BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pers adalah dalam pengertian luas meliputi segala penerbitan, bahkan termasuk pers elektrolit, radio siaran, dan televisi siaran. Sedangkan pers dalam arti sempit hanya terbatas pada pers cetak, yakni surat kabar, majalah, dan buletein kantor berita.
Media adalah media realitas dalam dirinya sendiri. Kemampuan untuk menjadi pemain dalam industri media, Mediapun memiliki fungsi ideologis, dan melakukan manuver politik sesuai dengan fungsi ideologinya. Ini akan mencakup masalah siapa, kepentingan apa, dan perspektif mana yang akan memperoleh akses ke media mereka.
Di luar fungsi ideologis yang dijalankan, bagaimanpun juga, media pertama-tama perlu terlebih dahulu di lihat sebagai institusi ekonomi, dan karenanya manuver politik yang dijalankan melalui politik pemberitaannya juga dikemas sebagai komoditi informasi yang berusaha menyiasati tuntutan serta peluang pasar.
Hal lain yang penting diamati dalam pemberitaan pers saat ini, terutama sekali adalah masalah sejauh mana mereka telah berfungsi menciptakan dirinya sebagai bagian dari public sphere. Ini bisa dikaji melalui pengamatan tentang sejauh mana kemampuan untuk memiliki media semakin terpusat di kaum-kaum itu-itu saja, sejauh apa media di tangan mereka itu telah bersedia memberikan akses berimbang ke setiap unsur publik terkait. Dalam proses tersebut pers menempati posisi sentral, khususnya dalam era peradaban di mana praktis semua manusia menjadi bagian dari kesepakatan untuk bersatu dalam kesatuan-kesatuan politik besar, seperti negara
1.2 Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini, maka penyusun merumuskan hal-hal sebagai berikut:
a) Apa itu pers?
b) Jenis-jenis pers?
c) Perkembangan pers di dunia?
d) Perkembangan pers di indonesia?
e) Bagaimana Arti Pers dalam Sistem Komunikasi ?
f) Dampak dari setiap sistem pers di dunia dan di indonesia?
g) Hakikat Pers Umumnya Dan Pers Di Indonesia?
h)
Pengaruh Sistem Ideologi Terhadap Sistem Pers?
i)
Bagaimana kondisi sintem pers indonesia dalam
menganalisa isi berita?
j)
Bagaimana korelasi antara isi berita dengan sistem
pers?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari
penyusunan makalah ini adalah :
a) Untuk mengetahui pengertian pers
b) Untuk mengetahui jenis-jenis pers
c) Untuk mengetahui perkembangan pers di dunia
d) Untuk mengetahui perkembangan pers di indonesia
e) Untuk mengetahui dan memahami tentang arti pers dalam Sistem
Komunikasi
f) Untuk mengetahui dampak dari setiap sistem pers di dunia dan di
indonesia
g) Untuk mengetahui Hakikat Pers Umumnya Dan Pers Di
Indonesia
h) Untuk mengetahui Pengaruh Sistem Ideologi Terhadap Sistem Pers
i) Untuk mengetahui Bagaimana kondisi sintem pers indonesia dalam
menganalisa isi berita
j) Untuk mengetahui Bagaimana korelasi antara isi berita dengan sistem
pers
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1 APA ITU PERS?
Pers adalah badan yang membuat penerbitan media massa secara berkala. Secara etimologis, kata Pers (Belanda), atau Press (inggris), atau presse (prancis), berasal dari bahasa latin,perssare dari kata premere, yang berarti “Tekan” atau “Cetak”, definisi
terminologisnya adalah “media massa cetak” atau “media cetak”. Media massa,
menurut Gamle & Gamle adalah bagian komunikasi antara manusia (human
communication), dalam arti, media merupakan saluran atau sarana untuk
memperluas dan memperjauh jangkauan proses penyampaian pesan antar manusia.
Dalam UU pers no 40 tahun 1999, Pers adalah
lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan
jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
meyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan
gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan
media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia
Pakar komunikasi, Oemar Seno Adji membagi pengertian pers dalam arti
sempit dan luas. Dalam arti sempit, pengertian pers adalah penyiaran-penyiaran
pikiran, gagasan, atau berita-berita dengan jalan kata tertulis.
Sedangkan, pengertian pers dalam
arti luas adalah semua media mass communications yang memancarkan
pikiran dan perasaan seseorang, baik dengan kata-kata tertulis maupun kata
lisan.Menurut Undang-undang No. 40
Tahun 1999 tentang Pers, disebutkan bahwa "Pers adalah lembaga
sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik,
meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi, baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta
data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak,
media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia."
·
Usaha percetakan atau penerbitan,
·
Usaha pengumpulan dan penyiaran berita,
·
Penyiaran berita melalui surat kabar, majalah, radio,
dan televisi,
·
Orang-orang yang bergerak dalam penyiaran berita,
·
Media penyiaran berita, yakni surat kabar, majalah,
radio, dan televisi.
Setelah masuknya media elektronika dalam lingkup media
massa, istilah pers menjadi lebih luas. Pers dalam arti sempit terbatas pada
media cetak saja, seperti koran, majala, buletin, tabloid, brosur, pamflet, dan
leaflet. Namun pers dalam arti luas mencakup juga media elektronik, seperti
radio, televisi, dan film. Pers merupakan lembaga yang berdiri sendiri. Pers
hidup di tengah-tengah masyarakat dan berada dalam satu negara, tetapi bukan
bagian dari pemerintahan negara tersebut. Pers lebih dikenal sebagai
"Lembaga Kemasyarakatan" (social institution). Hubungan
ketiganya saling mempengaruhi. Pers mempengaruhi
masyarakat, tetapi masyarakat juga berpengaruh pada pers. Pers mempengaruhi
pemerintah, tetapi pemerintah juga berpengaruh terhadap pers.
2.2 PERKEMBANGAN SISTEM PERS DI DUNIA
Sebelum
bubarnya Negara Uni Republik Sosialis Soviet, kita bisa dengan mudah membedakan
sistem pers dalam dua kelompok besar: Pers Barat yang menganut teori pers bebas atau liberal
dan Pers Timur yang menganut pers komunis. Pers Barat di
wakili oleh Amerika dan Negara-negara sekutunya di Eropa Barat. Karena Amerika adalah
pencetus teori tanggung jawab sosial atau dikenal pula sebagai komisi kebebasan
pers (1942-1947) Sedangkan Pers Timur diwakili oleh Uni Soviet dan
negara-negara satelitnya di Eropa Timur
Tetapi, sejak bubarnya Negara Uni Soviet, dan
sistem politik Negara-negara Eropa Timur yang menganut paham komunis itupun
ikut berubah, maka dikotomi antara Pres Barat dan Pers Timur itu kiranya sudah
tidak relevan lagi.
Sistem Pers Timur berbeda sekali dengan
sistem Pers Barat bahkan sangat bertentangan. Karena dalam sistem Pers Timur,
berita tidak dipandang sebagai barang dagangan. Maksud dari berita tidak
dipandang sebagai barang dagangan disini adalah bahwa berita bukan untuk pemuas
nafsu rasa ingin tahu namun berita adalah keharusan ikut berusaha mengorganisasikan
pembangunan dan pemeliharaan Negara sosialis
Sedangkan Pers Barat memandang berita sebagai
barang yang dapat diperjual belikan maka itu berita yang di sampaikan pada
khalayak harus menarik.
Teori Perkembangan Pers di Dunia.
Teori pertama dalam Four
Theories of the Press Four (empat teori tentang pers) yakni, authoritarian
Theory (teori pers otoriter) yang diakui sebagai teori pers paling tua
bersal dari abad ke 16, ia berasal dari falsafah kenegaraan yang membela
kekuasaan absolute jadi pada dasarnya pendekatan dilakukan dari atas ke bawah.
Yang dimaksud dengan pendekatan dari atas kebawah adalah pendekatan yang
dilakukan oleh yang berkuasa terhadap masyarakat biasa, yang mana pada keadaan
ini masyarakat biasa tidak dapat berbuat apapun, kebebasannya dirampas dan
tidak bisa mengutarakan aspirasinya. Jadi disini dimaksudkan pers harus
mendukung kebijakan pemerintah dan mengabdi kepada Negara. Yang mana pemerintah
bebas melakukan intervensi terhadap pers, dan pers tidak berhak dan bahkan
tidak dapat untuk mengintervensi pemerintah dikarenakan pemerintah berkuasa
penuh atas pers. Yang pentng dicatat juga prinsip authoritarian
Theory (teori pers otoriter) adalah bahwa Negara memiliki kedudukan
lebih tinggi dari pada individu dalam skala nilai kehidupan sosial.[5]Teori ini berawal di
Inggris, Perancis dan Spanyol dan kemudian menyebar ke Rusia, Jerman, Jepang
dan Negara-negara lain di Asia dan Amerika Latin
Dari pemaparan diatas jelaslah
bahwa authoritarian Theory (teori pers otoriter) adalah bahwa
Negara memiliki kedudukan lebih tinggi dari pada individu dalam skala nilai
kehidupan sosial. Dalam hal ini kita dapat mengambil contoh Negara kita sendiri
Indonesia. Pers di Indonesia pada jaman pemerintahan orde baru atau rezim
Soeharto pers disaat itu adalah pers yang otoriter, pers tidak berhak untuk
mengomentari kebijakan presiden akan tetapi pers haruslah selalu mendukung
kebijakan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dalam masa itu pers
sangat tidak berkembang dan informasi yang disampaikan pun tidak trasparan dan
tidak dapat secara gamblang diketahui oleh masyarakat. Apabila pers melawan
maka pemerintah langsung akan bertindak.
Itulah gambaran authoritarian
Theory (teori pers otoriter), yang terdapat di Indonesia pada masa era
Soeharto didengung-dengungkan adanya pers yang bertanggung jawab namun yang
sesungguhnya dipraktekkan tetap system pers yang otoriter karena masih adanya
lembaga SIUPP (surat izin penerbitan pers) dan pembreidelan, sehinggan nampak
jelas bahwa tanggung jawab itu pada penguasa bukan kepada pablik.
Pers yang bebas dan bertangggung jawab pada rezim orde
baru tidaklah sama dengan pers yang bebas dan bertangggung jawab seperti di
Amerika Serikat diawali sejak tahun 1956.
Teori yang kedua adalah Libertarian
Theory (Teori Pers Bebas). Ketika kebebasan politik, agama dan ekonomi
semakin tumbuh bersamaan dengan tumbuhnya pencerahan maka tumbuh pula tuntutan
akan perlunya kebebasan pers. Dalam keadaaan seperti itulah lahir teori baru
yaitu Libertarian Theory(Teori Pers Bebas) teori ini mencapai
puncaknya pada abad ke 19. Dalam teori ini manusia dipandang sebagai makhluk
rasional yang dapat membedakan antara yang benar dan tidak benar. Pers harus
menjadi mitra dalam upaya pencarian kebenaran dan bukan sebagai alat
pemerintah. Jadi tuntutan bahwa pers mengawasi pemerintah berkembang
berdasarkan teori ini.
Dari sini kita dapat melihat suatu perkembangan pers
antara abad 16 ke 19, pada perkembangan teori ini pers tidak lagi diintervensi
oleh pihak manapun termasuk pihak yang berkuasa atau yang disebut pemerintah.
Akan tetapi pers mempunyai hak untuk mengawasi kegiatan pemerintahan. Mau tidak
mau pemerintah harus transparan dalam segala informasi terhadap pers.
Libertarian Theory (Teori Pers Bebas)
ini memang paling banyak memberikan landasan kebebasan yang tak terbatas kepada
pers. Oleh karena itu, pers bebas juga memberikan informasi, memberikan hiburan
dan paling banyak terjual tiras. Dibalik ketiga keuntungan itu pers bebas juga
paling sedikit berbuat kebajikan menurut ukuran umum dan sedikit melakukan
control kepada pemerintah.
Sistem pers libertarian
dipraktikkan di Inggris setelah tahun 1668, kemudian menyeberang ke Amerika
Serikat, bahkan ke seluruh dunia. Teori ini kebalikan dari authoritarian
Theory (teori pers otoriter)
Teori yang ketiga yaitu social
responsibility theory (teori pers bertanggung jawab sosial) disini
saya berasumsi bahwa prinsip-prinsip teori pers libertarian terlalu
menyederhanakan persoalan terutama menentukan fakta-fakta apa saja yang boleh
disiarkan kepada publik dan dalam versi apa. Teori pers bertanggung jawab
sosial yang ingin mengatasi kontradiksi antara kebebasan media massa dan
tanggung jawab sosialnya ini di formulasikan secara jelas sekali pada tahun
1949 dalam laporan “commission on the freedom of the press” yang diketahui oleh
Robert Hutchins. Yang menganut teori ini adalah Amerika Serikat.
Komisi yang selanjutnya terkenal
dengan sebutan Hutchins commission ini mengajukan 5 persyaratan sebagai syarat
bagi pers yang bertanggung jawab kepada masyarakat. Lima persyaratan tersebut
adalah :
1.
Media harus menyajikan berita-berita peristiwa
sehari-hari yang dapat dipercaya, lengkap, dan cerdas dalam konteks yang
memberikannya makna. Dalam hal ini media harus menyajikan informasi kepada
masyarakat dan informasi tersebut tidak boleh berbohong dan harus disertai
dengan bukti otentik. Informasi yang disampaikan pun harus disampaikan dengan
lengkap, tidak boleh di tambah atau dikurangi (obyektif). Informasi yang
disampaikan juga harus memberikan makna dan manfaat. Media harus akurat, harus
bisa memisahkan antara fakta dan opini, harus melaporkan dengan cara yang
memberikan arti secara internasional.
2.
Media harus berfungsi sebagai forum untuk pertukaran
komentar dan kritik. Disini media harus menjadi sarana umum, lahan untuk
mengutarakan gagasan dan juga tempat untuk menyanggah atau lebih tepatnya lagi
dipakai untuk sarana berdiskusi. Dalam masyarakat harus diwakili; media harus
mengidentifikasi sumber informasi mereka karena hal ini perlu bagi sebuah
masyarakat yang bebas.
3.
Media harus memproyeksikan gambaran yang benar-benar
mewakili dari kelompok-kelompok konstituen dalam masyarakat itu. Ketika
gambaran-gamabran yang disajikan media gagal menyajikan suatu kelompok sosial
dengan benar, maka pendapat disesatkan; kebenaran tentang kelompok manapun
harus benar benar mewakili; ia harus mencakup nilai – nilai dan
aspirasi-aspirasi kelompok, tetapi ia tidak boleh mengecualikan kelemahan
kelemahan dan sifat-sifat buru kelompok.
4.
Media harus menyajikan dan menjelaskan tujuan-tujuan
dan nilai-nilai masyarakat. Dalah hal ini media harus memberikan informasi
tentang tujuan dan nilai nilai masyarakat agar masyarakat bisa menyampaikan
cita citanya dan nilai yang ada. Media adalah sebagai instrument pendidikan,
mereka harus memikul suatu tanggung jawab untuk menyatakan dan menjelaskan
cita-cita yang diperjuangkan oleh masyarakat.
5.
Media harus menyediakan akses penuh terhadap
informasi-informasi yang tersembunyi pada suatu saat. Berita ataupun informasi
yang didapatkan oleh media harus disampaikan secara luas dan disampaikan dengan
cepat, agar semualapisan masyarakan dapat merasakan semua informasi. Masyarakat
sangat membutuhkan pendistribusian informasi secara luas.
Teori yang keempat yaitu The
Soviet Communist Theory (teori komunis), baru tumbuh 2 tahun setelah
revolusi Oktober 1917 di Rusia dan berakar pada teori pers penguasa atau
teori authoritarian theory. System pers ini menopang kehidupan
sistem sosialis Soviet Rusia dan memelihara pengawasan yang dilakukan
pemerintah terhadap segala kegiatan sebagaimana biasanya terjadi dalam
kehidupan komunis. Oleh karena itu Negara-negara yang dibawah payung kekuasaan
Uni Republik Sosialis Soviet tidak terdapat pers bebas , yang ada hanya
pers pemerintah
2.3 PERKEMBANGAN SISTEM PERS INDONESIA
Awal Kemerdekaan (1942-1945)
Pers di awal kemerdekaan dimulai pada saat jaman
jepang. Dengan munculnya ide bahwa beberapa surat kabar sunda bersatu untuk
meneritkan surat kabar baru Tjahaja (Otista), beberapa surat kabar di Sumatera dimatikan
dan dibuat di Padang Nippo (melayu), dan Sumatera Shimbun (Jepang-Kanji).Dalam
kegiatan penting mengenai kenegaraan dan kebangsaan Indonesia, sejak persiapan
sampai pencetusan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, sejumlah wartawan pejuang
dan pejuang wartawan turut aktif terlibat di dalamnya. Di samping Soekarno, dan
Hatta, tercatat antara lain Sukardjo Wirjopranoto, Iwa Kusumasumantri, Ki Hajar
Dewantara, Otto Iskandar Dinata, G.S.S Ratulangi, Adam Malik, BM Diah, Sjuti
Melik, Sutan Sjahrir, dan lain-lain.
1. Setelah Indonesia Merdeka/Orde Lama (1945-1959)
Penyebarluasan tentang Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia dilakukan oleh wartawan-wartawan Indonesia di
Domei, di bawah pimpinan Adam Malik. Berkat usaha wartawan-wartawan di Domei
serta penyiar-penyiar di radio, maka praktisi pada bulan September 19945
seluruh wilayah Indonesia dan dunia luar dapat mengetahui tentang Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia.RRI (Radio Republik Indonesia) terbentuk pada
tanggal 11 September 1945 atas prakasa Maladi. Dalam usahanya itu Maladi
mendapat bantuan dari rekan-rekan wartawan lainnya, seperti Jusuf Ronodipuro,
Alamsjah, Kadarusman, dan Surjodipuro. Pada saat berdirinya, RRI langsung
memiliki delapan cabang pertamanya, yaitu di Jakarta, Bandung, Purwokerto,
Yogyakarta, Surakarta, dan Surabaya.Surat kabar Republik I yang terbit di
Jakarta adalah Nerita Indonesia, yang terbit pada tanggal 6 September 1945.
Surat kabar ini disebut pula sebagai cikal bakal Pers nasional sejak proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia, perkembangan pers republic sangat pesat, meskipun mendapat tekanan
dari pihak penguasa peralihan Jepang dan Sekutu/Inggris, dan juga adanya
hambatan distribusi.Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, di
Sumatera dan sekitarnya, usaha penyebarluasan berita dilakukan mula-mula berupa
pamflet-pamflet, stensilan, sampai akhirnya dicetak, dan disebar ke
daerah-daerah yang terpencil. Pusat-pusatnya ialah di Kotaraja (sekarang Banda
Aceh), Sumatera Utara di Medan dimana kantor berita cabang Sumatera juga ada di
Medan, lalu Sumatera Barat di Padang, Sumatera Selatan di Palembang. Selain
itu, di Sumatera muncul surat kabar-surat kabar kaum republik yang baru, di
samping surat surat kabar yang sudah ada berubah menjadi surat kabar Republik,
dengan nama lama atau berganti nama
Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia di Sulawesi dan sekitarnya, kalangan pers selalu mendapat
tekanan-tekanan, seperti yang dialami Manai Sophiaan yang mendirikan surat
kabar Soeara Indonesia di Ujung Pandang. Di Manado dan sekitarnya (Minahasa)
tekanan dari pihak penguasa pendudukan selalu dialami oleh kalangan pers. Di
daerah terpencil, seperti Ternate yang merupakan daerah yang pertama kali
diduduki oleh tentara Sekutu, para pejuang di kalangan pers tetap mempunyai
semangat tinggi.Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Jawa dan
sekitarnya, pertumbuhan pers paling subur, bila dibandingkan dengan
daerah-daerah lain di wilayah RI ini. Hal itu disebabkan jumlah wartawan yang
lebih banyak dan juga karena pusat pemerintahan RI ada di Jawa. Pusat-pusatnya,
adalah di Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Solo, dan
Surabaya.Sementara itu, para wartawan dan penerbit sepakat untuk menyatukan
barisan pers nasional, karena selain pers sebagai alat perjuangan dan penggerak
pembaangunan bangsa. Kalangan pers sendiri masih harus memecahkan
masalah-masalah yang mereka hadapi masa kini dan masa mendatang. Untuk itulah,
maka kalangan pers membutuhkan wadah guna mempersatukan pendapat dan aspirasi
mereka. Hal tersebut terwujud pada tanggal 8-9 Februari 1946, dengan
terbentuknya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Solo atau Surakarta.
Setelah agresi militer
Setelah agresi militer Belanda 1 pada
tanggal 21 Juli 1947, keadaan pers republik bertambah berat dan sulit. Kegiatan
penerbitan dan penyiaran waktu itu mengalami pengekangan dan penekanan yang
berat, karena pihak penguasa Belanda bisa secara tiba-tiba langsung menyerbu ke
kantor redaksi atau percetakan surat kabat yang bersangkutan, sekaligus
menangkap pemimpin redaksi maupun wartawan surat kabar tersebut. Pihak penguasa
Belanda mengusahakan penerditan non republik dibantu oleh kaum separatis Pro
Belanda. Usaha tersebut dilakukan dengan tujuan untuk melancarkan propaganda
sekaligus politik adu dombanya, yang dapat menumbuhkan kebingungan dan
kepanikan di kalangan masyarakat luas.Sewaktu pusat Pemerintahan RI pindah ke
Yogyakarta, kantor berita Antara pusat turut pindah di bawah pimpinan Adam
Malik Batubara, dan KB Antara Jakarta menjadi cabang yang dipimpin oleh Mochtar
Lubis, Ibnu Muhammad Arifin, dan Wan Asa Bafagih. Ini berakibat juga pindahnya
sebagian tokoh-tokoh pers Republik ke Pusat Pemerintahan RI yang baru
tersebut.Keadaan Republik Indonesia bertambah suram lagi sewaktu pada tanggal
19 Desember 1948 penguasa Belanda berhasil menduduki kota Yogyakarta. Penguasa
Belanda dan kaum separatis pro Belanda semakin berani bertindak kekerasan dan
melakukan penahanan terhadap para pejuangdan kalangan pers (wartawan) Republik.
Pada masa itu jumlah wartawan sedikit, umumnya para wartawan tersebut ditangkap
dan dipenjarakan sebagai tahanan politik. Para wartawan yang berhasil lolos ada
yang keluar kota dan ada juga yang ikut bergerilya bersama TNI di pedalaman dan
di desa=desa terpencil. Meski begitu, mereka tetap mengusahakan penerbitan
berupa stensilan.Usaha penerbitan pers RI juga diramaikan oleh partisipasi
pihak lain, seperti; kalangan pers dari golongan peranakan Cina dan keturunan
Arab, ditambah dari pihak TNI di daerah-daerah tertentu dan yang terakhir
adalah pemerintah RI sendiri mengusahkan penerbitan dengan membantu pembiayaan
usaha penerbitan pers oleh kalangan pers (wartawan) Republik.
