnya, lebih banyak kesalahankomunikasi, lebih
banyak kesalahan kalimat, lebih besar kemungkinan salah paham, makin banyak
salah persepsi, dan makin banyak potong kompas (bypassing).
c)
Mengurangi
Ketidakpastian
Makin besar perbedaan antarbudaya, makin besarlah
ketidak-pastian dam ambiguitas dalam komunikasi. Banyak dari
komunikasi kita berusaha mengurangi ketidak-pastian ini sehingga kita dapat
lebih baik menguraikan, memprediksi, dan menjelaskan perilaku orang lain.
Karena letidak-pasrtian dan ambiguitas yang lebih besar ini, diperlukan lebih
banyak waktu dan upaya untuk mengurangi ketidak-pastian dan untuk berkomunikasi
secara lebih bermakna.
d)
kesadaran diri dan
perbedaan antar budaya
Makin besar perbedaan
antarbudaya, makin besar kesadaran diri (mindfulness) para partisipan
selama komunikasi. Ini mempunyai konsekuensi positif dan negatif. Positifnya,
kesadaran diri ini barangkali membuat kita lebih waspada. ini mencegah kita
mengatakan hal-hal yang mungkin terasa tidak peka atau tidak patut. Negatifnya,
ini membuat kita terlalu berhati-hati, tidak spontan, dan kurang percaya diri.
e)
Interaksi awal dan perbedaan antar budaya
Perbedaan antarbudaya terutama penting dalam interaksi
awal dan secara berangsur berkurang tingkat kepentingannya ketika hubungan
menjadi lebih akrab. Walaupun selalu terdapat kemungkinan salah persepsi
dansalah menilai orang lain, kemungkinan ini khususnya besar dalam situasi
komunikasi antarbudaya.
f)
Memaksimalkan hasil
interaksi
Dalam komunikasi antarbudaya terdapat
tindakan-tindakan yang berusaha memaksimalkan hasil interaksi. Tiga konsekuensi
mengisyaratkan implikasi yang penting bagi komunikasi antarbudaya. Pertama,
orang akan berintraksi dengan orang lain yang mereka perkirakan akan memberikan
hasil positif. Kedua, bila mendapatkan hasil yang positif, maka pelaku
komunikasi terus melibatkan diri dan meningkatkan komunikasi. Bila memperoleh
hasil negatif, maka pelaku mulai menarik diri dan mengurangi komunikasi.
Ketiga, pelaku membuat prediksi tentang perilaku mana yang akan menghasilkan
hasil positif. Pelaku akan mencoba memprediksi hasil dari, misalnya, pilihan
topik, posisi yang diambil, perilaku nonverbal yang ditunjukkan, dan
sebagainya. Pelaku komunikasi kemudian melakukan apa yang menurutnya akan
memberikan hasil positif dan berusaha tidak melakkan apa yang menurutnya akan
memberikan hasil negatif.
Ø Saluran komunikasi antar budaya
a)
Antarpribadi/ interpersonal/ person-person yaitu orang
dengan orang secara langsung
b)
Media massa yaitu melalui radio, surat kabar, TV,
Film, Majalah
Bersama-sama dengan
dua dimensi sebelumnya, saluran komunikasi juga mempengaruhi proses dan
hasil keseluruhan dari KAB. Misalnya : orang Indonesia menonton melalui
TV keadaan kehidupan di Afrika akan memilih pengalaman yang berbeda dengan
keadaan apabila ia sendiri berada disana dan melihat dengan mata kepala
sendiri. Umumnya pengalaman komunikasi antar pribadi dianggap
memberikan dampak yang lebih mendalam. Komunikasi melalui media kurang
dalam hal feedback langsung antar partisipan dan bersifat satu
arah. Sebaliknya, saluran antarpribadi tidak dapat menyaingi kekuatan
saluran media dalam mencapai jumlah besar manusia sekaligus melalui
batas-batas kebudayaan. Tetapi dalam keduanya, proses-proses komunikasi
bersifat antarbudaya bila partisipan-partisipannya berbeda latar belakang
budayanya. Ketiga dimensi diatas dapat digunakan secara terpisah ataupun
bersamaan, dalam mengkalsifikasikan fenomena KAB khusus. Misalnya : kita
dapat menggambarkan komunikasi antara Presiden Indonesia dengan Dubes baru
dari Nigeria sebagai komunikasi internasaional, antarpribadi dalam
konteks politik, komunikasi antara pengecara AS dari keturunan Cina
dengan kliennya orang AS keturunan Puerto Rico sebagai komunikasi antar
etnik, antarpribadi dan massa dalam konteks akulturasi migran. Maka
apapun tingkat keanggotaan kelompok konteks sosial dan saluran
komunikasi, komunikasi dianggap antar budaya apabila para komunikator
yang menjalin kontak dan interaksi mempunyai latar belakang pengalaman
berbeda (Lusiana, 2002:5).
2.
