Erving
Goffman, lahir di Alberta, Canada pada 11 Juni 1922. Mendapat gelar S1 dari
Univ. Toronto dan menerima gelar doctor dari Univ. Chicago. Beliau wafat pada
tahun 1982 ketika sedang mengalami kejayaan sebagai tokoh sosiologi dan pernah
menjadi professor dijurusan sosiologi Univ. Calivornia Barkeley serta ketua
liga Ivy Univ. Pennsylvania. Erving
Goffman, dianggap sebagai pemikir utama terakhir Chicago asli (Travers,
1922: Tselon, 1992); Fine dan Manning (2000) memandangnya sebagai sosiolog
Amerika paling berpengaruh di abad 20. Antara 1950-an dan 1970-an Goofman
menerbitkan sederetan buku dan esai yang melahirkan analisis dragmatis sebagai
cabang interaksionisme simbolik. Walau Goffman mengalihkan perhatiannya di
tahun-tahun berikutnya, ia tetap paling terkenal karena teoridramtugisnya.
Pernyataan paling terkenal Goffman tentang teori
dramaturgis berupa buku Presentation of Self in Everyday Life, diterbitkan
tahun 1959. Secara ringkas dramaturgis merupakan pandangan tentang kehidupan
sosial sebagai serentetan pertunjukan drama dalam sebuah pentas. Istilah
Dramaturgi kental dengan pengaruh drama atau teater atau pertunjukan fiksi
diatas panggung dimana seorang aktor memainkan karakter manusia-manusia yang
lain sehingga penonton dapat memperoleh gambaran kehidupan dari tokoh tersebut
dan mampu mengikuti alur cerita dari drama yang disajikan.
Dalam Dramaturgi terdiri dari Front stage (panggung
depan) dan Back Stage (panggung belakang). Front Stage yaitu bagian pertunjukan
yang berfungsi mendefinisikan situasi penyaksi pertunjukan. Front stage dibagi
menjadi 2 bagian, Setting yaitu pemandangan fisik yang harus ada jika sang
actor memainkan perannya. Dan Front Personal yaitu berbagai macam perlengkapan
sebagai pembahasa perasaan dari sang actor. Front personal masih terbagi
menjadi dua bagian, yaitu Penampilan yang terdiri dari berbagai jenis barang
yang mengenalkan status social actor. Dan Gaya yang berarti mengenalkan peran
macam apa yang dimainkan actor dalam situasi tertentu. Back stage (panggung
belakang) yaitu ruang dimana disitulah berjalan skenario pertunjukan oleh “tim”
(masyarakat rahasia yang mengatur pementasan masing-masing actor)
Goffman mendalami dramaturgi dari segi sosiologi. Beliau menggali segala macam
perilaku interaksi yang kita lakukan dalam pertunjukan kehidupan kita
sehari-hari yang menampilkan diri kita sendiri dalam cara yang sama dengan cara
seorang aktor menampilkan karakter orang lain dalam sebuah pertunjukan drama.
Cara yang sama ini berarti mengacu kepada kesamaan yang berarti ada pertunjukan
yang ditampilkan. Goffman mengacu pada pertunjukan sosiologi. Pertunjukan yang
terjadi di masyarakat untuk memberi kesan yang baik untuk mencapai tujuan.
Tujuan dari presentasi dari Diri – Goffman ini adalah penerimaan penonton akan
manipulasi. Bila seorang aktor berhasil, maka penonton akan melihat aktor
sesuai sudut yang memang ingin diperlihatkan oleh aktor tersebut. Aktor akan
semakin mudah untuk membawa penonton untuk mencapai tujuan dari pertunjukan
tersebut. Ini dapat dikatakan sebagai bentuk lain dari komunikasi. Karena
komunikasi sebenarnya adalah alat untuk mencapai tujuan. Bila dalam komunikasi
konvensional manusia berbicara tentang bagaimana memaksimalkan indera verbal
dan non-verbal untuk mencapai tujuan akhir komunikasi, agar orang lain
mengikuti kemauan kita. Maka dalam dramaturgis, yang diperhitungkan adalah konsep
menyeluruh bagaimana kita menghayati peran sehingga dapat memberikan feedback
sesuai yang kita mau. Perlu diingat, dramatugis mempelajari konteks dari
perilaku manusia dalam mencapai tujuannya dan bukan untuk mempelajari hasil
dari perilakunya tersebut. Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi antar
manusia ada “kesepakatan” perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan
kepada tujuan akhir dari maksud interaksi sosial tersebut. Bermain peran
merupakan salah satu alat yang dapat mengacu kepada tercapainya kesepakatan
tersebut.
Dalam teori Dramatugis menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil
dan merupakan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi
yang mandiri. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi
dengan orang lain. Disinilah dramaturgis masuk, bagaimana kita menguasai
interaksi tersebut. Dalam dramaturgis, interaksi sosial dimaknai sama dengan
pertunjukan teater. Manusia adalah aktor yang berusaha untuk menggabungkan
karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui “pertunjukan
dramanya sendiri”. Dalam mencapai tujuannya tersebut, menurut konsep
dramaturgis, manusia akan mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung
perannya tersebut. Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor drama kehidupan
juga harus mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Kelengkapan ini antara lain
memperhitungkan setting, kostum, penggunakan kata (dialog) dan tindakan non
verbal lain, hal ini tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada
lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan.
Oleh Goffman, tindakan diatas disebut dalam istilah “impression management”.
Goffman juga melihat bahwa ada perbedaan akting yang besar saat aktor berada di
atas panggung (front stage) dan di belakang panggung (back stage) drama
kehidupan. Kondisi akting di front stage adalah adanya penonton (yang melihat
kita) dan kita sedang berada dalam bagian pertunjukan. Saat itu kita berusaha
untuk memainkan peran kita sebaik-baiknya agar penonton memahami tujuan dari
perilaku kita. Perilaku kita dibatasi oleh oleh konsep-konsep drama yang
bertujuan untuk membuat drama yang berhasil (lihat unsur-unsur tersebut pada
impression management diatas). Sedangkan back stage adalah keadaan dimana kita
berada di belakang panggung, dengan kondisi bahwa tidak ada penonton. Sehingga
kita dapat berperilaku bebas tanpa mempedulikan plot perilaku bagaimana yang
harus kita bawakan. Contohnya, seorang teller senantiasa berpakaian rapi
menyambut nasabah dengan ramah, santun, bersikap formil dan perkataan yang
diatur. Tetapi, saat istirahat siang, sang teller bisa bersikap lebih santai,
bersenda gurau dengan bahasa gaul dengan temannya atau bersikap tidak formil
lainnya (ngerumpi, dsb). Saat teller menyambut nasabah, merupakan saat front
stage baginya (saat pertunjukan). Tanggung jawabnya adalah menyambut nasabah
dan memberikan pelayanan kepada nasabah tersebut. Oleh karenanya, perilaku sang
teller juga adalah perilaku yang sudah digariskan skenarionya oleh pihak
manajemen. Saat istirahat makan siang, teller bebas untuk mempersiapkan dirinya
menuju babak ke dua dari pertunjukan tersebut. Karenanya, skenario yang
disiapkan oleh manajemen adalah bagaimana sang teller tersebut dapat refresh
untuk menjalankan perannya di babak selanjutnya.
Sebelum berinteraksi dengan orang lain, seseorang pasti akan mempersiapkan
perannya dulu, atau kesan yang ingin ditangkap oleh orang lain. Kondisi ini
sama dengan apa yang dunia teater katakan sebagai “breaking character”. Dengan
konsep dramaturgis dan permainan peran yang dilakukan oleh manusia, terciptalah
suasana-suasana dan kondisi interaksi yang kemudian memberikan makna
tersendiri. Munculnya pemaknaan ini sangat tergantung pada latar belakang
sosial masyarakat itu sendiri. Terbentuklah kemudian masyarakat yang mampu
beradaptasi dengan berbagai suasana dan corak kehidupan. Masyarakat yang
tinggal dalam komunitas heterogen perkotaan, menciptakan panggung-panggung
sendiri yang membuatnya bisa tampil sebagai komunitas yang bisa bertahan hidup
dengan keheterogenannya. Begitu juga dengan masyarakat homogen pedesaan,
menciptakan panggung-panggung sendiri melalui interaksinya, yang terkadang
justru membentuk proteksi sendiri dengan komunitas lainnya. Apa yang dilakukan
masyarakat melalui konsep permainan peran adalah realitas yang terjadi secara
alamiah dan berkembang sesuai perubahan yang berlangsung dalam diri mereka.
Permainan peran ini akan berubah-rubah sesuai kondisi dan waktu berlangsungnya.
Banyak pula faktor yang berpengaruh dalam permainan peran ini, terutama aspek
sosial psikologis yang melingkupinya.
Dramarturgi hanya dapat berlaku di institusi total. Institusi total maksudnya
adalah institusi yang memiliki karakter dihambakan oleh sebagian kehidupan atau
keseluruhan kehidupan dari individual yang terkait dengan institusi tersebut,
dimana individu ini berlaku sebagai sub-ordinat yang mana sangat tergantung
kepada organisasi dan orang yang berwenang atasnya. Ciri-ciri institusi total
antara lain dikendalikan oleh kekuasan (hegemoni) dan memiliki hierarki yang
jelas. Contohnya, sekolah asrama yang masih menganut paham pengajaran kuno
(disiplin tinggi), kamp konsentrasi (barak militer), institusi pendidikan,
penjara, pusat rehabilitasi (termasuk didalamnya rumah sakit jiwa, biara,
institusi pemerintah, dan lainnya. Dramaturgi dianggap dapat berperan baik pada
instansi-instansi yang menuntut pengabdian tinggi dan tidak menghendaki adanya
“pemberontakan”. Karena di dalam institusi-institusi ini peran-peran sosial
akan lebih mudah untuk diidentifikasi. Orang akan lebih memahami skenario
semacam apa yang ingin dimainkan. Bahkan beberapa ahli percaya bahwa teori ini
harus dibuktikan dahulu sebelum diaplikasikan. Teori ini juga dianggap tidak
mendukung pemahaman bahwa dalam tujuan sosiologi ada satu kata yang seharusnya
diperhitungkan, yakni kekuatan “kemasyarakatan”. Bahwa tuntutan peran
individual menimbulkan clash bila berhadapan dengan peran kemasyarakatan. Ini
yang sebaiknya dapat disinkronkan.
