Wednesday, June 29, 2016

Makalah Komunikasi Antar Budaya

BAB I
PENDAHULUAN

Latar belakang
Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa saling berhubungan satu sama lain. Untuk itulah peran komunikasi dibutuhkan. Dalam hidup bermasyarakat, orang yang tidak pernah berkomunikasi dengan orang lain niscaya akan terisolasi dari masyarakatnya. Oleh sebab itu, menurut dokter Everett Kleinjan dari East West Center Hawaii, komunikasi sudah merupakan bagian kekal dari kehidupan manusia seperti halnya bernapas. Sepanjang manusia ingin hidup, maka mereka memerlukan komunikasi. Tak bisa dipungkiri bahwa dunia yang kita tempati telah berkembang menjadi demikian maju dan menjelma menjadi apa yang kemudian dikenal sebagai “global Village” (desa dunia). Salah satu implikasinya adalah makin meningkatnya kontak-kontak komunikasi dan hubungan antar berbagai bangsa dan negara untuk  mencari dan memperoleh informasi.
Namun dalam melakukan komunikasi tidak setiap orang terampil melakukannya dengan efektif. Hal ini terlebih lagi bila orang yang terlibat dalam komunikasi itu berbeda budaya, kesalahan dalam memahami pesan, perilaku atau peristiwa komunikasi tidak bisa dihindari. (Khotimah, 2000:47). Kesalahan ini dapat smenyebabkan terjadinya suasana yang tidak diharapkan bahkan dapat menimbul pertikaian yang menjurus munculnya konflik sosial
.Budaya yang dimiliki seseorang sangat menentukan bagaimana cara kita berkomunikasi, artinya cara seseorang dalam berkomunikasi dengan orang lain apakah dengan orang yang sama budaya maupun dengan orang yang berbeda budaya, karakter budaya yang sudah tertanam sejak kecil sulit untuk dihilangkan, karena budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi (Tubbs-Sylvia Moss, 1996:237). Dengan demikian konstruksi budaya yang dimiliki oleh seseorang itu, diperoleh sejak masih bayi sampai ke liang lahat, dan ini sangat mempengaruhi cara berpikir, berperilaku orang yang bersangkutan dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang yang berbeda budaya. Bahkan benturan persepsi antar budaya sering kita alami sehari-hari, dan bilamana akibatnya fatal kita cenderung menganggap orang yang berbeda budaya tersebut salah, aneh tidak mengerti maksud kita. Hal ini terjadi karena, kita cenderung memandang perilaku orang lain dalam konteks latar belakang kita sendiri dan karena bersifat subyektif.
Sejak akhir tahun 60-an sampai sekarang, dunia seakan-akan semakin menyempit, karena orang-orang bertambah mudah untuk pergi ke tempat-tempat yang semula asing baginya. Di sana ia bertemu, bergaul dan bekerja sama dengan orang-orang yang mungkin berbeda dalam hal cara berkomunikasi, berpikir dan kebiasaanya. Perkembangan alat-alat perhubungan dan juga sarana komunikasi, menjadi pemicu makin meningkatnya hubungan-hubungan antarbudaya sehingga waktu, jarak dan ruang makin tak berarti.


Rumusan masalah
1.    Apa itu komunikasi antar budaya prinsip-prinsip komunikasi antar budaya serta saluran komunikasi antar budaya?
2.    Bagaimana fungsi komunikasi antar budaya?
3.    Apakah budaya seseorang bisa tercermin dari cara mereka berkomunikasi?


Tujuan
1.    Untuk mengetahui apa itu komunikasi antar budaya dan bagaimana prinsip-prinsip komunikasi antar budaya serta saluran komunikasi antar budaya.
2.    Untuk mengetahui apa fungsi komunikasi antar budaya.
3.    Untuk mengetahui Apakah budaya seseorang bisa tercermin dari cara mereka berkomunikasi?

















BAB II
LANDASAN TEORI

Gundykunst (1983) mengemukakan bahwa terdapat lima pendekatan dalam ilmu komunikasi yang diasumsikan dapat menerangkan komunikasi lintas (antar) budaya. Kelima pendekatan tersebut adalah :
1.    Teori Komunikasi berdasarkan analisis kebudayaan implisit dalam kebudayaan immaterial, kebudayaan yang mbentuknya tidak nampak sebagai benda namun dia “tercantum” ataum “tersirat” dalam nilai dan norma budaya suatu masyarakat, misalnya bahasa. Pendekatan kebudayaan implisit mengandung beberapa asumsi yaitu:

a)    Kebudayaan mempengaruhi skema kognitif
b)    Kebudayaan mempengaruhi organisasi tujuan dan strategi tindakan
c)    Kebudayaan mempengaruhi pengorganisasian skema interaksi; dan
d)    Kebudayaan mempengaruhi proses komunikasi.

2.    Teori Analisis Kaidah Peran
Dari berbagai penelitian yang dilakukan maka diketahui bahwa telah terjadi beragam variasi penerapan prinsip-prinsip teori “kaidah peran”. Beberapa isu yang menonjol misalnya:
a)    Apa saja sifat dasar yang dimiliki suatu masyarakat?
b)    Apa yang dimaksudkan dengan kaidah peran?
c)    Apa hubungan antara aktor dan kaidah peran? Apakah setiap kaidah peran mampu menerangkan atau mengakibatkan perilaku tertentu?

3.    Teori analisis Interaksi antar budaya
Ada beberapa pendektan ilmu komunikasi yang sering digunakan untuk menerangkan interaksi antar budaya, yakni:
a)    Pendekatan jaringan metateoritikal, yaitu studi tentang bagaimana derajat hubungan antar pribadi
b)    Teori Pertukaran. Inti teori ini mengatakan bahwa hubungan antarpribadi bisa diteruskan dan dihentikan. Makin besar keuntungan yang diperoleh dari hubungan antarpribadi maka makin besar peluang hubungan tersebut diteruskan. Sebaliknya makin kecil keuntungan yang diperoleh, maka makin kecil peluang hubungan tersebut diteruskan. Wood (1982) dalam Liliweri (1994) mengidentifikasi 12 karakteristik pendekatan pertukaran tersebut:
                                 I.        Prinsip individual
                               II.        Komunikasi Coba-coba
                              III.        Komunikasi eksplorasi
                             IV.        Komunikasi euphoria
                               V.        Komunikasi yang memperbaiki
komunikasi pertalian,
                             VI.        Komunikasi sebagai pengemudi
                            VII.        komunikasi yang membedakan
                           VIII.        Komunikasi yang disintegratif
                             IX.        Komunikasi yang macet
                               X.        Pengakhiran komunikasi
                             XI.        Individualis.
                                           XI.