Bagaimana
fungsi komunikasi antar budaya
a)
Fungsi Pribadi
Fungsi pribadi
komunikasi antar budaya adalah fungsi-fungsi komunikasi antar budaya yang
ditunjukkan melalui perilaku komunikasi yang bersumber dari seorang
individu.
• Menyatakan
Identitas Sosial
Dalam proses
komunikasi antarbudaya terdapat beberapa perilaku komunikasi individu
yang digunakan untuk menyatakan identitas sosial. Perilaku
itu dinyatakan melalui tindakan berbahasa baik secara
verbal dan nonverbal. Dari perilaku berbahasa itulah dapat
diketahui identitas diri maupun sosial, misalnya dapat diketahui
asal-usul suku bangsa, agama, maupun tingkat pendidikan
seseorang.
• Menyatakan
intergrasi social
Inti konsep integrasi
sosial adalah menerima kesatuan dan persatuan antarpribadi,
antarkelompok namun tetap mengakui perbedaan-perbedaan yang
dimiliki oleh setiap unsur. Perlu dipahami bahwa salah satu tujuan
komunikasi adalah memberikan makna yang sama atas pesan yang dibagi
antara komunikator dan komunikan. Dalam kasus komunikasi antarbudaya yang
melibatkan perbedaan budaya antar komunikator dengan komunikan, maka
integrasi sosial merupakan tujuan utama komunikasi.
• Menambah
pengetahuan
Seringkali komunikasi
antarbudaya menambah pengetahuan bersama, saling mempelajari kebudayaan
masing-masing.
b.
Fungsi Sosial
• Pengawasan
Fungsi sosial yang
pertama adalah pengawasan. Praktek komunikasi antarbudaya di antara
komunikator dan komunikan yang berbada kebudayaan berfungsi saling
mengawasi. Dalam setiap proses komunikasi antarbudaya fungsi ini
bermanfaat untuk menginformasikan "perkembangan" tentang
lingkungan. Fungsi ini lebih banyak dilakukan oleh media
massa yang menyebarlusakan secara rutin perkembangan peristiwa yang
terjadi disekitar kita meskipun peristiwa itu terjadi dalam sebuah
konteks kebudayaan yang berbeda.
• Menjembatani
Dalam proses
komunikasi antarbudaya, maka fungsi komunikasi yang dilakukan antara dua
orang yang berbeda budaya itu merupakan jembatan atas perbedaan di
antara mereka. Fungsi menjembatani itu dapat terkontrol melalui
pesan-pesan yang mereka pertukarkan, keduanya saling menjelaskan
perbedaan tafsir atas sebuah pesan sehingga menghasilkan makna yang sama.
Fungsi ini dijalankan pula oleh berbagai konteks komunikasi termasuk
komunikasi massa.
• Sosialisasi
Nilai
Fungsi
sosialisasi merupakan fungsi untuk mengajarkan dan memperkenalkan
nilai-nilai kebudayaan suatu masyarakat kepada masyarakat lain.
• Menghibur
Fungsi menghibur juga
sering tampil dalam proses komunikasi antarbudaya. Misalnya
menonton tarian dari kebudayaan lain. Hiburan tersebut
termasuk dalam kategori hiburan antarbudaya.
3. Apakah budaya seseorang bisa tercermin dari
cara mereka berkomunikasi
Komunikasi
antar budaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda budaya (baik
dalam arti ras, etnik, atau perbedaan-perbedaan sosioekonomi)(Mulyana, 2001:v).
Sedangkan menurut Liliweri (2003:9) komunikasi antarbudaya adalah proses
pengalihan pesan yang dilakukan seseorang melalui saluran tertentu kepada orang
lain yang keduanya berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dan
menghasilkan efek tertentu. Sementara itu menurut Dodd (1991:5) bahwa
komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi
yang mewakili pribadi, antarpribadi, dan kelompok, dengan tekanan pada
perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para
peserta.
Berdasar pendapat yang dikemukakan oleh Mulyana dan Liliweri tersebut memberi pemahaman bahwa komunikasi antar budaya terjadi antara orang-orang yang berbeda budaya, ras, bahasa, agama, tingkat pendidikan, status sosial, atau bahkan jenis kelamin, serta berkaitan erat dengan komunikasi insani (human communication), sebagaimana yang diungkapkan oleh Somavar dan Porter (1991:10), yang menyatakan bahwa “ to understands intercultural interaction one must first understand human communication”
Dalam hal komunikasi antar budaya Fisher (dalam Mulyana dan Rakhmad, 2001:45) juga mengemukakan bahwa selain memandang kedudukan komunikator dan komunikan maka terhadap faktor lain yaitu pesan. Pesan ditujukan dalam perilaku komunikasi antar budaya bukan sekedar pesan karena pengaruh folkways pribadi tetapi pengaruh folkways masyarakatnya. Pesan itu sama dengan simbol budaya masyarakat yang melingkupi suatu pribadi tertentu ketika ia berkomunikasi antarbudaya. Dengan demikian sikap, perilaku, tindakan seseorang dalam komunikasi antar budaya bukan merupakan sikap, perilaku, tindakan pribadi melainkan simbol dari masyarakatnya. Pesan dalam komunikasi antar budaya merupakan simbol-simbol yang di dalamnya terkandung karakteristik komunikator yang terdengar atau terlihat dalam pengalaman proses komunikasi antar pribadi di antara mereka yang berbeda etniknya.