Dramaturgi dianggap terlalu condong kepada positifisme. Penganut paham ini menyatakan
adanya kesamaan antara ilmu sosial dan ilmu alam, yakni aturan. Aturan adalah
pakem yang mengatur dunia sehingga tindakan nyeleneh atau tidak dapat
dijelaskan secara logis merupakan hal yang tidak patut.
1. Konteks sosial kelahiran teori
Dramaturgi yang dicetuskan Erving
Goffman merupakan hasil pendalamannya terhadap konsep interaksi
sosial. Konsep ini lahir sebagai aplikasi atas ide-ide indivi dualis yang baru
dari peristiwa-peristiwa evolusi sosial ke dalam masyarakat kontemporer.
Kalangan interaksionis simbolis berpendapat sebagai berikut :
• Manusia berbeda dari binatang, manusia ditopang oleh kemampuan berfikir.
• Kemampuan berfikir dibentuk melalui interaksi sosial.
• Dalam interaksi sosial, orang mempelajari makna dan symbol yang memungkinkan
mereka menggunakan kemampuan berfikir mereka.
• Makna dan symbol memungkinkan orang melakukan tindakan dan interaksi khas
manusia.
• Orang mampu memodifikasi atau mengubah makna dan symbol yang mereka gunakan
dalam tindakan dan interaksi bedasarkan tafsir mereka terhadap situasi
tersebut.
Menurut Goffman, subjek sosiologi dramaturgi adalah penciptaan, pemeliharaan
utama, dan perusakan pemahaman umum dari realitas oleh orang yang bekerja
secara individual dan kolektif untuk menyajikan gambar bersama dan terpadu dari
kenyataan itu. Ini adalah klaim Goffinan bahwa jika kita memahami bagaimana
seorang aktor Amerika kontemporer dapat menyampaikan kesan seorang pangeran yang
sarat kecemasan Denmark selama presentasi Hamlet, kita juga dapat memahami
bagaimana sebuah agen asuransi mencoba untuk bertindak seperti operasi
profesional dengan kombinasi ahli pengetahuan dan goodwill. Jika kita dapat
memahami bagaimana sebuah panggung kecil dapat digunakan untuk mewakili seluruh
Roma dan Mesir di Antony dan Cleopatra, kita juga dapat memahami bagaimana
Disney Store menciptakan rasa petualangan dan bertanya-tanya dalam setiap mal
lokal. Juga, jika kita dapat memahami proses dimana dua aktor dibayar
meyakinkan kita bahwa mereka sedang di landa cinta dalam Romeo dan Juliet, kita
dapat memahami bagaimana pramugari mengelola dan menggunakan emosi mereka untuk
keuntungan komersial.
Di luar metafora kehidupan sosial sebagai ritual dramatis, Goffman merasakan
potensi untuk membawa keterasingan karena masalah otentik merangkul peran yang
bukannya merasa ambivalensi tertentu atau jarak dari itu. Keterasingan ini juga
penting untuk analisis Goffman, untuk Goffman, berbicara tentang individual sebagai
semacam agen otonom tidak benar, melainkan individu harus selalu dianggap dalam
hubungan dengan keseluruhan sosial. Dengan demikian, unit dasar dari analisis
sosial, Goffman (1959), bukan individu melainkan apa yang ia sebut sebagai
“tim.” Dia menulis, “rekan satu tim adalah seseorang yang dramaturgi kerjasama
satu tergantung pada dalam mengembangkan definisi yang diberikan dari situasi”
. Tim, kemudian, bertanggung jawab untuk penciptaan persepsi realitas dalam
Settings ditetapkan sosial. Inti dari teori
dramaturgi sosial adalah bahwa analisis tentang bagaimana tim bekerja
sama untuk mendorong kesan tertentu dari realitas mengungkapkan sistem yang
kompleks dari interaksi yang, dalam banyak hal, adalah seperti memainkan
penyajian.
Goffman mendalami dramaturgi dari segi sosiologi. Beliau menggali segala macam
perilaku interaksi yang kita lakukan dalam pertunjukan kehidupan kita
sehari-hari yang menampilkan diri kita sendiri dalam cara yang sama dengan cara
seorang aktor menampilkan karakter orang lain dalam sebuah pertunjukan drama.
Cara yang sama ini berarti mengacu kepada kesamaan yang berarti ada pertunjukan
yang ditampilkan. Goffman mengacu pada pertunjukan sosiologi. Pertunjukan yang
terjadi di masyaraka/t untuk memberi kesan yang baik untuk mencapai tujuan.
Tujuan dari presentasi dari Diri -Goffman ini adalah penerimaan penonton akan
manipulasi. Bila seorang aktor berhasil, maka penonton akan melihat aktor
sesuai sudut yang memang ingin diperlihatkan oleh aktor tersebut. Aktor akan
semakin mudah untuk membawa penonton untuk mencapai tujuan dari pertunjukan
tersebut. Ini dapat dikatakan sebagai bentuk lain dari komunikasi. Karena
komunikasi sebenarnya adalah alat untuk mencapai tujuan. Bila dalam komunikasi
konvensional manusia berbicara tentang bagaimana memaksimalkan indera verbal
dan non-verbal untuk mencapai tujuan akhir komunikasi, agar orang lain
mengikuti kemauan kita. Maka dalam dramaturgis, yang diperhitungkan adalah
konsep menyeluruh bagaimana kita menghayati peran sehingga dapat memberikan
feedback sesuai yang kita mau. Perlu diingat, dramatugis mempelajari konteks
dari perilaku manusia dalam mencapai tujuannya dan bukan untuk mempelajari
hasil dari perilakunya tersebut.
Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi antar manusia ada “kesepakatan”
perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan kepada tujuan akhir dari maksud
interaksi sosial tersebut. Bermain peran merupakan salah satu alat yang dapat mengacu
kepada tercapainya kesepakatan tersebut. Dalam pandangan Goffman, diri bukanlah
milik aktor tetapi lebih sebagai hasil intersi dramatis antara aktor dan
audien. Diri adalah pengaruh dramatis yang muncul dari suasana yang
ditampilkan. Dramaturgi Goffman memperhatikan proses yang dapat mencegah
gangguan atas penampilan diri. Meski sebagian besar bahasannya ditekankan pada
interaksi dramaturgis ini, Goffman menunjukan bahwa pelaksanaannya adalah
sukses. Hasilnya adalah bahwa dalam keadaan biasa, diri yang serasi dengan
pelakunya,penampilannya berasal dari pelaku.
Goffman beasumsi bahwa saat berinteraksi aktor ingin
menampilkan perasaan diri yang dapat diterima oleh orang lain. Tetapi ketika
menampilkan diri aktor menyadari bahwa anggota audien dapat mengganggu
penampilannya. Oleh karena itu aktor menyesuaikan diri dengan pengendalian
audiens terutama unsur yang dapat mengganggu. Aktor berharap perasaan diri yang
mereka tampilkan kepada audien cukup kuat dan mempengaruhi audiens. Aktor pun
berharap audiens akan bertindak seperti yang diinginkan aktor dari mereka.
Goffman menggolongkan hal tersebut sebagai manajemen pengaruh.
Dalam teori Dramatugis menjelaskan bahwa identitas
manusia adalah tidak stabil dan setiap identitas tersebut merupakan bagian
kejiwaan psikologi yang mandiri. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah
tergantung dari interaksi dengan orang lain. Disinilah dramaturgis masuk,
bagaimana kita menguasai interaksi tersebut. Dalam dramaturgis, interaksi
sosial dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Manusia adalah aktor yang
berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang
lain melalui “pertunjukan dramanya sendiri”. Dalam mencapai tujuannya tersebut,
menurut konsep dramaturgis, manusia akan mengembangkan perilaku-perilaku yang
mendukung perannya tersebut. Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor drama
kehidupan juga harus mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Kelengkapan ini
antara lain memperhitungkan setting, kostum, penggunakan kata (dialog) dan
tindakan non verbal lain, hal ini tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan
yang baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan. Oleh
Goffman, tindakan diatas disebut dalam istilah “impression management”.
Goffman juga melihat bahwa ada perbedaan akting yang
besar saat aktor berada di atas panggung (“front stage”) dan di belakang
panggung (“back stage”) drama kehidupan. Kondisi akting di front stage adalah
adanya penonton (yang melihat kita) dan kita sedang berada dalam bagian
pertunjukan. Saat itu kita berusaha untuk memainkan peran kita sebaik-baiknya
agar penonton memahami tujuan dari perilaku kita. Perilaku kita dibatasi oleh
konsep-konsep drama yang bertujuan untuk membuat drama yang berhasil. Sedangkan
back stage adalah keadaan dimana kita berada di belakang panggung, dengan
kondisi bahwa tidak ada penonton. Sehingga kita dapat berperilaku bebas tanpa
mempedulikan plot perilaku bagaimana yang harus kita bawakan.
Goffman (1959) mengklaim bahwa setiap kali
mengadopsi peran aktor, mereka harus mengambil posisi pada keyakinan mereka
dalam peran-mereka harus memutuskan apakah mereka merasa bahwa kesan realitas
mereka akan proyek adalah “benar”. Pada satu ekstrim, orang menemukan bahwa
pelaku dapat sepenuhnya diambil oleh tindakan sendiri, ia dapat tulus yakin
bahwa kesan realitas adalah realitas yang nyata. Pada ekstrem yang lain, kita
menemukan bahwa pelaku mungkin tidak diambil sama sekali oleh rutinitas
sendiri. Ketika individu tidak memiliki keyakinan dalam bertindak sendiri dan
tidak ada perhatian utama dengan keyakinan para pendengarnya, pemesanan yang
“tulus” istilah untuk orang yang percaya pada kesan dipupuk oleh kinerja mereka
sendiri.