Masa Orde Bru (1959-1998)
Di masa demokrasi Liberal, tiap orang
yang memiiki uang atau modal boleh menerbitkan surat kabar atau majalah. Tidak
diperlukan izin atau pengesahan dari siapapun. Melalui surat kabar dan majalah
ini orang boleh menyampaikan pendapat dan perasaannya, sehingga banyak Koran
dan majalah muncul di masa ini dan mereka saling berlomba menerbitkan surat
kabar dan majalah sekalipun namyak yang tidak bisa bertahan untuk terus terbit
dengan teratur.Koran-koran bekas milik RDV (Dinas Penerangan Belanda), setelah
pengakuan kedaulatan dialihkan ke tangan tenaga-tenaga Indonesia, Koran bekas
RDV hidup jauh lebih baik daripada Koran Indonesia yang ditangani langsung oleh
orang Indonesia. Hal ini antara lain disebabkan Koran milik RDV sewaktu
dialihkan sudah mempunyai aparat distribusi yang lengkap. Selain itu koran RDV
mempunyai aparat distribusi yang lengkap. Selain itu koran RDV mempunyai
peralatan cetak yang jauh lebih lengkap dan canggih dibandingkan dengan
percetakan koran bangsa Indonesia.Matinya majalah dan koran bermutu di masa
Demokrasi Liberal kemungkinan besar disebabkan oleh mismanajemen atau salah
urus baik dibidang teknik redaksional, teknis peralatan, keuangan, dan bernagai
urusan perusahaan lainnya. Disamping itu munculnya koran dan majalah yang
isinya mengarah ke pornografi membuat keadaan semakin buruk.Di masa awal
pelaksanaan Demokrasi Terpimpin, surat kabar dan majalah yang tidak
bersedia ikut serta dalam gelombang Demokrasi Terpimpin harus
menyingkir atau disingkirkan. Semakin lama peaturan ini semakin ketat. Di
Jakarta, keluar larangan berpolitik dalam segala bentuk termasuk dalam bentuk
tulis-menulis. Khusus mengenai pers ada Sembilan ketentuan yang salah satunya
adalah pers dan alat-akat penyiaran lainnya dilarang melakukan penyiaran
kegiatan politik yang langsung dapat mempengaruhi haluan Negara, dan tidak
bersumber pada badan pemerintahan yang berwenang untuk itu.SIT adalah Surat Izin Terbit
dan SIC adalah Surat
Izin Cetak yang pada masa Demokrasi Terpimpin sukar
mendapatkannya. Semua penerbit pada tahun 1960 diwajibkan mengajukan permohonan
SIT, sebagai pengesahan dillakukannya kegiatan penyiaran. Pada bagian bawah
permohonan SIT tercantum 19 pasal pernyataan yang mengandung janji penanggung
jawab surat kabar tersebut yaitu jika ia diberi SIT akan mendukung jawab surat
kabar tersebut yaitu jika ia diberi SIT akan mendukung Manipol-Usdek dan
akan mematuhi pedoman yang telah dan akan dikeluarkan oleh penguasa. Pernyataan
ini dengan mudah dipergunakan oleh penguasa sebagai alat penekan surat
kabar.PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan yang diakui pemerintahdi
masaDemokrasi Terpimpin dikelola oleh wartawan-wartawan berpaham komunis dan
yang bersimpati pada paham ini. PKI berusaha menguasai PWI dengan sekuat tenaga
karena melalui PWI, SPS, dan Pancatunggal SIT dan SIC dikeluarkan. Dengan
demikian dapat menentukan siapa yang bisa diberi SIT dan SIC.BPS singkatan
dari Badan Pendukung/Penyebar Soekarnoisme. Badan ini dibentuk
untuk menandingi organisasi yang berinduk pada PKI. Tokohnya yang terkenal
adalah Sajuti Melik BPS tidak menyetujui Nasakaom tetapi setuju dengan Nasasos
(Naionalis, Agama, Sosialis). Koran pendukung BPS harus bersedia memuat tulisan
Sajuti Melik sebagai usaha mengimbangi dan mengadakan perlawanan PKI. BPS
ditentang PKI dengan tuduhan BPS hendak mengadakan PWI tandingan. Sehingga
perang pena dan fitnah pun terjadi.Sewaktu menerbitkan Berita Yudha, Jenderal Ahmad
Yani menyadari di masa Demokrasi Terpimpin itu akan sangat
membahayakan masyarakat apabila tidak ada lagi pegangan dan hanya mendapat satu
sumber berita. Saat itu hanya ada suara dari PKI, karena itu perlu diambil alih
dengan segera harian pendukung BPS Berita Indonesia dan mengganti namanya Berita Yudha dengan motto: Untuk
Mempertinggi Ketahanan Revolusi Indonesia. Sedangkan Jenderal A. H Nasution
juga menerbitkan surat kabar bernama Angkatan Bersenjata dengan inti tujuan
yang sama.Beberapa factor penunjang keberhasilan PKI dalam bidang pers dan
media massa yaitu:
1. Disiplin kerja.
Dengan disiplin
kerja, mereka bersedia menyingkirkan pendapat pribadi dengan patuh pada
indtruksi atasan.
2. Jaminan
Sosial.
Mereka mendapat
jaminan dalam kehidupannya
3. Hubungan dengan fungsionaris/tokoh partai.
Hubungan ini akan
mempermudah control atas tiap anggota.Sebagai langkah awal dalam usaha
merumuskan kehidupan pers nasional sesuai dengan dasar Negara Pancasila dan UUD
1945, adalah dengan dikeluarkannya Ketetapan MPRS No. XXXII/MPRS/1966 pada
tanggal 6 Juli 1966. Kalangan pers menyambut keluarnya ketetapan MPRS tersebut
dengan pencetusan Deklarasi Wartawan Indonesia, yang dihasilkan oleh konferensi
Kerja PWI di Pasir Putih Jawa Timur pada tanggal 13-15 Oktober 1966.Setelah DPR
berhasil merealisasikan UU No. 11/1966 sebagai UU Pokok Pers pada tanggal 12
Desember 1966, masalah selanjutnya adalah mengenai kesepakatan dalam penafsiran
dari UU Pokok Pers tersebut, terutama masalah fungsi, kewajiban dan hak per
situ sendiri.Dalam usaha memantapkan penafsiran serta pelaksaan UU Pokok Pers
dalam praktiknya, amak dibentuklah Dewan Pers. Dewan Pers merupakan pendamping
pemerintah untuk bersama-sama membina pertumbuhan dan perkembangan pers
nasional.Selama masa 4 tahun pertama pemerintahan Orde Baru, meski pemerintah
menghadapi berbagai masalah stabilitas dan rehabilitas i keamanan, politik
pemerinta dan ekonomi, telah diisi dengan langkah-langkah awal peletakan
kerangka dasar bagi pembangunan pers Pancasila.Tahap selanjutnya adalah tahap
pemantapan menuju tahap pemapanan diri dalam pers nasional. Pada tahap ini
upaya yang dialkukan adalah penerapan mekanisme interaksi positif antara pers,
masyarakat dan pemerintah.1.
Masa Orde Baru dan Era Reformasi
Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno dan masa
pemerintahan Presiden Soeharto sangat dibatasi oleh kepentingan pemerintah.
Pers dipaksa untuk memuat setiap berita harus tidak boleh bertentangan dengan
pemerintah, di era pemerintahan Soekarno dan Soeharto, kebebasan pers ada,
tetapi lebih terbatas untuk memperkuat status quo, ketimbang guna membangun
keseimbangan antarfungsi eksekutif, legislatif, yudikatif, dan kontrol publik
(termasuk pers). Karenanya, tidak mengherankan bila kebebasan pers saat itu lebih
tampak sebagai wujud kebebasan (bebasnya) pemerintah, dibanding bebasnya
pengelola media dan konsumen pers, untuk menentukan corak dan arah isi
pers.Bagi Indonesia sendiri, pengekangan pemerintah terhadap pers di mulai
tahun 1846, yaitu ketika pemerintah kolonial Belanda mengharuskan adanya surat
izin atau sensor atas penerbitan pers di Batavia, Semarang, dan Surabaya. Sejak
itu pula, pendapat tentang kebebasan pers terbelah. Satu pihak menolak adanya
surat izin terbit, sensor, dan pembredelan, namun di pihak lain mengatakan
bahwa kontrol terhadap pers perlu dilakukan.Sebagai contoh adanya pembatasan
terhadap pers dengan adanya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) sesuai
dengan Permenpen 01/1984 Pasal 33h. Dengan definisi ”pers yang bebas dan bertanggung
jawab”, SIUPP merupakan lembaga yang menerbitkan pers dan
pembredelan.Terjadinya pembredelan Tempo, Detik, Editor pada 21 Juni 1994,
mengisyaratkan ketidakmampuan sistem hukum pers mengembangkan konsep pers yang
bebas dan bertanggung jawab secara hukum. Ini adalah contoh pers yang otoriter
yang di kembangkan pada rezim orde baru.Tak ada demokrasi tanpa kebebasan
berpendapat. Kebebasan berpendapat merupakan salah satu hak paling mendasar
dalam kehidupan bernegara. Sesuai Prinsip Hukum dan Demokrasi, bahwa
perlindungan hukum dan kepastian hukum dalam menegakkan hukum perlu ada
keterbukaan dan pelibatan peran serta masyarakat. Untuk itu, kebebasan pers,
hak wartawan dalam menjalankan fungsi mencari dan menyebarkan informasi harus
dipenuhi, dihormati, dan dilindungi. Hal ini sesuai dengan UUD 45 Pasal 28
tentang kebebasan berserikat, berkumpul dan berpendapat.Suatu pencerahan datang
kepada kebebasan pers, setelah runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998. Pada
saat itu rakyat menginginkan adanya reformasi pada segala bidang baik ekonomi,
sosial, budaya yang pada masa orde baru terbelenggu. Tumbuhnya pers pada masa
reformasi merupakan hal yang menguntungkan bagi masyarakat. Kehadiran pers saat
ini dianggap sudah mampu mengisi kekosongan ruang publik yang menjadi celah
antara penguasa dan rakyat. Dalam kerangka ini, pers telah memainkan peran
sentral dengan memasok dan menyebarluaskan informasi yang diperluaskan untuk
penentuan sikap, dan memfasilitasi pembentukan opini publik dalam rangka
mencapai konsensus bersama atau mengontrol kekuasaan penyelenggara negara.Peran
inilah yang selama ini telah dimainkan dengan baik oleh pers Indonesia.
Setidaknya, antusias responden terhadap peran pers dalam mendorong pembentukan
opini publik yang berkaitan dengan persoalan-persoalan bangsa selama ini
mencerminkan keberhasilan tersebut.Setelah reformasi bergulir tahun 1998, pers
Indonesia mengalami perubahan yang luar biasa dalam mengekspresikan kebebasan.
Fenomena itu ditandai dengan munculnya media-media baru cetak dan elektronik
dengan berbagai kemasan dan segmen. Keberanian pers dalam mengkritik penguasa
juga menjadi ciri baru pers Indonesia.Pers yang bebas merupakan salah satu
komponen yang paling esensial dari masyarakat yang demokratis, sebagai
prasyarat bagi perkembangan sosial dan ekonomi yang baik. Keseimbangan antara
kebebasan pers dengan tanggung jawab sosial menjadi sesuatu hal yang penting.
Hal yang pertama dan utama, perlu dijaga jangan sampai muncul ada tirani media
terhadap publik. Sampai pada konteks ini, publik harus tetap mendapatkan
informasi yang benar, dan bukan benar sekadar menurut media. Pers diharapkan
memberikan berita harus dengan se-objektif mungkin, hal ini berguna agar tidak
terjadi ketimpangan antara rakyat dengan pemimpinnya mengenai informasi tentang
jalannya pemerintahan.Sungguh ironi, dalam sistem politik yang relatif terbuka
saat ini, pers Indonesia cenderung memperlihatkan performa dan sikap yang
dilematis. Di satu sisi, kebebasan yang diperoleh seiring tumbangnya rezim Orde
Baru membuat media massa Indonesia leluasa mengembangkan isi pemberitaan.
Namun, di sisi lain, kebebasan tersebut juga sering kali tereksploitasi oleh
sebagian industri media untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan
mengabaikan fungsinya sebagai instrumen pendidik masyarakat. Bukan hanya
sekedar celah antara rakyat dengan pemimpin, tetapi pers diharapkan dapat
memberikan pendidikan untuk masyarakat agar dapat membentuk karakter bangsa
yang bermoral. Kebebasan pers dikeluhkan, digugat dan dikecam banyak pihak karena
berubah menjadi ”kebablasan pers”. Hal itu jelas sekali terlihat pada
media-media yang menyajikan berita politik dan hiburan (seks). Media-media
tersebut cenderung mengumbar berita provokatif, sensasional, ataupun terjebak
mengumbar kecabulan.Ada hal lain yang harus diperhatikan oleh pers, yaitu dalam
membuat informasi jangan melecehkan masalah agama, ras, suku, dan kebudayaan
lain, biarlah hal ini berkembang sesuai dengan apa yang mereka
yakini.Sayangnya, berkembangnya kebebasan pers juga membawa pengaruh pada
masuknya liberalisasi ekonomi dan budaya ke dunia media massa, yang sering kali
mengabaikan unsur pendidikan. Arus liberalisasi yang menerpa pers, menyebabkan
Liberalisasi ekonomi juga makin mengesankan bahwa semua acara atau pemuatan
rubrik di media massa sangat kental dengan upaya komersialisasi. Sosok
idealisme nyaris tidak tercermin dalam tampilan media massa saat ini. Sebagai
dampak dari komersialisasi yang berlebihan dalam media massa saat ini,
eksploitasi terhadap semua hal yang mampu membangkitkan minat orang untuk
menonton atau membaca pun menjadi sajian sehari-hari.Ide tentang kebebasan pers
yang kemudian menjadi sebuah akidah pelaku industri pers di Indonesia. Ada dua
pandangan besar mengenai kebebasan pers ini. Satu sisi, yaitu berlandaskan pada
pandangan naturalistik atau libertarian, dan pandangan teori tanggung jawab
sosial.Menurut pandangan libertarian, semenjak lahir manusia memiliki hak-hak
alamiah yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun, termasuk oleh
pemerintahan. Dengan asumsi seperti ini, teori libertarian menganggap sensor
sebagai kejahatan. Hal ini dilandaskan pada tiga argumen. Pertama, sensor
melanggar hak alamiah manusia untuk berekspresi secara bebas. Kedua, sensor
memungkinkan tiran mengukuhkan kekuasaannya dengan mengorbankan kepentingan
orang banyak. Ketiga, sensor menghalangi upaya pencarian kebenaran. Untuk
menemukan kebenaran, manusia membutuhkan akses terhadap informasi dan gagasan,
bukan hanya yang disodorkan kepadanya.Kebebasan pers sekarang yang dipimpin presiden
Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, negara dan bangsa kita
membutuhkan kebebasan pers yang bertanggung jawab (free and responsible press).
Sebuah perpaduan ideal antara kebebasan pers dan kesadaran pengelola media
massa (insan pers), khususnya untuk tidak berbuat semena-mena dengan kemampuan,
kekuatan serta kekuasaan media massa (the power of the press). Di bawah
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, kebebasan
pers Indonesia idealnya dibangun di atas landasan kebersamaan kepentingan
pengelola media, dan kepentingan target pelayanannya, tidak peduli apakah
mereka itu mewakili kepentingan negara (pemerintah), atau kepentingan
rakyat.Dalam kerangka kebersamaan kepentingan dimaksud, diharap aktualisasi
kebebasan pers nasional kita, tidak hanya akan memenuhi kepentingan sepihak,
baik kepentingan pengelola (sumber), maupun teratas pada pemenuhan kepentingan
sasaran (publik media). Pers harus tanggap terhadap situasi publik, karena
ketidakberdayaan publik untuk mengapresiasikan pendapatnya kepada pemimpin pers
harus berperan sebagai fasilitator untuk dapat mengapresiasikan apa yang
diinginkan.
Pers Mempunyai
Peran penting dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia
Secara History bahwa peranan pers juga
memegang peranan yang penting pada saat kemerdekaan Indonesia hal itu di tandai
dengan banyak terlibatnya tokoh-tokoh pers / wartawan dalam ikut memerdekakan
Indonesia, di antaranya :
1) Wage Rudolf Supratman, Dia bekerja
sebagai wartawan yang juga ikut terlibat dalam Kongres Sumpah Pemuda II yang
pada akhirnya menciptakan lagu Indonesia Raya yang akhirnya menjadi lagu
kebangsaan Indonesia.
2) Sutomo ( Bung Tomo ), Sutomo
pemuda kelahiran surabaya yang bekerja sebagai jurnalis yang sukses ketika pada
Oktober dan November 1945, ia menjadi salah satu Pemimpin yang menggerakkan dan
membangkitkan semangat rakyat Surabaya, yang pada waktu itu Surabaya diserang
habis-habisan oleh tentara-tentara NICA. Sutomo terutama sekali dikenang karena
seruan-seruan pembukaannya di dalam siaran-siaran radionya yang penuh dengan
emosi.
Perkembangan
Pers di Indonesia
Sejarah perkembangan pers di Indonesia
tidak terlepas dari sejarah politik Indonesia. Pada masa pergerakan sampai masa
kemerdekaan, pers di Indonesia terbagi menjadi 3 golongan, yaitu pers Kolonial,
pers Cina, dan pers Nasional.
1) Pers Kolonial adalah pers yang
diusahakan oleh orang-orang Belanda di Indonesia pada masa kolonial/penjajahan.
Pers kolonial meliputi surat kabar, majalah, dan koran berbahasa Belanda,
daerah atau Indonesia yang bertujuan membela kepentingan kaum kolonialis
Belanda.
2) Pers Cina adalah pers yang
diusahakan oleh orang-orang Cina di Indonesia. Pers Cina meliputi koran-koran,
majalah dalam bahasa Cina, Indonesia atau Belanda yang diterbitkan oleh golongan
penduduk keturunan Cina.
3) Pers Nasional adalah pers yang
diusahakan oleh orang-orang Indonesia terutama orang-orang pergerakan dan
diperuntukkan bagi orang Indonesia. Pers ini bertujuan memperjuangkan hak-hak
bangsa Indonesia di masa penjajahan. Tirtohadisorejo atau Raden Djokomono,
pendiri surat kabar mingguan Medan Priyayi yang sejak 1910 berkembang menjadi
harian, dianggap sebagai tokoh pemrakarsa pers Nasional. Adapun perkembangan
pers Nasional dapat dikategorikan menjadi beberapa peiode sbb :
a) Tahun 1945 – 1950-an
Pada masa ini, pers sering disebut sebagai
pers perjuangan. Pers Indonesia menjadi salah satu alat perjuangan untuk
kemerdekaan bangsa Indonesia. Beberapa hari setelah teks proklamasi dibacakan
Bung Karno, terjadi perebutan kekuasaan dalam berbagai bidang kehidupan
masyarakat, termasuk pers. Hal yang diperebutkan terutama adalah peralatan
percetakan.
Pada bulan September-Desember 1945,
kondisi pers RI semakin kuat, yang ditandai oleh mulai beredarnya koran Soeara
Merdeka (Bandung),Berita Indonesia (Jakarta), Merdeka, Independent, Indonesian
News Bulletin, Warta Indonesia, dan The Voice of Free Indonesia.
b) Tahun 1950 – 1960-an
Masa ini merupakan masa pemerintahan
parlementer atau masa demokrasi liberal. Pada masa demokrasi liberal, banyak
didirikan partai politik dalam rangka memperkuat sistem pemerintah parlementer.
Pers, pada masa itu merupakan alat propaganda dari Par-Pol. Beberapa partai
politik memiliki media/koran sebagai corong partainya. Pada masa itu, pers
dikenal sebagaipers partisipan.
c) Tahun 1970-an
Orde baru mulai berkuasa pada awal tahun
1970-an. Pada masa itu, pers mengalami depolitisasi dan komersialisasi pers.
Pada tahun 1973, Pemerintah Orde Baru mengeluarkan peraturan yang memaksa
penggabungan partai-partai politik menjadi tiga partai, yaitu Golkar, PDI,dan
PPP. Peraturan tersebut menghentikan hubungan partai-partai politik dan
organisasi massa terhadap pers sehingga pers tidak lagi mendapat dana dari
partai politik.
d) Tahun 1980-an
Pada tahun 1982, Departemen Penerangan
mengeluarkan Peraturan Menteri Penerangan No. 1 Tahun 1984 tentang Surat Izin
Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Dengan adanya SIUPP, sebuah penerbitan pers yang
izin penerbitannya dicabut oleh Departemen Penerangan akan langsung ditutup
oleh pemerintah. Oleh karena itu, pers sangat mudah ditutup dan dibekukan
kegiatannya. Pers yang mengkritik pembangunan dianggap sebagai pers yang berani
melawan pemerintah. Pers seperti ini dapat ditutup dengan cara dicabut
SIUPP-nya.
e) Tahun 1990-an
Pada tahun 1990-an, pers di Indonesia
mulai melakukan repolitisasi lagi. Maksudnya, pada tahun 1990-an sebelum
gerakan reformasi dan jatuhnya Soeharto, pers di Indonesia mulai menentang
pemerinah dengan memuat artikel-artikel yang kritis terhadap tokoh dan
kebijakan Orde Baru. Pada tahun 1994, ada tiga majalah mingguan yang ditutup,
yaitu Tempo, DeTIK, dan Editor.
f) Masa Reformasi (1998/1999) –
sekarang
Pada masa reformasi, pers Indonesia
menikmati kebebasan pers. Pada masa ini terbentuk UU Nomor 40 Tahun 1999
tentang Pers. Era reformasi ditandai dengan terbukanya keran kebebasan
informasi. Di dunia pers, kebebasan itu ditunjukkan dengan dipermudahnya
pengurusan SIUPP. Sebelum tahun 1998, proses untuk memperoleh SIUPP melibatkan
16 tahap, tetapi dengan instalasi Kabinet BJ. Habibie proses tersebut
melibatkan 3 tahap saja.
Berdasarkan perkembangan pers tersebut,
dapat diketahui bahwa pers di Indonesia senantiasa berkembang dan berubah
sejalan dengan tuntutan perkembangan zaman. Pers di Indonesia telah mengalami
beberapa perubahan identitas. Adapun perubahan-perubahan tersebut adalah sbb :
Ø Tahun 1900-an, pers di Indonesia
berperan sebagai propagandis dan ikut mengabarkan perkembangan informasi demi
mendukung perjuangan dalam merebut kemerdekaan
Ø Tahun 1945-an, pers di Indonesia dimulai
sebagai pers perjuangan.
Ø Tahun 1950-an dan tahun 1960-an
menjadi pers partisan yang mempunyai tujuan sama dengan partai-partai politik
yang mendanainya.
Ø Tahun 1970-an dan tahun 1980-an
menjadi periode pers komersial, dengan pencarian dana masyarakat serta jumlah
pembaca yang tinggi.