Dalam
konunikasi antarbudaya menurut Liliweri (2003:12) semakin besar derajat
perbedaan antarbudaya maka semakin besar pula kehilangan peluang untuk
merumuskan suatu tingkat kepastian sebuah komunikasi yang efektif, jadi harus
ada jaminan terhadap akurasi interpretasi pesan-pesan verbal maupun nonverbal.
Hal ini disebabkan ketika kita berkomunikasi dengan seseorang dari kebudayaan
yang berbeda, maka kita memiliki pula perbedaan dalam sejumlah hal, misalnya
derajat pengetahuan, derajat kesulitan dalam peramalan, derajat ambiguitas,
kebingungan, suasana misterius yang tak dapat dijelaskan, tidak bermanfaat
bahkan tidak bersahabat.
Karena itulah menurut Schraman (dalam Mulyana dan Rakhmat, 2001:6-7), untuk mencapai komunikasi antarbudaya yang benar-benar efektif ada beberapa hal yang harus kita perhatikan, yaitu:
Karena itulah menurut Schraman (dalam Mulyana dan Rakhmat, 2001:6-7), untuk mencapai komunikasi antarbudaya yang benar-benar efektif ada beberapa hal yang harus kita perhatikan, yaitu:
(1)
Menghormati anggota budaya lain sebagai
manusia;
(2)
Menghormati budaya lain sebagaimana apa
adanya dan bukan sebagaimana yang dikehendaki
(3)
menghormati hak anggota budaya lain untuk
bertindak berbeda dari cara bertindak; dan
(4)
komunikator lintas budaya yang kompeten harus
belajar menyenangi hidup bersama orang dari budaya lain.
Selanjutnya
DeVito (1997:480-481), menggunakan istilah komunikasi antarbudaya secara luas
untuk mencakup semua bentuk komunikasi di antara orang-orang yang berasal dari
kelompok yang berbeda selain juga secara sempit yang mencakup bidang komunikasi
antar kultur yang berbeda, sebagai berikut:
(1)
Komunikasi antarbudaya – misalnya, antar
orang Cina dan Portugis, atau antara orang Perancis dan Norwegia
(2)
Komunikasi antarras yang berbeda
(kadang-kadang dinamaka komunikasi antarras), - misalnya, antara orang kulit putih
dangan orang kulit hitam
(3)
Komunikasi antar kelompok etnis yang berbeda
)kadang-kadang dinamakan komunikasi antar etnis) – misalnya, antara orang
Amerika keturunan Italia dengan orang Amerika keturunan Jerman
(4)
Komunikasi antar kelompok agama yang berbeda
– misalnya, antara orang katolik Roma dengan Epsikop, atau antara orang Islam
dan orang Yahudi
(5)
Komunikasi antara bangsa yang berbeda
(kadang-kadang dinamakan komunikasi internasional)- misalnya, antara Amerika
Serikat dan Meksiko, atau antara Perancis dan Italia
(6)
Komunikasi antara subkultur yang berbeda dan
kultur yang dominan-misalnya, antara kaum homeseks dan kaum heteroseks, atau
antara kaum manula dan kaum muda
(7)
Komunikasi antara jenis kelamin yang berbeda
– antara pria dan wanita.
Dari
berbagai uraian itu, dapat memberi pemahaman bahwa orang-orang yang dipengaruhi
kultur dan subkultur yang berbeda akan berkomunikasi secara berbeda. Perbedaan
kultur dan subkultur menjadi sumber untuk memperkaya pengalaman komunikasi dan
bukan sebagai penghambat dalam interaksi. Untuk itu perlu memahami dan
menghargai perbedean-perbedaan tersebut.
Ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam memahami kominikasi antarbudaya, yaitu persepsi, komunikasi verbal, dan komunikasi nonverbal. Ketiga elemen ini merupakan bangunan dasar yang menyebabkan kegagalan, sekaligus keberhasilan komunikasi antar budaya.
1.
Persepsi
Persepsi adalah proses mengungkap arti
objek-objek sosial dan kejadian-kejadian yang kita alami dalam lingkungan kita.
Setiap orang akan memiliki gambaran yang berbeda mengenai realitas di
sekelilingnya. Persepsi sosial tidaklah sesederhana persepsi terhadap
lingkungan fisik. Persepsi sosial, yang muncul dalam komunikasi mengandung
beberapa prinsip penting (Mulyana, 2003:176), yaitu:
a. Persepsi berdasarkan pengalaman
a. Persepsi berdasarkan pengalaman
Persepsi manusia terhadap seseorang, objek,
atau kejadian dan reaksi mereka terhadap hal-hal itu berdasarkan pengalaman/pembelajaran
masa lalu mereka berkaitan dengan orang, objek atau kejadian serupa. Cara
seseorang menilai wanita ideal, suami ideal, pekerjaan, sekolah, perilaku yang
pantas, cara berpakaian yang lazim dan lain sebagainya sangat tergantung pada apa
yang telah di ajarkan oleh budaya dimana orang tersebut berada.