Penting untuk dicatat bahwa meskipun individu dapat berada di mana saja di
antara dua ekstrem kepercayaan pada kinerja mereka sendiri, mereka harus berada
di tempat-yaitu, setiap pemain harus, sadar atau tidak, memiliki beberapa
tingkat penerimaan dari bagian dia diputar. Jelas, dalam kebanyakan kasus, akan
lebih mudah untuk menyajikan kinerja yang meyakinkan jika ada yang relatif
tulus tentang kinerja seseorang.
Jadi, dalam dramaturgi Goffman, realitas sosial
adalah acara dilakukan, sangat tergantung pada berbagai komponen teater. Untuk
individu-individu tertentu untuk berkomunikasi secara efektif realitas sosial
yang paling menguntungkan bagi mereka, mereka harus mengadopsi peran tentang
pekerjaan mereka. Pada titik tertentu, bagaimanapun, peran-peran kerja akan
hampir pasti bertabrakan dengan peran individu nonpekerjaan, seharusnya diri
mereka yang sebenarnya. Ketika ini terjadi, individu memiliki berbagai macam
pilihan, tapi akhirnya tidak satupun dari mereka adalah mungkin untuk
sepenuhnya menyelesaikan konflik; solusi yang terbaik, dibanyak kasus, adalah
untuk mengabaikan konflik dengan bertindak-dengan menggunakan alat-alat
panggung. Goffman (1959) menekankan bahwa ia menggunakan teater sebagai
metafora dan mengklaim bahwa pada akhirnya, dunia bukan panggung, dan itu
seharusnya tidak sulit bagi pembaca untuk menemukan perbedaan besar antara
keduanya.
2. Pemikiran dan Teori yang berpengaruh
A. Fenomena sosial yang melahirkan dramaturgi
Teori
dramaturgi, sebagai pendalaman dari konsep interaksi sosial merupakan
dampak atas fenomena yang terjadi di awal abad 20 di Amerika (George Ritzer,
1996 : 375). Di kala itu, para intelektual Amerika bereaksi atas meningkatnya
konflik sosial dan konflik rasial, dampak reprensif birokrasi dan
industrialisasi.Goffman menekankan sosiologi pada individu sebagai suatu
analisis, khususnya pada aspek interaksi tatap muka.
B. Pemikiran politik atau sosial yang mempengarui
Banyak ahli percaya bahwa dramaturgi Goffman berada
di antara tradisi interaksi simbolis dan fenomenologi (Basrowi Sukidin, 2002 :
103). Utamanya yang dikembangkan Herbert Blumer bahwa interaksi sosial
menyangkut proses penafsiran makna, baik secara individu maupun kelompok.
Masyarakat dikonsepsika sebagai sebuah system tentang proses penafsiran pesan.
Dilihat dari jenis alirannya, interaksi simbolis yang mengilhami teori Goffman
terbagi ke dalam dua kelompok besar.Pertama, aliran Chicago School yang
dimonitori oleh Herbert Blumer, melanjutkan tradisi humanistis yang dimulai
oleh George Herbert Mead.Kedua, lowa school menggunakan pendekatannya yang
lebih ilmiah dalam mempelajari interaksi.
Interaksionisme simbolis mengandung inti dasar
pemikiran umum tentang komunikasi dan masyarakat. Jerome Manis dan Bernard
Meltzer (1967 : 214) memisahkan tujuh hal mendasar yang bersifat teoretis dan
metodologi dari interaksionisme simbolis, yaitu :
1) Orang-orang yang dapat mengerti berbagai hal
dengan belajar dari pengalaman. Persepsi seseorang selalu diterjemahkan dalam
symbol.
2) Berbagai arti dipelajari melalui interaksi diantara orang-orang. Arti muncul
dari adanya pertukaran simbol-simbol dalam kelompok-kelompok sosial.
3) Seluruh struktur dan institusi sosial diciptakan dari adanya interaksi
diantara orang-orang.
4) Tingkahlaku seseorang tidaklah mutlak ditentukan oleh kejadian-kejadian pada
masa lampau saja, tetapi juga dilakukan secara sengaja.
5) Pikiran terdiri atas percakapan internal yang
merefleksikan interaksi yang telah terjadi antara seseorang dengan orang lain.
6) Tingkah laku terbentuk atau tercipta di dalam
kelompok sosial selama proses interaksi.
7) Kita tidak dapat memahami pengalaman seseorang individu dengan mengamati
tingkah lakunya belaka. Pengalaman dan pengertian seseorang akan berbagai hal
harus diketahui pula secara pasti.
Esensi interaksi simbolis adalah suatu aktivitas yang
merupakan ciri khas manusia, yaitu komunikasi dan pertukaran simbol yang diberi
makna.Pada dasarnya, interaksi manusia menggunakan simbol-simbol, cara manusia
menggunakan simbol, yakni merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk
berkomunikasi dengan sesamanya. Itulah interaksi simbolis dan itu pulalah yang
mngilhami prespektif darmatugis, dimana Erving
Goffman sebagai salah satu eksponen interaksionisme simbolis maka hal
tersebut banyak mewarnai pemikiran-pemikiran dramaturgisnya.
Pandangan Goffman agaknya harus dipandang sebagai
serangkaian tema dengan menggunakan berbagai teori.Ia memang seorang
dramaturgis, tetapi juga memanfaatkan pendekatan interaksi simbolis,
fenomenologis schutzian, formalism simmelian, analisis semiotic, dan bahkan
fungsionalisme durkhemian.
Salah satu kontribusi interaksionisme simbolis (Jones) adalah penjabaran
berbagai macam pengaruh yang ditimbulkan penafsiran orang lain terhadap
identitas atau citra diri individu yang merupakan objek interpretasi. Dalam
kaitan ini, perhatian Goffman adalah apa yang ia sebut “ketertiban interaksi”
(interaction order) yang meliputi struktur, proses, dan produk interaksi
sosial. Ketertiban interaksi muncul untuk memenuhi kebutuhan akan pemeliharaan
“keutuhan diri”. Inti pemikiran Goffman adalah “diri” (self), yang dijabarkan
oleh Goffman dengan carayang unik dan memikat yaitu Teori Diri Ala Goffman
(Mulyana Deddy, 2004 : 106).
3. Latar belakang sosial dan pribadi Goffman
Dramaturgi adalah sandiwara kehidupan yang disajikan
oleh manusia. Kita lihat kembali contoh di atas, bagaiman seorang polisi
memilih perannya, juga seorang warga negara biasa memilih sendiri peran yang
dinginkannya. Goffman menyebutnya sebagai bagian depan (front) dan bagian
belakang (back). Front mencakup, setting, personal front (penampilan diri),
expressive equipment (peralatan untuk mengekspresikan diri). Sedangkan bagian
belakang adalah the self, yaitu semua kegiatan yang tersembunyi untuk
melengkapi keberhasilan acting atau penampilan diri yang ada pada Front.
Berbicara mengenai Dramaturgi Erving
Goffman, maka kita tidak boleh luput untuk melihat George Herbert Mead
dengan konsep The Self, yang sangat mempengaruhi teori Goffman.
Erving
Goffman, lahir di Aberta, Canada, 11 Juni 1922.Menyelesaikan pendidikan
sarjana di Universitas Toronto pada tahun 1945.Kemudian melanjutkan ke
Universitas Cicago dan menyelesaikan M.A dan Ph.D pada tahun 1949 dan
1953.Karier akademisnya diawali di Barkeley dan kemudian ke Universitas
Pennsylvania. Minat intelektualnya difokuskan untuk mengembangkan kerangka
teoritis untuk analisis interaksi sosial yang didasarkan pada berbagai
penelitian (baik informal maupun formal) terhadap proses interaksi sosial (2009
: 398).
Karyanya yang terkenal diantaranya :Presentation of
Self in Everyday Life (1959); Asylums (1961), dan Ecounter (1961). Ia wafat
pada tahun 1982 ketika sedang mengalami masa kejayaan sebagai tokoh sosiologi
dan pernah menjadi professor di jurusan sosiologi Universitas California
Berkeley serta ketua liga lvy Universitas Pennsylvania.
Sebagaimana telah kami sebutkan di atas bahwa,
karya-karya Erving
Goffman sangat dipengaruhi oleh George Herbert Mead yang memfokuskan
pandangannya pada The Self. Misalnya, The Presentation of self in everyday life
(1955), merupakan pandangan Goffman yang menjelaskan mengenai proses dan makna
dari apa yang disebut sebagai interaksi (antar manusia). Dengan mengambil
konsep mengenai kesadaran diri dan The Self Mead, Goffman kembali memunculkan
teori peran sebagai dasar teori
Dramaturgi. Goffman mengambil pengandaian kehidupan individu sebagai
panggung sandiwara, lengkap dengan setting panggung dan akting yang dilakukan
oleh individu sebagai aktor “kehidupan.” Lalu, bagaimanakah sebenarnya dengan
“The Self” Mead tersebut?
“Bagi Mead, The Self lebih dari sebuah internalisasi struktur sosial dan
budaya. The Self juga merupakan proses sosial, sebuah proses dimana para
pelakunya memperlihatkan pada dirinya sendiri hal-hal yang dihadapinya, didalam
situasi dimana ia bertindak dan merencanakan tindakannya itu melalui
penafsirannya atas hal-hal tersebut. Dalam hal ini, aktor atau pelaku yang
melakukan interaksi sosial dengan dirinya sendiri, menurut Mead dilakukan
dengan cara mengambil peran orang lain, dan bertindak berdasarkan peran
tersebut, lalu memberikan respon atas tindakan-tindakan itu. Konsep interaksi
pribadi (self interaction) dimana para pelaku menunjuk diri mereka sendiri
berdasarkan pada skema Mead mengenai psikologi sosial. The Self disini bersifat
aktif dan kreatif serta tidak ada satupun variable-variabel sosial, budaya,
maupun psikologis yang dapat memutuskan tindakan-tindakan The Self.” (Wagiyo,
2004: 107)
Dari deskripsi di atas, Mead menegaskan bahwa The
Self merupakan mahluk hidup yang dapat melakukan tindakan, dan bukan sesuatu
yang pasif yang semata-mata hanya menerima dan merespon suatu stimulus belaka.