Ø Awal tahun 1990-an, pers memulai
proses repolitisasi.
Ø Awal reformasi 1999, lahir pers
bebas di bawah kebijakan pemerintahan BJ. Habibie, yang kemudian diteruskan
pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri, hingga sekarang ini
masa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau biasa di singkat
dengan SBY.
Pers atau media amat dibutuhkan baik oleh
pemerintah maupun rakyat dalam kehidupan bernegara. Pemerintah mengharapkan
dukungan dan ketaatan masyarakat untuk menjalankan program dan kebijakan
negara. Sedangkan masyarakat juga ingin mengetahui program dan kebijakan
pemerintah yang telah, sedang, dan akan dilaksanakan.
Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999
Pasal 33 disebutkan mengenai fungsi pers, dalam hal ini pers nasional. Adapun
fungsi pers nasional adalah sbb :
1. Sebagai wahana komunikasi massa.
Pers nasional sebagai sarana berkomunikasi
antarwarga negara, warga negara dengan pemerintah, dan antarberbagai pihak.
2. Sebagai penyebar informasi.
Pers nasional dapat menyebarkan informasi
baik dari pemerintah atau negara kepada warga negara (dari atas ke bawah)
maupun dari warga negara ke negara (dari bawah ke atas).
3. Sebagai pembentuk opini.
Berita, tulisan, dan pendapat yang
dituangkan melalui pers dapat menciptakan opini kepada masyarakat luas. Opini
terbentuk melalui berita yang disebarkan lewat pers.
4. Sebagai media informasi,
pendidikan, hiburan, dan kontrol serta sebagai lembaga ekonomi.
UU No. 40 Tahun 1999 Pasal 2 menyebutkan :
“Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan
prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.”
Peraturan Perundang-undangan tentang
Kebebasan Pers di Indonesia
Hak masyarakat atau warga negara Indonesia
untuk mengeluarkan pikiran secara lisan, atau tulisan mendapat jaminan dalam
UUD 1945 Pasal 28, yang berbunyi ;
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
Undang-Undang.”
Selain itu, kebebasan pers di Indonesia
memiliki landasan hukum yang termuat didalam ketentuan-ketentuan sbb :
1. Pasal 28 F UUD 1945, yang menyatakan setiap orang berhak
untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis
saluran yang tersedia.
2. Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang
antara lain menyatakan bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh
informasi.
3. Pasal 19 Piagam PBB tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi,
“Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam
hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari,
menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja
dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah.”
Keseimbangan antara kebebasan pers dengan
tanggung jawab sosial menjadi sesuatu hal yang penting. Hal yang pertama dan
utama, perlu dijaga jangan sampai muncul ada tirani media terhadap publik.
Sampai pada konteks ini, publik harus tetap mendapatkan informasi yang benar,
dan bukan benar sekadar menurut media. Pers diharapkan memberikan berita harus
dengan se-objektif mungkin, hal ini berguna agar tidak terjadi ketimpangan
antara rakyat dengan pemimpinnya mengenai informasi tentang jalannya
pemerintahan.
Pola Hubungan
Pers dan Politik
Sistem pers, merupakan bagian atau
subsistem dari sistem komunikasi. Sedangkan sistem komunikasi itu sendiri
merupakan bagian dari suatu sistem sosial. Oleh karena itu untuk mengetahui
sistem pers kita tidak bisa lepas dari bentuk sistem sistem sosial dan bentuk
pemerintahan pemerintahan negara yang ada, dimana sistem pers itu berada.
Dari dimensi sejarah pertumbuhan dan
perkembangan pers dunia, maka kita mengenal empat macam teori atau konsep dasar
tentang pers, yang masing-masing mencerminkan sistem sosial dan sistem politik
dimana pers itu berkembang. Fred S. Siebert, Theodore Peterson dan Wibur
Schramm (1963), dalam Four Theories of the Press membedakan teori pers ke
dalam: teori pers otoriter, teori pers liberal, teori pers komunis, teori pers
tanggungjawab sosial.
1) Teori Pers Otoriter (authorian)
Teori otoriter lahir pada abad kelima belas
sampai keenam belas pada masa bentuk pemerintahan bersifat otoriter (kerajaan
absolut). Dalam teori ini media massa berfungsi menunjang negara (kerajaan) dan
pemerintah dengan kekuasaan untuki memajukan rakyat sebagai tujuan utama. Oleh
karena itu pemerintah langsung menguasai dan mengawasi kegiatan media massa.
Akibatnya sistem media massa sepenuhnya berada di bawah pengawasan pemerintah.
Kebebasan pers sangat bergantung pada kekuasaan raja yang mempunyai kekuasaan
mutlak.
Dalam sistem ini manusia adalah bagian
dari masyarakat. Manusia baru dapat berarti kalau ia hidup dalam kelompok.
Sebagai individu, kegiatannya sangat terbatas. Kelompok lebih penting dari
individu. Masyarakat tercermin dalam organisasi-organisasi, dan yang terpenting
adalah negara.
Sistem politik Indonesia pada jaman Orde
Baru pernah menerapkan teori ini, menerapkan pemasungan terhadap kebebasan pers
dengan memberlakukan UU no 11 tahun 1966 juncto UU no 21 tahun 1982. Dalam dua
undang-undang tersebut, secara tersurat, memberi kewenangan yang sangat
signifikan kepada pemerintah untuk mengatur pola-pola komunikasi sistem pers
pada waktu itu.
(2) Teori Pers Liberal
Sistem pers liberal ini berkembang pada
abad ketujuh belas dan kedelapan belas sebagai akibat timbulnya revolusi
industri dan perubahan besar di dalam pemikiran-pemikiran masyarakat di Barat
pada waktu itu yang lebih dikenal sebagai abad aufklarung (abad pencerahan).
Menurut teori ini, manusia pada dasarnya
mempunyai hak-haknya secara alamiah untuk mengejar dan mengembangkan potensinya
apabila diberikan iklim kebebasan menyatakan pendapat. Hal ini tidak mungkin
berlaku apabila terdapat kontrol dari pemerintah. Menurut paham liberalisme,
manusia pada hakekatnya dilahirkan sebagai makhluk bebas yang dikendalikan oleh
ratio atau akalnya. Kebahagiaan dan kesejahteraan individu merupakan tujuan
dari manusia, masyarakat, dan negara.
Sistem politik Indonesia, terutama pada
tahun 1950 - 1959 dengan berlakunya UUDS, pernah menerapkan teori pers liberal.
Peraturan perundangan tentang pers masih mengacu pada KUHP warisan kolonial.
Realitas kehidupan pers benar-benar menggambarkan penerapan teori pers liberal.
Pers pada masa ini cenderung tidak lagi dipergunakan untuk perjuangan negara,
namun dipergunakan sebagai terompet partai.
(3) Teori Komunis
Dalam teori komunis ini, media massa
merupakan alat pemerintah (partai) dan bagian integral dari negara. Ini berarti
bahwa media massa harus tunduk pada perintah dan kontrol dari pemerintah atau
partai. Tunduknya media massa pada partai komunis membawa arti yang lebih
dalam, yaitusebagai alat dari partai komunis yang berkuasa. Kritik diijinkan
dalam media massa, tetapi kritik terhadap dasar ideologi dilarang.
(4) Teori Pers
Tanggungjawab Sosial
Teori tanggung jawab
sosial ini muncul pada permulaan abad kedua puluh sebagai protes terhadap
kebebasan yang mutlak dari Teori Libertarian yang mengakibatkan kemerosotan
moral pada masyarakat. Dasar pemikiran teori ini adalah kebebasan pers harus
disertai tanggung jawab kepada masyarakat. Teori ini merupakan hasil pemikiran
para ahli pikir ketika itu yang merasa bahwa teori lebertarian murni dan
tradisional sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan zaman dan kebutuhan
masyarakat pada waktu itu. Teori ini sering dianggap sebagi bentuk revisi
terhadap teori-teori sebelumnya, yang menganggap bahwa tanggung jwab pers
terhadap masyarakat sangat kurang. Hal ini ingin ditekankan sebagai orientasi
yang utama dari pers. Penekanan tanggung jawab moral kepada masyarakat dengan
usaha untuk menghindari kemungkinan terjadinya keadaan yang membahayakan
kesejahteraan umum.
keberadaan pers saat
ini di pengaruhi oleh kebijakan pada zaman Soeharto,pers hanya dibolehkan untuk
kepentingan pemerintahan sangat dibatasi,karena menganut sistem status quo.
Karena hal itu menyebabkan jalannya pemerintahan secara bebas-bebasan, karena
kurangnya pantauan dan keterbatasannya pers dalam mengelola media dan konsumsi
masarakat. Dan sebenarnya adanya keterbatasan dalam pers ini diakibatkan karena
pada zaman belanda yang diberikan kepada pers Batavia sangat terbatas. Namun,
setelah lahirnya pasal 28, atas kebebasan “berserikat,berkumpul,berpendapat”
ternyata mempengaruhi keberadaan pers menjadi lebih baik. Dan ternyata setelah
masa reformasi keberadaan pers mendapat titik terang dan pencerahan terhadap
pers,serta memberi ruang kosong bagi masyarakat untuk mengenal para penguasa
dan sebagai pemasok informasi secara lengkap bagi masyarakat,seperti hadirnya
media-media cetak di Indonesia,dan diharapkan dengan kebebasan pers ini,para
pencari berita dapat memberikan pers seobjektif mungkin demi kepentingan
masyarakat.
Dengan adanya
kebebasan media massa maka akhirnya mengalami pergeseran ke arah liberal pada
beberapa tahun belakangan ini. Ini merupakan kebebasan pers yang terdiri dari
dua jenis : Kebebasan Negatif dan Kebebasan Positif.
1) Kebebasan
negatif merupakan kebebasan yang berkaitan dnegan masyarakat dimana media
massa itu hidup. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan dari interfensi pihak
luar organisasi media massa yang berusaha mengendalikan, membatasi atau
mengarahkan media massa tersebut.
2) Kebebasan
positif merupakan kebebasan yang dimiliki media massa secara organisasi
dalam menentukan isi media. Hal ini berkaitan dengan pengendalian yang
dijalankan oleh pemilik media dan manajer media terhadap para produser,
penyunting serta kontrol yang dikenakan oleh para penyunting terhadap
karyawannya.
Kedua jenis kebebasan
tersebut, bila melihat kondisi media massa Indonesia saat ini pada dasarnya
bisa dikatakan telah diperoleh oleh media massa kita. Memang kebebasan yang
diperoleh pada kenyataannya tidak bersifat mutlak, dalam arti media massa
memiliki kebebasan positif dan kebebasan negatif yang kadarnya kadang-kadang
tinggi atau bisa dikatakan bebas yang bebas-sebebasnya tanpa kontrol sedikitpun.
Bebasnya pers,
cenderung menjadi kesempatan birokrat, pengusaha, penguasa dan politikus
melanggengkan kekuasaannya. Kebebasan media juga menjadi kebebasan untuk
dimiliki siapa saja, termasuk yang ingin menjaga kekuasaan dan keuntungan
semata. Telah menjadi rahasia umum, media di Indonesia disusupi pemilik kantong
tebal untuk mendirikan dan menanamkan sahamnya. Tak ayal lagi, beberapa media
kemudian membungkus berita kritik dan pengungkapan kasus-kasus kejanggalan
kejahatan birokrat, pengusaha dan politikus dengan membalikkan media dengan
penyajian infotaimen, sinetron dan musik yang porsinya lebih besar. Lahirlah
media yang bebas, vulgar dan cenderung tidak beretika.
Perlawanan pers yang
telah mendapatkan kebebasan, tanpa disadari bukan hanya perlu sebagai lembaga
ke-empat penyeimbang kekuatan legislatif, yudikatif dan eksekutif yang
mengontrol dan mengkritik. Tapi pers, kini memiliki lawan baru yakni pers yang
memiliki keberpihakan, kepentingan dan idiologi tertentu yang cenderung merusak
masyarakat. Pers idealis perlu membuat patron yang jelas, garis kerja
profesional dan tindakan riil terhadap berbagai perilaku pers disisi yang lain.
Merusak citra pers dengan menyembunyikan fakta, mengurangi informasi dan
membesar-besarkan informasi yang membodohi, tidak bernilai berita dan tidak
memiliki kepentingan bagi masyarakat.
Sebuah media massa
dapat mendukung semua kebijakan pemerintah, menentang, atau bahkan mendua
terhadap suatu kebijakan. Bisa saja bersikap pro atau kontra. Media massa juga
dapat menentukan diri sebagai lawan pemerintah atau bahkan sebagai pengawal
kebijakan pemerintah. Suara (kebijakan) pemerintah bisa menjadi bahan
perbincangan, perdebatan dan interpretasi oleh figur-figur yang terlibat dalam
pengelolaan media.
Ada ketakutan yang
luar biasa apabila kebebasan Pers pada akhirnya menjadi celah pada kepentingan
para birokrat dan penguasa maupun pengusaha, hal ini sangat memungkinkan
terjadi untuk masa sekarang dan bahkan akan berkelanjutan untuk di masa yang
akan datang. Hal ini di tandai dengan terlibatnya beberapa pengusaha-pengusaha
besar media yang akhirnya terlibat dalam politik praktis secara langsung.
Keberadaan Media atau Pers pada akhirnya akan berpihak terhadap situasi politik
nasional yang berkaitan dengan kepentingan pribadi atau golongan tertentu dan
pada akhirnya akan lebih meninggalkan fungsi dari pres itu sendiri.
Kekuatan Media
sebenarnya merupakan kekuatan ke 4 Strategis Bangsa Indonesia, karena
keterlibatan pres dapat ikut terlibat mewujudkan amanat rakyat sesuai dengan
cita-cita pembukaan UUD 1945 yaitu Mencerdaskan kehidupan Bangsa. Maka tidak
menjadi relevan apabila peran pres atau media di kendalikan oleh situasi dan
dinamika politik nasional yang jelas akan melunturkan dari cita-cita dan
perjuangan strategisnya.
2.4 JENIS-JENIS SISTEM PERS?
Sebelum kita masuk kedalam jenis sistem pers maka kita haruslah mengetahui bagaimana
falsafah pers.
Seperti
juga Negara yang memiliki falsafah, pers pun memiliki falsafahnya sendiri.
Falsafah atau dalam bahasa inggris philosophy salah satu artinya adalah tata nilai atau
prinsip-prinsip untuk dijadikan pedoman dalam menangani urusan-urusan praktis.
Dalam membicarakan falsafah pers, terdapat sebuah buku klasik akan hal ini,
yaitu Four Theories of the Press (empat teori tentang pers) yang ditulis oleh
Siebert bersama Peterson dan Schramm dan diterbitkan oleh universitas Illinois
pada tahun 1956 . dari karya ini, pada tahun 1980, muncul
“teori” baru tentang Rivers, Schramm dan Christians dalam buku mereka berjudul Responsibiliti in Mass Communication.
Baik
Sibert dkk, maupun Rivers dkk. pada prinsipnya mewakili pandangan Barat yang
pada dasarnya mengembangkan tiga cara dalam mengaitkan pers dan
masyarakat.ketiga cara tersebut masing-masing melibatkan definisi yang berlainan
tentang manusia, tentang Negara, tentang kebenaran dan tentang perilaku moral.
Hanya saja bagi Sibert dkk, ketiga cara tersebut merupakan landasan lahirnya
empat teori tentang pers atau Four Theories of the Press(empat teori tentang pers).
Four
Theories of the Press (empat teori tentang pers) yang masih sangat
besar pengaruhnya itu memaparkan pandangan normative Sibert dkk. tentang
bagaimana media berfungsi dalam berbagai lapisan masyarakat
a)
Sistem
Pers otoritarian
b)
Sistem
Pers liberal
c)
Sistem
Pers komunis
d)
Sistem
Pers tanggung jawab sosial
Sistem pers otoritarian
Sejarah Pers Otoritarian
Teori pers otoritarian merupakan teori
pers yang paling tua kemunculannya dengan teori pers yang lain. Teori ini
muncul pada masa akhir Renaisans. Setelah ditemukannya mesin Cetak. Pada masa
Renaisans teori ini menganggap kebenaran bukanlah bersal dari pemikiran rakyat
luas, tetapi darisekelompok kecil orang-orang bijak yang bertugas membimbing
dan mengarahkan pengikut – pengikut mereka. Jadi kebenaran tersebut sangat
dekat dengan pusat kekuasaan. Dengan demikian pers difungsikan dari atas
kebawah. Penguasa pada masa tersebut menggunakan pers untuk memberikan
informasi kepada khalayak tentang kebijakan penguasa yang harus didukung dan
dijalankan.
Penggunaan teori ini tidak hanya terbatas pada abad
XVI dan XVII saja. Teori pers otoritarian muncul dari sebuah pemikiran
kekuasaan monarki absolute dan pemerintah yang Absolut dan pemerintahan yang
absolute. Teori ini telah menjadi ajaran dasar di sebagian besar dunia secara
berabad – abad. Secara kasarnya bahwa teori ini menentukan pola komunikasi
massa bagi banyak orang dibandingkan dengan teori pers lainnya. Teori pers
otoritarian dapat diartikan sebagai kekuasaan mutlak dari suatu system
pemerintahan.
Penguasa – penguasa waktu itu menggunakan pers untuk
member informasi kepada rakyat tentang kebijakan-kebijakan penguasa yang harus
didukung. Hanya dengan ijin khusus pers boleh dimiliki oleh swasta, dan ijin
ini dapat dicabut kapan saja terlihat tanggung jawab mendukung kebijakan
pekerjaan tidak dilaksanakan. Kegiatan penerbitan dengan demikian merupakan
semacam persetujuan antara pemegang kekuasaan dengan penerbit, dimana
pertamamemberikan sebuah hak monopoli dan yang terakhir memberikan dukungan.
Tetapi pemegang kekuasaan mempunyai hak untuk membuat dan merubah
kebijaksanaan, hak memberi ijin dan kadang-kadang menyensor. Jelas bahwa konsep
pers seperti ini menghilang fungsi pers sebagai pengawas pelaksanaan
pemerintahan.
B. Konsep Teori Pers Otoritarian
Tujuan utama dari teori ini mendkung dan memajukan
kebijakan pemerintahan yang berkuasa. Media massa pada teori atau system pers
ini diawasi melalui paten dari kerajaan atau uzun lain yang semacam itu. Dan
yang berhak menggunakan media ialah siapa saja yang memiliki izin dari
kerajaan. Kritik terhadap mekanisme politik dan para penguasa sangat dilarang.
Pada system pers otoritarian media massa dianggap sebgai alat untuk
melaksanakan kebijakan pemerintah walaupun tidak harus dimiliki pemerintah.
Teori pers otoritarian ini membenarkan adanya sensor pendahulusan, pembredelan,
pengendalian produksi, secara langsung oleh pemerintah yang dikukuhkan oleh
perundang – undangan
Teori ini membentuk dasar bagi system – system pers di
berbagai masyarakat modern, bahkan dinegara yang tidak lagi menggunakannya.
Teori ini terus mempengaruhi praktek – praktek sejumlah pemerintahan ang secara
teoritis menyetujui prinsip – prinsip libertarian. Dalam system otoritarian,
perilaku dan kinerja politik dalam bentuk apa pun akan terawetkan karena memang
tidak ada pintu politik untuk perubahan. Berbagai perubahan hanya terjadi jika
dikehendaki oleh sang penguasa otoriter dan tentu saja bentuk – bentuk
perubahan itu sesuai dengan kehendak sendiri. Analisisnya dalam teori ini pers tidak
sesuai dengan konsep dasarnya yaitu sebagai media yang menginformasikan secara
fakta dan bersifat netral. Dalam teori ini media terkesan sangat terkekang dan
diatur semuanya oleh Negara dan tidak boleh ada suatu informasi yang
merugikan bagi Negara dan terkesan sangat berpihak. System pers semacam ini
tidak cocok diterapkan dinegara demokratis. Teori pers otoriter di eropa telah
berakhir dengan berakhirnya system politik otoriter yang dikalahkan oleh kaum
libertarian.
C. Teori Pers Otoritarian Pada Masa Orde Baru di Indonesia
Pemerintah melalui departemen penerangan pada masa itu
mengontrol seluruh kegiatan pers, mulai dari keharusan memiiki SIUPP bagi
lembaga pers, control isi yang amat ketat terhadap pemberitaan pers berada di
tangan pemerintah. Dan kenyamanan hidup masyarakat dan Negara. Kebebasan pers
berada di tangan pemerintah. Pers tunduk pada system pers, system pers tunduk
pada system politik. Dibawah rezim orde baru pers Indonesia berdaya, karena
senantiasa dibawah bayang – bayang maut terancam pencabutan surat izin terbit.
Fenomena pers pada era orde baru, kita memandang
berbagai atribut yang menyebabkan sering terpojokn dalam posisi yang dilematis,
di satu sisi tuntunan masyarakat mengharuskan memotret realitas social sehingga
pers berfungsi sabagai alat control. Pada posisi lain, sebagai intuisi yang
tidak lepas dari pemerintah, menyebabkan pers cenderung tidak terbuka terhadap
pemerintah. Ini artinya, pers mau tidak mau harus memenuhi mekanisme yang
menjadi otoritas pemerintah.
Indikasi masih adanya peringatan khusus terlihat dari
bermacam – macam peringatan dari pemerintahan terhadap pers, jika dicermati
berbagai peringatan pemerintah Orde Baru tersebut justru muncul disebabkan
kepedulian pers pada kepentingan masyarakat. Ini artinya, pers yang mendapat
peringatan pemerintah sama saja dia mempunyai otonomi, sebab ia berani
menentukan pilihannya untuk berpihak kepada masyarakat. Pembatalan tiga
penerbitan sekaligus pada 21 Juni 1994 (Tempo, Editor, Detik). Salah satunya
dipicu oleh semangat pers untuk melihat kewajiban menyebarkan berita meskipun
pada akhirnya terbentur oleh keperkasaan Negara. Tidak dipungkiri dominasi
pemerintah ernah sangat kuat dalam kehidupan pers pada era kekuasaan rezim Orde
Baru.
Fungsi pers sebagai jembatan penyambung antara
masyarakat dan pemerintah sungguh tidak terlihat ada masa itu. Oleh sebab itu
untuk tidak menafsirkan peran pers dalam kehidupam bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara serta tetap menjaga hubungan sebagai penghubung pemerintah dengan
masyarakat, pers harus diberikan ruang khusus untuk bisa menyebarkan informasi
kepada masyarakat luas. Sebab ketika pemerintah dan masyarakat terlibat saling
tarik menarik kepentingan, pemerintah dengan sifat absolute akan selalu berada
diatas.
Oleh karena itu, untuk menghindari ketidakseimbangan
yang terus berkepanjangan maka konsep kebebasan pers harus diberikan dalam
kadar yang lebih. Dengan demikian kebebasan bukan merupakan kewajaran, tetapi
sudah menjadi tuntunan bagi pers. Pers Indonesia harus mampu menuntut kebebasan
lebih ketika pemerintah sudah memberikan ruang. Namun terlepas dari kebebasan
apa yang akan diwujudkan. Pers akan terpengaruh oleh sebuah system politik yang
akan berkembang.
Pasca orde baru (masa reformasi), pers Indonesia
seakan memperoleh kebebasan yang selama ini tidak pernah benar – benar
dirasakan. Pemerintah Habibie yang pada masa itu menggantikan Soeharto mencabut
SIUPP kemudian masa pemerintahan berikutnya dibawah pemerintahan Abdurahman
Wahid (gusdur) dan Megawati Soekarnoputri, pemerintah membubarkan departemen
penerangan. Era Kebebasan pers pun dimulai. Sistem pers Indonesia pun berubah
menjadi system pers liberal. Hal ini dapat dilihat melalui minimnya self
ceenshorsip pada media, artinya media lemah dalam melihat apakah suatu beruta
layak dimunculkan dan sesuaidengan keinginan masyarakat.
Walaupun orde baru telah berakhir dan sekarang sudah
menganut system pers yang liberal dan berdalih pada system pe tanggung jawab
social, tetapi masih sedikit terlihat teori – teori pers otoriter di Indonesia.
Hal itu terlihat dari tayangan media massa televise yang menyisipkan salah satu
program pemerintah. Salah satu contohnya memuat pemasaran program pemerintah KB
(Keluarga Berencana) dan penghematan penggunaan BBM bersubsidi.
Dengan Alasan untuk kebaikan masyarakat Indonesia,
pemerintah menanamkan program tersebut dalam media massa. Dalam kejadian ini
pemerintah mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam program yang sudah di
terapkan oleh pemerintah. Dari tayangan tersebut terlihat peranan pemerintah
yang cukup kuat pada media massa untuk dapat memaksa masyarakat agar mengikuti
program tersebut. Dari sinilah sifat otoriter pemerintah sangat dominan
terhadap media massa televisi saat ini.
Sistem pers libertarian
Sistem pers libertarian
dipraktikkan di Inggris setelah tahun 1668, kemudian menyeberang ke Amerika
Serikat, bahkan ke seluruh dunia. Teori ini muncul setelah adanya perubahan
besar dalam pemikiran masyarakat Barat yang dikenal sebagai masa pencerahan (enlightment).
Teoeri libertarian merupakan kebalikan dari teori otoriter karena berasal dari
falsafah umum rasionalisme dan hak alam, serta karya Milton, Lock, dan Mill.
Ketika kebebasan politik, agama,
dan ekonomi semakin tumbuh bersamaan dengan tumbuhnya pencerahan, maka tumbuh
pula tuntutan akan perlunya kebebasan pers. Dalam saat itulah libertarian
theory pun muncul. Teori pers bebas ini mencapai puncaknya pada abad
ke-19. Dalam teori ini manusi dipandang sebagai makhluk rasional yang dapat
membedakan antarayang benar dan tidak benar. Pers harus menjadi mitra dalam
upaya pencarian kebenaran, dan bukan sebagai pemerintah. Jadi, tuntutan bahwa
pers mengawasi pemerintah berkembang berdasarkan teori ini.
Sebutan terhadap pers sebagai “The
Fourth Estate” atau Kekuasaan Keempat setelah eksekutif, legislative, dan
yudukatif pun menjadi umum diterima dalam teori pers libertarian. Oleh
karenanya, pers harus bebas dari pengaruh dan kendali pemerintah. Dalam upaya
mencari kebenaran, semua gagasan harus memiliki kesempatan yang sama untuk
dikembangkan sehingga yang benar dan dapt dipercaya akan bertahan, sedang
sebaliknya akan lenyap.
Asumsi dasar teori libertarian adalah manusia pada
hakikatnya dilahirkan sebagai makhluk bebas yang dikendalikan oleh rasio atau
akalnya. Manusia memunyai hak secara alamiah untuk mengejar kebenaran dan
mengembangkan potensinya apabila diberikan iklim kebebasan menyatakan pendapat.
Dalam hubungannya dengan kebebasa pers, teori
libertarian beranggapan bahwa pers harus memunyai kebebasam yang seluas-luasnya
untuk membantu manusia dalam usahanya mencari kebenaran. Manusia memerlukan
kebebasan untuk memeroleh informasi dan pikiran-pikiran yang hanya dapat secara
efektif diterima ketika itu apabila disampaikan melalui pers.
Pihak yang berhak menggunakan media massa dalam teori
libertarian adalah siapa pun yang memunyai sarana ekonomi. Para pemilik
medianya pada umumnya adalah swasta.
Tujuan dan fungsi media massa menurut paham
liberalisme adalah member penerangan, menghibur, menjual, namun yang terutama adalah
menemukan kebenaran dan mengawasi pemerintah serta untuk mengecek atau
megontrol pemerintah.
Media dilarang menyiarkan nama baik atau penghinaan,
menampilkan pornografi, tidak sopan, dan melawan pemerintah. Bila dilanggar,
maka akan diproses melalui pengadilan.
Kehidupan Pers Zaman Libertarian
Di Indonesia tahun 1950-1959
Pada tahun-tahun setelah proklamasi kemerdekaan, 1945,
kita menikmati masa bulan madu. Di Jakarta dan di berbagai kota, bermunculan
suratkabar baru. Pada masa ini, pers nasional bisa disebut menunjukkan jati
dirinya sebagai pers perjuangan. Orientasi mereka hanya pada bagaimana
mengamankan dan mengisi kemerdekaan. Bagi pers saat itu, tak ada tugas yang
paling mulia kecuali mengibarkan bendera merah-putih setinggi-tingginya.
Pada saat-saat revolusi fisik itu pers Indonesia
memunyai fungsi yang khas. Hasil karya para wartawan bukan lagi bermanfaat bagi
konsumsi pembaca di daerah pedalaman, tetapi juga berguna bagi
prajurit-prajurit dan laskar-laskar yang berjuang di front. Berita-berita yang
dibuat wartawan bukan saja mengobarkan semangat berjuang membela kebenaran,
tetapi sekaligus sebagai alat pemukul terhadap hasutan-hasutan pihak Belanda
yang disiarkan melalui berbagai media massa.
Lima tahun kemudian, atau mulai 1950, pers Indonesia
tergoda dan hanyut dalam dunia politik praktis. Mereka lebih banyak memerankan
diri sebagai corong atau terompet partai-partai politik besar. Inilah yang
disebut era pers partisipan. Artinya, pers dengan sadar memilih untuk menjadi
juru bicara sekaligus berperilaku seperti paratai politil yang disukai dan
didukungnya. Kebebasan pers,di sini diartikan sebagai bebas untuk memilih salah
satu partai politik sebagai induk semang dan buka bebas untuk meliput dan
melaporkan apa saja yang harus dan ingin diketahui masyaraakt luas. Dalam era
ini pers Indonesia terjebak dalam pola sektarian. Secara filosofis, pers tidak
lagi mengabdi kepada kebenaran untuk rakyat, melainkan kepada kemenangan untuk
para pejabat partai.
Pada waktu itu, antara tahun 1950, yakni waktu pengakuan
kedaulatan sampai 1959, muncul doktrin Demokrasi Terpimpin yang kemudian
disusul dengan ajaran Manipol Usdek, kebebasan pers banyak digunakan untuk
saling mencaci maki dan memfitnah lawan politik dengan tujuan agar lawannya itu
jatuh namanya dalam pandangan khalayak.
Era pers partisan ternyata tidak berlangsung lama.
Sejak Dekrit Presiden 1 Juli 1959, pers nasional memasuki masa gelap gulita.
Setiap perusahaan pers diwajibkan memiliki Surat Ijin Terbit (SIT). Bahka
menurut seorang pakar pers, 1 Oktober 1958 dapat dikatakan sebagai tanggal
kematian pers Indonesia. Pada tanggal inilah, Penguasa Darurat Perang Daerah
(Paperda) Jakarta Raya, menetapkan batas akhir pendaftaran bagi seluruh
penerbitan pers untuk mendapatkan Surat Ijin Terbit (SIT).
Lebih parah lagi, ketika setiap surat kabar diwajibkan
menginduk (berafiliasi) pada organisasi politik atau organisasi massa. Akibat
kebijakan ini, tidak kurang dari 80 surat kabar pada waktu itu dimiliki oleh
partai politik dan organisasi massa. Baru beberapa bulan peraturan itu
berjalan, kemudian lahir praturan baru yang mempersempit ruang gerak para
wartawan yang hendak mengeluarkan pikiran dan pendapatnya. Klimaksnya adalah
pemberontakan G30S/PKI. Gerakan ini berhasil ditumpas rakyat bersama TNI dan
mahasiswa.
Pers
yang Muncul
Pada tahun 1945 di Jakarta terbit
harian Asia Raya, yang memang diterbitkan pada zaman Jepang. Baru
pada tanggal 1 Oktober 1945 terbit harian Merdeka sebagai
hasil usaha kaum buruh de Unie yang berhasil menguasai percetakan.
Di kota-kota lain bermunculan
koran-koran baru. Di Yogyakarta terbit Kedaulatan Rakyat (bekas Sinar
Matahari), di Bandung Soeara Merdeka (bekas Tjahaya),
si Surabaya terbit Suara Rakyat (bekas Suata Asia),
dan di Semarang Warta Indonesia(bekas Sinar Baru) pun muncul.
Sejak tahun 1950, partai politik
besar memunyai surat kabar sebagai pembawa suaranya masing-masing. Masjumi
memunyai Harapan Abadi, PNI memiliki Suluh Indonesia.
Partai Nahdatul Ulama diwakili oleh Duta Masyarakat. Dan terompet
PKI adalh Harian Rakyat. Sedangkan pembawa suara Partai Sosialis
Indonesia adalah harian Pedoman.
Peraturan
Undang-Undang yang Dibuat Pada Zaman Libertarian di Indonesia
Pada tanggal 30 Desember 1949 Kerajaan Belanda dengan
resmi mengakui kedaulatan RI atas seluruh wilayah Indonesia kecuali Irian
Barat. Pada tanggal 1 Januari 1950 berlakulah UUD RIS, tetapi pada tanggal 15
Agustus 1950 RIS dibubarkan, dan Indonesia menjadi Republik Kesatuan dengan
Undang-Undang Dasar Sementara.
Pada tahun-tahun antara 1955-1958
dalam sejarah pers Indonesia belum terjadi pertarungan yang sedemikian hebatnya
untuk mempertahankan kemerdekaan pers. Pada waktu itu dengan Undang-Undang No.
23 tahun 1954, telah dicabut presbreidel-ordonantie 1931 atas pertimbangan
bahwa ordonantie tersebut bertentangan dengan pasal 19 jo. 33 UUD Sementara RI.
Akan tetapi dengan mempergunakan pasal-pasal Reglemen SOB (Staat van Oorlog
en Beleg) ciptaan penjajahan Belanda, penguasa masih dapat bertindak
terhadap pers. Banyak surat kabar yang dibreidel, banyak pula wartawan yang
ditangkap dan ditahan.
Pada tanggal 1 Oktober 1958 Paperda (Penguasa Perang
Daerah) mewajibkan semua surat kabar dan majalah memiliki SIT. Sesudah
Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, pihak penguasa berturut-turut mengeluarkan
peraturan untuk mengetatkan pengawasan terhadap pers. Persyaratan untuk
mendapatkan SIT diperkeras. Semua penerbit pada tahun 1960 diwajibkan lagi
mengajukan permohonan SIT. Pada bagian bawah formulir perizinan SIT itu
tercantum 19 pasal persyaratan yang mengandung janji penanggung jawan surat
kabar tersebut jika diberi SIT, maka ia akan mendukung Manipol Usdek dan akan
mematuhi pedoman-pedoman yang telah dan akan dikeluarkan penguasa.
Beberapa bulan kemudian, mucul
peraturan baru. Pada waktu itu pihak penguasa, Departemen Penerangan
megeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa surat kabar atau majalah harus
didukung oleh satu partai politik atau tiga organisasi massa. Dan surat kabar
daerah yang semula masih dibenarkan memakai nama berbeda, dengan organ resmi
harus berafiliasi dengan nama organnya di Jakarta. Jadi, Trompet
Massa di Medan harus berafiliasi dengan Sinar Harapan menjadi Sinar
Harapan Edisi Sumatera Utara dengan huruf yang sama.
Tahun 1966 bagi sejarah pers Indonesia merupakan tahun
penting karena pada tahun itulah dikeluarkannya Undang-Undang No. 11 Tahun 1966
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. Memang setiap dictum dari suatu
undang-undang bisa saja menimbulkan tafsiran-tafsiran yang berbeda antara pihak
yang satu dengan pihak yang lain, tetapi dengan adanya undang-undang setidaknya
ada suatu pegangan untuk bertindak dan mengambil keputusan ketimbang tidak
ada undang-undang sama sekali.
Kehidupan Wartawan-Wartawan Indonesia pada Zaman Libertarian
Akibat peraturan afiliasi tadi, dapa dibayangkan corak
pers Indonesia saat itu. Ruang gerak para wartawan dipersempit, keterampilan
dikekang, dan daya pikir ditahan.
Semuanya itu mneguntungkan PKI dalam usahanya
mematangkan suasana pada waktu mana wartawan-wartawan giat menjalankan apa yang
mereka namakan “ofensif revolusioner di segala bidang”. Hal ini mereka jalankan
melalui media massa yang hampir seluruhnya mereka kuasai. Kantor Berita Antara
yang merupakan potensi yang vital telah mereka kuasai sehingga dalam segi
pemberitaan sangat menguntungkan mereka.
Bahwa wartawan-wartawan komunis tahu benar betapa
vitalnya suatu kantor berita. Mereka dengan segala daya berusaha meniadakan
Pusat Pemberitaan Angkatan Bersenjata (PAB). Akan tetapi usaha mereka ini
gagal.
Pembaharuan SIT juga berdampak
buruk bagi wartawan. Sejumlah surat kabar telah menghentikan penerbitannya, di
antaranya Harian Abadi. Demikian pula dihentikan penerbitan Harian
Pedoman, Nusantara, Kengpo, Pos Indonesia, dan lain-lain.
Klimaks kegiata PKI dengan segala aparatnya berbentuk
pemberontakan yang dilancarkan pada 1 Oktober 1965 dengan menyandang nama
G30S/PKI. Gerakan ini berhasil ditumpas oleh rakyat bersama ABRI dan mahasiswa.
Politik berubah, pers pun
berubah, dengan sendirinya jurnalistiknya berubah. Akibat punahnya Orde Lama
diganti Orde Baru, hilanhlah pula Harian Rakyat, Bintang Timur, Warta
Bhakti, dan suratkabar komunis lainnya. Muncullah Harian Kami,
API, Tri Sakti, dan lain-lain yang diterbitkan oleh para mahasiswa.
Kembalilah pers Indonesia menghirup alam bebas, tetapi
bukan bebas ukurans seperti bebasnya pers liberal, melainkan bebas tanggung
jawab pribadi, tanggung jawab sosial, dan tanggung jawab nasional.
Materi
atau Kasus yang Menonjol “Peristiwa
17 Oktober” 1952
Kasus ini dianggap penting karena kasus ini merupakan
kasus pertama penyalahgunaan sistem pers liberal tahun 1950-an. Kasus ini
bermula dari Markas Besar Angkatan Darat yang dipimpin oleh Kolonel A.H.
Nasution. Angkatan Darat merasa tidak senang dengan perdebatan yang terjadi di
DPRS (Dewan Perwakilan Rakyat Sementara). Perdebatan tersebut mengenai
masalah-masalah ketentaraan. Puncak peristiwa tersebut terjadi ketika Mosi
Manai Sophiaan (PNI) diterima.
Mosi tersebut bertujuan menyelidiki keadaan dalam ABRI
umumnya dan Angkatan Darat khususnya, secara lebih seksama. Pada 17 Oktober
1952 terjadi pengobrak-abrikan gedung DPRS, sementara itu istana dikelilingi
oleh pasukan yang mengarahkan meriam ke istana.
Oleh karena kejadian tersebut,
terjadi polemik serius dan intens di kalangan pers. Terjadi pro dan kontra
terhadap peristiwa tersebut. Bahkan menurut Soebagijo I.N. dalam buku PWI
Jaya di Arena Masa, polemik yang terjadi berubah menjadi caci-maki bersifat
pribadi yang bisa dianggap ekses kebebasan pers pada saat itu.
Peristiwa
Asa Bafagi 21 Agustus 1952
Asa Bafagih yang merupakan
Pemimpin Redaksi harian Pemandangan, menyebarkan berita berjudul
”Rentjana Gadji Baru untuk Pegawai Negeri. Minimum Rp 135,- dan Maksimum Rp
2700,-”. Berita tersebut berasal dari sumber yang tidak mau disebutkan namanya.
Dengan kata lain, harian Pemandangan menggunakan hak tolak
dengan melindungi sumber berita yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Pada 7 Oktober 1952, Asa Bafagih dipanggil oleh
Kejaksaan Agung untuk diperiksa. Pemeriksaan tersebut dikarenakan pengaduan
Sekretaris Kementerian Urusan Pegawai yang menyatakan bahwa berita
tersebut membocorkan rahasia negara. Akan tetapi, sesuai dengan ketentuan Kode
Etik Jurnalistik PWI, Asa Bafagih tetap melindungi sumber informasinya dengan
tidak mau menyebutkan namanya.
18
Maret 1953
Pemimpin Redaksi harian Pemandangan,
Asa Bafagih kembali diperiksa oleh Kejaksaan Agung terkait pemberitaan yang
kembali dianggap membocorkan rahasia negara. Berita tersebut berjudul ”21
Perusahaan Industri di mana Mengetahui Menurut Rentjana Modal Asing Baru, Dapat
Diusahakan”
Kalimat itulah yang menjadi judul
berita utama surat kabar Pemandangan Nomor 142 Tahun 20 yang
terbit pada Rabu, 18 Maret 1953. Pemandangan mengatakan bahwa
berita tersebut ditulis oleh “koresponden kita sendiri”. Dalam berita tersebut,
disebutkan bahwa pemerintah Indonesia berniat membuka keran penanaman modal
asing di 21 sektor industri. Harian Pemandangan, di antaranya
menyebutkan, perusahaan makanan-minuman kaleng-botol sampai industri farmasi
serta pabrik mobil dan traktor. Pemandangan menuliskan berita tersebut didapat
dari “kalangan yang mengetahui”.
Asa Bafagih pun kemudian diperiksa. Penyebab
pemeriksaan Asa adalah surat dari Perdana Menteri Wilopo yang meminta Jaksa
Agung memeriksa Asa, karena berita tersebut dianggap sebagai delik pers. Sekali
lagi Asa Bafagih menggunakan hak tolak karena sumber yang memberikan informasi
yang dimaksud meminta agar identitasnya dirahasiakan.
”Tuduhan itu sangat berat,
terutama karena datangnya dari Perdana Menteri sendiri,” kata Asa Bafagih
seperti yang dikutip dari harian Pemandangan. Proses hukum kasus
itu rupanya berlarut-larut. Asa Bafagih dipaksa bolak-balik ke Kejaksaan Agung
sepanjang 1952-1953.
Pengurus Pusat PWI kemudian mengeluarkan petisi yang
salah satunya berisi tuntutan agar penuntutan kasus Asa Bafagih
dihentikan.Selain mengeluarkan petisi yang ditujukan ke Jaksa Agung, Pengurus
Pusat PWI juga meminta Dewan Kehormatan PWI memberikan sikap atas kasus yang
dihadapi oleh Asa Bafagih.
Dewan Kehormatan PWI menimbang peristiwa tersebut pada
8 Agustus 1953. Kemudian Wakil Dewan Kehormatan PWI Mr. Moh. Natsir dan Roeslan
Abdulgani sebagai anggota menyatakan supaya diadakan peninjauan kembali
terhadap apa yang dimaksud pemerintah dengan ”rahasia negara” dalam kasus ini.
Mengenai hak ingkar, walaupun pemerintah belum
mengakui kode etik secara formal, sikap Asa telah diakui oleh kode etik.
Seharusnya diambil kebijaksanaan dalam perkara ini sesuai tuntutan PWI Kring
Jakarta. Selain itu, Natsir dan Roeslan memperingatkan pemerintah bahwa
tuntutan tersebut dapat meregangkan hubungan pemerintah dengan pers. Dewan
Kehormatan PWI dalam simpulannya mengingatkan bahwa wartawan dalam menjalankan
profesinya, sepenuhnya berpedoman kepada ketentuan kode etik.
Sistem pers komunis
System pers komunis
berkembang karena munculnya Negara unisoviet yang menganut paham komunis pada
awal abad ke20. System ini dipengaruhi oleh pemikiran karl marx tentang
perubahan sosial yang di awali oleh dialektika hegel. Pers dalam system ini
merupakan alat pemerintah atau partai dan menjadi bagian integral dari Negara.
pers menjadi alat atau organ partai yang paling berkuasa sebagai alat
propaganda Negara.
Filsafat yang mendasari system ini dalah absolutism, dimana Negara memegang penuh kendali terhadap masyarakat. Masyarakat tidak akan mempunyai kebebasan. Segala sesuatu digunakan untuk kepentingan Negara dan hak individu tidak diakui dalam system ini.
Filsafat yang mendasari system ini dalah absolutism, dimana Negara memegang penuh kendali terhadap masyarakat. Masyarakat tidak akan mempunyai kebebasan. Segala sesuatu digunakan untuk kepentingan Negara dan hak individu tidak diakui dalam system ini.
Tujuan utama dari system pers ini ialah memberi sumbangan bagi kesuksesan dan kelanjutan system sosialis sovyet terutama bagi kediktaktoran partai. Penggunaan media hanya diperbolehkan di akses oleh anggota-anggota partai yang loyal. Hal-hal yang dilarang adalah kritik terhadap tujuan partai yang dibedakan dari taktik-taktik partai. Dalam system ini media massa ialah milik Negara dan media sangat dikontrol dengan ketat semata-mata di anggap sebagai tangan-tangan Negara.
Dalam teori Soviet, kekuasaan itu bersifat sosial, berada di orang-orang, sembunyi di lembaga-lembaga sosial dan dipancarkan dalam tindakan-tindakan masyarakat.Kekuasaan itu mencapai puncaknya
(a) jika digabungkan
dengan semberdaya alam dan kemudahan produksi dan distribusi ,Dan (b) jika ia
diorganisir dan diarahkan.
Partai Komunis memiliki kekuatan organisasi ini.
partai tidak hanya menylipkan dirinya sendiri ke posisi pemimpin massa; dalam
pengertian yang sesungguhnya, Partai menciptakan massa dengan mengorganisirnya
dengan membentuk organ-organ akses dan kontrol yang merubah sebuah populasi
tersebar menjadi sebuah sumber kekuatan yang termobilisir.
Partai mengganggap dirinya sebagai suatu staf umum bagi masa pekerja. Menjadi doktrin dasar, mata dan telinga bagi massa.