4.    Teori pengurangan tingkat kepastian Berger (1982) menyatakan bahwa salah satu dari fungsi utama komunikasi adalah fungsi informasi yaitu untuk mengurangi tingkat ketidakpastian komunikator dan komunikan. Setiap individu memiliki keinginan yang kuatuntuk memperoleh informasi tertentu tentang pihak lain. Berger merekomendasikan strategi pencarian informasi sebagai berikut :

a)    Mengamati pihak lain secara pasif
b)    Menyelidiki atau menelusuri pihak lain
c)    menanyakan informasi melalui pihak ketiga
d)    penanganan lingkungan kehidupan pihak lain
e)    Interogasi
f)     Membuka diri













BAB III
PEMBAHASAN

1.  Apa itu komunikasi antar budaya prinsip-prinsip komunikasi antar budaya serta saluran komunikasi antar budaya

Ø  komunikasi antar budaya
Komunikasi antar budaya adalah komunikasi yang terjadi di antara orang- orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda (bisa beda ras, etnik, atau  sosioekonomi, atau gabungan dari semua perbedaan ini). Kebudayaan adalah cara  hidup yang berkembang dan dianut oleh sekelompok orang serta berlangsung dari  generasi ke generasi (Tubbs, Moss:1996).  Komunikasi antar budaya memiliki akarnya dalam bahasa (khususnya  sosiolinguistik),sosiologi, antropologi budaya, dan psikologi. Dari keempat  disiplin ilmu tersebut, psikologi menjadi disiplin acuan utama komunikasi lintas  budaya, khususnya psikologi lintas budaya.   Pertumbuhan komunikasi antar budaya dalam dunia bisnis memiliki tempat yang utama, terutama perusahaan – perusahaan yang melakukan ekspansi  pasar ke luar negaranya notabene negara – negara yang ditujunya memiliki aneka  ragam budaya.
Selain itu, makin banyak orang yang bepergian ke luar negeri  dengan beragam kepentingan mulai dari melakukan perjalanan bisnis, liburan,  mengikuti pendidikan lanjutan, baik yang sifatnya sementara maupun dengan  tujuan untuk menetap selamanya.   Satelit komunikasi telah membawa dunia menjadi semakin dekat, kita  dapat menyaksikan beragam peristiwa yang terjadi dalam belahan dunia,baik  melalui layar televisi, surat kabar, majalah, dan media on line. Melalui teknologi  komunikasi dan informasi, jarak geografis bukan halangan lagi kita untuk melihat  ragam peristiwa yang terjadi di belahan dunia.  Berbicara mengenai komunikasi antarbudaya, maka kita harus melihat  dulu bebrapa defenisi yang diikutif oleh Ilya Sunarwinadi ( 1993: 7-8 )  berdasarkan pendapat para ahli antara lain : 
a)    Sitaram ( 1970 )  : Seni untuk memahami dan saling pengertian antara  khalayak yang berbeda kebudayaan (intercultural communication the art of  understanding and being understood by audience of mother culture )
b)    Samovar dan Porter ( 1972 )  : Komunikasi antarbudaya terjadi  manakala bagaian  yang terlibat dalam kegiatan komunikasi tersebut membawa  serta latar belakang budaya pengalaman yang berbeda yang mencerminkan nilai  yang dianut oleh kelompoknya berupa pengalaman, pengetahuan, dan nilai  (intracultural communication obtains whenever the parties to acommunications  act to bring with them different experiential backgrounds that reflect along- standing deposit of group experience, knowledge, values).  
c)    Rich ( 1974 ) : Komunikasi antarbudaya terjadi ketika orang-orang yang  berbeda kebudayaan (communication is intercultural when accuring between  peoples of different cultures).  
d)    Young Yun Kim ( 1984 )  : Komunikasi antarbudaya adalah suatu  peristiwa yang merujuk dimana orang-orang yang terlibat didalamnya baik secara  langsung maupun  tidak langsung memiliki latar belakang budaya yang berbeda  (intercultural communication…refers  the communication phenomenon in which participant, different in cultural background, come into direct or indirect contact  which one another).  
Seluruh defenisi  diatas dengan jelas menerangkan bahwa ada penekanan  pada perbedaan kebudayaan sebagai faktor yang menetukan dalam  berlangsungnya proses komunikasi antarbudaya. Komunikasi antarbudaya  memang mengakui dan mengurusi permasalahan mengenai persamaan dan  perbedaan dalam karakteristik kebudayaan antar pelaku–pelaku komunikasi, tetapi  titik perhatian utamanya tetep terhadap proses komunikasi individu-individu atau  kelompok-kelompok yang berbeda kebudayaan dan mencoba untuk melakukan  interaksi.   Komunikasi dan budaya mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua  sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi, dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau  mewariskan budaya, seperti yang dikatakan Edward T. Hall, bahwa “komunikasi adalah budaya” dan budaya adalah komunikasi”. Pada suatu sisi, komunikasi  merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya  masyarakat, baik secara horizontal, dari suatu masyarakat kepada masyarakat  lainnya, ataupun secara vertikal dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Pada  sisi lain budaya menetapkan norma-norma (komunikasi) yang dianggap sesuai  untuk kelompok tertentu.