Secara hakiki, pandangan Mead merupakan isu sentral bagi interaksionisme
simbolik.
Dramaturgi itu sendiri merupakan sumbangan Goffman bagi perluasan teori
interaksi simbolik. Mead menyatakan bahwa konsep diri pada dasarnya terdiri
dari jawaban individu atas pertanyaan mengenai “siapa aku” untuk kemudian
dikumpulkan dalam bentuk kesadaran diri individu mengenai keterlibatannya yang
khusus dalam seperangkat hubungan sosial yang sedang berlangsung. Pendapat Mead
tentang pikiran adalah bahwa pikiran mempunyai corak sosial, percakapan dalam
batin adalah percakapan antara “aku” dengan “yang lain” pada titik ini,
konsepsi tentang “aku” itu sendiri merupakan konsepsi orang lain terhadap
individu tersebut. Atau dengan kalimat singkat, individu mengambil pandangan
orang lain mengenai dirinya seolah-olah pandangan tersebut adalah “dirinya”
yang berasal dari “aku.”
Pada pandangan Goffman, kesadaran diri adalah hasil
adopsi dari ajaran-ajaran Durkheim. Dan bagi Goffman, struktur sosial merupakan
countless minor synthesis (sintesis-sintesis kecil yang tak terbilang), dimana
manusia –ini menurut Simmel- merupakan atom-atom atau partikel-partikel yang
sangat kecil dari sebuah masyarakat yang besar. Dan ide serta konsep Dramaturgi
Goffman itu sendiri, menolong kita untuk mengkaji hal hal yang berada di luar
perhitungan kita (hal-hal kecil yang tak terbilang tersebut), manakala kita
menggunakan semua sumber daya yang ada di bagian depan dan bagian belakang
(front and back region) dalam rangka menarik perhatian orang-orang yang
disekeliling kita. Bentuk-bentuk interaksi, komunikasi tatap muka, dan
pengembangan konsep-konsep sosiologi, merupakan sumbangan Goffman bagi
interaksionis simbolik bahkan Goffman juga mempengaruhi tokoh-tokoh di luar
interaksionis simbolik. Walaupun pada karya terakhirnya, Goffman terfokus pada
gerakan-gerakan yang mengarah pada bentuk-bentuk strukturalisme masyarakat
4. Jenis Penjelasan
Erving
Goffman mengungkapakan teori Presentation of Self atau disebut juga
sebagai Dramaturgi. Konsep dramaturgi menurut Erving
Goffman adalah, dimana ia memandang kehidupan sosial merupakan seperti
pertunjukan drama pentas. Dengan kata lain, Goffman menggambarkan peranan
orang-orang yang berinteraksi dan berhubungan dengan realitas sosial yang
dihadapinya melalui panggung sandiwara dengan menggunakan skrip (jalan cerita)
yang telah ditentukan.
Menurut Erving Gofffman, di dalam situasi sosial, seluruh aktivitas dari
partisipan tertentu adalah suatu penampilan(performance), sedangkan orang lain
yang terlibat dalam situasi sosial disebut sebagai pengamat atau partisipan
lainnya.
Individu dapat menampilkan suatu pertunjukan bagi orang lain, tetapi kesan
pelaku terhadap pertunjukan tersebut dapat berbeda-beda. Jadi seseorang dapat
bertindak atau menampilkan sesuatu yang diperlihatkannya, tapi belum tentu
perilaku sehari-harinya tidak sama seperti apa yang diperlihatkannya tersebut.
Menurut Erving
Goffman, dalam dramaturgi perlu dibedakan antara panggung depan (front
stage) dengan panggung belakang (back stage). Panggung depan adalah bagian
penampilan individu yang secara teratur berfungsi sebagai cara untuk tampil
didepan umum sebagai sosok yang ideal. Sedangkan panggung belakang adalah
bagian penampilan individu yang tidak sepenuhnya dapat dilihat, hal ini dapat
memungkinkan bahwa tradisi dan karakter pelaku sangat berbeda dengan apa yang
dipentaskan.
Goffman membagi panggung depan (front stage) ini
menjadi dua bagian yaitu, front pribadi (personal front) dan setting front
pribadi. Personal front mencakup bahasa verbal dan bahasa tubuh pelaku.
Misalnya, berbicara dengan sopan, pengucapan istilah-istilah asing, berbicara
dengan intonasi tertentu, bentuk tubuh, ekspresi wajah, pakaian, dan
sebagainya. Sedangkan setting front pribadi seperti alat-alat yang dianggap
sebagai perlengkapan yang dibawa pelaku ke dalam penampilannya. Misalnya
seorang dokter mengenakan jas dokter dan stetoskop.
Dalam teori Dramatugi menjelaskan bahwa identitas manusia itu tidak stabil dan
merupakan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi yang
mandiri. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi
dengan orang lain.
Goffman membuat kategori tentang stigma, yaitu orang
yang direndahkan (stigma diskredit) dan orang yang dapat direndahkan
(discreditable stigma). Orang yang direndahkan adalah orang yang memiliki
kekurangan yang dapat dilihat dengan kasat mata, misalnya seperti orang cacat
fisik, orang buta, dll. Sedangkan orang yang dapat direndahkan adalah orang
yang memiliki aib yang tidak dapat dilihat secara langsung, misalnya seperti
orang yang suka sesama jenis.
Analisis framing merupakan situasi yang dibentuk sesuai dengan prinsip-prinsip
organisasi yang mengatur peristiwa-peristiwa seperti peristiwa sosial, dan
keterlibatan subyetif kita di dalamnya. Dengan arti, kita belajar memaknai
suatu peristiwa tertentu dan realitas sosial sesuai dengan pengalaman yang
telah kita miliki dalam suatu organisasi sosial masyarakat yang kemudian
menjadi tindakan kita.
5. Pertanyaan yang diajukan
Ikhwal yang menjadi pijakan pemikiran Goffman
berawal dari “ketegangan” yang terjadi antara “I” dan “me” (gagasan Mead).
Goffman menyebutnya terjadi: “kesenjangan antara diri kita dengan diri kita
yang tersosialisasi”. Konsep I merujuk pada kespontanan, ke-apa-adanya;
sedangakan konsep me merupakan konsep yang harus merujuk pada diri orang lain
(sosial) (Ritzer dkk, 2009 : 388).
Keterangan ini berasal dari perbadaan antara harapan orang terhadap apa yang
mesti kita lakukan dengan harapan kita sendiri. Kita dituntut tidak plin plan
dan dituntut untuk melakukan apa yang diharapkan oleh diri kita. Untuk menjaga
citra diri, orang harus tampil bagi audience sosial.Oleh karena itu, Goffman
mengibaratkan bahwa kehidupan itu sebagai drama teater.Orang harus memainkan
peran mereka ketika melakukan interaksi social.
Sementara itu fokus pendekatan dramaturgi adalah
bukan apa yang orang lakukan, bukan apa yang ingin mereka lakukan, atau mengapa
meraka melakukan, melainkan bagaimana meraka melakukannya.
Dramaturgi menekankan dimensi ekspresi/impresif
aktifitas manusia, yakni bahwa makna kegiatan manusia terdapat dalam cara
mereka mengekspresikan diri dalam interaksi dengan orang lain yang juga
ekspresif. Oleh karena perilaku manusia bersifat ekspresif maka perilaku manusia
bersifat dramatik.Pendekatan dramaturgis Goffman berintikan pandangan bahwa
ketika manusia berinteraksi dengan sesamanya, ia ingin mengelola pesan yang ia
harapkan tumbuh pada orang lain terhadapnya. Untuk itu, setiap orang melakukan
pertunjukan bagi orang lain. Kaum dramaturgis memandang manusia sebagai
aktor-aktor diatas panggung metaforis yang sedang memainkan peran-peran mereka.
Pengembangan diri sebagai konsep oleh Goffman tidak terlepas dari pengaruh
gaagasan Cooley tentang the looking glass self (Morine Nicholas, 2009). Gagasan
diri ala Cooley ini terdiri atas tiga komponen.Pertama, kita mengembangkan
bagaimana kita tampil bagi orang lain. Kedua, kita mengembangkan bagaimana
penilaian mereka atas penampilan kita.Ketiga, kita mengembangkan sejenis perasaan
diri, seperti kebanggaan atau malu sebagai akibat membayangkan penilaian
oranglain tersebut. Lewat imajinasi, kita mempersepsi dalam pikiran irang lain
suatu gambaran tentang penampilan kita, perilaku, tujuan, perbuatan, karakter
teman-teman kita, dan sebagainya serta dengan berbagai cara kita terpengaruh
olehnya.
Fokus dramaturgis bukan konsep diri yang dibawa sang
aktor dari suatu situasi kesituasi yang lainnya atau keseluruan jumlah
pengalaman individu, melainkan diri yang tersituasikan secara sosial yang
berkembang dan mengatur interaksi-interaksi spesifik. Menurut Goffman diri
adalah”suatu hasil kerjasama” (collaborative manufacture) yang harus diproduksi
baru dalam setiap peristiwa interaksi sosial.
Menurut interaksi simbolis, manusia belajar memainkan
berbagai peran dan mengasumsikan identitas yang ralevan dengan peran-peran ini,
terlibat dalam kegiatan menunjukkkan kepada satu sama lainnya siapa dan apa
meraka. Dalam konteks demikian, mereka manandai satu sama lain dan
situasi-situasi yang mereka masuki dan perilaku-perilaku berlangsung dalam
konteks identitas sosial, makna, dan definisi situasi. Presentase diri seperti
yang ditunjukkan Goffman bertujuan memproduksi definisi situasi dan identitas
sosial bagi para aktor, dan difinisi situasi tersebut mempengarui ragam
interaksi yang layak dan tidak layak bagi para aktor dalam situasi yang ada.
