Pada kedua tulisan sebelumnya, telah dijelaskan
tentang prespektif realis maupun liberalis, baik dari asumsi maupun apa
yang diperdebatkan oleh keduanya. Asumsi dasar dari neorealis ialah struktur
dan sistem negara adalah anarki yakni tidak ada kekuasaan tertinggi diatas
negara. Akan tetapi menuut Waltz (dalam Jack dan Sorensen, 1999) kekuatan
negara yang besar mampu mengubah suatu struktur. Lalu neorealis berorientasi
pada tujuan pribadinya, bersikap kooperatif, dan bertahan. Jika kaum realis
seperti Morgenthau (dalam Burchill dan Linklater, 1966) menganggap bahwa
kekuasaan berakar pada kodrat manusia, neo-realis seperti Waltz (dalam Axelrod,
18986) mempokokkan diri pada kondisi anarkis dunia internasional yang
mengesankan akumulasi kekuasaan sebagai sebuah syarat yang sistemis bagi
negara.
Sebenarnya, neorealisme berangkat dari realisme
namun lebih spesifik (Jackson dan Sorensen, 1999). Neorealisme merupakan
semacam koreksi dari sudut pandang realis karena pada masa itu, isu yang
berkembang lebih kompleks dan tidak bisa dijelaskan secara keseluruhan oleh
para realis. Jadi berangkat dari situlah muncul neorealis yang mencoba menjawab
hal tersebut. Neorealisme tidak berdasar pada sifat alami manusia akan tetapi
struktur. Dalam neorealisme, hubungan internasional merupakan struktur anarki
yang didesentralisasi contohnya seperti cobweb model, negara
merupakan pereaksi dari struktur (Waltz, 1999).
Neorealisme memberikan penilaian yang meyakinkan
mengenai mengapa kebijakan-kebijakan luar negeri negara-bangsa sangatlah mirip,
meski sifat internal mereka sangatlah jauh berbeda. Neorealisme juga memberikan
penjelasan yang lebih rinci mengenai keberlangsungan sistem internasional
(Burchill dan Linklater, 1966:121). Neorealisme mengimplikasikan bahwa, dalam
bentuknya yang sekarang, negara-bangsa adalah perangkat permanen dalam sistem
internasional dan bahwa prospek ekspresi alternatif masyarakat politik adalah
terbatas.
Neoliberalisme muncul diawal tahun 1980an. Sudut pandang neoliberalisme hadir
untuk mengkritisi prespektif dari realisme maupun neoliberalisme. Asumsi dasar
neoliberalis adalah negara merupakan kunci dalam hubungan internasional, namun
bukan merupakan aktor utama, bersikap kooperatif, lalu menurut mereka kerjasama
tidak akan akan terjadi apabila tidak ada masalah atau konflik. Neoliberalisme
berakar dari pengintegrasian pekerjaan yang fungsional dan teoritis pada tahun
1950s dan 1960s dan saling ketergantungan kompleks. Neoliberalisme membuat
hubungan yang makin intens antar aktor, yang berwujud sebagai collective
action program. Contohnya terhadap isuglobal warming yang
akhirnya melahirkan protokol kyoto. Menurut neoliberalis, institusi merupakan
mediator untuk memfasilitasi suatu kerjasama. Jadi suatu institusi dapat
dijadikan suatu tempat yang terstruktur untuk mewadahi suatu kerjasama yang
dilakukan oleh beberapa negara. Akan tetapi, suatu kerjasama mungkin akan sulit
untuk dilaksanakan dan diraih ketika pemimpin merasa mereka tidak memiliki
kesamaan tujuan dengan negara lain.