Ø  prinsip-prinsip komunikasi antar budaya


a)    Relativitas Bahasa
Gagasan umum bahwa bahasa mempengaruhi pemikiran dan perilaku paling banyak disuarakan oleh para antropologis linguistik. Pada akhir tahun 1920-an dan disepanjang tahun 1930-an, dirumuskan bahwa karakteristik bahasa mempengaruhi proses kognitif kita. Dan karena bahasa-bahasa di dunia sangat berbeda-beda dalam hal karakteristik semantik dan strukturnya, tampaknya masuk akal untuk mengatakan bahwa orang yang menggunakan bahasa yang berbeda juga akan berbeda dalam cara mereka memandang dan berpikir tentang dunia.

b)    Bahasa sebagai cermin budaya
Bahasa mencerminkan budaya. Makin besar perbedaan budaya, makin perbedaan komunikasi baik dalam bahasa maupun dalam isyarat-isyarat nonverbal. Makin besar perbedaan antara budaya (dan, karenanya, makin besar perbedaan komunikasi), makin sulit komunikasi dilakukan. Kesulitan ini dapat mengakibatkan, misalnya, lebih banyak kesalahankomunikasi, lebih banyak kesalahan kalimat, lebih besar kemungkinan salah paham, makin banyak salah persepsi, dan makin banyak potong kompas (bypassing).
c)    Mengurangi Ketidakpastian
Makin besar perbedaan antarbudaya, makin besarlah ketidak-pastian dam ambiguitas dalam komunikasi. Banyak dari komunikasi kita berusaha mengurangi ketidak-pastian ini sehingga kita dapat lebih baik menguraikan, memprediksi, dan menjelaskan perilaku orang lain. Karena letidak-pasrtian dan ambiguitas yang lebih besar ini, diperlukan lebih banyak waktu dan upaya untuk mengurangi ketidak-pastian dan untuk berkomunikasi secara lebih bermakna.
d)    kesadaran diri dan perbedaan antar budaya
Makin besar perbedaan antarbudaya, makin besar kesadaran diri (mindfulness) para partisipan selama komunikasi. Ini mempunyai konsekuensi positif dan negatif. Positifnya, kesadaran diri ini barangkali membuat kita lebih waspada. ini mencegah kita mengatakan hal-hal yang mungkin terasa tidak peka atau tidak patut. Negatifnya, ini membuat kita terlalu berhati-hati, tidak spontan, dan kurang percaya diri.
e)    Interaksi awal dan perbedaan antar budaya
Perbedaan antarbudaya terutama penting dalam interaksi awal dan secara berangsur berkurang tingkat kepentingannya ketika hubungan menjadi lebih akrab. Walaupun selalu terdapat kemungkinan salah persepsi dansalah menilai orang lain, kemungkinan ini khususnya besar dalam situasi komunikasi antarbudaya.
f)     Memaksimalkan hasil interaksi
Dalam komunikasi antarbudaya terdapat tindakan-tindakan yang berusaha memaksimalkan hasil interaksi. Tiga konsekuensi mengisyaratkan implikasi yang penting bagi komunikasi antarbudaya. Pertama, orang akan berintraksi dengan orang lain yang mereka perkirakan akan memberikan hasil positif. Kedua, bila mendapatkan hasil yang positif, maka pelaku komunikasi terus melibatkan diri dan meningkatkan komunikasi. Bila memperoleh hasil negatif, maka pelaku mulai menarik diri dan mengurangi komunikasi. Ketiga, pelaku membuat prediksi tentang perilaku mana yang akan menghasilkan hasil positif. Pelaku akan mencoba memprediksi hasil dari, misalnya, pilihan topik, posisi yang diambil, perilaku nonverbal yang ditunjukkan, dan sebagainya. Pelaku komunikasi kemudian melakukan apa yang menurutnya akan memberikan hasil positif dan berusaha tidak melakkan apa yang menurutnya akan memberikan hasil negatif.

Ø  Saluran komunikasi antar budaya

a)    Antarpribadi/ interpersonal/ person-person yaitu orang dengan orang  secara langsung  
b)    Media massa yaitu melalui radio, surat kabar, TV, Film, Majalah
Bersama-sama dengan dua dimensi sebelumnya, saluran komunikasi juga  mempengaruhi proses dan hasil keseluruhan dari KAB. Misalnya : orang Indonesia  menonton melalui TV keadaan kehidupan di Afrika akan memilih pengalaman  yang berbeda dengan keadaan apabila ia sendiri berada disana dan melihat dengan  mata kepala sendiri.   Umumnya pengalaman komunikasi antar pribadi dianggap memberikan  dampak yang lebih mendalam. Komunikasi melalui media kurang dalam hal  feedback  langsung antar partisipan dan bersifat satu arah. Sebaliknya, saluran  antarpribadi tidak dapat menyaingi kekuatan saluran media dalam mencapai  jumlah besar manusia sekaligus melalui batas-batas kebudayaan. Tetapi dalam  keduanya, proses-proses komunikasi bersifat antarbudaya  bila partisipan-partisipannya berbeda latar belakang budayanya. Ketiga dimensi diatas dapat  digunakan secara terpisah ataupun bersamaan, dalam mengkalsifikasikan  fenomena KAB khusus. Misalnya : kita dapat menggambarkan komunikasi antara  Presiden Indonesia dengan Dubes baru dari Nigeria sebagai komunikasi  internasaional, antarpribadi dalam konteks politik, komunikasi antara pengecara  AS dari keturunan Cina dengan kliennya orang AS keturunan Puerto Rico sebagai  komunikasi antar etnik, antarpribadi dan massa dalam konteks akulturasi migran.  Maka apapun tingkat keanggotaan kelompok konteks sosial dan saluran  komunikasi, komunikasi dianggap antar budaya apabila para komunikator yang  menjalin kontak dan interaksi mempunyai latar belakang pengalaman berbeda (Lusiana, 2002:5).


2.  Bagaimana fungsi komunikasi antar budaya

a)    Fungsi Pribadi
Fungsi pribadi komunikasi antar budaya adalah fungsi-fungsi komunikasi  antar budaya yang ditunjukkan melalui perilaku komunikasi yang bersumber  dari seorang individu.
•  Menyatakan Identitas Sosial 
Dalam proses komunikasi antarbudaya terdapat beberapa perilaku  komunikasi individu yang digunakan untuk menyatakan identitas  sosial.  Perilaku  itu dinyatakan melalui  tindakan berbahasa  baik secara  verbal  dan  nonverbal. Dari perilaku berbahasa itulah dapat diketahui identitas diri  maupun sosial, misalnya dapat diketahui asal-usul  suku  bangsa,  agama,  maupun tingkat pendidikan seseorang.
•  Menyatakan intergrasi social
Inti konsep integrasi sosial adalah menerima kesatuan dan persatuan  antarpribadi, antarkelompok  namun tetap mengakui perbedaan-perbedaan  yang dimiliki oleh setiap unsur. Perlu dipahami bahwa salah satu tujuan  komunikasi adalah memberikan makna yang sama atas pesan yang dibagi  antara komunikator dan komunikan. Dalam kasus komunikasi antarbudaya  yang melibatkan perbedaan budaya antar komunikator dengan komunikan,  maka integrasi sosial merupakan tujuan utama komunikasi. 
•  Menambah pengetahuan
Seringkali komunikasi antarbudaya menambah pengetahuan bersama, saling mempelajari kebudayaan masing-masing.