Ilustrasi berikut ini memperjelas prinsip ini. Orang Barat yang terbiasa makan dengan sendok, garpu dan pisau akan menganggap orang Timur yang makan dengan tangan sebagai hal jorok, meskipun alat-alat makan yang mereka gunakan sudah sering digunakan orang lain, semantara orang Timur yang makan yang selalu menggunakan tangannya sendiri yang belum pernah digunakan orang lain. Di Barat umumnya, juga sebagian besar wilayah Indonesia, bersendawa ketika atau setelah makan adalah perilaku yang tidak sopan, bahkan di Swedia seorang tamu yang bersendawa seusai makan dapat membuat nyonya rumah pingsan, sementara di Arab, Cina, Jepang, dan Fiji, juga di Aceh dan Sumatera Barat, bersendawa malah di anjurkan karena hal itu menanamkan penerimaan makanan dan kepuasan makan. Demikian juga dalam berbicara dengan intonasi yang tinggi, bagi orang Jawa dinilai kurang begitu sopan, namun beberapa kultur seperti orang Sulawesi, Sumatera, Kalimantan adalah sebuah kewajaran.
b. Persepsi Bersifat Selektif
Setiap saat seseorang akan diberondongi oleh
jutawan rangsangan inderawi. Untunglah ada atensi pada manusia, sehingga orang
hanya akan menangkap rangsangan-rangsangan yang menarik perhatiannya saja. Ada
dua faktor yang mempengaruhi atensi ini, yaitu
(1)
faktor internal
(2)
faktor eksternal.
ü Faktor
internal antara lain dipengaruhi oleh faktor biologis (lapar, haus dan
sebagainya); faktor fisiologis (tinggi, pendek, gemuk, kurus, sehat, sakit,
lelah, penglihatan atau pendengaran kurang sempurna, cacat tubuh dan
sebagainya); dan faktor-faktor sosial budaya seperti gender, agama, tingkat
pendidikan, pekerjaan, penghasilan, peranan, status sosial, pengalaman masa
lalu, kebiasaan dan bahkan faktor-faktor psikologis seperti kemauan, keinginan,
motivasi, pengharapan dan sebagainya. Semakin besar perbedaan aspek-aspek
tersebut secara antar individu, semakin besar perbedaan persepsi mereka
mengenai realitas.
ü
Faktor eksternal yang mempengaruhi orang dalam melakukan persepsi terhadap suatu obyek, yakni atribut-atribut objek yang dipersepsi seperti gerakan, intensitas, kontras, kebaruan, dan perulangan objek yang dipersepsi. Suatu obyek yang bergerak lebih menarik perhatian dari pada objek yang diam. Misalnya kita lebih menyenangi televisi sebagai gambar bergerak dari pada komik sebagai gambar diam. Demikian juga dengan suatu rangsangan yang intensitasnya menonjol juga akan menarik perhatian, seseorang yang bersuara paling keras, yang tubuhnya paling gemuk, yang kulitnya hitam, atau yang wajahnya paling cntik akan menarik perhatian kita.
Faktor eksternal yang mempengaruhi orang dalam melakukan persepsi terhadap suatu obyek, yakni atribut-atribut objek yang dipersepsi seperti gerakan, intensitas, kontras, kebaruan, dan perulangan objek yang dipersepsi. Suatu obyek yang bergerak lebih menarik perhatian dari pada objek yang diam. Misalnya kita lebih menyenangi televisi sebagai gambar bergerak dari pada komik sebagai gambar diam. Demikian juga dengan suatu rangsangan yang intensitasnya menonjol juga akan menarik perhatian, seseorang yang bersuara paling keras, yang tubuhnya paling gemuk, yang kulitnya hitam, atau yang wajahnya paling cntik akan menarik perhatian kita.
Dalam
pada itu, terhadap orang atau objek yang penampilannya lain dari pada yang lain
(kontras), juga akan menarik perhatian, seperti seorang bule, orang berkulit
hitam di antara orang-orang yang berkulit putih, seorang wanita yang berjilbab,
wanita berbikini di antara wanita-wanita lain yang berpakaian lebih sopan di
pantai, pemuda yang sebelah telinganya beranting di antara teman-temannya yang
tidak berpenampilan demikian. Demikian juga dengan hal kebaruan merupakan suatu
unsur objek yang menimbulkan perhatian, tampak jelas ketika kita melihat
seorang mahsiswa baru yang lebih menarik perhatian dari pada mahasiswa lama
yang sudah dikenal. Pun kita cenderung memperhatikan sesuatu yang baru misalnya
baju baru yang dipakainya, mobil baru yang dibawanya.