Goffman mengasumsikan bahwa ketika orang-orang
berinteraksi, mereka ingin menyajikan suatu gambaran diri yang akan diterima
orang lain. Ia menyebut upaya itu sebagai “pengelolaan pesa” (impression
management), yaitu teknik-teknik yang digunakan aktor untuk memupuk kesan-kesan
tertentu dalam situasi tertentu untuk mencapai tujuan tertentu.
6. Proposisi Yang Ditawarkan
Pemikiran Goffman berawal dari ketegangan yang
terjadi antara “I dan Me” (gagasan Mead). Ada kesenjangan antara diri kita dan
diri kita yang tersosioalisasi. Konsep “I” merujuk pada apa adanya dan konsep
“me” merujuk pada diri orang lain. Ketegangan berasal dari perbedaan antara
harapan orang terhadap apa yang mesti kita harapkan. Menurut Goffman orang
harus memainkan peran mereka ketika melakukan interaksi social. Sebagai drama
perhatian utama pada interaksi social.
Fokus pendekatan dramaturgi adalah bukan apa yang
orang lakukan, atau mereka melakukan tetapi bagaimana mereka melakukannya.
Menurut Burke perilaku manusia harus bersandar pada tindakan. Tindakan sebagai
konsep dasar dalam drama. Burke membedakan antara aksi dan gerakan. Aksi adalah
tingkah laku yang disengaja dan mempunyai maksud. Sedang gerakan adalah
perilaku yang mengandung makna dan tidak bertujuan. Dramaturgi menekankan
dimensi ekspresif aktivitas manusia. Karena perilaku ekspresif maka perilaku
manusia bersifat dramatic.
Teori
dramaturgi tidak lepas dari pengaruh Cooley tentang the looking glass
self, yang terdiri tiga komponen; Pertama: kita mengembangkan bagaimana kita
tanpil bagai orang lain. Kedua: kita membayangkan bagaimana penilaian mereka
atas penampilan kita. Ketiga : kita mengembangkan perasaan diri, seprti malu,
bangga, sebagai akibat mengembangkan penilaian orang lain.
Salah satu konsep Goffman yang terkenal adalah Model Dramaturgi. Goffman
membedakan dua macam pernyataan yaitu:
a. Pernyataan yang diberikan (expression given),
yaitu sarana-sarana tanda yang dengan sengaja dipergunakan untuk menyampaikan
informasi tertentu kepada orang lain.
b. Pernyataan lepas (expression given off), yaitu
informasi yang disampaikan tanpa sengaja.
Inti dari ajaran Goffman adalah dramaturgy.
Dramaturgy yang dimaksud Goffman adalah situasi dramatik yang seolah-olah
terjadi di atas panggung sebagai ilustrasi yang diberikan Goffman untuk
menggambarkan orang-orang dan interaksi yang dilakukan mereka dalam kehidupan
sehari-hari. Goffman menggambarkan peranan orang-orang yang berinteraksi dan
hubungannya dengan realitas sosial yang dihadapinya melalui panggung sandiwara
dengan menggunakan skrip (jalan cerita) yang telah ditentukan.
Ada bagian yang disebut frontstage (panggung bagian
depan) dan backstage (panggung bagian belakang) di mana keduanya memiliki
fungsi yang berbeda. Peranan dan fungsi backstage sangat penting terhadap
keberhasilan penampilan di frontstage, kajian-kajian terhadap hal-hal yang berada
di luar perhitungan benar-benar bertumpu pada sumber daya-sumber daya yang ada
pada kedua bagian tersebut. Di samping itu, konsep dramaturgy Goffman juga
dipakai oleh beberapa ahli sosiologi seperti Kennen dan Collins dalam melakukan
studi yang menyangkut interaksi antara orang-orang yang menjadi kajian mereka.
Dramaturgi merupakan pandangan tentang kehidupan sosial sebagai serentetan
pertunjukkan drama dalam sebuah pentas. Diri adalah pengaruh dramatis yang
muncul dari suasana yang di tampilkan (interaksi dramatis), maka ia mudah
mengalami gangguan.
Dramaturgi menekankan dimensi ekspresif/impresif
aktivitas manusia, yakni bahwa makna kegiatan manusia terdapat dalam cara
mereka mengekspresikan diri dalam interaksi dengan orang lain yang juga
ekspresif. Oleh karena perilaku manusia bersifat ekspresif inilah maka perilaku
manusia bersifat dramatik. Pendekatan dramaturgis Goffman berintikan pandangan
bahwa ketika manusia berinteraksi dengan sesamannya, ia ingin mengelola pesan
yang ia harapkan tumbuh pada orang lain terhadapnya. Kaum dramaturgis memandang
manusia sebagai aktor-aktor di atas panggung metaforis yang sedang memainkan
peran-peran mereka.
Konsep yang digunakan Goffman berasal dari
gagasan-gagasan Burce Gronbeck, dengan demikian pendekatan dramaturgis sebagai
salah satu varian interaksionisme simbolik yang sering menggunakan konsep
“peran sosial” dalam menganalisis interaksi sosial, yang dipinjam dari khasanah
teater. Goffman mengasumsikan bahwa ketika orang-orang berinteraksi, mereka
ingin menyajikan suatu gambaran diri yang akan diterima orang lain. Ia menyebut
upaya itu sebagai “pengelolaan pesan” (impression management), yaitu
teknik-teknik yang digunakan aktor untuk memupuk kesan-kesan tertentu dalam
situasi tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Goffman kehidupan
sosial itu dapat dibagi menjadi “wilayah depan” (front region) dan “wilayah
belakang” (back region).
a. Wilayah depan (front region)
Merujuk kepada peristiwa sosial yang menunjukan
bahwa individu bergaya atau menampilkan peran formalnya. Mereka sedang
memainkan perannya di atas panggung sandiwara di hadapan khalayak penonton.
Sebaliknya wilayah belakang merujuk kepada tempat dan peristiwa yang yang
memungkinkannya mempersiapkan perannya di wilayah depan. Wilayah depan ibarat panggung
sandiwara bagian depan (front stage) yang ditonton khalayak penonton.
Front stage (panggung depan) bagian pertunjukan yang berfungsi mendefinisikan
situasi penyaksi pertunjukan. Goffman membagi panggung depan ini menjadi dua
bagian: front pribadi (personal front) dan setting front pribadi terdiri dari
alat-alat yang dianggap khalayak sebagai perlengkapan yang dibawa aktor ke
dalam setting, misalnya dokter diharapkan mengenakan jas dokter dengan
stetoskop menggantung dilehernya. Personal front mencakup bahasa verbal dan
bahasa tubuh sang aktor. Misalnya, berbicara sopan, pengucapan istilah-istilah
asing, intonasi, postur tubuh, kespresi wajah, pakaian, penampakan usia dan
sebagainya.
Ciri yang relatif tetap seperti ciri fisik, termasuk ras dan usia biasanya
sulit disembunyikan atau diubah, namun aktor sering memanipulasinya dengan
menekankan atau melembutkannya, misalnya menghitamkan kembali rambut yang
beruban dengan cat rambut. Setting merupakan situasi fisik yang harus ada
ketika aktor melakukan pertunjukan, misalnya seorang dokter bedah memerlukan
ruang operasi, seorang sopir taksi memerlukan kendaraan. (Mulyana, 2004:115).
Front personal terbagi dua, yaitu penampilan berbagai jenis barang yang
mengenalkan status sosial aktor, dan gaya mengenalkan peran macam apa yang
dimainkan aktor dalam situasi tertentu.
Fokus perhatian Goffman bukan hanya individu, tetapi
juga kelompok atau tim. Selain membawakan peran dan karakter secara individu,
aktor-aktor sosial juga berusaha mengelola kesan orang lain terhadap
kelompoknya, baik itu keluarga, tempat bekerja, parati politik, atau organisasi
lain yang mereka wakili. Semua anggota itu oleh Goffman disebut “tim
pertunjukan” (performance team) yang mendramatiasikan suatu aktivitas.
Kerjasama tim sering dilakukan oleh para anggota dalam menciptakan dan menjaga
penampilan dalam wilayah depan. Mereka harus mempersiapkan perlengkapan
pertunjukan dengan matang dan jalannya pertunjukan, memain pemain inti yang
layak, melakukan pertunjukan secermat dan seefisien mungkin , dan kalau perlu
juag memilih khalayak yang sesuai. Setiap anggota saling mendukung dan bila
perlu memberi arahan lewat isyarat nonverbal, seperti isyarat dengan tangan
atau isyarat mata, agar pertunjukan berjalan mulus. (Mulyana, 2004:123)
Goffman menekankan bahwa pertunjukan yang dibawakan
suatu tim sangat bergantung pada kesetiaan setiap anggotanya. Setiap anggota
tim memegang rahasia tersembunyi bagi khalayak yang memungkinkan kewibawaan tim
tetap terjaga. Dalam kerangka yang lebih luas, sebenarnya khalayak juga dapat
dianggap sebagai bagian dari tim pertunjukan. Artinya agar pertunjukan sukses,
khalayak juga harus berpartisipasi untuk menjaga agar pertunjukan secara
keseluruhan berjalan lancar.
b. Wilayah belakang (back region)
Wilayah belakang ibarat panggung sandiwara bagian
belakang (back stage) atau kamar rias tempat pemain sandiwara bersantai,
mempersiapkan diri, atau berlatih untuk memainkan perannya di panggung depan.
Back stage (panggung belakang) ruang dimana disitulah berjalan skenario
pertunjukan oleh “tim” (masyarakat rahasia yang mengatur pementasan
masing-masing aktor).