b.    Fungsi Sosial
•  Pengawasan
Fungsi sosial yang pertama adalah pengawasan. Praktek komunikasi  antarbudaya di antara komunikator dan komunikan yang berbada  kebudayaan berfungsi saling mengawasi. Dalam setiap proses komunikasi  antarbudaya fungsi ini bermanfaat untuk menginformasikan  "perkembangan" tentang  lingkungan. Fungsi ini lebih banyak dilakukan  oleh  media massa  yang menyebarlusakan secara rutin perkembangan peristiwa  yang terjadi disekitar kita meskipun peristiwa itu terjadi dalam  sebuah konteks kebudayaan yang berbeda.
•  Menjembatani
Dalam proses komunikasi antarbudaya, maka fungsi komunikasi yang  dilakukan antara dua orang yang berbeda budaya itu merupakan  jembatan  atas perbedaan di antara mereka. Fungsi menjembatani itu dapat terkontrol  melalui pesan-pesan yang mereka pertukarkan, keduanya saling  menjelaskan perbedaan tafsir atas sebuah pesan sehingga menghasilkan  makna yang sama. Fungsi ini dijalankan pula oleh berbagai konteks  komunikasi termasuk komunikasi massa.
•  Sosialisasi Nilai
Fungsi  sosialisasi  merupakan fungsi untuk mengajarkan dan  memperkenalkan nilai-nilai kebudayaan suatu masyarakat kepada  masyarakat lain.
•  Menghibur
Fungsi menghibur juga sering tampil dalam proses komunikasi  antarbudaya. Misalnya menonton  tarian  dari kebudayaan lain. Hiburan  tersebut termasuk dalam kategori hiburan antarbudaya.

3.  Apakah budaya seseorang bisa tercermin dari cara mereka berkomunikasi
Komunikasi antar budaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda budaya (baik dalam arti ras, etnik, atau perbedaan-perbedaan sosioekonomi)(Mulyana, 2001:v). Sedangkan menurut Liliweri (2003:9) komunikasi antarbudaya adalah proses pengalihan pesan yang dilakukan seseorang melalui saluran tertentu kepada orang lain yang keduanya berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dan menghasilkan efek tertentu. Sementara itu menurut Dodd (1991:5) bahwa komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi, dan kelompok, dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta.

Berdasar pendapat yang dikemukakan oleh Mulyana dan Liliweri tersebut memberi pemahaman bahwa komunikasi antar budaya terjadi antara orang-orang yang berbeda budaya, ras, bahasa, agama, tingkat pendidikan, status sosial, atau bahkan jenis kelamin, serta berkaitan erat dengan komunikasi insani (human communication), sebagaimana yang diungkapkan oleh Somavar dan Porter (1991:10), yang menyatakan bahwa “ to understands intercultural interaction one must first understand human communication”

Dalam hal komunikasi antar budaya Fisher (dalam Mulyana dan Rakhmad, 2001:45) juga mengemukakan bahwa selain memandang kedudukan komunikator dan komunikan maka terhadap faktor lain yaitu pesan. Pesan ditujukan dalam perilaku komunikasi antar budaya bukan sekedar pesan karena pengaruh folkways pribadi tetapi pengaruh folkways masyarakatnya. Pesan itu sama dengan simbol budaya masyarakat yang melingkupi suatu pribadi tertentu ketika ia berkomunikasi antarbudaya. Dengan demikian sikap, perilaku, tindakan seseorang dalam komunikasi antar budaya bukan merupakan sikap, perilaku, tindakan pribadi melainkan simbol dari masyarakatnya. Pesan dalam komunikasi antar budaya merupakan simbol-simbol yang di dalamnya terkandung karakteristik komunikator yang terdengar atau terlihat dalam pengalaman proses komunikasi antar pribadi di antara mereka yang berbeda etniknya.
Dalam konunikasi antarbudaya menurut Liliweri (2003:12) semakin besar derajat perbedaan antarbudaya maka semakin besar pula kehilangan peluang untuk merumuskan suatu tingkat kepastian sebuah komunikasi yang efektif, jadi harus ada jaminan terhadap akurasi interpretasi pesan-pesan verbal maupun nonverbal. Hal ini disebabkan ketika kita berkomunikasi dengan seseorang dari kebudayaan yang berbeda, maka kita memiliki pula perbedaan dalam sejumlah hal, misalnya derajat pengetahuan, derajat kesulitan dalam peramalan, derajat ambiguitas, kebingungan, suasana misterius yang tak dapat dijelaskan, tidak bermanfaat bahkan tidak bersahabat.
Karena itulah menurut Schraman (dalam Mulyana dan Rakhmat, 2001:6-7), untuk mencapai komunikasi antarbudaya yang benar-benar efektif ada beberapa hal yang harus kita perhatikan, yaitu:
(1)   Menghormati anggota budaya lain sebagai manusia;
(2)   Menghormati budaya lain sebagaimana apa adanya dan bukan sebagaimana yang dikehendaki
(3)   menghormati hak anggota budaya lain untuk bertindak berbeda dari cara bertindak; dan
(4)   komunikator lintas budaya yang kompeten harus belajar menyenangi hidup bersama orang dari budaya lain.