Ciri-ciri dari neorealisme dan neoliberalisme adalah mereka sama-sama setuju
bahwa struktur internasional adalah anarki, dan tidak ada suprastate. Bagi
mereka berdua, kerjasama merupakan sesuatu yang penting. Akan tetapi
neorealisme berpegang pada relative gain, sedangkan neoliberalisme
berpegang pada absolute gain. Inti dari neorealisme dan
neoliberalisme adalah tujuan mereka yang sama, hanya cara pandang mereka yang
berbeda. Tak satu pun dari mereka, baik neorealis maupun neoliberalis yang
berdebat dan menyertakan dua perspektif yang kontras. Keduanya fokus pada
pertanyaan serupa dan setuju dengan sejumlah asumsi tentang politik
internasional (Dugis, 2013).
Kunci titik debat keduanya (Baldwin, 1993) terdapat dalam beberapa aspek yaitu
pada keadaan anarki, neorealis memegang konsekuensi dari keadaan anarki yaitu
bertahan adalah tujuan utamanya. Sedangkan neoliberalis menetapkan bahwa
realis-lah yang mengabaikan pentingnya saling ketergantungan internasional.
Dalam aspek kerjasama internasional, kerjasama dimungkinkan diantara keduanya,
akan tetapi realis berpendapat bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang sulit
diraih. Dalam aspek keuntungan, neorealis menganut relative gains yang
memusatkan pada distribusi antar peserta pada suatu transaksi sedangkan
neoliberalis menganut absolute gains yang memusatkan pada
keseluruhan keuntungan transaksi jadi keuntungannya sama rata. Dalam aspek
tujuan negara, keduanya setuju bahwa keamanan nasional dan kesejahteraan
ekonomi adalah sesuatu yang penting, akan tetapi mereka memiliki penekanan yang
relatif berbeda akan tujuan ini. Apabila neorealis bertujuan untuk bertahan
dalam sistem internasional, neoliberalis bertujuan pada kesejahteraan ekonomi.
Dalam aspek niat dan kemampuan, oleh neorealis ketidak-pastian membuat mereka
menaruh perhatian lebih pada kemampuan. Sedangkan pada neoliberalis, sensitif
akan keuntungan sama rata dengan yang lain. Dalam aspek institusi dan rezim,
neorealis tidak begitu memperdulikan atau menaruh perhatian sedangkan
neoliberalis sangat mementingkan institusi dan rezim. Karena neorealis tidak
mementingkan seperti mereka tidak mempunyai kekuasaan atau kekuatan untuk
menghukum penyeberang sedangkan neoliberalis perduli karena negara memiliki
keuntungan lebih dari kerjasama.
Jadi perdebatan antara neorealis dan neoliberalis adalah kelanjutan dari
perdebatan pendahulu mereka, realis dan liberalis. Akan tetapi, dalam
perdebatan ini, mereka tidak sepenuhnya bertentangan karena diantara keduanya
masih terdapat beberapa kesamaan contohnya dalam tujuan yang dicapai negara.
Apabila realis secara tegas menyatakan bahwa untuk mencapai kedamaian
dibutuhkan konflik bahkan perang, neorealis melunak dengan menyatakan bahwa
sejatinya kerjasama dimungkinkan untuk terjadi akan tetapi hal tersebut akan
sulit diraih. Namun hal tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa antara
neorealis dan neoliberalis menyetujui secara penuh adanya kerjasama dalam
sistem internasional.
REFERENSI
Jackson, Robert & Georg Sorensen. 1999. Introduction to
International Relations. New York: Oxford University Press
Burchill, Scoot & Andrew Linklater, 1966, Teori-Teori Hubungan
Internasional, New York : ST Martin’s Press, INC
R. Axelrod dan R.O. Keohane, “Achieving
Cooperation under Anarchy: Strategis and Institution” dalam K.A.Oye
(Ed.), Cooperation under Anarchy (Princetoon: 1986)
Dugis, Visensio. 2013. Neorealism vs
Neolibealism, Neo-Neo Debate. Materi kuliah disampaikan pada kuliah Teori
Hubungan Internasional. 21 Maret 2013.
No comments:
Post a Comment