Dalam Dramaturgi terdiri dari Front stage (panggung depan) dan Back Stage
(panggung belakang). Front Stage yaitu bagian pertunjukan yang berfungsi
mendefinisikan situasi penyaksi pertunjukan. Front stage dibagi menjadi 2
bagian, Setting yaitu pemandangan fisik yang harus ada jika sang actor
memainkan perannya. Dan Front Personal yaitu berbagai macam perlengkapan
sebagai pembahasa perasaan dari sang actor. Front personal masih terbagi
menjadi dua bagian, yaitu Penampilan yang terdiri dari berbagai jenis barang
yang mengenalkan status social actor. Dan Gaya yang berarti mengenalkan peran
macam apa yang dimainkan actor dalam situasi tertentu. Back stage (panggung
belakang) yaitu ruang dimana disitulah berjalan scenario pertunjukan oleh “tim”
(masyarakat rahasia yang mengatur pementasan masing-masing actor).
Goffman mendalami dramaturgi dari segi sosiologi. Beliau menggali segala macam
perilaku interaksi yang kita lakukan dalam pertunjukan kehidupan kita
sehari-hari yang menampilkan diri kita sendiri dalam cara yang sama dengan cara
seorang aktor menampilkan karakter orang lain dalam sebuah pertunjukan drama.
Cara yang sama ini berarti mengacu kepada kesamaan yang berarti ada pertunjukan
yang ditampilkan. Goffman mengacu pada pertunjukan sosiologi. Pertunjukan yang
terjadi di masyarakat untuk memberi kesan yang baik untuk mencapai tujuan.
Tujuan dari presentasi dari Diri– Goffman ini adalah penerimaan penonton akan
manipulasi. Bila seorang aktor berhasil, maka penonton akan melihat aktor
sesuai sudut yang memang ingin diperlihatkan oleh aktor tersebut. Aktor akan
semakin mudah untuk membawa penonton untuk mencapai tujuan dari pertunjukan
tersebut. Ini dapat dikatakan sebagai bentuk lain dari komunikasi. Karena
komunikasi sebenarnya adalah alat untuk mencapai tujuan. Bila dalam komunikasi
konvensional manusia berbicara tentang bagaimana memaksimalkan indera verbal
dan non-verbal untuk mencapai tujuan akhir komunikasi, agar orang lain mengikuti
kemauan kita. Maka dalam dramaturgis, yang diperhitungkan adalah konsep
menyeluruh bagaimana kita menghayati peran sehingga dapat memberikan feedback
sesuai yang kita mau. Perlu diingat, dramatugis mempelajari konteks dari
perilaku manusia dalam mencapai tujuannya dan bukan untuk mempelajari hasil
dari perilakunya tersebut. Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi antar
manusia ada “kesepakatan” perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan
kepada tujuan akhir dari maksud interaksi sosial tersebut. Bermain peran
merupakan salah satu alat yang dapat mengacu kepada tercapainya kesepakatan
tersebut.
Dalam teori Dramatugis menjelaskan bahwa identitas
manusia adalah tidak stabil dan merupakan setiap identitas tersebut merupakan
bagian kejiwaan psikologi yang mandiri. Identitas manusia bisa saja
berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain. Disinilah dramaturgis
masuk, bagaimana kita menguasai interaksi tersebut. Dalam dramaturgis,
interaksi sosial dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Manusia adalah aktor
yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada
orang lain melalui “pertunjukan dramanya sendiri”. Dalam mencapai tujuannya
tersebut, menurut konsep dramaturgis, manusia akan mengembangkan
perilaku-perilaku yang mendukung perannya tersebut. Selayaknya pertunjukan
drama, seorang aktor drama kehidupan juga harus mempersiapkan kelengkapan
pertunjukan. Kelengkapan ini antara lain memperhitungkan setting, kostum,
penggunakan kata (dialog) dan tindakan non verbal lain, hal ini tentunya
bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan
memuluskan jalan mencapai tujuan. Oleh Goffman, tindakan diatas disebut dalam
istilah “impression management”. Goffman juga melihat bahwa ada perbedaan
akting yang besar saat aktor berada di atas panggung (“front stage”) dan di
belakang panggung (“back stage”) drama kehidupan. Kondisi akting di front stage
adalah adanya penonton (yang melihat kita) dan kita sedang berada dalam bagian
pertunjukan. Saat itu kita berusaha untuk memainkan peran kita sebaik-baiknya
agar penonton memahami tujuan dari perilaku kita. Perilaku kita dibatasi oleh
oleh konsep-konsep drama yang bertujuan untuk membuat drama yang berhasil
(lihat unsur-unsur tersebut pada impression management diatas). Sedangkan back
stage adalah keadaan dimana kita berada di belakang panggung, dengan kondisi
bahwa tidak ada penonton. Sehingga kita dapat berperilaku bebas tanpa
mempedulikan plot perilaku bagaimana yang harus kita bawakan. Contohnya,
seorang teller senantiasa berpakaian rapi menyambut nasabah dengan ramah,
santun, bersikap formil dan perkataan yang diatur. Tetapi, saat istirahat
siang, sang teller bisa bersikap lebih santai, bersenda gurau dengan bahasa
gaul dengan temannya atau bersikap tidak formil lainnya (ngerumpi, dsb). Saat
teller menyambut nasabah, merupakan saat front stage baginya (saat
pertunjukan). Tanggung jawabnya adalah menyambut nasabah dan memberikan
pelayanan kepada nasabah tersebut. Oleh karenanya, perilaku sang teller juga
adalah perilaku yang sudah digariskan skenarionya oleh pihak manajemen. Saat
istirahat makan siang, teller bebas untuk mempersiapkan dirinya menuju babak ke
dua dari pertunjukan tersebut. Karenanya, skenario yang disiapkan oleh
manajemen adalah bagaimana sang teller tersebut dapat refresh untuk menjalankan
perannya di babak selanjutnya.
Sebelum berinteraksi dengan orang lain, seseorang
pasti akan mempersiapkan perannya dulu, atau kesan yang ingin ditangkap oleh
orang lain. Kondisi ini sama dengan apa yang dunia teater katakan sebagai
“breaking character”. Dengan konsep dramaturgis dan permainan peran yang
dilakukan oleh manusia, terciptalah suasana-suasana dan kondisi interaksi yang
kemudian memberikan makna tersendiri. Munculnya pemaknaan ini sangat tergantung
pada latar belakang sosial masyarakat itu sendiri. Terbentuklah kemudian
masyarakat yang mampu beradaptasi dengan berbagai suasana dan corak kehidupan.
Masyarakat yang tinggal dalam komunitas heterogen perkotaan, menciptakan
panggung-panggung sendiri yang membuatnya bisa tampil sebagai komunitas yang
bisa bertahan hidup dengan keheterogenannya. Begitu juga dengan masyarakat
homogen pedesaan, menciptakan panggung-panggung sendiri melalui interaksinya,
yang terkadang justru membentuk proteksi sendiri dengan komunitas lainnya. Apa
yang dilakukan masyarakat melalui konsep permainan peran adalah realitas yang
terjadi secara alamiah dan berkembang sesuai perubahan yang berlangsung dalam
diri mereka. Permainan peran ini akan berubah-rubah sesuai kondisi dan waktu
berlangsungnya. Banyak pula faktor yang berpengaruh dalam permainan peran ini,
terutama aspek sosial psikologis yang melingkupinya.
Dramarturgi hanya dapat berlaku di institusi total,Institusi total maksudnya
adalah institusi yang memiliki karakter dihambakan oleh sebagian kehidupan atau
keseluruhan kehidupan dari individual yang terkait dengan institusi tersebut,
dimana individu ini berlaku sebagai sub-ordinat yang mana sangat tergantung
kepada organisasi dan orang yang berwenang atasnya. Ciri-ciri institusi total
antara lain dikendalikan oleh kekuasan (hegemoni) dan memiliki hierarki yang
jelas. Contohnya, sekolah asrama yang masih menganut paham pengajaran kuno
(disiplin tinggi), kamp konsentrasi (barak militer), institusi pendidikan,
penjara, pusat rehabilitasi (termasuk didalamnya rumah sakit jiwa, biara,
institusi pemerintah, dan lainnya. Dramaturgi dianggap dapat berperan baik pada
instansi-instansi yang menuntut pengabdian tinggi dan tidak menghendaki adanya
“pemberontakan”. Karena di dalam institusi-institusi ini peran-peran sosial
akan lebih mudah untuk diidentifikasi. Orang akan lebih memahami skenario
semacam apa yang ingin dimainkan. Bahkan beberapa ahli percaya bahwa teori ini
harus dibuktikan dahulu sebelum diaplikasikan.
Teori ini juga dianggap tidak mendukung pemahaman
bahwa dalam tujuan sosiologi ada satu kata yang seharusnya diperhitungkan,
yakni kekuatan “kemasyarakatan”. Bahwa tuntutan peran individual menimbulkan
clash bila berhadapan dengan peran kemasyarakatan. Ini yang sebaiknya dapat
disinkronkan.
Dramaturgi dianggap terlalu condong kepada
positifisme. Penganut paham ini menyatakan adanya kesamaan antara ilmu sosial
dan ilmu alam, yakni aturan. Aturan adalah pakem yang mengatur dunia sehingga
tindakan nyeleneh atau tidak dapat dijelaskan secara logis merupakan hal yang
tidak patut.
7. Jenis Dan Lingkup Realitas Sosial
Teori ini melihat bahwa konstruksi realitas lahir
melalui menajemen pengaruh yang ditimbulkan dari interaksi sosial. Sebagai
sebuah drama, actor yang terlibat dalam panggung interaksi tersebut memerankan
tindakan yang telah tertata sebelumnya. Sedangkan jika terjadi krisis atau
situasi gawat maka untuk menyelamatkan pertunjukkan (interaksi) terdapat
atribut tertentu yang dijalankan.
Bila Aristoteles mengacu pada teater maka Goffman mengacu pada pertunjukkan
sosiologi. Peertunjukan yang terjadi di masyarakat untuk menunjukan kesan yang
baik untuk mencapai tujuan. Tujuan presentasi dari Diri-Goffman ini adalah
penerimanaan penonton akan manipulasi. Bila seorang actor berhasil maka
penonton akan melihat actor sesuai sudut yang memang ingin diperlihatkan oleh
actor tersebut. Actor akan semakin mudah untuk membawa penonton mencapai tujuan
pertunjukan tersebut. Ini dapat dikatakan sebagai bentuk lain dari komunikasi.