Selanjutnya DeVito (1997:480-481), menggunakan istilah komunikasi antarbudaya secara luas untuk mencakup semua bentuk komunikasi di antara orang-orang yang berasal dari kelompok yang berbeda selain juga secara sempit yang mencakup bidang komunikasi antar kultur yang berbeda, sebagai berikut:
(1)   Komunikasi antarbudaya – misalnya, antar orang Cina dan Portugis, atau antara orang Perancis dan Norwegia
(2)   Komunikasi antarras yang berbeda (kadang-kadang dinamaka komunikasi antarras), - misalnya, antara orang kulit putih dangan orang kulit hitam
(3)   Komunikasi antar kelompok etnis yang berbeda )kadang-kadang dinamakan komunikasi antar etnis) – misalnya, antara orang Amerika keturunan Italia dengan orang Amerika keturunan Jerman
(4)   Komunikasi antar kelompok agama yang berbeda – misalnya, antara orang katolik Roma dengan Epsikop, atau antara orang Islam dan orang Yahudi
(5)   Komunikasi antara bangsa yang berbeda (kadang-kadang dinamakan komunikasi internasional)- misalnya, antara Amerika Serikat dan Meksiko, atau antara Perancis dan Italia
(6)   Komunikasi antara subkultur yang berbeda dan kultur yang dominan-misalnya, antara kaum homeseks dan kaum heteroseks, atau antara kaum manula dan kaum muda
(7)   Komunikasi antara jenis kelamin yang berbeda – antara pria dan wanita.

Dari berbagai uraian itu, dapat memberi pemahaman bahwa orang-orang yang dipengaruhi kultur dan subkultur yang berbeda akan berkomunikasi secara berbeda. Perbedaan kultur dan subkultur menjadi sumber untuk memperkaya pengalaman komunikasi dan bukan sebagai penghambat dalam interaksi. Untuk itu perlu memahami dan menghargai perbedean-perbedaan tersebut.

Ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam memahami kominikasi antarbudaya, yaitu persepsi, komunikasi verbal, dan komunikasi nonverbal. Ketiga elemen ini merupakan bangunan dasar yang menyebabkan kegagalan, sekaligus keberhasilan komunikasi antar budaya.
1.    Persepsi
Persepsi adalah proses mengungkap arti objek-objek sosial dan kejadian-kejadian yang kita alami dalam lingkungan kita. Setiap orang akan memiliki gambaran yang berbeda mengenai realitas di sekelilingnya. Persepsi sosial tidaklah sesederhana persepsi terhadap lingkungan fisik. Persepsi sosial, yang muncul dalam komunikasi mengandung beberapa prinsip penting (Mulyana, 2003:176), yaitu:

a. Persepsi berdasarkan pengalaman

Persepsi manusia terhadap seseorang, objek, atau kejadian dan reaksi mereka terhadap hal-hal itu berdasarkan pengalaman/pembelajaran masa lalu mereka berkaitan dengan orang, objek atau kejadian serupa. Cara seseorang menilai wanita ideal, suami ideal, pekerjaan, sekolah, perilaku yang pantas, cara berpakaian yang lazim dan lain sebagainya sangat tergantung pada apa yang telah di ajarkan oleh budaya dimana orang tersebut berada.

Ilustrasi berikut ini memperjelas prinsip ini. Orang Barat yang terbiasa makan dengan sendok, garpu dan pisau akan menganggap orang Timur yang makan dengan tangan sebagai hal jorok, meskipun alat-alat makan yang mereka gunakan sudah sering digunakan orang lain, semantara orang Timur yang makan yang selalu menggunakan tangannya sendiri yang belum pernah digunakan orang lain. Di Barat umumnya, juga sebagian besar wilayah Indonesia, bersendawa ketika atau setelah makan adalah perilaku yang tidak sopan, bahkan di Swedia seorang tamu yang bersendawa seusai makan dapat membuat nyonya rumah pingsan, sementara di Arab, Cina, Jepang, dan Fiji, juga di Aceh dan Sumatera Barat, bersendawa malah di anjurkan karena hal itu menanamkan penerimaan makanan dan kepuasan makan. Demikian juga dalam berbicara dengan intonasi yang tinggi, bagi orang Jawa dinilai kurang begitu sopan, namun beberapa kultur seperti orang Sulawesi, Sumatera, Kalimantan adalah sebuah kewajaran.

b. Persepsi Bersifat Selektif

Setiap saat seseorang akan diberondongi oleh jutawan rangsangan inderawi. Untunglah ada atensi pada manusia, sehingga orang hanya akan menangkap rangsangan-rangsangan yang menarik perhatiannya saja. Ada dua faktor yang mempengaruhi atensi ini, yaitu
(1)  faktor internal
(2)  faktor eksternal.

ü  Faktor internal antara lain dipengaruhi oleh faktor biologis (lapar, haus dan sebagainya); faktor fisiologis (tinggi, pendek, gemuk, kurus, sehat, sakit, lelah, penglihatan atau pendengaran kurang sempurna, cacat tubuh dan sebagainya); dan faktor-faktor sosial budaya seperti gender, agama, tingkat pendidikan, pekerjaan, penghasilan, peranan, status sosial, pengalaman masa lalu, kebiasaan dan bahkan faktor-faktor psikologis seperti kemauan, keinginan, motivasi, pengharapan dan sebagainya. Semakin besar perbedaan aspek-aspek tersebut secara antar individu, semakin besar perbedaan persepsi mereka mengenai realitas.
ü 
Faktor eksternal yang mempengaruhi orang dalam melakukan persepsi terhadap suatu obyek, yakni atribut-atribut objek yang dipersepsi seperti gerakan, intensitas, kontras, kebaruan, dan perulangan objek yang dipersepsi. Suatu obyek yang bergerak lebih menarik perhatian dari pada objek yang diam. Misalnya kita lebih menyenangi televisi sebagai gambar bergerak dari pada komik sebagai gambar diam. Demikian juga dengan suatu rangsangan yang intensitasnya menonjol juga akan menarik perhatian, seseorang yang bersuara paling keras, yang tubuhnya paling gemuk, yang kulitnya hitam, atau yang wajahnya paling cntik akan menarik perhatian kita.
Dalam pada itu, terhadap orang atau objek yang penampilannya lain dari pada yang lain (kontras), juga akan menarik perhatian, seperti seorang bule, orang berkulit hitam di antara orang-orang yang berkulit putih, seorang wanita yang berjilbab, wanita berbikini di antara wanita-wanita lain yang berpakaian lebih sopan di pantai, pemuda yang sebelah telinganya beranting di antara teman-temannya yang tidak berpenampilan demikian. Demikian juga dengan hal kebaruan merupakan suatu unsur objek yang menimbulkan perhatian, tampak jelas ketika kita melihat seorang mahsiswa baru yang lebih menarik perhatian dari pada mahasiswa lama yang sudah dikenal. Pun kita cenderung memperhatikan sesuatu yang baru misalnya baju baru yang dipakainya, mobil baru yang dibawanya.
Suatu peristiwa yang selalu berulang-ulang jelas lebih potensial untuk diperhatikan, sehingga memungkinkan untuk mudah mengingat terhadap objek yang menjadi perhatian. Seperti iklan-iklan sebuah produk yang ditayangkan secara berulang-ulang di televisi, akan lebih mendorong untuk membeli barang yang di iklankan.