Suatu
peristiwa yang selalu berulang-ulang jelas lebih potensial untuk diperhatikan,
sehingga memungkinkan untuk mudah mengingat terhadap objek yang menjadi
perhatian. Seperti iklan-iklan sebuah produk yang ditayangkan secara
berulang-ulang di televisi, akan lebih mendorong untuk membeli barang yang di
iklankan.
c. Persepsi Bersifat Dugaan
c. Persepsi Bersifat Dugaan
Data
yang diperoleh mengenai objek lewat penginderaan tidak pernah lengkap,
seringkali menyebabkan persepsi merupakan loncatan langsung pada kesimpulan.
Proses ini menyebabkan orang menafsirkan suatu objek lebih lengkap. Misalnya
kita melihat sebuah pesawat terbang di angkasa, kita tidak melihat awak pesawat
dan penumpangnya. Namun kita telah berulangkali melihat pesawat terbang di
angkasa yang menunjukkan bahwa setidaknya terdapat awak pesawat yang
menerbangkan pesawat itu. Demikian juga ketika kita melihat bila ada sebuah
kapal laut dari kejauhan, kita langsung membayangkan ada sejumlah orang di
dalamnya, ada sejumlah mobil dan peralatan kapal seperti skoci dan sebagainya.
d. Persepsi Bersifat Evaluatif
Kebanyakan
orang menjalani hari-hari mereka dengan perasaan bahwa apa yang mereka persepsi
adalah nyata. Mereka beranggapan bahwa menerima pesan dan menafsirkannya sebagai
suatu proses yang alamiah. Sehingga derajat tertentu anggapan itu benar, akan
tetapi kadang-kadang alat-alat indra dan persepsi kita menipu kita sehingga
kita juga ragu seberapa dekat persepsi dengan realitas yang sebenarnya. Atau
dengan kata lain bahwa dalam mempersepsi suatu objek tidak akan pernah terjadi
secara objektif, hal ini karena dalam mempersepsi sangat dipengaruhi pengalaman
masa lalu dan kepentingan pribadi.
Persepsi
bersifat pribadi dan subyektif. Menurut Andrea I. Rich (dalam Mulyana, 2003:189)
persepsi pada dasarnya mewakili keadaan fisik dan psikologis undividu alih-alih
menunjukkan karakteristik dan kualitas mutlak objek yang dipersepsi. Misalnya
bila kita pendiam, kita cenderung menilai orang yang periang sebagai orang yang
supel dan mudah bergaul, dan sebaliknya.
e. Persepsi Bersifat Kontekstual
Sutau
rangsangan dari luar harus di organisasikan. Dari semua pengaruh yang ada dalam
persepsi kita, konteks merupakan salah satu pengaruh paling kuat. Konteks yang
melingkupi kita ketika dalam melihat suatu kejadian atau objek sangat
mempengaruhi struktur kognitif, pengharapan dan oleh karenanya juga persepsi
kita. Persepsi besifat kontekstual ini menggunakan prinsip-prinsip
(1)
kontekstual dalam pengertian struktuir objek,
atau kejadian berdasarkan prinsip kemiripan atau kedekatan dan kelengkapan
(2)
kontekstual dalam arti, kita cenderung
mempersepsi suatu rangsangan, atau kejadian misalnya ketika kita mengisi
teka-teki silang (TTS), prinsip ini jelas berlaku.
Menurut
Somavar dan Porter (1991:106); Mulyana (2003:197) bahwa ada enam unsur budaya
yang secara langsung mempengaruhi persepsi kita ketika berkomunikasi dengan
orang dari budaya lain, yaitu:
(1)
kepercayaan (beliefs), nilai (values), dan
sikap (attitudes)
(2)
pandangan dunia (worldview)
(3)
organisasi sosial (social organization)
(4)
tabiat
manusia ( human nature)
(5)
orientasi kegiatan (activity orientation)
(6)
persepsi tentang diri dan orang lain
(perception of self and others).
Kepercayaan adalah anggapan subjektif bahwa
suatu objek atau peristiwa punya ciri atau nilai tertentu, dengan atau tanpa
bukti. Kepercayaan sifatnya tidak terbatas, misalnya Tuhan itu Esa, Adam adalah
manusia pertama di muka bumi, AID adalah penyakit berbahaya atau kemampuan
berbahasa Inggris itu penting untuk meniti karier. Nilai adalah komponen
evaluatif dari kepercayaan yang mencakup kegunaan, kebaikan, estetika, dan
kepuasan. Jadi nilai bersifat normatif, memberitahu suatu anggota budaya
mengenai apa yang baik dan buruk, benar dan salah, siapa yang harus dibela, apa
yang harus diperjuangkan, apa yang mesti kita takuti, dan sebagainya.
Nilai biasanya bersumber dari isu filosofis
yang lebih besar yang merupakan bagian dari lingkungan budaya, karena itu nilai
bersifat stabil dan sulit berubah. Misalnya, berdasarkan pandangan mereka yang
individualis, orang Barat lebih mengagung-agungkan privasi dari pada
orang-orang Timur.
Pandangan dunia adalah orientasi budaya
terhadap Tuhan, kehidupan, kematian, alam semesta, kebenaran, materi
(kekayaan), dan isu-isu filosofis lainnya yang berkaitan dengan kehidupan
(Somavar dan Porter, 1991:84). Pandangan dunia mencakup agama dan ideologi.
Berbagai agama dunia punya konsep ketuhanan dan kenabian yang berbeda.
Ideologi-ideologi berbeda juga punya konsep berbeda mengenai bagaimana hubungan
antara manusia yang satu dengan manusia lainnya. Maka pandangan dunia merupakan
unsur penting yang mempengaruhi persepsi seseorang ketika berkomunikasi dengan
orang lain, khususnya yang berbeda budaya (Mulyana, 2003:202).
Organisasi sosial apakah yang sifatnya formal
ataupun informal, juga mempengaruhi kita dalam mempersepsi dunia dan kehidupan
ini yang pada gilirannya mempengaruhi perilaku kita. Menurut Mulyana (2003:204)
lembaga informal yang mempengaruhi persepsi dan perilaku kita adalah keluarga,
sedangkan lembaga formal adalah pemerintah. Perangkat aturan meskipun tidak
tertulis yang di tetapkan keluarga sangat mempengaruhi kita dalam
berkomunikasi. Demikian juga perangkat aturan yang di keluarkan oleh pemerintah
baik tertulis maupun tidak juga memiliki pengaruh yang sama dalam persepsi dan
perilaku kita. Pemerintah melalui aturan-aturannya, himgga derajat tertentu
menetapkn norma komunikasi warganya baik komunikasi langsung maupun komunikasi
bermedia, termasuk komunikasi massa.
Setiap negara biasanya memiliki suatu sistem komunikasi tertentu, di negara Barat umumnya menganut sistem komunikasi lebertarian yaitu orang-orang berkomunikasi lebih bebas. Negara-negara otoriter media massa masih dikendalikan pemerintah, orang tidak bebas menyiarkan informasi kepada masyarakat luas, bahkan penulisan sejarahpun harus disetujui oleh pemerintah yang sah.
Di samping kedua lembaga tersebut menurut
Mulyana (2003:205) yang juga dapat mempengaruhi persepsi kita adalah lembaga
pendidikan (sekolah, universitas), komunitas agama (dalam islam terdapat Sunni,
Syiah, Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persis dan dalam Kristen terdapat Katolik,
Protestan, Advent, Pantekosta, Saksi Yohava), komunitas atnik (Jawa, batak
Minangkabau, Sunda, Melayu), kelas sosial dan partai politik.
Pandangan kita tentang siapa kita, bagaimana sifat atau watak juga mempengaruhi cara kita mempersepsi lingkungan fisik dan sosial kita. Kaum muslim misalnya, berpandangan bahwa manusia adalah makhluk yang paling mulia dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya seperti malaikat, jin, hewan dan tumbuh-tumbuhan, karena manusia diberkahi oleh akal. Namun kemuliaan itu menurut Mulyana (2003:206) hanya dapat diperoleh bilamana manusia beriman dan beramal saleh (mempergunakan akalnya dengan cara benar), sebaliknya bilamana dalam kegiatannya selalu menurut hawa nafsu, maka mereka adalah makhluk yang paling rendah derajatnya.
Demikian juga dalam memandang manusia, bahwa kaum muslim berpendapat bahwa manusia lahir dalam keadaan suci bersih, sementara golongan Kristen berpendapat bahwa manusia itu mewarisi dosa Adam dan Hawa. Sebagian kelompok lagi punya pendapat yang berebeda-beda tentang manusia, misalnya ada golongan yang berpendapat bahwa manusia pada dasarnya baik, atau pada dasarnya jahat. Dan ada juga yang punyai teori yang berbeda-beda mengenai apa yang membuat manusia memiliki watak tertentu. Pandangan manusia mengenai hal ini akan mempengaruhi persepsi, dari pandangan yang primitif-irasional, ilmiah hingga yang religius.
Orientasi manusia mengenai bagaimana hubungan
manusia dengan alam juga mempengaruhi persepsi dalam memperlakukan alam. Mereka
yang memandang manusia sebagai penguasa alam dan penakluk alam akan
memanfaatkan alam demi kesejahteraan, sedangkan mereka yang percaya bahwa
manusia adalah bagian dari alam atau bersatu dengan alam, akan berusaha
bertindak selaras dengan alam, memanfaatkan alam, namun berupaya memeliharanya
agar tidak rusak atau punah.
Aspek lain yang juga mempengaruhi persepsi kita adalah pandangan kita tentang aktivitas, misalnya dalam budaya-budaya tertentu pandangan terhadap siapa seseorang itu (raja, anak presiden, pejabat, bergelar) lebih penting dari pada apa yang dilakukannya. Sebaliknya ada budaya yang memandang prestasinya lebih penting ketimbang siapa dia, misalnya di Barat.
Aspek lain yang juga mempengaruhi persepsi kita adalah pandangan kita tentang aktivitas, misalnya dalam budaya-budaya tertentu pandangan terhadap siapa seseorang itu (raja, anak presiden, pejabat, bergelar) lebih penting dari pada apa yang dilakukannya. Sebaliknya ada budaya yang memandang prestasinya lebih penting ketimbang siapa dia, misalnya di Barat.
Masyarakat Timur, pada umumnya adalah masyarakat kolektivitas. Dalam budaya kolektivitas, diri (self) tidak bersifat unik atau otonom, melainkan lebur dalam kelompok (keluarga, klan, kelompok kerja, suku bangsa dan sebagainya). Sedangkan dalam budaya individualis (Barat) bersifat otonom. Akan tetapi suatu budaya sebenarnya dapat saja memiliki kecenderungan individualis dan kolektivis, seperti orientasi kegiatan salah satu biasanya lebih menonjol (Mulyana, 2003:208).
Lebih lanjut dikatakan oleh Mulyana (2003) bahwa dalam masyarakat kolektivis, individu terikat oleh lebih sedikit kelompok, namun keterikatan pada kelompok lebih kuat dan lebih lama. Selain itu hubungan antarindividu dalam kelompok bersifat total, sekaligus di lingkungan domestik dan di ruang publik. Konsekwensinya perilaku individu sangat dipengaruhi kelompoknya. Individu tidak dianjurkan untuk menonjol sendiri. Keberhasilan individu adalah keberhasilan kelompok.
Berbeda dengan manusia individualis, orang individualis kurang terikat pada kelompoknya, termasuk keluarga luasnya. Manusia individualis lebih terlibat dalam hubungan horisontal dari pada hubungan vertikal. Mereka lebih membanggakan prestasi dari pada askripsi, seperti jenis kelamin, usia, nama keluarga dan sebagainya (Landis & Brislin, 1988 : 269). Hubungan diantara sesama mereka sendiri tampak lebih dangkal dibandingkan dengan hubungan antara orang-orang kolektivitas, juga kalkulatif. Hubungan akan bertahan lama sejauh menguntungkan mereka secara material (Mulyana, 2003:210).
2. Komunikasi Verbal
Mulyana
(2003:237-238) mengatakan bahwa bahasa sebagai sistem kode verbal, terbentuk
atas seperangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol
tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu komunitas. Andrea L. Rich (dalam
Mulyana, 2003:251) mengatakan bahwa bahasa sendiri terikat oleh budaya.
Karenanya, menurut hipotesis Sapir-Whorf, sering juga disebut Teori Relativitas
Linguistik, sebenarnya setiap bahasa menunjukkan suatu dunia simbolik yang
khas, yang melukiskan realitas pikiran, pengalaman bathin, dan kebutuhan
pemakainya. Jadi bahasa yang berbeda sebenarnya mempengaruhi pemakainya untuk
berpikir, melihat lingkungan, dan alam semesta di sekitarnya dengan cara yang
berbeda, dan karenanya berperilaku secara berbeda.
Sejalan
dengan pendapat yang dikemukakan oleh Andrea L Rich tersebut, menurut Ohoiwutun
(1997:99-107) dalam komunikasi antarbudaya yang harus diperhatikan yaitu:
(1)
kapan orang berbicara
(2)
apa yang dikatakan
(3)
hal memperhatikan
(4)
intonasi
(5)
gaya kaku dan puitis; dan
(6)
bahasa tidak langsung.
Banyak
kejadian sehari-hari karena kurang memperhatikan perebedaan tersebut misalnya
akibat mengucapkan kata-kata tertentu, yang dimaknai berbeda oleh orang yang
berbeda budaya, menyebabkan kesalahanpahaman, kebencian, dan keretakan hubungan
antarmanusia.
3. Komunikasi Nonverbal
Secara sederhana, pesan nonverbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata (Mulyana,2003:308). Sebagai kata-kata kebanyakan isyarat nonverbal juga tidak universal, melainkan terikat oleh budaya, jadi dipelajari, bukan bawaan. Sedikit saja isyarat nonverbal yang merupakan bawaan. Kita semua lahir dan mengetahui bagaimana tersenyum, namun dimana, kapan, dan kepada siapa kita menunjukkan emosi ini dipelajari, dan karenanya dipengaruhi konteks dan budaya.
Simbol-simbol
nonverbal sangat sulit untuk ditafsirkan bila dibandingkan dengan simbol-simbol
verbal. Walaupun demikian kita sering melihat bahwa bahasa nonverbal cenderung
selaras dengan bahasa verbal, misalnya setiap gerakan sinkron dengan ucapan,
seperti kita menyatakan setuju selalu disertai dengan anggukan kepala.
Menurut
Liliweri (2003:98-101) ketika berhubungan dengan menggunakan pesan nonverbal
ada beberapa faktor yang mempengaruhi komunikasi antarbudaya yaitu:
1.
Kinestik, adalah yang berkaitan dengan bahasa
tubuh, yang terdiri dari posisi tubuh, orientasi tubuh, tampilan wajah,
gambaran tubuh. Tampaknya ada perbedaan antara arti dan makna dari
gerakan-gerakan tubuh atau anggota tubuh yang ditampilkan
2.
Okulesik, adalah gerakan mata dan posisi
mata. Ada perbedaan makna yang ditampilkan alis mata diantara manusia. Setiap
variasi gerakan mata atau posisi mata menggambarkan suatu makna tertentu,
seperti kasih sayang, marah dan sebagainya.
3.
Haptik, adalah tentang perabaan atau
memperkenankan sejauhmana seseorang memegang dan merangkul orang lain.
4.
Proksemik, adalah tentang hubungan antar
ruang, antar jarak, dan waktu berkomunikasi, misalnya makin dekat artinya makin
akrab, makin jauh artinya makin kurang akrab.
5.
Kronemik, adalah tentang konsep waktu, sama
seperti pesan non verbal yang lain maka konsep tentang waktu yang menganggap
kalau suatu kebudayaan taat pada waktu maka kebudayaan itu tinggi atau
peradabannya maju. Ukuran tentang waktu atau ketaatan pada waktu kemudian yang
menghasilkan pengertian tentang oramg malas, malas bertanggungjawab, orang yang
tidak pernah patuh pada waktu.
6.
Tampilan, Appearance yaitu bagaimana cara
seorang menampilkan diri telah cukup menunjukkan atu berkorelasi sangat tinggi
dengan evaluasi tentang pribadi. Termasuk di dalamnya tampilan biologis dan
tampilan yang dicari atau di bentuk. Tampilan biologis misalnya warna kulit,
warna dan pandangan mata, tekstur dan warna rambut, serta struktur tubuh. Ada
stereotip yang berlebihan terhadap perilaku seorang dengan tampilan biologis.
Model pakaian juga mempengaruhi evaluasi kita terhadap orang lain.
7.
Posture, adalah tampilan tubuh waktu sedang
berdiri dan duduk. Cara bagaimana orang itu duduk dan berdiri dapat
diinterpretasi bersama dalam konteks antarbudaya. Misalnya kalau orang Jawa
merasa tidak bebas jika berdiri tegak di depan orang yang lebih tua sehingga
harus merunduk hormat, sebaliknya duduk bersila di depan orang yang lebih tua
merupakan sikap yang sopan.
8.
Pesan-pesan paralinguistik antarpribadi
adalah pesan komunikasi yang merupakan gabungan antara perilaku verbal dan non
verbal. Paralinguistik terdiri dari satu unit suara, atau gerakan yang
menampilkan maksud tertentu dengan makna tertentu. Paralinguistik juga berperan
besar dalam komunikasi antarbudaya.
9.
Simbolisme dan komunikasi non verbal yang
pasif, beberapa diantaranya adalah simbolisme warna dan nomor
BAB IV
KESIMPULAN
Setiap orang dari kita adalah unik, artinya sekalipun
dibesarkan dalam lingkungan budaya yang sama, belum tentu setiap orang dalam
kelompok tersebut itu akan persis sama dalam berpikir dan berperilaku, karena
akan ada sub-sub kultur yang lebih spesifik yang sangat berpengaruh terhadap
perilakunya dalam berkomunikasi. Budaya dan komunikasi itu mempunyai hubungan
timbal balik, seperti dua sisi dari satu mata uang. Budaya menjadi bagian dari
perilaku komunikasi, dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan,
memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya (Mulyana, 2003:4). Apa yang
kita bicarakan, bagaimana kita membicarakannya, apa yang kita lihat,
perhatikan, atau abaikan, bagaimana kita berpikir, dan apa yang kita pikirkan
dipengaruhi oleh budaya. Pada gilirannya, apa yang kita bicarakan, bagaimana
kita membicarakan, apa yang kita lihat turut membentuk, menentukan, dan
menghidupkan budaya kita. Sehingga Edward T. Hall (dalam Mulyana, 2003:4-5)
menyatakan bahwa budaya adalah komunikasi dan komunikasi adalah budaya. Bahkan
Porter dan Samovar (dalam Mulyana dan Rakhmat, 2001:34) menyatakan bahwa budaya
tak hidup tanpa komunikasi dan komunikasi pun tak hidup tanpa budaya.
SUMBER
De Vito, Josep A. 1997. Komunikasi Antar
Manusia, Terjemahan Agus Maulana, Jakarta: Profesional Books.
Mulyana, Deddy. 1996. Mengapa Kita
Mempelajari Komunikasi: Sebuah Pengantar, Dalam: Human Communication:
Konteks-Konteks Komunikasi, Buku Pertama, Bandung: Remaja Rosdakarya.
This comment has been removed by the author.
ReplyDeletethankyou for information!
ReplyDelete