Komunikasi sebenarnya adalah alat untuk mencapai tujuan. Bila dalam komunikasi
konvensional manusia berbicara tentang bagaimana memasimalkan indra verbal dan
non-verbal untuk mencapai tujuan akhir komunikasi dan agar orang lain mengikuti
kemauan kita. Dengan demikian, dalam dramaturgis yang diperhitungkan adalah
konsep menyeluruh bagaimana kita menghayati peran sehingga dapat memberikan
feedback yang kita mau. Perlu diingat, dramaturgis mempelajari konteks perilaku
manusia dalam mencapai tujuannya dan bukan untuk mempelajari hasil dari
perilakunya tersebut.
Lingkup realitas sosial yang dikaji dalam dramaturgi
ini merupakan ingkup sosial yang berskala kecil. Goffman menyatakan bahwa
“social establishment” sebagai sistem tertutup; dalam arti Goffman hanya
memperhatikan pertunjukan yang harus dimainkan saat itu saja tanpa
mempertimbangkan arti penting berbagai lembaga lain (Suyanto, Bagong, dkk; 200:
179-180).
Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi antar
manusia ada “kesepakatan” perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan
kepada tujuan akhir dari maksud interaksi sosial tersebut. Bermain peran
merupakan salah satu alat yang dapat mengacu kepada tercapainya kesepakatan
tersebut. Dalam pandangan Goffman, diri bukanlah milik aktor tetapi lebih
sebagai hasil intersi dramatis antara aktor dan audien. Diri adalah pengaruh
dramatis yang muncul dari suasana yang ditampilkan. Dramaturgi Goffman
memperhatikan proses yang dapat mencegah gangguan atas penampilan diri. Meski
sebagian besar bahasannya ditekankan pada interaksi dramaturgis ini, Goffman
menunjukan bahwa pelaksanaannya adalah sukses. Hasilnya adalah bahwa dalam
keadaan biasa, diri yang serasi dengan pelakunya,penampilannya berasal dari
pelaku.
Goffman berasumsi bahwa saat berinteraksi aktor
ingin menampilkan perasaan diri yang dapat diterima oleh orang lain. Tetapi
ketika menampilkan diri aktor menyadari bahwa anggota audien dapat mengganggu
penampilannya. Oleh karena itu aktor menyesuaikan diri dengan pengendalian
audiens terutama unsur yang dapat mengganggu. Aktor berharap perasaan diri yang
mereka tampilkan kepada audien cukup kuat dan mempengaruhi audiens. Aktor pun
berharap audiens akan bertindak seperti yang diinginkan aktor dari mereka.
Goffman menggolongkan hal tersebut sebagai manajemen pengaruh.
Dalam teori Dramatugis menjelaskan bahwa identitas
manusia adalah tidak stabil dan setiap identitas tersebut merupakan bagian
kejiwaan psikologi yang mandiri. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah
tergantung dari interaksi dengan orang lain. Disinilah dramaturgis masuk,
bagaimana kita menguasai interaksi tersebut. Dalam dramaturgis, interaksi
sosial dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Manusia adalah aktor yang
berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang
lain melalui “pertunjukan dramanya sendiri”. Dalam mencapai tujuannya tersebut,
menurut konsep dramaturgis, manusia akan mengembangkan perilaku-perilaku yang
mendukung perannya tersebut. Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor drama
kehidupan juga harus mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Kelengkapan ini
antara lain memperhitungkan setting, kostum, penggunakan kata (dialog) dan
tindakan non verbal lain, hal ini tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan
yang baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan. Oleh
Goffman, tindakan diatas disebut dalam istilah “impression management”.
Goffman juga melihat bahwa ada perbedaan akting yang besar saat aktor berada di
atas panggung (“front stage”) dan di belakang panggung (“back stage”) drama
kehidupan. Kondisi akting di front stage adalah adanya penonton (yang melihat
kita) dan kita sedang berada dalam bagian pertunjukan. Saat itu kita berusaha
untuk memainkan peran kita sebaik-baiknya agar penonton memahami tujuan dari
perilaku kita. Perilaku kita dibatasi oleh konsep-konsep drama yang bertujuan
untuk membuat drama yang berhasil. Sedangkan back stage adalah keadaan dimana
kita berada di belakang panggung, dengan kondisi bahwa tidak ada penonton.
Sehingga kita dapat berperilaku bebas tanpa mempedulikan plot perilaku
bagaimana yang harus kita bawakan.
Goffman (1959) mengklaim bahwa setiap kali
mengadopsi peran aktor, mereka harus mengambil posisi pada keyakinan mereka
dalam peran-mereka harus memutuskan apakah mereka merasa bahwa kesan realitas
mereka akan proyek adalah “benar”. Pada satu ekstrim, orang menemukan bahwa
pelaku dapat sepenuhnya diambil oleh tindakan sendiri, ia dapat tulus yakin
bahwa kesan realitas adalah realitas yang nyata. Pada ekstrem yang lain, kita
menemukan bahwa pelaku mungkin tidak diambil sama sekali oleh rutinitas sendiri.
Ketika individu tidak memiliki keyakinan dalam bertindak sendiri dan tidak ada
perhatian utama dengan keyakinan para pendengarnya, pemesanan yang “tulus”
istilah untuk orang yang percaya pada kesan dipupuk oleh kinerja mereka
sendiri.
Dalam dramaturgi Goffman, acara dilakukan sangat tergantung pada berbagai
komponen teater. Untuk individu-individu tertentu untuk berkomunikasi secara
efektif realitas sosial yang paling menguntungkan bagi mereka, mereka harus
mengadopsi peran tentang pekerjaan mereka. Pada titik tertentu, bagaimanapun,
peran-peran kerja akan hampir pasti bertabrakan dengan peran individu
nonpekerjaan, seharusnya diri mereka yang sebenarnya. Ketika ini terjadi,
individu memiliki berbagai macam pilihan, tapi akhirnya tidak satupun dari mereka
adalah mungkin untuk sepenuhnya menyelesaikan konflik; solusi yang terbaik,
dibanyak kasus, adalah untuk mengabaikan konflik dengan bertindak-dengan
menggunakan alat-alat panggung. Goffman (1959) menekankan bahwa ia menggunakan
teater sebagai metafora dan mengklaim bahwa pada akhirnya, dunia bukan
panggung, dan itu seharusnya tidak sulit bagi pembaca untuk menemukan perbedaan
besar antara keduanya.
8. Lingkup Realita Sosial
Manusia hidup dalam sebuah pertunjukan sosial
sebagai akibat dari pengaruh tindakan sosial sebelumnya. Aktor manusia hanya
perlu memerankan suatu peran yang telah tertata sebelumnya, meskipun demikian
jika terjadi krisis maka sang aktor dapat memerankan peran lain untuk
menstabilkan keadaan cerita dalam drama. Lebih lanjut Goffman juga menyampaikan
bahwasanya pertunjukkan yang ditampilkan tersebut adalah demi kebaikan seluruh
umat manusia, masing-masing aktor memiliki tugas tersendiri untuk memanipulasi
pikiran penonton. Sebuah tujuan akan semakin mudah dicapai ketika para aktor mampu
berkomunikasi dengan baik, dalam kata lain komunikasi merupakan kunci utama
tercapainya sebuah tujuan dari masyarakat.
Manusia menciptakan sebuah skenario pertunjukkan
yang mengharuskan mereka melaksanakan peran-peran tertentu dan melaksanakan
interaksi sosial sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dalam
proses ini terdapat bentuk “kesepakatan” yang dipatuhi oleh setiap anggota
dalam pertujukan sosial ini. Dramaturgi berada pada tataran mikro dimana
Goffman hanya melihat kenyataan bahwa pertunjukan sosial yang dilakukan oleh
para aktor hanya pada waktu-waktu tertentu tanpa mengindahkan arti penting
lembaga sosial yang lainnya.
9. Lokus otonom dan penjelasan yang otonom
Aktor-aktor dalam dramaturgi berperan sesuai dengan
status yang disandangnya, sehingga keotonoman aktor sangat bergantung pada
peran rutin yang disandangnya setiap hari. Peran tersebut selalu menjadi fokus
utama kehidupan aktor dalam pertunjukkan, mereka akan memperlihatkan
bentuk-bentuk dari status yang disandangnya hingga tercapai kata ideal dan
memburamkan berbagai peran yang tidak sesuai dengan citra dirinya. Meskipun
individu memilki banyak peran dan status dalam berbagai pertunjukan sosial
tetapi pada dasarnya tampilan peran pada interaksi sosial yang tengah
dilakukannya adalah yang terpenting.
10. Unit analisis realitas sosial yang menjadi fokus
Teori ini melihat bahwa konstruksi realitas lahir
melalui manajemen pengaruh yang ditimbulkan dari interaksi sosial.Sebagai
sebuah drama, aktor yang terlibat dalam panggung interaksi tersebut memerankan
tindakan-tindakan yang telah tertata sebelumnya.Sedangkan jika terjadi krisis
atau situasi gawat maka untuk menyelamatkan pertunjukan (interaksi) terdapat
atribut tertentu yang dijalankan.
Goffman mengacu pada pertunjukan sosiologi. Pertunjukan yang terjadi di
masyarakat untuk memberi kesan yang baik untuk mencapai tujuan. Tujuan
presentasi dari Diri – Goffman ini adalah penerimaan penonton akan manipulasi.
Bila seseorang aktor berhasil maka penonton akan melihat aktor sesuai sudut yang
memang ingin diperlihatkan oleh aktor tersebut. Aktor akan semakin mudah untuk
membawa penonton mencapai tujuan pertunjukan tersebut. Ini dapat dikatakan
sebagai bentuk lain dari komunikasi.
Komunikasi sebenarnya adalah alat untuk mencapai
tujuan. Bila dalam komunikasi konvensional manusia berbicara tentang bagaimana
memaksimalkan indra verbal dan non- verbal untuk mencapai tujuan akhir
komunikasi dan agar orang lain mengikuti kemauan kita. Dengan demikian, dalam
dramaturgis yang diperhitungkan adalah konsep menyeluruh bagaimana kita
menghayati peran sehingga dapat memberikan feedbacksesuai yang kita mau. Perlu
diingat, dramaturgis mempelajari konteks perilaku manusia dalam mencapai
tujuannya dan bukan untuk mempelajari hasil dari perilakunya tersebut.
Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi
antarmanusia ada “kesepakatan” perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan
kepada tujuan akhir dari maksud interaksi sosial tersebut.Bermain peran
merupakan salah satu alat yang dapat mengacu kepada tercapainya kesepakatan
tersebut.Bukti nyata bahwa terjadi permainan peran dalam kehidupan manusia
dapat dilihat pada masyarakat kita sendiri. Manusia menciptakan sebuah
mekanisme tersendiri, di mana dengan permainan peran tersebut ia bisa tampil
sebagai sosok-sosok tertentu.
Lingkup realitas sosial yang dikaji dalam Dramaturgi ini merupakan lingkup
sosial yang berskala kecil. Goffman menyatakan bahwa “sosial establishment”
sebagai sitem tertutup; dalam arti Goffman hanya memperhatikan pertunjukan yang
harus di mainkan saat itu saja tanpa mempertimbangkan arti penting berbagai
elemen lain. Sebagai sebuah drama, perhatian utama Dramaturgi pada proses
interaksi sosial. Dalam interaksi sosial, aktor-aktor bertindak berdasarkan
peran yang disandangnya (status) sehigga keotonoman aktor atau individu sangat
bergantung dari peran rutin yang melekat dalam dirinya.
Dramaturgi melihat “diri” sebagai produk yang di tentukan oleh situasi sosial.
Seperti dalam drama, karakter di panggung merupakan produk dari naskah yang
sebelumnya sudah diatur.
11. Bias keberpihakan = bebas nilai, keterikatan
nilai
Banyak pakar menilai bahwa dramaturgi lebih cocok
(fittest) untuk institusi total, maksudnya adalah institusi yang memiliki
karakter dihambakan oleh sebagian kehidupan atau keseluruhan kehidupan dari
individual yang terkait dengan institusi tersebut, dimana individu ini berlaku
sebagai subordinat yang mana sangat tergantung kepada organisasi dan orang yang
berwenang atasnya. Ciri-ciri institusi total antara lain dikendalikan oleh
kekuasaan (hegemoni) dan memiliki hierarki yang jelas. Contohnya, sekolah
asrama yang masih menganut paham pengajaran kuno (disiplin tinggi), kamampuan
konsentrasi (barak militer), institusi pendidikan, penjara, pusat rehabilitasi
(termasuk di dalamnya rumah sakit jiwa, biara, institusi pemerintah, dan
lain-lain). Dramaturgi dianggap dapat berperan baik pada instansi-instansi ini
peran-peran sosialakan lebih mudah untuk di identifikasi. Orang akan lebih
memahami skenario semacam apa yang ingin dimainkan. Bahkan beberapa ahli
percaya bahwa teori ini harus dibuktikan dahulu sebelum diaplikasikan.
Teori ini juga dianggap tidak mendukung pemahaman
bahwa dalam tujuan sosiologi ada satu kata yang seharusnya diperhitungkan,
yakni kekuatan “kemasyarakatan”.Bahwa tuntutan peran individual menimbulkan
clash bila berhadapan dengan peran kemasyarakatan.Ini yang sebaiknya dapat
disinkronkan. Di sisi lain, dramaturgi dianggap terlalu condong pada
positivism. Penganut paham ini menyatakan adanya kesamaan antara ilmu sosial
dan ilmu alam, yakni aturan.Aturan adalah pakem yang mengatur dunia sehingga
tindakan nyeleneh atau tidak dapat dijelaskan secara logis merupakan hal yang
tidak patut.
12. Contoh-contoh Kasus
Contoh kasus daripada teori
dramaturgi terdapat pada berbagai peran manusia, seperti seorang
presiden, pengemis, selebriti, guru dan dosen, dan lain-lain.
Seorang presiden, contohnya Susilo Bambang Yudhoyono, berpenampilan rapi dan
berwibawa saat sedang melakukan pidato di depan umum dan saat mengunjungi
berbagai tempat-tempat formal. Tujuannya adalah untuk menunjukkan suatu sosok
seorang pemimpin kepada orang lain atau masyarakat. Namun saat di rumah, ia
berpenampilan dan berperilaku seperti orang lain pada umumnya. Di rumah, ia
berperan sebagai seorang ayah nagi anak-anaknya dan seorang suami bagi
istrinya.
Contoh lainnya adalah seorang pengemis yang
seringkali kita temukan di depan gerbang lama Universitas Padjadjaran yang
berpakaian lusuh selalu menampakkan wajah sedihnya ke setiap orang untuk
menerima rasa empati berupa materi. Tak peduli kotor, bau, atau berpenampilan
kumuh. Mereka melakukan hal seperti itu sebagai aktor panggung depan karena
sedang mendefinisikan sesuatu bagi orang lain yang menyaksikan penampilannya.
Berbeda dengan panggung belakangnya, para pengemis menjalani kehidupan seperti
orang pada umumnya ketika sedang berada dirumahnya.
Selebriti juga merupakan salah satu contoh kasus yang berkaitan Teori
Dramaturgi, misalnya Luna Maya. Beberapa waktu yang lalu, ia terlibat dalam
kasus hukum dikarenakan melanggar pasal-pasal yang berhubungan dengan tindakan
mesum. Masalah tersebut merupakan masalah yang sangat serius baginya, namun ia
berusaha untuk memerankan karakternya sebagai seorang selebriti di berbagai
acara dengan penampilan yang tidak memperlihatkan bahwa dirinya sedang
mengalami masalah besar. Ia tidak ingin menunjukkan kepada audiens bahwa ia
sedang mengalami masalah. Tujuannya tampil di berbagai acara tersebut adalah
hanya untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang selebriti yang memiliki
peran tersendiri dalam acara yang ia pentasi. Selain Luna Maya, adapun
selebriti lainnya yang jelas berkaitan dengan Teori
Dramaturgi, di mana orang-orang tersebut memiliki front stage dan back
stage yang berbeda. Contohnya adalah para pelawak, seperti Olga Syahputra,
Sule, Ruben Onsu, Ade Namnung, dan lain sebagainya. Di depan panggung Dahsyat
dan berbagai acara lainnya, Olga tampak seperti sosok orang yang sangat ceria
dan penuh dengan humor. Namun, pada saat diwawancarai di suatu berita selebritis,
ia menceritakan betapa prihatinnya hidupnya. Ia mengatakan bahwa ia melakukan
ini semua untuk mendapatkan uang, sehingga kebutuhan keluarganya terpenuhi.
Untuk mendapatkan uang tersebut, ia harus bisa berperan sesuai dengan
karakternya dalam acara tersebut, yaitu seorang pelawak atau entertainer. Ia
berusaha menunjukkan pada seluruh audiens yang menonton bahwa dirinya adalah
seorang host yang humoris dan bisa membuat para penontonnya terhibur dengan
acara yang dipentasinya. Sama halnya dengan pelawak lainnya. Mereka memiliki
front stage dan back stage yang sangat berbeda.
Selain ketiga contoh tersebut, adapun contoh
lainnya, yaitu seorang guru dan dosen. Pada saat di kelas, seorang guru dan
dosen berperan sebagai pengajar dan pendidik. Mereka memberi berbagai peraturan
dan tugas di kelas. Mereka melakukan tugas di kelas sesuai dengan peran mereka
sebagai pengajar. Namun di luar perannya tersebut, mereka berperilaku seperti
orang lain yang tidak memiliki peran sebagai pengajar.
Ada sebuah kasus di Ujungberung, Bandung. Wilayah
ini merupakan “wadah” dan pusat para musisi dan pecinta musik “Underground”.
Disana, terdapat seorang wanita berjilbab yang menjadi vokalis salah satu band
“hardcore”. Menariknya adalah wanita tersebut berjilbab dan mempunyai pekerjaan
lain, yaitu seorang “Guru TK “. Jika dibayangkan, memang agak sulit seorang
guru TK dan berjilbab mengeluarkan suara-suara keras menyeramkan, tetapi hal
ini memang terjadi. Sesuatu yang sangat langka, wanita itu bernama Achie. Dia
adalah vokalis band metal yang bernama GUGAT yang terdiri dari Achie (vocal),
imam (drum), Okid (vokal), Oce (gitar), dan Bayu (bass). Achie merupakan salah
satu orang yang sangat langka dan berani menembus nilai-nilai yang berada dalam
masyarakat. Dia mempunyai sisi idealisme dan mampu mengimplementasikan sebuah
teori sosial yang disebut dengan Teori
Dramaturgi.
13. Analisa Contoh-contoh Kasus Tersebut
Keempat contoh-contoh kasus tersebut berkaitan
dengan Teori
Dramaturgi, karena setiap peran dalam yang disebutkan sebelumnya, yaitu
seorang presiden, pengemis, selebriti, dan guru atau dosen memiliki dua macam
karakteristik, yaitu karakterisitik secara front stage dan secara back stage.
Pada saat di depan panggung atau di depan umum dan audiens, mereka menunjukkan
karakteristik yang berbeda dengan pada saat mereka berada di belakang panggung
atau di luar tempat di mana mereka menunjukkan karakteristik front stage
tersebut.
Layaknya seorang aktor dan aktris, jika berada di depan panggung (front stage),
mereka harus memiliki kemampuan untuk menjadi orang lain atau sebuah karakter
yang berbeda. Sedangakan back stage ini merupakan karakter asli dari diri
mereka yang tidak bisa mereka sembunyikan.