c. Persepsi Bersifat Dugaan
Data yang diperoleh mengenai objek lewat penginderaan tidak pernah lengkap, seringkali menyebabkan persepsi merupakan loncatan langsung pada kesimpulan. Proses ini menyebabkan orang menafsirkan suatu objek lebih lengkap. Misalnya kita melihat sebuah pesawat terbang di angkasa, kita tidak melihat awak pesawat dan penumpangnya. Namun kita telah berulangkali melihat pesawat terbang di angkasa yang menunjukkan bahwa setidaknya terdapat awak pesawat yang menerbangkan pesawat itu. Demikian juga ketika kita melihat bila ada sebuah kapal laut dari kejauhan, kita langsung membayangkan ada sejumlah orang di dalamnya, ada sejumlah mobil dan peralatan kapal seperti skoci dan sebagainya.

d. Persepsi Bersifat Evaluatif
Kebanyakan orang menjalani hari-hari mereka dengan perasaan bahwa apa yang mereka persepsi adalah nyata. Mereka beranggapan bahwa menerima pesan dan menafsirkannya sebagai suatu proses yang alamiah. Sehingga derajat tertentu anggapan itu benar, akan tetapi kadang-kadang alat-alat indra dan persepsi kita menipu kita sehingga kita juga ragu seberapa dekat persepsi dengan realitas yang sebenarnya. Atau dengan kata lain bahwa dalam mempersepsi suatu objek tidak akan pernah terjadi secara objektif, hal ini karena dalam mempersepsi sangat dipengaruhi pengalaman masa lalu dan kepentingan pribadi.
Persepsi bersifat pribadi dan subyektif. Menurut Andrea I. Rich (dalam Mulyana, 2003:189) persepsi pada dasarnya mewakili keadaan fisik dan psikologis undividu alih-alih menunjukkan karakteristik dan kualitas mutlak objek yang dipersepsi. Misalnya bila kita pendiam, kita cenderung menilai orang yang periang sebagai orang yang supel dan mudah bergaul, dan sebaliknya.


e. Persepsi Bersifat Kontekstual
Sutau rangsangan dari luar harus di organisasikan. Dari semua pengaruh yang ada dalam persepsi kita, konteks merupakan salah satu pengaruh paling kuat. Konteks yang melingkupi kita ketika dalam melihat suatu kejadian atau objek sangat mempengaruhi struktur kognitif, pengharapan dan oleh karenanya juga persepsi kita. Persepsi besifat kontekstual ini menggunakan prinsip-prinsip
(1)   kontekstual dalam pengertian struktuir objek, atau kejadian berdasarkan prinsip kemiripan atau kedekatan dan kelengkapan
(2)   kontekstual dalam arti, kita cenderung mempersepsi suatu rangsangan, atau kejadian misalnya ketika kita mengisi teka-teki silang (TTS), prinsip ini jelas berlaku.
Menurut Somavar dan Porter (1991:106); Mulyana (2003:197) bahwa ada enam unsur budaya yang secara langsung mempengaruhi persepsi kita ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain, yaitu:
(1)  kepercayaan (beliefs), nilai (values), dan sikap (attitudes)
(2)   pandangan dunia (worldview)
(3)   organisasi sosial (social organization)
(4)   tabiat manusia ( human nature)
(5)   orientasi kegiatan (activity orientation)
(6)   persepsi tentang diri dan orang lain (perception of self and others).

Kepercayaan adalah anggapan subjektif bahwa suatu objek atau peristiwa punya ciri atau nilai tertentu, dengan atau tanpa bukti. Kepercayaan sifatnya tidak terbatas, misalnya Tuhan itu Esa, Adam adalah manusia pertama di muka bumi, AID adalah penyakit berbahaya atau kemampuan berbahasa Inggris itu penting untuk meniti karier. Nilai adalah komponen evaluatif dari kepercayaan yang mencakup kegunaan, kebaikan, estetika, dan kepuasan. Jadi nilai bersifat normatif, memberitahu suatu anggota budaya mengenai apa yang baik dan buruk, benar dan salah, siapa yang harus dibela, apa yang harus diperjuangkan, apa yang mesti kita takuti, dan sebagainya.
Nilai biasanya bersumber dari isu filosofis yang lebih besar yang merupakan bagian dari lingkungan budaya, karena itu nilai bersifat stabil dan sulit berubah. Misalnya, berdasarkan pandangan mereka yang individualis, orang Barat lebih mengagung-agungkan privasi dari pada orang-orang Timur.
Pandangan dunia adalah orientasi budaya terhadap Tuhan, kehidupan, kematian, alam semesta, kebenaran, materi (kekayaan), dan isu-isu filosofis lainnya yang berkaitan dengan kehidupan (Somavar dan Porter, 1991:84). Pandangan dunia mencakup agama dan ideologi. Berbagai agama dunia punya konsep ketuhanan dan kenabian yang berbeda. Ideologi-ideologi berbeda juga punya konsep berbeda mengenai bagaimana hubungan antara manusia yang satu dengan manusia lainnya. Maka pandangan dunia merupakan unsur penting yang mempengaruhi persepsi seseorang ketika berkomunikasi dengan orang lain, khususnya yang berbeda budaya (Mulyana, 2003:202).
Organisasi sosial apakah yang sifatnya formal ataupun informal, juga mempengaruhi kita dalam mempersepsi dunia dan kehidupan ini yang pada gilirannya mempengaruhi perilaku kita. Menurut Mulyana (2003:204) lembaga informal yang mempengaruhi persepsi dan perilaku kita adalah keluarga, sedangkan lembaga formal adalah pemerintah. Perangkat aturan meskipun tidak tertulis yang di tetapkan keluarga sangat mempengaruhi kita dalam berkomunikasi. Demikian juga perangkat aturan yang di keluarkan oleh pemerintah baik tertulis maupun tidak juga memiliki pengaruh yang sama dalam persepsi dan perilaku kita. Pemerintah melalui aturan-aturannya, himgga derajat tertentu menetapkn norma komunikasi warganya baik komunikasi langsung maupun komunikasi bermedia, termasuk komunikasi massa.