Negara Soviet bergerak dengan program-program paksaan dan bujukan yang simultan dan terkoordinir. Pembujukan adalah tanggungjawabnya para agitator, propagandis dan media.
Komunikasi massa digunakan secara instrumental, yaitu sebagai instrumen negara dan partai.Komunikasi massa secara erat terintegrasi dengan instrumen-instrumen lainnya dari kekuasaan negara dan pengaruh partai.Komunikasi massa digunakan untuk instrumen persatuan di dalam negara dan di dalam partai. Komunikasi massa hampir secara ekslusif digunakan sebagai instrumen propaganda dan agitasi.Komunikasi massa ini punya ciri adanya tanggungjawab yang dipaksakan
Fungsi pers komunis itu sendiri adalah memberi bimbingan secara cermat kepada masyarakat agar terbebas dari pengaruh-pengaruh luar yang dapat menjauhkan masyarakat dari cita-cita partai. Antara teori totalitarian dengan teori otoritarian sama-sama menggunakan kata kebebasan untuk masyarakat. Namun kebebasan masyarakat bagi otoritarian adalah kepentingan bisnis, sedangkan bagi totalitarian berarti kepentingan partai.
Dalam hal ini, pers Soviet harus melakukan apa yang terbaik bagi partai dan mendukung partai sebagai sikap dan perbuatan moral yang berorientasi pada kepentingan rakyat (manifestasi kehendak rakyat). Teori ini berpegang pada asas kebenaran berdasarkan teori Marxis. Pers Soviet bekerja sepenuhnya sebagai alat penguasa, yang dalam hal ini adalah partai komunis. Dimana “Partai Komunis” tersebut dalam pengertian Marxis adalah rakyat. Berdasarkan pemahaman itu pers harus mengikuti kebenaran rakyat, yaitu partai yang substansinya adalah pemerintah.
POIN UTAMA : Tujuan utama dari sistem pers ini adalah memberi sumbangan bagi keberhasilan dan kelanjutan sistem sosialis Sovyet dan terutama bagi kediktatoran partai. Penggunaan media hanya boleh diakses oleh anggota-anggota partai yang loyal. Teori soviet komunis hampir sama dengan teori pers otoritarian, kalau otoritarian media massa dilarang mengkritik jalannya system pemerintahan lain halnya dengan soviet komunis media massa dilarang mengkritik terhadap tujuan partai yang dibedakan dari taktik-taktik partai partai yang ada pada system ini adalah partai komunis dan Penggunaan media hanya boleh diakses oleh anggota-anggota partai yang loyal. Pada sistem pers ini, media massa adalah milik negara dan media sangat dikontrol dengan ketat semata-mata dianggap sebagai tangan-tangan negara. Dalam teori Soviet, kekuasaan itu bersifat sosial, berada di orang-orang, sembunyi di lembaga-lembaga sosial dan dipancarkan dalam tindakan-tindakan masyarakat. Antara teori totalitarian (soviet komunis) dengan teori otoritarian sama-sama menggunakan kata kebebasan untuk masyarakat. Namun kebebasan masyarakat bagi otoritarian adalah kepentingan bisnis, sedangkan bagi totalitarian berarti kepentingan partai. Dalam hal ini, pers Soviet harus melakukan apa yang terbaik bagi partai dan mendukung partai sebagai sikap dan perbuatan moral yang berorientasi pada kepentingan rakyat (manifestasi kehendak rakyat). Teori ini berpegang pada asas kebenaran berdasarkan teori Marxis. Pers Soviet bekerja sepenuhnya sebagai alat penguasa, yang dalam hal ini adalah partai komunis. Dimana “Partai Komunis” tersebut dalam pengertian Marxis adalah rakyat. Berdasarkan pemahaman itu pers harus mengikuti kebenaran rakyat, yaitu partai yang substansinya adalah pemerintah.
Sistem pers soviet menganut beberapa prinsip sebagai berikut:
a)
Media Massa harus melayani kepentingan dan berada
dalam kontrol kelas pekerja.
b)
Kalangan swasta tidak dibenarkan memiliki media.
c)
Media harus selalu melakukan tugas fungsi positif bagi
masyarakat dengan cara melakukan upaya sosialisasi norma-norma yang diinginkan,
pendidikan, penerangan,
motivasi dan mobilisasi.
motivasi dan mobilisasi.
d)
Dalam menjalankan seluruh tugasnya kepada masyarakat,
media harus tanggap
terhadap kebutuhan dan keinginan khalayaknya.
terhadap kebutuhan dan keinginan khalayaknya.
e)
Masyarakat berhak melakukan sensor dan tindakan hukum
lainnya dalam upaya
mencegah atau memberikan hukuman setelah terjadinya peristiwa publikasi yang
bersifat anti-sosial
mencegah atau memberikan hukuman setelah terjadinya peristiwa publikasi yang
bersifat anti-sosial
f)
Media harus memberikan pemikiran dan pandangan yang
lengkap dan objektif
mengenai masyarakat dan norma yang sesuai dengan ajaran Marxisme-Leninisme.
mengenai masyarakat dan norma yang sesuai dengan ajaran Marxisme-Leninisme.
g)
Wartawan adalah kalangan profesional yang bertanggung
jawab yang memiliki
tujuan dan cita-cita yang selaras dengan kepentingan utama masyarakat.
tujuan dan cita-cita yang selaras dengan kepentingan utama masyarakat.
h)
Media harus mendukung gerakan-gerakan progresif di
dalam dan di luar negeri
Di tahun-tahun akhir 1980 an pers Rusia memperoleh tingkat kebebasan yang
tak pernah dicapai sebelurnnya selama hampir tiga abad; beberapa analis bahkan
menyebut tahun-tahun perestroika sebagai ³zaman keemasan´ (Tolz, 1992). Akan
tetapi, sejak 1990, keadaan dari media cetak memburuk disebabkan oleh tekanan
ekonomi dan ketergantungannya yang bertambah parah kepada subsidi pemerintah.
Sampai saat ini hanya beberapa penerbitan yang telah mencapai kemerdekaan
finansial dari pemerintah atau kelompok politik tertentu yang melihat mereka (dalam
tradisi lama negara itu) sebagai corong ke masyarakat dan sebagai alat untuk
penguasaan politik. Tugas untuk menyusun dan memperkuat masyarakat demokratis,merupakan persyaratan bagi kebebasan mereka yang sebenarnya dan abadimemerlukan tanggung jawab dan mempunyai efek dibandingkan penggulingan mesin komunis. Orang-orang soviet mengatakan bahwa pers nya bebas untuk menyatakan kebenaran, sedangkan pers dengan apa yang dinamakan sistem liberal dikontrol oleh kepentingan bisnis.
Di tahun-tahun akhir 1980 an pers Rusia memperoleh tingkat kebebasan yang
tak pernah dicapai sebelurnnya selama hampir tiga abad; beberapa analis bahkan
menyebut tahun-tahun perestroika sebagai ³zaman keemasan´ (Tolz, 1992). Akan
tetapi, sejak 1990, keadaan dari media cetak memburuk disebabkan oleh tekanan
ekonomi dan ketergantungannya yang bertambah parah kepada subsidi pemerintah.
Sampai saat ini hanya beberapa penerbitan yang telah mencapai kemerdekaan
finansial dari pemerintah atau kelompok politik tertentu yang melihat mereka (dalam
tradisi lama negara itu) sebagai corong ke masyarakat dan sebagai alat untuk
penguasaan politik. Tugas untuk menyusun dan memperkuat masyarakat demokratis,merupakan persyaratan bagi kebebasan mereka yang sebenarnya dan abadimemerlukan tanggung jawab dan mempunyai efek dibandingkan penggulingan mesin komunis. Orang-orang soviet mengatakan bahwa pers nya bebas untuk menyatakan kebenaran, sedangkan pers dengan apa yang dinamakan sistem liberal dikontrol oleh kepentingan bisnis.
Perbedaannya dengan teori-teori pers lainnya adalah:
a)
Dihilangkannya motif profit (yakni prinsip untuk
menutup biaya) pada media.
b)
Menomorduakan topikalitas.
c)
Jika dalam teori pers penguasa orientasinya
semata-mata pada upaya
mempertahankan ³status-quo´, dalam teori pers komunis Soviet orientasinya adalah perkembangan dan perubahan masyarakat (untuk mencapai terhadap kehidupan
mempertahankan ³status-quo´, dalam teori pers komunis Soviet orientasinya adalah perkembangan dan perubahan masyarakat (untuk mencapai terhadap kehidupan
Kasus
Tamatnya pemerintahan komunis di USSR yang diikuti dengan pecahnya Uni Soviet telah mendatangkan kehancuran dan penyusunan kembali hampir semua elemen dasar yang ada di negara tersebut. Sebagian dari proses itu disumbangkan oleh mass media, yang membawa kejatuhan dari sistem pers dan penyiaran yang lama. Glasnot, yang aslinya merupakan kebijakan resmi Partai Komunis, menurut konsepnya, seharusnya diarahkan untuk membuka diskusi kritis mengenai masa lalu negeri tersebut dan mengenai cara-cara untuk memperbaiki sosialisme di USSR, telah mematahkan belenggu sensor dan berkembang melewati semua batasan-batasan yang ada dan mengarah kepada kemerdekaan berbicara dan kemerdekaan pers. Prestroika, bertujuan untuk menyusun kembali ekonomi dan masyarakat Soviet yang berlangsung antara 1985 dan 1991, telah menciptakan lingkungan-lingkungan material yang baru menciptakan fondasi untuk perkembangan pers dan penyiaran. Tahun 1992 sampai 1994 merupakan masa yang paling tak stabil bagi Rusia, yang akan membuat setiap penelitian terancam menjadi basi saat dipublikasikan.
Sampai akhir-akhir ini, media masa Soviet tidak mempunyai dasar hukum. Aktivitas mereka di atur oleh keputusan yang dibuat oleh badan-badan dan fungsinalis Partai Komunis. Surat keputusan tersebut mengenalkan “cara-cara sementara dan luar biasa untuk menghentikan aliran kotoran dan fitnah” dan tak pernah dicabut selama tujuh dasa warga pemerintahan Soviet. “Kebebasan penuh dalam batasan tanggung jawab di depan pengadilan” yang dijanjikan dalam teksnya, yang akan direalisir oleh “perundangan yang luas dan progresif” muncul melalui Undang-undang Pers dan Media lain di USSR (1 Agustus 1990) dan Undang-undang Federasi Rusia mengenai Media Masa (8 Februari, 1992).
Kebebasan informasi masa dalam hukum Rusia bersifat tak terbatas (kecuali dengan legilasi) untuk mencari, mendapatkan dan membuat serta menyebarkan informasi; kebebasan untuk mendirikan outlet media masa dan memilikinya, menggunakannya serta mengaturnya; dan kebebasan untuk mempersiapkan, memperoleh dan mengoperasikan peralatan dan perlengkapan teknis, bahan-bahan mentah serta materi yang diperuntukkan bagi produksi dan distribusi produk-produk media masa.
Hukum Rusia menekankan ketidak layakan penyensoran, yang aslinya dikemukakan dalam Pasal 1 Undang-undang USSR mengenai Pers dan Media Masa yang Lain (Undang-undang Pers USSR). Untuk memonitor pelaksanaan statuta pers, diciptakan suatu badan khusus, Inspektorat Negara untuk Melindungi Kebebasan Pers dan Informasi Masa pada bulan September 1991 dengan mandat untuk mengusut pemerintah, pendiri, redaksi penerbitan dan stasiun radio serta TV apabila melakukan pelanggaran hukum. Badan ini dapat mengajukan tuntutan ke pengadilan untuk menutup organisasi media. Undang-undang Dasar Rusia yang dipakai dalam referendum nasional tanggal 12 Desember 1993 merupakan hukum paling mutakhir dan mungkin paling penting yang menjamin kebebasan pers dan kebebasan berbicara. Pelarangan penyensoran disebutkan dalam undang-undang tersebut (Pasal 29) bahwa “setiap orang berhak untuk dengan bebas mencari, mendapatkan, memancarkan, membuat dan menyebarkan informasi dengan cara apapun yang tidak bertentangan dengan hukum”.Runtuhnya Pers Pusat Sampai sekitar 1990, koran-koran di USSR mempunyai struktur piramida yang stabil.
Di puncaknya bertengger “pers pusat”: berlokasi di Moskow, koran atau majalah yang mempunyai distribusi nasional yang menampilkan kebijakan resmi Partai Komunis, pemerintah, dan berbagai badan pusat, baik milik negara atau milik masyarakat. Meskipun jumlah perusahaan pers pusat ini hanya 3% dari jumlah perusahaan koran, akan tetapi sirkulasinya sebesar 73% dati keseluruhan sirkulasi media masa di Uni Sovyet. Meskipun tidak ada hubungan antara publikasi-publikasi lokal dengan publikasi-publikasi pusat, akan tetapi jalur komando antara badan-badan yang mengaturnya seakan-akan menggambarkan hubungan seperti antara tuan dan budaknya. Meskipun puncak piramida mempunyai jumlah koran dan majalah yang sedikit, penerbitan nasional ini merupakan penerbitan yang paling populer di pedalaman.
Koran-koran ini isinya hampir sama, seringkali pula dengan opini dan editorial yang sama yang bukan cuma menjelaskan pandangan partai mengenai isu-isu politik tertentu akan tetapi juga bertindak, dalam tradisi Leninis yang terbaik, sebagai “kolektif propagandis, kolektif agitator dan kolektif organisatoris”. Majalah mempunyai kebebasan sebagai “press kelas dua”, karenanya mereka dapat membuat variasi gaya dan rasio propaganda mereka dalam bentuk cerita-cerita, hiburan. Dari tahun 1986 sampai 1988 Mikhael Gorbachev menanamkan orang-orang yang secara politis setia kepadanya sebagai editor-editor disurat kabar besar, sehingga peran pers pusat menjadi penting untuk meningkatkan reformasinya. Sebagaimana yang bisa dibaca di mana-mana penerbitan nasional dapat dipakai untuk berhubungan dengan masyarakat tanpa harus melewati hambatan oposisi. Kolom surat-surat pada redaksi mereka menjadi jalan yang siap untuk menampung partisipasi mereka dalam perestroika. Prestise dan kebebasan yang diberikan oleh Kremlin pada para jurnalis membuat mereka ini menjadi sekutu alami. Tiba-tiba datang kejadian yang tidak diharapkan oleh para birokrat. Undang-undang mengenai Pers dan Media Masa lain dari USSR mengharuskan semua penerbitan di daftarkan secara resmi dengan badan-badan negara.
Pada dasarnya, prosedur ini memberi kesempatan bagi star redaksi untuk mencari dan mendaftarkan “pendiri” yang mungkin berbeda dari majikan lama mereka, atau bahkan mungkin mendaftarkan koran-koran itu atas nama mereka sendiri. Tindakan ini menciptakan ancaman nyata pertama kali atas piramida tersebut dengan cara memisahkan outlet- outlet yang baru bebas dari garis komando yang lama. Pada saat yang bersamaan,para redaktur yang berani dan orang-orang kaya baru mulai mengisi kekosongan kekosongan ini. Letupan kedua terjadi pada tahun 1991 dengan adanya larangan terhadap Partai Komunis dan nasionalisasi yang dilakukan terhadap hak milik mereka.
Hal ini melahirkan pendaftaran kembali ribuan penerbitan. Beberapadiantaranya milik partai komunis terutama tingkat propinsi didatarkan dengan nama berbeda (kata-kata seperti “kommunist” , “pravda” dan “sovetsky” sudah menjadi usang); disamping itu beberapa yang lainnya memakai susunan redaksi yang berbeda, dan yang pasti mereka semua membebaskan diri dari penguasa mereka karena partai yang menguasainya tidak lagi berkuasa. Dengan di cabutnya tonggak pemersatu ini, keseluruhan sistem pers pusat lokal menjadi ambruk karena mekanisme partai yang mendukungnya lenyap. Dalam beberapa hal negara mencoba untuk meniru sistem lama dengan menciptakan struktur yang serupa dengan struktur pemerintah dan pers di Moskow dan di republik-republik tetapi dengan atmosfir otonomi yang lebih besar dari pemerintahan lokal dan pengurangan jepitan politik (dan, sampai batas tertentu, keinginan politis) untuk menjalankan tekanan tersebut tetapi hal itu tidak membawa hasil. Tahun 1989 dan 1990 merupakan puncak popularitas bagi media masa pada tahun-tahun setelah Perestroika dimulai. Saat itu merupakan saat masyarakat mempunyai harapan-harapan politik tertinggi: saat Kongres Pembantu-pembantu Rakyat diamati langsung di televisi dan didengarkan di radio dengan perhatian yang begitu tinggi sehingga penurunan tajam angka-angka produksi industri dicatat selama hari-hari tersebut. Dapat dikatakan itulah masa “keracunan” dengan Glasnost. Tiga tahun berikutnya terlihat pertumbuhan ketidak percayaan media terhadap kemunduran apatisme politik umum dan krisis ekonomi yang serius.
Faktor terakhir ini menyebabkan keluarga tradisional untuk mengurangi langganan penerbitan mereka dari lima atau enam menjadi hanya satu penerbitan saja. Media tidak lagi dipandang oleh masyarakat sebagai sumber bantuan dan harapan atau sarana untuk mengutarakan pendapat mereka. Pada tahun 1988 mulai ada kecenderungan untuk lebih menyukai pers lokal dibandingkan dengan pers pusat. Pertama kali, hal itu terlihat jelas di republik-republik Persatuan yang pemikiran rakyatnya di dominasi oleh faham “nasionalisme”. Dengan bertambahnya kebebasan yang diperoleh dari Moskow, maka terciptalah kebutuhan untuk kisah-kisah nasionalisme yang memberikan jalan bagi ketertarikan pada berita-berita lokal. Riset menyatakan bahwa perhatian terhadap masalah-masalah dunia atau politik nasional telah menurun dengan tajam pada dua tahun terakhir ini. Kebanyakan orang Rusia pertama dan terutama ingin membaca hal-hal yang berkenaan dengan biaya hidup dan kriminalitas dengan kata lain, persis dengan apa yang disajikan oleh pers lokal. Salah satu dari topik-topik yang kurang populer adalah masalah-masalah kesukuan, kehidupan di republik-republik lain bekas USSR dan politik luar negeri yang kesemuanya sangat menonjol di penerbitan nasional.
Siapa Yang Memiliki Pers? Sebagaimana yang diutarakan di atas, pers di USSR dimiliki oleh Soviets, aparat negara, dan organisasi umum (semuanya dikendalikan oleh Partai Komunis), atau langsung oleh partai, atau oleh kombinasi dari ketiganya. Dengan tumbangnya penguasa komunis, Soviet dan lembaga-lembaga negara menjadi pemilik utama, terutama pada tingkatan lokal. Pada tahun 1993 ada sebanyak 200 koran partai,12 diantaranya diterbitkan di Moskow dan 18 di St. Petersburg. Kebanyakan partai-partai tersebut berhasil. menerbitkan hanya beberapa edisi dari koran atau buletin mereka sebelum kemudian rontok.Evaluasi kasar dari struktur kepernilikan pers Rusia menunjukkan bahwa 29% koran nasional dimiliki pemerintah federal, 30% menjadi milik organisasi publik danpartai, dan 41 % milik swasta; 21 % koran regional yang dimiliki pemerintah federal sementara 22% dimiliki swasta; sedangkan pers tingkat kota, 85% dimiliki oleh pemerintah kota sedang sisanya dimiliki oleh swasta atau umum. Dari semua koran yang tercatat di Rusia pada tahun 1993, 57,1% merupakan milik pribadi, 23,1% milik negara (5.8% milik pemerintah kota), dan 19,8% milik organisasi umum dan partai politik (Bekker & Gurevich, 1993). Masalah subsidi menampilkan aspek yang paling pelik dan rawan dalam hubungan antara negara dan media masa di Rusia. Di satu sisi, ketergantungan finansial dari pers terhadap negara memberikan dasar yang penting untuk mempertanyakan independensi media, obyektifitas dan keseimbangan pelaporan. Disisi lain, beberapa pihak mengatakan bahwa pers dan penyiaran, apabila diperhatikan, bukan hanya berupa alat politis atau usaha komersial saja akan tetapi juga merupakan lembaga yang memberikan keuntungan kultural dan pendidikan bagi masyarakat yang harus menikmati perlindungan dari negara. Idealnya prioritas bantuan diberikan pada surat kabar-surat kabar yang ditujukan untuk anak-anak dan pemuda, orang cacat, kelompok minoritas dan majalah-majalah sastra dan kebudayaan. Bersamaan dengan itu, berdasarkan keputusan-keputusan terpisah dari pemerintah, donasi yang besar diberikan kepada koran-koran dengan sirkulasi besar yang bekerja untuk apa yang dinamakan “ruang informasi bersama” di bekas Uni Sovyet, seperti Trud dan Komsomolskaya pravda. Angka yang pasti dari subsidi tersebut tidaklah tetap. Salah satu alasannya adalah bahwa anggaran tersebut terus menerus direvisi dengan mempertimbangkan inflasi saat itu yang mencapai hampir 1 % setiap hari. Lebih-Iebih lagi, pejabat pemerintah memberikan angka yang berbeda-beda satu sama lain. Disamping itu, penerbit-penerbit penerima subsidi lebih suka untuk menekan angka-angka atau mengatakan bahwa mereka tidak dapat memperoleh jumlah yang dialokasikan sementara itu pesaing-pesaing mereka cenderung untuk menggelembungkannya. Secara hypotetis dapat dikemukakan bahwa ketergantungan media pada subsidi dapat berbalik akibatnya pada pemerintah sendiri apabila kebutuhan pers terhadap injeksi anggaran tidak dapat dipenuhi. Kemudian “kekuatan keempat ini” akan mendukung kekuatan oposisi dan berusaha untuk menegakkan pemerintahan yang lebih memperhatikan kebutuhan mereka. Distribusi nasional pers di Rusia adalah monopoli. Distribusi dikuasai oleh Rospechat (Pers-Rusia), badan semi independen di bawah Kementerian Komunikasi. Argumentasi yang pantas di sini menunjukkan bahwa Rospechat, dilihat oleh badan-badan negara sebagai badan usaha kebanyakan, yang membayar semua pelayanannya dengan tarif yang sama, misalnya, dengan restoran atau hotel untuk turis asing. Pengiriman sebuah koran, yang dibayar oleh seorang pelanggan, jarang sekali dapat di cover oleh badan tersebut. Kerugian seperti ini biasanya ditutup oleh keuntungan dari pelayanan telekomunikasi, tetapi saat itu ditutup dengan surat keputusan presiden, sejak 1993 pelayanan-pelayanan ini dibebaskan dari kantor Pos. Sampai awal 1990 an sistem kantor berita di USSR terdiri atas TASS (Telegraph Agency of the Soviet Union) dengan 14 anak perusahaannya di republik Persatuan dan Novusti Press Agency. Saat ini, Rusia saja mempunyai 400 kantor berita.
Dengan runtuhnya USSR, TASS berubah menjadi the Information Telegraph Agency of Russia, IT AR- TASS, memakai singkatan TASS sebagai trademark yang sudah dikenal saja. Selama berpuluh tahun setelah pendiriannya di tahun 1925. TASS berada dibawah pengawasan Dewan Menteri USSR, kemudian dibawah Presiden USSR, pada tahun 1991 menunjuk bekas Sekretaris Persnya Vitaly Ignatenko sebagai Direktur Jendralnya. Pada saat keemasannya di pertengahan 1980 an, TASS mempunyai biro-biro dan koresponden di 110 negara aging (saat ini hanya tinggal 75 negara), menjadi sumber informasi utama bagi rakyat Sovyet tentang kehidupan di luar negeri dan peristiwa-peristiwa di dalam negeri; saat itu merupakan salah satu kantor berita lima besar dunia.Kantor berita ini masih merupakan badan setengah resmi yang dipakai oleh pemerintah Rusia untuk membuat pandangan-pandangannya diketahui secara luas oleh publik dunia, disamping untuk mengedarkan dokumen-dokumen resmi. Yang akan kita saksikan dimasa yang akan datang adalah kelahiran dan penguatan dari kantor-kantor berita tingkat lokal, yang dilihat oleh parlemen dan pemerintah bekas republik-republik otonomi sebagai bagian yang paling penting dari kedaulatan mereka yang sedang tumbuh.
Di tahun-tahun akhir 1980 an pers Rusia memperoleh tingkat kebebasan yang tak pernah dicapai sebelurnnya selama hampir tiga abad; beberapa analis bahkan menyebut tahun-tahun perestroika sebagai “zaman keemasan” (Tolz, 1992). Akan tetapi, sejak 1990, keadaan dari media cetak memburuk disebabkan oleh tekanan ekonomi dan ketergantungannya yang bertambah parah kepada subsidi pemerintah. Sampai saat ini hanya beberapa penerbitan yang telah mencapai kemerdekaan finansial dari pemerintah atau kelompok politik tertentu yang melihat mereka (dalam tradisi lama negara itu) sebagai corong ke masyarakat dan sebagai alat untuk penguasaan politik. Tugas untuk menyusun dan memperkuat masyarakat demokratis, merupakan persyaratan bagi kebebasan mereka yang sebenarnya dan abadi, memerlukan tanggung jawab dan mempunyai efek dibandingkan penggulingan mesin komunis. Penutup Kesimpulan yang bisa ditarik dari pembahasan di atas, sistem pers soviet menganut beberapa prinsip sebagai berikut:
a)
Media Massa
harus melayani kepentingan dan, dan berada dalam kontrol kelas pekerja.
b)
Kalangan swasta tidak dibenarkan memiliki media.
c)
Media harus selalu melakukan tugas fungsi positif bagi
masyarakat dengan cara melakukan upaya sosialisasi norma-norma yang diinginkan,
pendidikan, penerangan, motivasi dan mobilisasi.
d)
Dalam menjalankan seluruh tugasnya kepada masyarakat,
media harus tanggap terhadap kebutuhan dan keinginan khalayaknya.
e)
Masyarakat berhak melakukan sensor dan tindakan hukum
lainnya dalam upaya mencegah atau memberikan hukuman setelah terjadinya
peristiwa publikasi yang bersifat anti-sosial.
f)
Media harus memberikan pemikiran dan pandangan yang
lengkap dan objektif mengenai masyarakat dan norma yang sesuai dengan ajaran
Marxisme-Leninisme.
g)
Wartawan adalah kalangan profesional yang bertanggung
jawab yang memiliki tujuan dan cita-cita yang selaras dengan kepentingan utama
masyarakat.
h)
Media harus mendukung gerakan-gerakan progresif di
dalam dan di luar negeri
Sistem pers tanggung
jawab sosial
Sistem komunikasi yang berdasar tanggung
jawab sosial (social responsibility system) muncul pada abad ke-20
sebagai modifikasi terhadap sistem libertarian. Teori ini diperkenalkan oleh
Theodore Peterson dalam buku Four Theory of The Press. Menurut
Peterson, kebebasan dan kewajiban bertanggung selalu berdampingan. Pers bebas
dalam negara penganut demokrasi memiliki kewajiban dan tanggung jawab kepada
masyarakat dalam menjalankan fungsi-fungsinya.
Pada dasarnya fungsi pers di bawah teori
tanggung jawab sosial sama dengan fungsi pers dalam teori libertarian, yaitu:
a) Melayani sistem politik dengan menyediakan
informasi, diskusi dan perdebatan tentang masalah-masalah yang dihadapi
masyarakat.
b) Memberi penerangan kepada masyarakat
sedemikian rupa sehingga masyarakat dapat mengatur dirinya sendiri.
c) Menjadi penjaga hak-hak perorangan dengan bertindak
sebagai anjing penjaga (watch dog) yang mengawasi pemerintah.
d) Melayani sistem ekonomi dengan
mempertemukan pembeli dan penjual barang atau jasa melalui medium periklanan.
e) Menyediakan hiburan
f) Mengusahakan sendiri biaya finansial
sedemikian rupa sehingga bebas dari tekanan-tekanan orang yang mempunyai
kepentingan.
Teori tanggung jawab sosial berpegang pada
pengetahuan manusia. Dengan rasionya, manusia dapat membedakan mana hal-hal
yang bermanfaat, yang baik dan mana yang tidak baik dan tidak bermanfaat dan
tidak baik. Jika manusia tersebut bekerja dalam wilayah pers maka ia dapat
membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik, sehingga semua pesan-pesan
komunikasi dan informasi yang dikeluarkan oleh pers dapat dipertanggungjawabkan
dengan sepenuhnya.
Teori tanggung jawab sosial berasal dari
inisiatif orang Amerika – Komisi Kebebasan Pers atau the Commission of Freedom
of the Press. Pendorong utamanya adalah tumbuhnya kesadaran bahwa dalam hal-hal
tertentu yang penting, pasar bebas telah gagal untuk memenuhi janji akan
kebebasan pers dan untuk menyampaikan maslahat yang diharapkan bagi
masyarakat.Teori tanggung jawab sosial mempunyai inti pemikiran: siapa yang
menikmati kebebasan juga memiliki tanggung jawab tertentu kepada masyarakat.
Teori ini muncul karena teori libertarian dinilai terlalu mementingkan
kebebasan.
Lalu, apakah teori ini dapat diterapkan di
sebuah negara? Menurut Denis McQuail dalam bukunya Mass Communication
Theory, teori tanggung jawab sosial dapat diterapkan secara luas, karena
ia meliputi beberapa jenis media cetak privat dan lembaga siaran publik, yang
dapat dipertanggungjawabkan melalui berbagai bentuk prosedur demokratis pada
masyarakat. Landasan utamanya adalah: asumsi bahwa media melakukan fungsi yang
esensial dalam masyarakat, khususnya dalam hubungan dengan plitik demokrasi,
pandangan bahwa media seyogyanya menerima kewajiban untuk melakukan fungsi itu
– terutama dalam lingkup informasi, dan peneyediaan ruang bagi bagi berbagai
pandangan yang berbeda, penekanan pada kemandirian media secara maksimum,
konsisten dengan kewajibannya kepada masyarakat, penerimaan pandangan bahwa ada
standar prestasi tertentu dalam karya media yang dapat dinyatakan dan
seyogyanya dipedomani.
Prinsip utama teori tanggungjawab sosial
sekarang dapat disajikan sebagai berikut:
I.
Media seyogyanya menerima dan memenuhi kewajiban tertentu pada masyarakat.
II.
Kewajiban tersebut terutama dipenuhi dengan menetapkan standar yang tinggi
atau profesionalitas tentang keinformasian, kebenaran, ketepatan, objektifitas
dan keseimbangan.
III.
Dalam menerima dan menerapkan kewajiban tersebut, media seyogyanya dapat
mengatur diri sendiri di dalam kerangka hukum dan lembaga yang ada.
IV.
Media seyogyanya menghindari segala sesuatu yang mungkin menimbulkan
kejahatan, kerusakan, atau ketidak tertiban umum atau penghinaan terhadap
minoritas etnik atau agama.
V.
Media secara keseluruhan hendaknya bersifat pluralis dan mencerminkan
kebhinekaan masyarakatnya, dengan memberikan kesempatan yang sama untuk
mengungkapkan berbagai sudut pandang dan hak untuk menjawab.
VI.
Masyarakat dan publik, berdasarkan prinsip yang disebut pertama, memilikihak
untuk mengharapkan standar prestasi yang tinggi dan intervensi dapat dibenarkan
untuk mengamankan kepentingan umum.
VII.
Wartawan dan media profesional seyogyanya bertanggungjwab terhadap
masyarakat dan juga kepada pemilik modal serta pasar.
Berbeda pendapat dengan McQuail yang
berpendapat bahwa teori tanggung jawab sosial dapat diaplikasikan secara
luas, Soemarno dalam modul Perbandingan Sistem Komunikasi menyatakan,
dalam kenyataannya sistem tanggung jawab sosial tidak dapat dipraktekkan dan
hanya menjadi teori semata dengan alasan sebagai berikut:
Dua teori lainnya,social responsibility
theory (teori pers bertanggungjawab social) dan Soviet communist theory (teori
pers komunis Soviet) dipandang sebagai modifikasi yang diturunkan dari kedua
teori sebelumnya.Teori pers bertanggungjawab social dijabarkan
berdasarkan asumsi bahwa prinsip-prinsip teori pers libertarian terlalu
menyederhanakan persoalan. Dalam pers bebas,para pemilik dan para operator
pers yang terutama menentukan fakta-fakta apa saja yang boleh disiarkan kepada
publik (fungsi gatekeeper) dan dalam versi apa (fungsi framing berita).Teori
pers libertarian tidak berhasil memahami masalah-masalah proses kebebasan
internal dan proses konsentrasi pers.Teori pers bertanggungjawab social yang ingin
mengatasi kontradiksi antara kebebasan media massa dan tanggungjawab social
. Rumusan ini dimuat dalam laporan Commission
on the Freedom ,1949,dengan ketua Robert Hutchins.
Ada 5 syarat bagi pers yang bertanggungjawab
kepada masyarakat,yaitu:
1.
Media harus menyajikan berita-berita peristiwa sehari-hari yang dapat
dipercaya,lengkap dan cerdas dalam konteks yang memberikannya makna.
2.
Media harus berfungsi sebagai forum untuk pertukaran komentar dan
kritik.
3.
Media harus memproyeksikan gambaran yang benar-benar mewakili dari
kelompok-kelompok konstituen dalam masyarakat.
4.
Media harus menyajikan dan menjelaskan tujuan-tujuan dan nilai-nilai
masyarakat.
5.
Media harus menyediakan akses penuh terhadap informasi –informasi
yang tersembunyi pada suatu saat.
Pengaruh laporan komisi tersebut sedikit
banyak memberi warna terutama seputar tuntutan masyarakat Amerika agar pers
untuk lebih memperhatikan kepentinganmasyarakatnya.
Baru tahun 1956,pers Amerika mulai meninggalkan
prinsip-prinsip teori pers libertarian dan bergeser ke pers yang
bertanggungjawab social.Inilah bentuk kebebasan pers yang dikehendaki
masyarakat Amerika yaitu kebebasan yang selalu dengan syarat terhadap
kewajiban-kewajiban pers kepada masyarakat.Fungsi mendidik media massa perlu
diberi ruang dan bobot yang lebih.Jangan hanya mencari keuntungan saja,tetapi
juga menterjemahkan dengan tepat dari idealismenya (Sinansari Ecip,2000:77).
Siebert dkk dalam bukunya Empat Teori Pers
menetapkan 6 fungsi pers dalam system pers yang bertanggungjawab social,yaitu:
1.
Melayani system politik yang memungkinkan informasi,diskusi dan
konsiderasi tentang masalah –masalah publik dapat diakses oleh masyarakat.
2.
Memberikan informasi kepada publik untuk memungkinkan publik bertindak
bagi kepentingannya sendiri.
3.
Melindungi hak –hak individu dengan bertindak sebagai watcdog
erhadappemerintah.
4.
Melayani system ekonomi dengan adanya iklan dalam media,mempertemukan
pembeli dan penjual.
5.
Memberikan hiburan yang baik,apapun hiburan itu dalam media.
6.
Memelihara otonomi dibidang finansial agar tidak terjadi ketergantungan
kepada kepentingan-kepentingan dan pengaruh-pengaruh tertentu.
Teori pers bertanggungjawab social ini
merupakan teori baru dan memberikan banyak informasi dan menghimpun segala
gagasan atau wacana dari segala tingkatan kecerdasan.Teori ini tidak disukai oleh pers bebas atau
libertarian,yakni menjalankan etika pers dan menjamin suara minoritas atau
oposisi dalampemberitaannya.Teori
bertanggungjawab social banyak dianut negara berkembang dengan tingkat
pendidikan masyarakat yang relatif maju
a. Dua Ambang Kecenderungan
Sistem tanggung jawab sosial berada
diantara dua sistem komunikasi lainnya, yaitu autoritarian dan libertarian.
Manusia menginginkan kebebasan tanpa adanya kekangan dan tekanan dari penguasa
karena hal tersebut adalah hambatan untuk mengembangkan cita-cita, ide atau
kehendak, sehingga fungsi primer dari suatu sistem tidak mungkin tercapai.
Demikian pula dengan pers dan media massa yang tidak menginginkan campur tangan
pemerintah yang terlalu jauh.
Pers dan pemerintah berada dalam dua
posisi yang berbeda karena keduanya memiliki kepentingan yang berbeda. Dalam
sistem tanggung jawab sosial, kecenderungan ke arah autoritarian mungkin akan
terjadi bila bila penguasa terlalu ketat mengendalikan pers dalam bentuk
peraturan dan perundangan dengan sanksi-sanksi hukumnya. Dalam hal ini
maka pers menjadi alat penguasa dalam menjalankan kekuasaannya.
Sebaliknya, bila penguasa memberikan kebebasan kepada pers, maka sistem social
responsibility hampir menjadi seperti sistem libertarian.
Sistem tanggung jawab sosial terlalu
menyerahkan tanggung jawab kepada individu dan lembaga pengelola media massa
tanpa memperhatikan nilai-nilai psikologis yang ada pada diri manusia yang
tidak lepas dari sifat subyektifnya, yang pada gilirannya sifat ini akan
mengait pada lembaga, organisasi tempat individu tersebut berkiprah.
b. Tidak Ada Pola tertentu
Sistem tanggung jawab sosial bersifat
universal. Menurut William L.Rivers dalam buku Responsibility in Mass
Communication, perbedaan antara sistem tanggung jawab sosial yang dipakai
di negara penganut komunis dengan negara penganut paham demokrasi yaitu
terletak pada masyarakat dan sistem kepartaian yang dianutnya. Pada negara
komunis, tanggung jawab sosial dikondisikan dan dibatasi, sedangkan pada negara
demokrasi tanggung jawab sosial diserahkan kepada masyarakat dan tidak pernah
rapi.
Menurut Rivers, pemerintah tidak perlu
ikut campur terlalu jauh dalam mengendalikan kehidupan pers karena akan
mengubah sistem menjadi lebih cenderung ke arah autoritarian. Ungkapan ini
menunjukkan bahwa tidak ada suatu negara yang menerapkan sistem social
responsibility secara utuh, sehingga tidak ada pola yang bisa dijadikan ukuran
perbandingan antara sistem ini dengan sistem lainnya.
c. Ajang Rebutan Para penyandang
Modal
Penerapan sistem social responsibility
memberikan dampak negatif terhadap proses berlangsungnya transaksi-transaksi
komuniaksi, terutama dalam hal pengelolaan media massa, khususnya pers. Pers
akan menjadi ajang rebutan para penyandang modal karena pers merupakan bisnis
yang sangat menguntungkan. Dalam kondisi tersebut, pers tidak bisa melaksanakan
fungsinya secara sehat dengan alasan sebagai berikut:
1) Pers akan menjadi alat bagi suatu kelompok
yang mempunyai interest tertentu,
2) Para pemilik perusahaan lebih berorientasi
kepada keuntungan bisnis atau komersial ketimbang pada mutu mutu muatannya,
3) Media massa, khususnya pers sering
memberikan perhatian terhadap hal-hal yang tampak dari luar terlihat
sensasional, sehingga sering gagal dalam menyajikan hal-hal atau
peristiwa-peristiwa kemanusiaan.
4) Media massa, khususnya persndikendalikan
oleh salah satu kelas ekonomi, kelas-kelas bisnis dan musuh.
5) Pemerintah
bisa saja menggunakan lembaga atau organisasi yang mengontrol sistem penyiaran
sebagai kedok untuk mencapai kepentingannya.
6) Ekspresi
yang ingin dituangkan oleh masyarakat masih dibatasi oleh peraturan yang ada
sehingga tidak semua bentuk ekspresi dapat dipublikasikan melalui media.
Contohnya saja gambar yang berbau porno, menurut seniman itu seni tetapi bagi
orang lain itu pornografi yang tidak patut dipublikasikan sehingga media tidak
boleh menyiarkannya.
d. Menimbulkan Disintegrasi
Orientasi para pemilik atau penguasa media
massa terhadap bisnis atau komersial memberi dampak tajam terhadap hal-hal
sebagai berikut:
1) Media
massa dapat menganggu kemerdekaan pribadi individu-individu warga negara,
2) Media
massa dapat membahayakan moral bangsa atau moral publik,
3) Munculnya
berbagai opini yang dibentuk oleh media massa karena ragam pemiliknya.
Kondisi semacam ini dapat menimbulkan
disintegrasi keyakinan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga
tujuan sistem (negara) tidak mungkin tercapai.
Kelebihan sistem pers tanggungjawab sosial :
1) Masyarakat
bebas mengeluarkan pendapat atau mencari kebenaran yang bertanggungjawab
sehingga tidak ada pihak yang dirugikan baik pemerintah maupun masyarakat itu
sendiri.
2) Antara
hak masyarakat dan pemerintah bisa seimbang.
2.5 BAGAIMANA
ARTI SISTEM PERS DALAM KOMUNIKASI?
Arti Penting Pers dalam Sistem Komunikasi
Sistem pers adalah subsistem dari sistem
komunikasi. Ia mempunyai karakteristik tersendiri dibanding dengan sistem lain,
misalnya sistem informasi manajeman, sistem dalam komunikasi organisasi
lain-lain. Unsur yang paling penting dalam sistem pers adalah media massa
(cetak dan elektronik). Media massa mempunyai fungsi untuk mempengaruhi sikap
dan prilaku masyarakat. Melalui media, masyarakat dapat menyetujui atau menolak
kebijakan pemerintah. Melalui media pula berbagai inovasi atau pembaruan bisa
dilaksanakan oleh masyarakat.
Marshall Mc Luhan menyebutnya sebagai the
extension of man (media adalah eksistensi manusia). Dengan kata lain media
adalah perpanjangan dan perluasan dari jasmani dan rohani manusia. F.rachmadi
(1990) berbagai keinginan, aspirasi, pendapat, sikap perasaan manusia bisa
disebarluaskan melalui pers. Wilbur Schramm (1973) pers dianggap sebagai
pengamat, forum dan guru. Artinya setiap hari pers memberikan laporan, ulasan
mengenai kejadian, menyediakan tempat (forum) bagi masyarakat untuk mengeluarkan
pendapat secara tertulis dan turut mewariskan nilai-nilai kemasyarakat dari
generasi ke genarasi.
Pers memiliki dua sisi kedudukan. Pertama,
sebagai medium komunikasi yang tertua dibanding medium yang lain. Kedua, pers
sebagai lembaga kemasyarakatan atau istitusi sosial merupakan bagian integral
dari masyarakat dan merupakan unsur asing atau terpisah (Rachmadi, 1990).
Sebagai media yang merupakan unsur dalam sistem komunikasi, pers di indonesia memiliki arti penting, yakni
:
1. Menjadi salah satu unsur sistem komunikasi. Tidak bekerjanya unsur yang satu ini akan mempengaruhi kinerja sistem komunikasi, karena berbagai informasi yang terjadi tidak bisa disebarkan secara cepat dan luas.
1. Menjadi salah satu unsur sistem komunikasi. Tidak bekerjanya unsur yang satu ini akan mempengaruhi kinerja sistem komunikasi, karena berbagai informasi yang terjadi tidak bisa disebarkan secara cepat dan luas.
2. Tujuan pers juga menjadi tujuan sistem komunikasi itu sendiri. Jika sistem komunikasi mempunyai tujuan mengurangi ketidakpekaan dalam pembuatan keputusan, maka melalui pers semua itu bisa diatasi.
3. Pers adalah unsur pengolah data, peristiwa, ide atau gabungan ketiganya menjadi sebuah aluran atau output ke dalam sistem komunikasi. Artinya, berbagai informasi yang diolah lewat media menjadi hasil yang berguna bagi proses keluaran atau output sistem komunikasi.
2.6
DAMPAK NEGATIF DAN POSITIF DARI
SISTEM PERS
KEBEBASAN PERS DAN DAMPAKNYA
A. Dampaknya
dari penyalagunaan kebebasan Pers/Media Massa
Pers yang bebas tidak berlangsung jawab, sering menimbulkan dampak yang tidak baik bagi masyarakat. Dewasa ini penggunaan pers atau media massa sebagai sarana komunikasi sangatlah menguntungkan, karena kita bisa mendapatkan berita yang hangat dengan cepat tanpa mengeluarkan uang yang banyak. Penggunaan teknologi komunikasi modern yang bebas dan mudah didapat, harus didasari rasa tanggung jawab yang tinggi. Hal itu diharapkan agar tidak terjadi dampak negatif yang merugikan. Usaha pemerintah dalam membatasi kebebasan pers.
Berikut ini disebutkan faktor-faktor penyebab penyalahgunaan kebebasan berpendapat dan berbicara.
1. Lebih mengutamakan keuntungan ekonomis ( bisnis oriented ).
2. Campur tangan pihak ketiga
3. Keberpihakan
4. Kepribadian
5. Tidak mempertimbangkan kondisi sosial budaya masyarakat.
1. Dampak
bagi individu
a) Dampak
positif bagi individu yaitu apabila suatu pemberitaan dapat meningkatkan
nilai positif pribadinya, sehingga akan mendorong masyarakat untuk berpendapat
bahwa dirinya adalah pribadi yang jujur dan benar.
b) Dampak
negatif bagi individu yaitu bahwa apabila pemberitaan itu menghancurkan nilai
positif pribadinya di masyarakat , sehingga mengakibatkan opini masyarakat yang
tidak baik terhadapnya. Hal itu akan berdampak negatif pula pada aspek bisnis.
2. Dampak bagi masyarakat
a) Dampak
positif bagi masyarakat yaitu apabila dapat menumbuhkan kesetiakawanan sosial
dan mewujudakan perwujudan persatuan dan kesatuan serta keamanan, ketentraman,
dan ketertiban.
b) Dampak negatif bagi masyarakat yaitu apabila
menyebabkan hilangnya rasa kesetiakawanan sosial, dan pecahnya persatuan dan
kesatuan bangsa serta timbulnya gangguan terhadap keamanan, ketentraman, dan
ketertiban.
3. Dampak
bagi negara
a) Dampak
positif bagi negara yaitu apabila dapat meningkatkan partisipasi, dukungan dan
keberpihakan rakyat kpada pemerintah, membantu pelaksanaan pembangunan nasional
agar berjalan lancar, dan dapat meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
b) Dampak
negatif bagi negara yaitu apabila menyebabkan rakyat tidak percaya dan tidak
memberikan dukungan lagi terhadap pemerintah, kurang lancarnya pembangunan
nasional, dan memburuknya kondisi keamanan negara serta menurunnya tingkat
kepatuhan masyarakat tehadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.
B. Manfaat
Media Massa dalam Kehidupan Sehari-hari
Media Massa sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat.
Pengertian Komunikasi
Istilah komunikasi dalam bahasa inggris di sebut dengan communication,
yaitu berasal dari kata communication atau communis yang berarti sama atau sama
dengan pengertian bersama. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, komunikasi
berarti pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih
sehingga pesan yang di maksud dapat dipahami. Menurut James A.F.Stoner
komunikasi adalah proses dimana sesorang berusaha memberikan pengertian dengan
cara pemindahan pesa. Selanjutnya William F.Glueck menjelaskan bahwa komunikasi
dapat dibagi menjadi dua bentuk, yaitu sebagai brikut.
1. Interpersonal
Communications (komunikasi antarpribadi), yaitu proses pertukaran informasi
serta pemindahan pengertian antara dua orang atau lebih di dalam suatu kelompok
kecil manusia.
2. Organization
Communications , yaitu proses dimana pembicara secara sistematis memberikan
informasi dan memindahkan pengertian kepada orang banyak di dalam organisasi
dan kepada pribadi-pribadi dan lembaga-lembaga di luar yang ada hubungan.
Tujuan Komunikasi
Tujuan komunikasi secara umun adalah sebagai berikut :
a) Supaya
yang disampaikan komunikator dapat dimengerti oleh komunikan.
b) Agar
manusia dapat memahami orang lain
c) Supaya
gagasan kita dapat diterima orang lain.
d) Menggerakan
orang lain untuk melakukan sesuatu.
Syarat-Syarat Terjadinya Komunikasi
a) Source
(sumber), yaitu dasar yang digunakan dalam penyampaian pesan, yang digunakan
dalam rangka memperkuat pesan itu sendiri.
b) Komunikator,
yaitu yang menyampaikan pesan.
c) Pesan,
yaitu keseluruhan yang disampaikan oleh komunikator.
d) Saluran
(channel), yaitu saluran yang digunakan komunikator dalam menyampaikan pesan.
e) Komunikan,
yaitu penerima pesan dalam komunikasi dapat berupa individu, kelompok, dan
massa.
f) Effect
(hasil), yaitu ha
g) sil
akhir dari suatu komunikasi dalam bentuk terjadinya perubahan sikap dan
perilaku komunikan.
Manfaat Media Massa
a) Media
audio, yaitu media komunikasi yang dapat didengar atau di tangkap oleh indra
telinga.
b) Media
visual, yaitu media komunikasi yang dapat dibaca atau ditangkap oleh indra
mata.
c) Media
audio visual, yaitu mendia komunikasi yang dapat dibaca dan didengar.
Untuk mendorong pertumbuhan media massa, maka isi pemberitaan dari siaran
pers dan media massa, sebaiknya adalah sebagai berikut:
a) Mengandung
informasi, pendidikan, hiburan dan manfaat bagi pembentukan intelektualitas,
watak, moral bangsa dan mengamalkana nilai-nilai agama dan budaya indonesia.
b) Bersifat
netral dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu.
c) Tidak
bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan atau bohong.
d) Tidak
menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika
e) Tidak
mempertentangkan suku, agama, ras, dan anatr golongan.
f) Tidak
memperolokan, merendahkan, melecehkan, dan mengabaikan nilai-nilai agama,
martabat, manusia Indonesia dan merusak hubungan internasional
Sudah dipahami makna dan gambaran bagaimana
sistem pers otoritarian dan libertarian itu di tulisan sebelumnya. dan perlu
dipahami pula keduanya mempunyai kelebihan dan kekurangan. berikut setidaknya
menggambarkan kelebihan dan kekurangan dari masing-masing sistem pers di atas
Sebelumnya saya sudah membahas
apa itu otoritarian dan libertarian serta bagaimana kedua teori itu berkembang
dan implikasinya terhadap suatu Negara. Tentunya dari kedua system tersebut
memiliki sisi negative dan positif nya, dan itu semua akan saya bahas disini.
Teori Pers Otoritarian
Tujuan dari pers otoritarian adalah mendukung dan memajukan kebijakan pemerintah yang berkuasa dan dimana media pada system ini selalu diawasi dan tidak boleh melakukan kritik pada pemerintahan, maka pasti akan timbul banyak sisi Negatif dan teori ini :
Karena media yang seharusnya menjadi penghubung antara masyarakat dan pemeritah untuk menyampaikan aspirasi tidak diperbolehkan untuk mengkritik dan mengetahui apa yang terjadi di pemerintahan, itu membuktikan tidak adanya transparansi di pemerintahan yang tentunya memberikan keleluasaan pada para penguasa untuk melakukan tidakan yang tidak baik seperti korupsi, kolusi dan nepotisme yang pernah terjadi pada massa orde baru. Itu sangat mudah dilakukan karena media dianggap sebagai alat untuk melaksanakan kebijakan pemerintah dan tidak boleh ikut campur dalam pemerintahan bahkan untuk mengkritik sekalipun.
Sisi positif dari teori pers otoritarian, karena adanya pemusatan kekuasaan yang berada di tangan pemerintah membuat pemerintah bebas melakukan apa saja. Pemerintah akan lebiah mudah mengontrol konflik-konflik dalam masyarakat cenderung berkurang karena adanya pengawasan hal-hal yang dianggap dapat menggoncangkan masyarakat, selain itu mempermudah membentuk penyeragaman/integritas dan konsensus yang diharapkan khususnya secara umum pada negara sedang membangun yang memerlukan kestabilan.
Teori pers Libertarian
Pada system pers libertarian lebiah menekankan pada individu dimana masyarakat dibebaskan untuk berekspresi, berpendapat dan bahkan untuk mengkritik pemerintahan. Namun dari system ini ada sisi negatifnya diantaranya Negara akan susah dikendalikan karena akan banyak dari masyarakat yang melakukan kritik terhadap pemerintah bahkan akan sering terjadi konflik antar masyarakat akibat terjadinya salah persepsi dan akan sulit dikontrol oleh pemerintah.
Tapi sisi positif nya pada system liberal, media massa pers bukan alat pemerintah lagi melainkan sebagai alat untuk menyajikan fakta, alasan, dan pendapat rakyat untuk mengawasi pemerintah yaitu bisa sebagai melayani kebutuhan pendidikan politik masyarakat, Memberi penerangan kepada masyarakat, Memberi hiburan kepada masyarakat, Melindungi hak warga masyarakat
Pers Komunis
Dengan minimnya
kebebasan pers di negara komunis seperti Soviet ada beberapa dampak positif dan
negatif yang ditimbulkan. Dampak negatif sistem pers komunis ini adalah hanya
menguntungkan kaum sosialis karena hanya memburu keberhasilan bagi kediktatoran
partai. Dan tidak semuanya berhak dapat menggunakan media dari sistem ini
karena hanya anggota-anggota partai yang loyal saja yang berhak.
Sedangkan kelebihan
sistem pers komunis adalah media bebas melaksanakan tugas-tugas sebagai
instrument Negara da partai, bukan sebagai pihak-pihak yang bersaing
mendapatkan simpati public. Sistem ini menetapkan fungsi komunikasi massa
secara positif dengan mengatur rakyat agar mendukung pemimpin dan
program-programnya. Sistem ini dibangun atau diciptakan sebagai bagian dari
perubahan dan untuk membantu mencapai perubahan. Dan untuk membangun statusquo
Soviet, tetapi selalu dalam konteks perubahan dan perkembangan. Serta merupakan
sistem pers terencana yang bercampur kedalam partai dengan dibantu oleh
organisasi-organisai dibawahnya
Pers tanggung jawab
sosial
Dengan adanya kebebasan media massa maka
akhirnya mengalami pergeseran ke arah liberal pada beberapa tahun belakangan
ini. Ini merupakan kebebasan pers yang terdiri dari dua jenis : Kebebasan
Negatif dan Kebebasan Positif.
1) Kebebasan negatif merupakan
kebebasan yang berkaitan dnegan masyarakat dimana media massa itu hidup.
Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan dari interfensi pihak luar organisasi
media massa yang berusaha mengendalikan, membatasi atau mengarahkan media massa
tersebut.
2) Kebebasan positif merupakan
kebebasan yang dimiliki media massa secara organisasi dalam menentukan isi
media. Hal ini berkaitan dengan pengendalian yang dijalankan oleh pemilik media
dan manajer media terhadap para produser, penyunting serta kontrol yang
dikenakan oleh para penyunting terhadap karyawannya.
Kedua jenis kebebasan tersebut, bila
melihat kondisi media massa Indonesia saat ini pada dasarnya bisa dikatakan
telah diperoleh oleh media massa kita. Memang kebebasan yang diperoleh pada
kenyataannya tidak bersifat mutlak, dalam arti media massa memiliki kebebasan
positif dan kebebasan negatif yang kadarnya kadang-kadang tinggi atau bisa
dikatakan bebas yang bebas-sebebasnya tanpa kontrol sedikitpun.
Bebasnya pers, cenderung menjadi kesempatan
birokrat, pengusaha, penguasa dan politikus melanggengkan kekuasaannya.
Kebebasan media juga menjadi kebebasan untuk dimiliki siapa saja, termasuk yang
ingin menjaga kekuasaan dan keuntungan semata. Telah menjadi rahasia umum,
media di Indonesia disusupi pemilik kantong tebal untuk mendirikan dan
menanamkan sahamnya. Tak ayal lagi, beberapa media kemudian membungkus berita
kritik dan pengungkapan kasus-kasus kejanggalan kejahatan birokrat, pengusaha
dan politikus dengan membalikkan media dengan penyajian infotaimen, sinetron
dan musik yang porsinya lebih besar. Lahirlah media yang bebas, vulgar dan
cenderung tidak beretika.
Perlawanan pers yang telah mendapatkan
kebebasan, tanpa disadari bukan hanya perlu sebagai lembaga ke-empat
penyeimbang kekuatan legislatif, yudikatif dan eksekutif yang mengontrol dan
mengkritik. Tapi pers, kini memiliki lawan baru yakni pers yang memiliki
keberpihakan, kepentingan dan idiologi tertentu yang cenderung merusak
masyarakat. Pers idealis perlu membuat patron yang jelas, garis kerja
profesional dan tindakan riil terhadap berbagai perilaku pers disisi yang lain.
Merusak citra pers dengan menyembunyikan fakta, mengurangi informasi dan
membesar-besarkan informasi yang membodohi, tidak bernilai berita dan tidak
memiliki kepentingan bagi masyarakat.
Sebuah media massa dapat mendukung semua
kebijakan pemerintah, menentang, atau bahkan mendua terhadap suatu kebijakan.
Bisa saja bersikap pro atau kontra. Media massa juga dapat menentukan diri
sebagai lawan pemerintah atau bahkan sebagai pengawal kebijakan pemerintah.
Suara (kebijakan) pemerintah bisa menjadi bahan perbincangan, perdebatan dan
interpretasi oleh figur-figur yang terlibat dalam pengelolaan media.
Ada ketakutan yang luar biasa apabila
kebebasan Pers pada akhirnya menjadi celah pada kepentingan para birokrat dan
penguasa maupun pengusaha, hal ini sangat memungkinkan terjadi untuk masa
sekarang dan bahkan akan berkelanjutan untuk di masa yang akan datang. Hal ini
di tandai dengan terlibatnya beberapa pengusaha-pengusaha besar media yang
akhirnya terlibat dalam politik praktis secara langsung. Keberadaan Media atau
Pers pada akhirnya akan berpihak terhadap situasi politik nasional yang
berkaitan dengan kepentingan pribadi atau golongan tertentu dan pada akhirnya
akan lebih meninggalkan fungsi dari pres itu sendiri.
Kekuatan Media sebenarnya merupakan
kekuatan ke 4 Strategis Bangsa Indonesia, karena keterlibatan pres dapat ikut
terlibat mewujudkan amanat rakyat sesuai dengan cita-cita pembukaan UUD 1945
yaitu Mencerdaskan kehidupan Bangsa. Maka tidak menjadi relevan apabila peran
pres atau media di kendalikan oleh situasi dan dinamika politik nasional yang
jelas akan melunturkan dari cita-cita dan perjuangan strategisnya.
2.7
HAKIKAT PERS UMUMNYA DAN PERS INDONESIA
Hakikat
Pers Umumnya Dan Pers Di Indonesia
Sejarah
intelektual menyepakati suatu pendapat yang dimaksudkan dengan pers menurut
Mott (1969) adalah: variasi media yang dikelompokan atas lima:
(1)
newspaper (surat kabar);
(2)
general magazine and review (majalah umum dan laporan);
(3)
class, trade, and proffesionals journals (jurnal untuk satu kelompok masyarakat
tertentu, profesi tertentu, kepentingan perdagangan;
(4) news
magazine digest (majalah berita, dan majalah telaahan);
(5) radio
dan televisi.Dari kelima pengelompokan itu penulis menganalisis pers dalam
artian pers cetak untuk umum (surat kabar dan majalah).
Secara
teoritik peranan pers pada umumnya menggambarkan fungsi utama dari publisistik
sebagaimana diungkapkan Susanto (1977) yaitu:
(1)
memberikan penerangan (informasi);
(2)
mendidik;
(3)
menghibur;
(4)
mempengaruhi.
Begitu
luas jangkauan peranan pers di tengah-tengah masyarakat serta pemerintah maka
menurut Fischer (1968) bahwa pers dapat menciptakan pengaruh timbal balik
antara pers, masyarakat, pemerintah. Maka pers sebagai media komunikasi massa
memiliki aspek lain yaitu “ubiquitous” (serba hadir) dan serba makna.
Mengapa
ada sifat pers seperti itu? Arifin (1986) mengemukakan bahwa sifat serba hadir
berarti peranan pers itu ada dimana saja, kapan saja, pada suasana dan konteks
apapun; sedangkan sifat serba makna berarti komunikasi secara operasional dapat
berarti jamak (terlihat dalam pengkajian definisinya antara lain dapat berarti,
proses, peristiwa, ilmu, kiat, dipahami, hubungan/saling berhubungan, saling
pengertian, dan pesan).
Justru
itulah maka mempelajari pers dari segi sejarah intelektual sama dengan
mempelajari perkembangan kesadaran masyarakat. Karena pers dapat merupakan
cermin yang memantulkan lukisan masyarakat dengan segala dinamikanya, bahkan
dapat menghidangkan filsafat yang memberi landasan paradigma tentang apa yang
sedang terjadi. Akibatnya kita tidak perlu merasa heran bahwa warna isi pers
itu bervariasi tentang semua bidang kehidupan manusia. Sampai disini benarlah
ungkapan Mc.Luhan bahwa, media massa umumnya bertindak sebagai the extension of
man(pernyataan keberadaan manusia) dalam wujud pembawaan kodratnya misalnya
dalam hasrat menyatakan diri, berdialog, menyerap apa yang dilihat dan
didiengarnya dan bersatu, bergaul dengan lingkungan dan dengan proses itu pers
menyatakan dan mengembangkan perikehidupan bermasyarakat. Kalau ini dikehendaki
maka tanpa jaminan kebebasan dan keleluasaan dalam memilih, mencari, mengumpulkan,
mengolah, dan menyebarluaskan informasi yang diperolehnya dari
penguasa/pemerintah maka pers sulit bertanggung jawab karena pers sendiri tidak
bebas bertindak.
Dalam merealisasikan kebebasan itu tentu ditempuh berbagai cara yang sesuai dengan konstitusi dan sistem hukum nasional, disinilah fungsi regulasi dan pemerintah dimunculkan.
Menurut Bridge (1983) bahwa, satu hal yang pasti, komunikasi menjadi demikian pentingnya di negara yang sistem medianya juga dimiliki oleh swasta, sehingga negara membuat pengaturan yang mengikat. Dan kalau terjadi kontrol pemerintah maka apa yang harus dipertahankan pers?
Maka
Rauel Barlow seraya mengutip pendapat Alexander Hamilton dalam Mott (1969)
bahwa, kebebasan pers itu sebenarnya terdiri dari pernyataan pikiran-pikiranku
dalam menyebarluaskan kebenaran, dari dorongan yang murni demi kepentingan
keadilan yang dicita-citakan, walaupun harus mencela pemerintah maupun pribadi
para pemimpinnya sekalipun. Sehingga sikap pers harus melawan dengan
mempertahankan keberadaannya secara esensial.
Permasalah
pers pada umumnya sebagaimana dilukiskan di atas terjadi pula di Indonesia,
hanya tentunya dipengaruhi kuat oleh warna ideologi negaranya Pancasila.
Dalam UU Pokok Pers Nomor 21 Tahun 1982, pers diartikan sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang menjalankan fungsi-fungsi tertentu. Yang menarik adalah perubahan beberapa terminologi. Misalnya perkataan revolusi (sebelum dalam UU Nomor 11 Tahun 1966) diganti dengan perjuangan nasional. Pancasila, pembangunan. Dua kata terakhir ini dalam tiga dekade terakhir menyebarluas sebagai konsep kunci, bukan saja oleh pers tetapi dalam kehidupan masyarakat. Dan semua kekuatan masyarakat (termasuk pers) diarahkan untuk senantiasa mengamankannya, ini membuktikan bahwa ikatan keberadaan pers sangat kuat ditentukan oleh mati hidupnya suatu ideologi maupun pengalaman ideologi (pembangunan sebagai pengamalan ideologi).
Demikian
pula, misalnya pers Pancasila sebagai suatu paradigma, pers Indonesia merupakan
kelanjutan perubahan dan perkembangan gagasan intelektual masa lalu yang masih
relevan untuk terus dikaji secara intelektual. Itulah sebabnya maka pertanyaan
mengenai apa, mengapa, bagaimana seharusnya pers Pancasila jaul lebih penting
secara akademik yang merangsang kita untuk mencari rumusan yang pas.
2.8 PENGARUH
SISTEM IDEOLOGI TERHADAP SISTEM PERS
Mott
(1969) membagi sistem pers (dalam hubungannya dengan pemerintah) atas dua
macam. Pertama, kelompok yang mempunyai kemungkinan mengkritik dan mencela
pemerintah (pers bebas)
(1) pers
semi bebas;
(2) pers
sistem komunis Soviyet;
(3) dan sistem
fasis (contohnya dibawah Hitler dan Mussolini).
Kedua, terdiri dari tipe pers yang berpegang
teguh pada prinsipnya (fungsinya) dengan tekanan pada opini, dan pers yang
menekankan pada informasi dari berita/news. Kemudian yang bertipe fungsi opini
adalah yang tertua karena dimanfaatkan secara sepihak oleh pemerintah, dan tipe
yang menekankan pada news banyak dianut di negara kapitalis/liberal.
Kedua
kelompok ini menurut (Wright, 1986); (Effendy, 1986); dan (Wilson, 1989),
secara tepat membagi dalam empat kategori, yaitu
(1) pers
bersistem komunis Soviyet;
(2)
liberal;
(3)
otoriter; (
4)
tanggung jawab sosial.
Isi
ringkasan keempat sistem pers itu adalah sebagai berikut:
1. Sistem
otoriter mengajarkan bahwa baik media pemerintah maupun swasta tergantung pada
pemerintah. Pengekangan dilakukan melalui berbagai metode, misalnya
prosedur-prosedur izin, sensor yang keras;
2. Sistem
liberal, mengajarkan bahwa kebebasan media tanpa batas kontrol dari pemerintah;
3. Teori komunis Soviyet, mengajarkan peranan pers (radio, televisi, dan film) harus memperoleh mandat penuh dari partai komunis/pemerintah karena fasilitas itu harus digunakan untuk propaganda partai tentang manfestonya;
3. Teori komunis Soviyet, mengajarkan peranan pers (radio, televisi, dan film) harus memperoleh mandat penuh dari partai komunis/pemerintah karena fasilitas itu harus digunakan untuk propaganda partai tentang manfestonya;
4. Teori
tanggung jawab sosial, mengajarkan tanggung jawab moral dan sosial orang
ataupun lembaga-lembaga yang menjalankan media massa. Diantara tanggung jawab
ini termasuk kewajiban memberikan informasi dan diskusi terhadap publik tentang
masalah-masalah sosial yang penting dan menghindari aktivitas-aktivitas yang
merugikan masyarakat.
Bagaimana
sistem pers di Indonesia? Ini lah pertanyaan mendasar dari kajian ini. Kaitan
pers Indonesia dengan sejarah sosial politik yang membentuknya sangatlah erat.
Arifin (1988) berpendapat bahwa: pers Indonesia/pers nasional yang sekaligus membedakannya dengan pers Cina maupun pers Belanda, yaitu adanya konsep perjuangan dan kerakyatan. Karakteristik pers perjuangan nampak pada orientasinya pada nasionalisme, kemerdekaan dan kerakyatan, tidak komersial. Dengan kata lain, pers lebih mengutamakan aspek politik dan ideologis daripada aspek bisnisnya. Dan ini dibuktikan dengan definisi keberadaannya dalam UU Pokok Pers seperti yang diuraikan diatas.
Di sisi
lainkonsep rakyat/kerakyatan yang mendominasi alam pikiran tokoh-tokoh pers dan
pimpinan nasional terlihat dengan jelas antara lain pada nama motto dari surat
kabar, misalnya nama Pikiran Rakyat, Pedoman Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Duta
Masyarakat, Panji Masyarakat. Pergeseran-pergeseran kata-kata kunci dalam UU
tersebut sebenarnya merupakan obyek kajian intelektual sendiri yang menarik
untuk dikaji.
Lalu bagaimana posisi pers Indonesia sekarang ini? Apakah tetap mewakili aspirasi rakyat dan terus menerus mengkritik pemerintah secara berlebihan ataupun tetap hanya menjadi perpanjangan tangan pemerintah?
Kleden
(1989) mengungkap bahwa setelah fase perjuangan selesai pers Indonesia memasuki
era pers pembangunan. Pers pembangunan (untuk menerangkan pendapat Oetama)
mempunyai tiga yugas utama, yaitu memberikan informasi tentang pembangunan,
melakukan interpretasi terhadap informasi yang diberikan, dan selanjutnya
mendukung informasi dan interpretasi itu dengan tulisan yang bersifat promosi
supaya informasi tersebut diterima dan dijalankan secara operasional.
Dalam
hal ini, maka pers pembangunan memperlihatkan beberapa perubahan yang menarik.
Pertama, dibandingkan dengan pers perjuangan yang lebih memusatkan perhatian
pada masalah sosial politik, maka pers pembangunan memperluas perhatiannya juga
ke bidang sosial ekonomi. Kedua, jika pers perjuangan sangat menekankan segi
kontrol, maka pers pembangunan memberi perhatian besar kepada segi promosi dan
persuasi. Ketiga, Jika dalam perannya yang konvensional pers mempertahankan
suatu jarak dengan pihak eksekutif agar dapat mengawasinya, maka dalam pers pembangunan
hubungan pers dengan eksekutif tampaknya lebih dekat karena sama-sama
berkepentingan terhadap gagasan pembangunan dan pelaksanaannnya. Dalam kasus
Indonesia muncul kemudian gagasan bahwa pers tidak lagi cukup hanya berperan
sebagai kritikus pemerintah, tetapi juga harus menjadi mitra pemerintah.
Kleden (1989) juga melanjutkan bahwa, pada titik inilah terlihat bahwa pers Indonesia mencoba menempuh suatu via media (jalan tengah) antara pers yang liberal dengan pers yang hidup di negara-negara totaliter. Jika di negara-negara liberal pers menjadi “watch-dog” terhadap pemerintah, dan jika di negara-negara totaliter pers menjadi perpanjangan tangan pemerintah, maka pers Indonesia berusaha untuk menjadi mata pemerintah dengan tetap mempertahankan fungsi kontrol sosialnya.
Oleh
karenanya, kita harus melakukan eksperimen yang terus menerus terhadap suatu
sistem pers Indonesia yang ideal yakni sistem pers Pancasila yang paling tidak
memiliki ciri khas tersendiri dan bukan gabungan elaktik antara unsur-unsur yang
baik dari dua sistem yang telah disebutkan itu. Ini juga berarti bahwa pers
Pancasila selain merupakan sebuah eksperimen ideologis (yaitu bagaimana
menerjemahkan ideologi Pancasila dalam kehidupan pers), sebetulnya sekaligus
eksperimen sosial-budaya (yaitu bagaimana menerapkan asas-asas pers umpamanya
ke dalam sistem sosial dan sistem budaya masyarakat Indonesia).
Apabila
ciri ini dipahami dan terus menerus dikaji maka terbinalah hubungan pers dengan
pemerintah, pers dengan rakyat dalam mempertahankan tatanan ideologi Pancasila.
Benarlah menurut Oetama (1989) bahwa hubungan pers dengan pemerintah dalam
sistem demokrasi Indonesia dewasa ini buknlah tunduk, tidak juga bermusuhan,
tetapi sering disebut “partnership”, interaksi postif dan oleh PWI (Persatuan
Wartawan Indonesia) di Menado diusulkan untuk diubah menjadi interaksi
konstruktif.
2.9 KONDISI SISTEM PERS DI INDONESIA DAN CARA
ANALISI BERITA
Pendapat
yang mengemukakan bahwa “sistem media di satu negara, mencerminkan sistem
pemerintahan yang dianut negara yang bersangkutan” terbukti berlaku pula di
Indonesia. Sistem pemerintah yang mengalami beberapa kali perobahan, amat
berpengaruh terhadap kebebasan pers di Indonesia.
· Kebebasan
pers di Indonesia terlihat lebih mengemuka pada saat pemerintahan sedsang
mengalami krisis, dimana kontrol pemerintah sangat sedikit, bahkan tidak ada
sama sekali. Hal ini terlihat pada era Revolusi Fisik, era kabinet parlementer
yang mengalami enam kali pergantian kabinet, dan awal pemerintahan rezim Orde
Baru saat terjadi kekacauan dan perpecahan dalam tubuh
pemerintah. Pada era-era krisis pemerintahan ini pers Indonesia
cenderung menganut paham Libertarian.
· Pada saat
sistem pemerintahan dalam keadaan mapan, penguasa akan mereduksi bahkan
menghilangkan kebebasan pers secara struktural. Pembatasan kebebasan pers
dilakukan penguasa melalui berbagai cara, termasuk dengan berbagai peraturan
perundangan. Hal ini terjadi pada era Demokrasi Terpimpin oleh rezim Orde Lama
dan 20 tahun menjelang reformasi oleh rezim Orde Baru. Pada kedua era ini, pers
Indonesia terkungkung dalam pahamAuthoritarian
· Kebebasan
pers yang terjadi pada era reformasi adalah kebebasan struktural seiring dengan
perobahan sistem pemerintahan. Perobahan sistem pemerintahan itu, sedikit
banyaknya dipengaruhi oleh arus globalisasi, sehingga pers Indonesia pada era
ini cenderung menganut pahamLibertarian.
· Freedom
House yang melakukan rating penilaian terhadap kebebasan pers global,
sampai saat ini masih menempatkan kebebasan pers indonesia pada
posisi Partly Free”. Hal ini ditunjukkan dengan
ranking Political Rights, Civil Liberties yang mempengaruhi kebebasan
pers di Indonesia.
Dewan
Pers menetapkan, Indonesia memiliki system pers pancasila sebagai system pers
idealis dalam Sidang Pleno XXV di Surakarta pada tanggal 7-8 Desember 1984.
Pers
Indonesia adalah Pers Pancasila dalam arti pers yang orientasi, sikap dan
tingkah lakunya berdasarkan pada nilan-nilai Pancasila dan UUD 1945.
Pers Pembanguna adalah Pers Pancasila dalam arti mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 dalam pembangunan berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, termasuk pembangunan pers itu sendiri.
Pers Pembanguna adalah Pers Pancasila dalam arti mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 dalam pembangunan berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, termasuk pembangunan pers itu sendiri.
Hakikat
Pers Pancasila adalah Pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggung
jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan
objektif, penyaluran aspirasi rakyat dan kontrol sosial konstruktif. Melalui
hakikat dan funsi pers pancasila mengembangkan suasana sain percaya menuju
masyarakat terbuka yang demokratis dan bertanggung jawab.
Mengacu
buku Sistem Pers Indonesia disebutkan, akar dari sistem kebebasan pers
Indonesia adalah landasan idiil, ialah Pancasila, dengan landasan
konstitusional, UUD 1945.
Kemudian
disebutkan, pers adalah salah satu media pendukung keberhasilan pembangunan.
Bentuk dan isi pers Indonesia perlu mencerminkan bentuk dan isi pembangunan.
Kepentingan pers nasional perlu mencerminkan kepentingan pembangunan nasional.
Inilah yang disebut "pers pembangunan," model yang juga banyak
diterapkan di negara sedang berkembang lainnya.
Implikasi
pers pembangunan adalah: Karena pembangunan dianggap merupakan program regim
Orde Baru, maka pers harus mendukung pemerintah Orde Baru. Pers sangat tidak
diharapkan memuat pemberitaan yang isinya bisa ditafsirkan tidak sejalan atau
bertentangan dengan posisi pemerintah. Sedangkan dalam prakteknya yang berhak
menafsirkan bahwa isi pemberitaan pers itu bertentangan atau tidak bertentangan
dengan pembangunan adalah pemerintah.
a) Beberapa
karakteristik pers pancasila, di antaranya;
b) Setiap
berita yang disiarkan selalu memupuk rasa Ketuhanan YME dan tidak pernah
atheis.
c) Menghormati
nilai-nilai kemanusiaan & HAM dan tidak memberikan peluang kepada
perbudakan, penindasan dan sadisme.
d) Selalu
membina persatuan bangsa, tidak pernah memecah belah hingga menghilangkan
stabilitas nasional dan menghindari SARA.
e) Selalu
menghormati pendapat dan jalan pikiran orang lain dalam musyawarah dan
kemufakatan sebagai penghormatan terhadap hak rakyat.
Membela
dan memperjuangkan keadilan sosial di tengah-tengah masyarakat, hingga merata
ke seluruh WNI.
ANALISIS
ISI BERITA
Sekilas,
pemberitaan mengenai KOMPLEKS OLAHRAGA DADAHA SEPULUH TAHUN TAK
DIURUS ini menunjukkan kelalaian pihak pemerintahandalam hal ini Pemkab
dan pemkot Tasikmalaya.
Dapat
dilihat dari seluruh alenia dalam pemberitaan ini menyudutkan sebelah pihak.
Meskipun demikian, berita ini masih dapat dikatakan berita yang berimbang
karena tetap diimbuhkannya klarifikasi atau pembelaan dari pihak pemerintahan.
Meskipun pembelaan ini menyebabkan semakin tersudutnya pihak pemerintahan
karena menunjukkan ke-egoisan kedua belah pihak yaitu antara Pemkot dan Pemkab.
Dari
alenia 1-3, menunjukkan kerusakan kompleks olah raga dadaha. Alenia ke-4
berisi “Setelah Tasikmalaya dibagi menjadi dua pemerintahan, Pemkot dan
Pemkab tahun 2001 lalu, stadion ini tak lagi ada yang mengurus karena tak jelas
milik siapa.” Hal ini tentu menunjukkan ketidakberesan system
pemerintahan.
Alenia
ke-5 berisi kutipan komentar seseorang, yaitu Evi Hilman sebagai pemerhati
pemerintahan “Seperti itulah kondisi yang menimpa Dadaha saat ini. Di satu
sisi, Pemkot maupun Pemkab berupaya keras agar aset-aset termasuk Dadaha
menjadi milik mereka, tapi di sisi lain mereka enggan melakukan pemeliharaan
apalagi perbaikan,”. Jelas di sini komentar tersebut terang-terangan
menunjukkan perebutan asset antara Pemkot dan Pemkab.
Alenia
5-6 berisi pembelaan atau klarifikasi terhadap kasus tersebut dari pihak
Pemerintahan. Namun, dikatakan Kepala Bagian Aset Pemkot Tasikmalaya, Hanafi,
“Persoalan asset tersebut tengah diselesaikan Kemendagri dan Pemprov Jabar.”
Hal ini menunjukkan persoalan tersebut belum terselesaikan samapai saat ini
setelah sepuluh tahun tanpa penyelesaian.
Dikatakan
juga “Sesuai dengan yang kami fahami dalam pertemuan sebelumnya, asset yang ada
di Pemkot akan diserahkan ke Pemkot. Sementara Pemkab akan mendapat
konvensasi,” itu artinya Pemkab tidak menyerahkan Kompleks Olah Raga Dadaha
tanpa adanya konvensasi. Mungkin yang terjadi saat ini Pemkot belum juga
memberikan konvensasi.
Diperjelas
Bupati Tasikmalaya, Uu Ruzhanul Ulum. Pihaknya bersedia menyerahkan asset yang
saat ini masih dikuasai Pemkab, dengan syarat Pemkab mendapat dana konvensasi
yang adil. “Tidak ada masalah selama ada konvensasi yang memadai,” ujarnya. Itu
artinya, Pemkab ingin menukar asetnya dengan sejumlah dana konvensasi dari
Pemkot. Dan akan mempertahankan Kompleks Olah Raga Dadaha sebagai asetnya
sebelum Pemkot menyerahkan dana konvensasi.
“Terbengkalainya
kompleks olah raga Dadaha sebenarnya tidak perlu terjadi, jika pihak Pemkot dan
Pemkab Tasikmalaya lebih mengedepankan kepentingan rakyat ketimbang sikap
egoistis masing-masing.” Pernyataan dari pihak redaksi Tribun juga sangat
menyudutkan pemerintahan dengan terang-terangan pernyataan “Sikap Egoistis
masing-masing (Pemkot dan Pemkab)”
Alenia
7-12 juga terus menyudutkan pihak pemerintahan dengan kutipan-kutipan komentar
yang menjelekkan citra pemerintahan.
2.10 ANALISIS
KORELASI ISI BERITA DAN SISTEM PERS INDONESIA
1. Pers
Autoritarian
Dalam
pemberitaan ini, teori pers otoritarian tidak banyak berperan. Meskipun berita
ini ada kaitannya dengan pemerintahan, yaitu Pemerintahan Kota dan Pemerintahan
Kabupaten Tasikmalaya. Dalam pemberitaan ini, dapat disimpulkan bahwa
masyarakat menuntut pemeliharaan dan perbaikan kompleks olah raga Dadaha yang
berada di Tasikmalaya.
Ternyata
dalam kenyataannya Pemkab dan Pemkot tidak melakukan pergerakan karena
memperebutkan asset dalam bentuk kompleks olah raga Dadaha. Pemkot dapat
mengelola Dadaha sebagai asset Pemkot jika Pemkab menyerahkan wewenangnya
kepada pemkot. Pihak pemkab bersedia menyerahkan asset yang saat ini
masih dikuasai pemkab dengan syarat Pemkot menyerahkan sejumlah dana konvensasi
yang adil kepada Pemkab.
Dari
pemberitaan ini, dapat terlihat jelas “sisi egois” kedua belah pihak yaitu
pemkot dan Pemkab. Pihak Tribun Jabar sebagai media pers juga terang terangan
menyatakan “sikap egoistis” Pemkab dan Pemkot. Tentu hal ini tidak mendukung
citra yang baik untuk Pemkot dan Pemkab. Artinya, sangat bertolak belakang dengan
prinsip pers authoritarian.
Dalam
pemberitaan ini posisi pemerintahan tidak berada pada posisi teratas yang
menggambarkan pengontrolan pemerintah terhadap pers sesuai karakteristik pers
authoritarian. Sehingga dapat disimpulkan, dalam pemberitaan Tribun Jabar,
Rubrik Tribun On Focus, Edisi Jumat 4 November 2011 ini, menunjukkan di
Indonesia tidak ada indikasi pemakaian system pers authoritarian.
2. Pers
Libertarian
Meskipun
berita Tribun Jabar ini tidak menunjukkan penerapan teori pers otoritarian, namun
bukan berarti juga Indonesia menerapkan teori libertarian. Memang pada
pemberitaan ini tidak menunjukkan tunduknya pers terhadap pemerintah dan Tribun
Jabar sebagai media pers berperan sebagai four estate. Seperti
dikatakan teori libertarian, tetapi beberapa kriteria/karakteristik teori
libertarian ini tidak diterapkan di Indonesia.
Diantara
karakteristik yang tidak diterapkan di Indonesia adalah tindakan penerbitan dan
pendistribusian seyogyanya terbuka bagi setiap orang atau kelompok tanpa
memerlukan izin atau lisensi. Sedangkan di Indonesia masih ada perlunya izin
seperti SIUPP.
Kecaman
terhadap pemerintah, pejabat, atau partai politik seyogyanya tidak dapat
dipidana, bahkan setelah terjadinya peristiwa itu. Sedangkan di Indonesia hal
tersebut dapat dipidanakan.
3. Soviet
Communist Press (Pers Komunis Soviet)
Pemberitaan
ini tidak menunjukkan penerapan teori pers authoritarian dan libertarian, namun
bukan juga menerapkan teori pers komunis soviet. Karena pada teori ini
media massa diposisikan sebagai alat partai dan merupakan bagian integral yang
tak terpisahkan dari Negara. Media massa harus tunduk dan dikontrol oleh
partai. Media tidak diposisikan sebagai control partai (Negara) tetapi merupaka
senjata Negara. Sedangkan dalam pemberitaan Tribun Jabar ini, sama
sekali tidak ada kaitannya dengan partai.
4. Social
Responsibility
Melalui
pemberitaan ini saja, memang tidak dapat mengeneralisasikan seluruh pemberitaan
memiliki konsep yang sama dan menetapkan sebuah teori tertentu sebagai system yang
dipakai.
Namun,
Tribun Jabar sebagai media pers dalam pemberitaan ini menunjukkan keperdulian
terhadap fasilitas umum berupa kompleks olag raga Dadaha di Tasikmalaya yang
dipakai masyarakat, baik dalam lingkup masyarakat masyarakat kota maupun desa.
Dan hampir memenuhi seluruh karakteristik media dengan teori system pers social
responsibility.
Beberapa
karakteristik tersebut diantaranya Tribun Jabar memberitakan
peristiwa-peristiwa sehari-hari dengan benar, lengkap dan berpekerti dalam
konteks yang mengandung makna. Memberikan pelayanan sebagai forum untuk saling
tukar komentar dan kritik (dalam hal ini kritikan terhadap pemerintah).
Kutipan
komentar-komentar juga menunjukkan proyeksi gambaran yang mewakili semua
lapisan masyarakat, yaitu menuntut perbaikan fasilitas. Bertanggung jawab atas
penyajian disertai penjelasan mengenai tujuan dan nilai-nilai masyarakat.
Penjelasan tujuan dapat difahami ketika membaca berita.
5. Pers
Pancasila
Beberapa
pendapat mengatakan system pers Pancasila merupakan sistem abu-abu yang
berada di tengah-tengah antara otoritarian dan liberal, dan serupa dengan
sistem pers tanggung jawab sosial, hanya saja menggunakan ideologi bangsa,
yaitu pancasila.
Pemberitaan
oleh Tribun Jabar ini juga memenuhi karakteristik penerapan system pers
pancasila, diantaranya, menghormati nilai-nilai kemanusiaan & HAM dan tidak
memberikan peluang kepada perbudakan, penindasan dan sadisme. Pemberitaan ini
juga tidak apatis, tidak memecah belah, juga tidak menghilangkan stabilitas
nasional dan menghindari SARA.
Membela
dan memperjuangkan keadilan sosial di tengah-tengah masyarakat, hingga merata
ke seluruh WNI. Pembelaan pers di sini terealisasi melalui pembelaan masyarakat
terhadap tuntutan fasilitas umum.
BAB lll
PENUTUP
PENUTUP
3.1KESIMPULAN
Sistem pers adalah subsistem dari sistem komunikasi. Media massa mempunyai fungsi untuk mempengaruhi sikap dan prilaku masyarakat. Melalui media, masyarakat dapat menyetujui atau menolak kebijakan pemerintah. Melalui media pula berbagai inovasi atau pembaruan bisa dilaksanakan oleh masyarakat.
Sistem pers mempunyai empat kelompok besar teori (sistem) pers, yakni sistem pers otoriter, sistem pers liberal, sistem pers komunis, dan sistem pers tanggung jawab sosial.
Jika diamati, indonesia termasuk dalam sitem pers tanggung jawab sosial. Tidak hanya dilihat dari “kebebasan yang bertanggungjawab” namun pada berbagai aktualisasi pers pada akhirnya harus disesuaikan dengan etika dan moralitas masyarakat. Adapun tanggungjawab itu adalah suatu dasar ideologi yang diyakini yakni pancasila yang dijadikan sebagai acuan prilaku pers.
Dengan kata lain, media lemah dalam mempertimbangkan apakah pemberitaan itu layak dimunculkan sesuai dengan keinginan masyarakat tau tidak. Ini diakibatkan orientasi pasar media begitu dominan dan mengalahkan sisi idealnya. Kenyataan tersebut bisa dimengerti mengingat pers ibarat “kuda lepas dari kandangnya” sangat liar.
Kenyataan ini menjadikan pers sulit menentukan pilihan antara kewajiban moral terhadap masyarakat dan keharusanj untuk mematuhi peratutan pemerintah sebagai konsekuensi logis. Jalan alternatif bisa dilakukan harmonisasi hubungan pers dengan pemerintah dan masyarakat.
Sistem pers adalah subsistem dari sistem komunikasi. Media massa mempunyai fungsi untuk mempengaruhi sikap dan prilaku masyarakat. Melalui media, masyarakat dapat menyetujui atau menolak kebijakan pemerintah. Melalui media pula berbagai inovasi atau pembaruan bisa dilaksanakan oleh masyarakat.
Sistem pers mempunyai empat kelompok besar teori (sistem) pers, yakni sistem pers otoriter, sistem pers liberal, sistem pers komunis, dan sistem pers tanggung jawab sosial.
Jika diamati, indonesia termasuk dalam sitem pers tanggung jawab sosial. Tidak hanya dilihat dari “kebebasan yang bertanggungjawab” namun pada berbagai aktualisasi pers pada akhirnya harus disesuaikan dengan etika dan moralitas masyarakat. Adapun tanggungjawab itu adalah suatu dasar ideologi yang diyakini yakni pancasila yang dijadikan sebagai acuan prilaku pers.
Dengan kata lain, media lemah dalam mempertimbangkan apakah pemberitaan itu layak dimunculkan sesuai dengan keinginan masyarakat tau tidak. Ini diakibatkan orientasi pasar media begitu dominan dan mengalahkan sisi idealnya. Kenyataan tersebut bisa dimengerti mengingat pers ibarat “kuda lepas dari kandangnya” sangat liar.
Kenyataan ini menjadikan pers sulit menentukan pilihan antara kewajiban moral terhadap masyarakat dan keharusanj untuk mematuhi peratutan pemerintah sebagai konsekuensi logis. Jalan alternatif bisa dilakukan harmonisasi hubungan pers dengan pemerintah dan masyarakat.
3.2 KRITIK DAN SARAN
Kita tak perlu menghakimi, pers harus bersikap begini atau begitu. Sebab hal demikian tak ubahnya dengan mendikte pers yang etlah kehilangan jati dirinya. Bagaimanapun pers masih punya jati diri, salah satunya kemampuan untuk bertahan di tengah derasnya iklim demokrasi dan himpitan struktur yang harus ditaati.
Dalam posisi yang sulit begini, pers masih bisa bernafaspun masih lumayan. Ini menunjukan betapa sulit kedudukan pers kita selama ini, meskipun biusa dibilang punya jati diri rendah (relatif) sekalipun.
Sebagai upaya pengayaan wacana, juga untuk merangkai jejak perkembangan Pers Indonesia sebaiknya pembaca mencari sumber lain sehingga diperoleh pemahaman yang lebih luas seputar SISTEM PERS INDONESIA
SUMBER
http://noviansprakoso4.wordpress.com/2014/07/09/contoh-makalah-sistem-pers-indonesia/
http://id.wikipedia.org/wiki/Pers_Indonesia
http://digitalmodern.blogspot.com/2012/10/pers-otoritarian.html
http://elisabetyas.wordpress.com/2009/10/03/sistem-pers-libertarian/
http://pezat51newscommunity.blogspot.com/2011/02/sistem-pers-soviet-komunis.html
http://stroberijuice.wordpress.com/tag/sistem-tanggung-jawab-sosial/
http://diarymee.blogspot.com/2009/07/teori-pers-tanggungjawab-sosial-tori.html
http://metrobhayangkara.wordpress.com/facebook-link/
http://diahnaluritasari.wordpress.com/2011/11/25/perkembangan-pers-di-indonesia-dan-di-dunia/
http://asbarsalim009.blogspot.com/2012/10/sejarah-perkembangan-pers-di-dunia-dan.html
http://saungneng.blogspot.com/2012/03/analisis-sistem-pers-di-indonesia.html
http://boyslikegirl324.blogspot.com/2009/06/sisi-negatif-dan-positif-teori-otoriter.html
http://meyzts.blogspot.com/2013/03/peranan-pers.html
No comments:
Post a Comment