Setiap negara biasanya memiliki suatu sistem komunikasi tertentu, di negara Barat umumnya menganut sistem komunikasi lebertarian yaitu orang-orang berkomunikasi lebih bebas. Negara-negara otoriter media massa masih dikendalikan pemerintah, orang tidak bebas menyiarkan informasi kepada masyarakat luas, bahkan penulisan sejarahpun harus disetujui oleh pemerintah yang sah.
Di samping kedua lembaga tersebut menurut Mulyana (2003:205) yang juga dapat mempengaruhi persepsi kita adalah lembaga pendidikan (sekolah, universitas), komunitas agama (dalam islam terdapat Sunni, Syiah, Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persis dan dalam Kristen terdapat Katolik, Protestan, Advent, Pantekosta, Saksi Yohava), komunitas atnik (Jawa, batak Minangkabau, Sunda, Melayu), kelas sosial dan partai politik.

Pandangan kita tentang siapa kita, bagaimana sifat atau watak juga mempengaruhi cara kita mempersepsi lingkungan fisik dan sosial kita. Kaum muslim misalnya, berpandangan bahwa manusia adalah makhluk yang paling mulia dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya seperti malaikat, jin, hewan dan tumbuh-tumbuhan, karena manusia diberkahi oleh akal. Namun kemuliaan itu menurut Mulyana (2003:206) hanya dapat diperoleh bilamana manusia beriman dan beramal saleh (mempergunakan akalnya dengan cara benar), sebaliknya bilamana dalam kegiatannya selalu menurut hawa nafsu, maka mereka adalah makhluk yang paling rendah derajatnya.

Demikian juga dalam memandang manusia, bahwa kaum muslim berpendapat bahwa manusia lahir dalam keadaan suci bersih, sementara golongan Kristen berpendapat bahwa manusia itu mewarisi dosa Adam dan Hawa. Sebagian kelompok lagi punya pendapat yang berebeda-beda tentang manusia, misalnya ada golongan yang berpendapat bahwa manusia pada dasarnya baik, atau pada dasarnya jahat. Dan ada juga yang punyai teori yang berbeda-beda mengenai apa yang membuat manusia memiliki watak tertentu. Pandangan manusia mengenai hal ini akan mempengaruhi persepsi, dari pandangan yang primitif-irasional, ilmiah hingga yang religius.
Orientasi manusia mengenai bagaimana hubungan manusia dengan alam juga mempengaruhi persepsi dalam memperlakukan alam. Mereka yang memandang manusia sebagai penguasa alam dan penakluk alam akan memanfaatkan alam demi kesejahteraan, sedangkan mereka yang percaya bahwa manusia adalah bagian dari alam atau bersatu dengan alam, akan berusaha bertindak selaras dengan alam, memanfaatkan alam, namun berupaya memeliharanya agar tidak rusak atau punah.
Aspek lain yang juga mempengaruhi persepsi kita adalah pandangan kita tentang aktivitas, misalnya dalam budaya-budaya tertentu pandangan terhadap siapa seseorang itu (raja, anak presiden, pejabat, bergelar) lebih penting dari pada apa yang dilakukannya. Sebaliknya ada budaya yang memandang prestasinya lebih penting ketimbang siapa dia, misalnya di Barat.

Masyarakat Timur, pada umumnya adalah masyarakat kolektivitas. Dalam budaya kolektivitas, diri (self) tidak bersifat unik atau otonom, melainkan lebur dalam kelompok (keluarga, klan, kelompok kerja, suku bangsa dan sebagainya). Sedangkan dalam budaya individualis (Barat) bersifat otonom. Akan tetapi suatu budaya sebenarnya dapat saja memiliki kecenderungan individualis dan kolektivis, seperti orientasi kegiatan salah satu biasanya lebih menonjol (Mulyana, 2003:208).

Lebih lanjut dikatakan oleh Mulyana (2003) bahwa dalam masyarakat kolektivis, individu terikat oleh lebih sedikit kelompok, namun keterikatan pada kelompok lebih kuat dan lebih lama. Selain itu hubungan antarindividu dalam kelompok bersifat total, sekaligus di lingkungan domestik dan di ruang publik. Konsekwensinya perilaku individu sangat dipengaruhi kelompoknya. Individu tidak dianjurkan untuk menonjol sendiri. Keberhasilan individu adalah keberhasilan kelompok.

Berbeda dengan manusia individualis, orang individualis kurang terikat pada kelompoknya, termasuk keluarga luasnya. Manusia individualis lebih terlibat dalam hubungan horisontal dari pada hubungan vertikal. Mereka lebih membanggakan prestasi dari pada askripsi, seperti jenis kelamin, usia, nama keluarga dan sebagainya (Landis & Brislin, 1988 : 269). Hubungan diantara sesama mereka sendiri tampak lebih dangkal dibandingkan dengan hubungan antara orang-orang kolektivitas, juga kalkulatif. Hubungan akan bertahan lama sejauh menguntungkan mereka secara material (Mulyana, 2003:210).


2. Komunikasi Verbal
Mulyana (2003:237-238) mengatakan bahwa bahasa sebagai sistem kode verbal, terbentuk atas seperangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu komunitas. Andrea L. Rich (dalam Mulyana, 2003:251) mengatakan bahwa bahasa sendiri terikat oleh budaya. Karenanya, menurut hipotesis Sapir-Whorf, sering juga disebut Teori Relativitas Linguistik, sebenarnya setiap bahasa menunjukkan suatu dunia simbolik yang khas, yang melukiskan realitas pikiran, pengalaman bathin, dan kebutuhan pemakainya. Jadi bahasa yang berbeda sebenarnya mempengaruhi pemakainya untuk berpikir, melihat lingkungan, dan alam semesta di sekitarnya dengan cara yang berbeda, dan karenanya berperilaku secara berbeda.
Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Andrea L Rich tersebut, menurut Ohoiwutun (1997:99-107) dalam komunikasi antarbudaya yang harus diperhatikan yaitu:
(1)  kapan orang berbicara
(2)  apa yang dikatakan
(3)  hal memperhatikan
(4)  intonasi
(5)  gaya kaku dan puitis; dan
(6)  bahasa tidak langsung.
Banyak kejadian sehari-hari karena kurang memperhatikan perebedaan tersebut misalnya akibat mengucapkan kata-kata tertentu, yang dimaknai berbeda oleh orang yang berbeda budaya, menyebabkan kesalahanpahaman, kebencian, dan keretakan hubungan antarmanusia.


3. Komunikasi Nonverbal

Secara sederhana, pesan nonverbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata (Mulyana,2003:308). Sebagai kata-kata kebanyakan isyarat nonverbal juga tidak universal, melainkan terikat oleh budaya, jadi dipelajari, bukan bawaan. Sedikit saja isyarat nonverbal yang merupakan bawaan. Kita semua lahir dan mengetahui bagaimana tersenyum, namun dimana, kapan, dan kepada siapa kita menunjukkan emosi ini dipelajari, dan karenanya dipengaruhi konteks dan budaya.
Simbol-simbol nonverbal sangat sulit untuk ditafsirkan bila dibandingkan dengan simbol-simbol verbal. Walaupun demikian kita sering melihat bahwa bahasa nonverbal cenderung selaras dengan bahasa verbal, misalnya setiap gerakan sinkron dengan ucapan, seperti kita menyatakan setuju selalu disertai dengan anggukan kepala.
Menurut Liliweri (2003:98-101) ketika berhubungan dengan menggunakan pesan nonverbal ada beberapa faktor yang mempengaruhi komunikasi antarbudaya yaitu:
1.    Kinestik, adalah yang berkaitan dengan bahasa tubuh, yang terdiri dari posisi tubuh, orientasi tubuh, tampilan wajah, gambaran tubuh. Tampaknya ada perbedaan antara arti dan makna dari gerakan-gerakan tubuh atau anggota tubuh yang ditampilkan
2.    Okulesik, adalah gerakan mata dan posisi mata. Ada perbedaan makna yang ditampilkan alis mata diantara manusia. Setiap variasi gerakan mata atau posisi mata menggambarkan suatu makna tertentu, seperti kasih sayang, marah dan sebagainya.
3.    Haptik, adalah tentang perabaan atau memperkenankan sejauhmana seseorang memegang dan merangkul orang lain.
4.    Proksemik, adalah tentang hubungan antar ruang, antar jarak, dan waktu berkomunikasi, misalnya makin dekat artinya makin akrab, makin jauh artinya makin kurang akrab.
5.    Kronemik, adalah tentang konsep waktu, sama seperti pesan non verbal yang lain maka konsep tentang waktu yang menganggap kalau suatu kebudayaan taat pada waktu maka kebudayaan itu tinggi atau peradabannya maju. Ukuran tentang waktu atau ketaatan pada waktu kemudian yang menghasilkan pengertian tentang oramg malas, malas bertanggungjawab, orang yang tidak pernah patuh pada waktu.
6.    Tampilan, Appearance yaitu bagaimana cara seorang menampilkan diri telah cukup menunjukkan atu berkorelasi sangat tinggi dengan evaluasi tentang pribadi. Termasuk di dalamnya tampilan biologis dan tampilan yang dicari atau di bentuk. Tampilan biologis misalnya warna kulit, warna dan pandangan mata, tekstur dan warna rambut, serta struktur tubuh. Ada stereotip yang berlebihan terhadap perilaku seorang dengan tampilan biologis. Model pakaian juga mempengaruhi evaluasi kita terhadap orang lain.
7.    Posture, adalah tampilan tubuh waktu sedang berdiri dan duduk. Cara bagaimana orang itu duduk dan berdiri dapat diinterpretasi bersama dalam konteks antarbudaya. Misalnya kalau orang Jawa merasa tidak bebas jika berdiri tegak di depan orang yang lebih tua sehingga harus merunduk hormat, sebaliknya duduk bersila di depan orang yang lebih tua merupakan sikap yang sopan.
8.    Pesan-pesan paralinguistik antarpribadi adalah pesan komunikasi yang merupakan gabungan antara perilaku verbal dan non verbal. Paralinguistik terdiri dari satu unit suara, atau gerakan yang menampilkan maksud tertentu dengan makna tertentu. Paralinguistik juga berperan besar dalam komunikasi antarbudaya.
9.    Simbolisme dan komunikasi non verbal yang pasif, beberapa diantaranya adalah simbolisme warna dan nomor



















BAB IV
KESIMPULAN

Setiap orang dari kita adalah unik, artinya sekalipun dibesarkan dalam lingkungan budaya yang sama, belum tentu setiap orang dalam kelompok tersebut itu akan persis sama dalam berpikir dan berperilaku, karena akan ada sub-sub kultur yang lebih spesifik yang sangat berpengaruh terhadap perilakunya dalam berkomunikasi. Budaya dan komunikasi itu mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi dari satu mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi, dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya (Mulyana, 2003:4). Apa yang kita bicarakan, bagaimana kita membicarakannya, apa yang kita lihat, perhatikan, atau abaikan, bagaimana kita berpikir, dan apa yang kita pikirkan dipengaruhi oleh budaya. Pada gilirannya, apa yang kita bicarakan, bagaimana kita membicarakan, apa yang kita lihat turut membentuk, menentukan, dan menghidupkan budaya kita. Sehingga Edward T. Hall (dalam Mulyana, 2003:4-5) menyatakan bahwa budaya adalah komunikasi dan komunikasi adalah budaya. Bahkan Porter dan Samovar (dalam Mulyana dan Rakhmat, 2001:34) menyatakan bahwa budaya tak hidup tanpa komunikasi dan komunikasi pun tak hidup tanpa budaya.
















SUMBER
De Vito, Josep A. 1997. Komunikasi Antar Manusia, Terjemahan Agus Maulana, Jakarta: Profesional Books.
Mulyana, Deddy. 1996. Mengapa Kita Mempelajari Komunikasi: Sebuah Pengantar, Dalam: Human Communication: Konteks-Konteks Komunikasi, Buku Pertama, Bandung: Remaja Rosdakarya.

2 comments: