BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Segala
sesuatu yang diciptakan Allah bukanlah dengan percuma saja, tetapi dengan
maksud-maksud tertentu yang dinginkan Allah. Demikianlah di antar seluruh
makhluk ciptaan Allah, terdapat makhluk pilihanNya yaitu makhluk manusia. Dan
diantara makhluk pilihan itu, maka para Nabi dan Rasul memperoleh tempat
tertinggi sebagai manusia pilihan Allah.
Siapakah
manusia itu dan bagaimanakah kedudulannya dalam realitas atau jagad raya ini.
Demikianlah pertanyaanyang meliputi seluruh pikiran para filsuf, termasuk filsuf
Max Scheler. Pertanyaan itu adalah pertanyaan abadi karena pada dasarnya
terkandung dalam hati setiap insane sepanjang masa. Bagaimakah sebenarnya
tempat manusia itu di dalam jagad raya ini, dalam keseluruhan yang ada ini,
dalam keseluruhan dunia ini terhadap Tuhannya.
Selanjutnya
manusia itu karena unsur kejasmaniannya ia bersifat potensial, ia merupakan
bakat. Manusia itu supaya menjadi manusia betul-betul haruslah memanusiakan
dirinya. Dan itu harus dijalankan dengan dan dalam mengalami kesatuannya dengan
alam jasmani. Dalam kenyataannya kita melihat dan mengalami sendiri bahwa
manusia tidak dapat hidup tanpa hubungannya dengan alam jasmani. Dalam rangka
pikiran ini, kita dapat juga berkata, bahwa manusia itu pribadi, akan tetapi
harus mempribadikan diri dan bahwa ia hanya dapat mempribadikan diri, dengan
menjalankan kesatuannya dengan alam jasmani, untuk mempribadikan diri kita itu
disebut ‘membudaya’. Selanjutnya dunia jasmani dalam membudaya itu kita angkat
dan kita jadikan satu dengan diri kita sendiri itu kita sebutkan ‘kebudayaan’.
Hanya dalam dan dengan membudayakan alam jasmani, manusia bisa membudayakan
dirinya sendiri. Dan di dalam kesibukan manusia yang kita sebut membudayakan
itu termuatlah unsure-unsur seperti: teknik, ekonomi, peradapan, bahasa,
sosial, kesenian, sejarah dan filsafat.
B.
Rumusan Masalah
•
Bagaimanakah pengertian dan ruang lingkup filsafat manusia?
•
Apa manfaat mempelajari filsafat manusia?
•
Bagaimanakah hakikat pribadi manusia itu?
•
Bagaimanakah Eksistensi manusia itu?
C.
Tujuan Pembuatan Makalah
•
Untuk memenuhi tugas mata kuliah filsafat sebagai nilai UTS
•
Agar dapat memahami pengertian dan ruang lingkup filsafat
•
Dan agar dapat memahami hakikat pribadi manusia
•
Serta agar dapat memahami eksistensi manusia itu seperti apa
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP FILSAFAT MANUSIA
Filsafat
manusia atau antropologi filsafati adalah bagian integral dari system filsafat,
yang secar spsesifik menyoroti hakikat atau esensi manusia. Sebagai bagian dari
system filsafat, secara metodis ia mempunyai kedudukan yang kurang lebih setara
dengan cabang-cabang filsafat lainnya, seperti etika, kosmologi, epistimologi,
filsafat sosial, dan estetika. Tetapi secara ontologism (berdasarkan pada objek
kajiannya), ia mempunyai kedudukan yang relative lebih penting, karena semua
cabang filsafat tersebut pada prinsipnya bermuara pada persoalan asasi mengenai
esensi manusia, yang tidak lain merupakan persoalan yang secara spesifik
menjadi objek kajian filsafat manusia.
Dibandingkan
dengan ilmu-ilmu tentang manusia (human studies), filsafat manusia mempunyai kedudukan
yang kurang lebih “sejajar” juga, terutama kalau dilihat dari objek
materialnya. Objek material filsafat manusia dan ilmu-ilmu tentang manusia
(misalnya antropologi dan psikologi) adalah gejala manusia. Baik filsafat
manusia maupun ilmu-ilmu tentang manusia, pada dasarnya bertujuan untuk
menyelidiki, menginterpretasi, dan memahami gejala-gejala atau
ekspresi-ekspresi manusia. Ini berarti bahwa gejala atau ekspresi manusia, baik
merupakan objek kajian untuk filsafat manusia maupun untuk ilmu-ilmu tentang
manusia.
Akan
tetapi, ditinjau dari objek formal atau metodenya, kedua jenis “ilmu” tersebut
memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Secara umumdapat dikatakan, bahwa
setiap cabang ilmu-ilmu tentang manusia mendasarkan penyelidikannya pada gejala
empiris, yang bersifat “objektif’ dan bisa diukur dan gejala itu kemudian
diselidiki dengan menggunakan metode yang bersifat observasional dan/atau
eksperimental. Sebaliknya, filsafat manusia tidak membatasi diri pada gejala
empris. Bentuk atau jenis gejala apapun pada manusia, sejauh bisa dipikirkan,
dan memungkinkan untuk dipikirkan secara rasional, bisa menjadi bahan kajian
filsfat manusia. Aspek-aspek, dimensi-dimensi, atau nilai-nilai yang bersifat
metafisis, spiritual, dan universal dari manusia, yang tidak bisa diobservasi
dan diukur melalui metode-metode keilmuan, bisa mnejdai bahan kajian terpenting
bagi filsafat manusia. Aspek-aspek, dimensi-dimensi, atau nilai-nilai tersebut
merupakan sesuatu yang hendak dipikirkan, dipahami, dan diungkap maknanya oleh
filsafat manusia.
B.
MANFAAT MEMPELAJARI FILSAFAT MANUSIA
Filsafat
manusia menyoroti gejala dan kejadian manusia secara sintesis dan reflektif.
Dan memiliki cirri-ciri ekstensif, intensif dan kritis. Kalau betul demikian,
maka dengan mempelajari filsafat manusia berarti kita dibawa ke dalam suatu
panorama pengetahuan yang sangat luas, dalam, dan kritis, yang menggambarkan
esensi manusia. Panorama pengetahuan seperti itu paling tidak, mempunyai
manfaat ganda, yakni manfaat praktis dan teoretis.
Secara
paktis filsafat manusia bukan saja berguna untuk mengetahui apa dan siapa
manusia secara menyeluruh, melainkan juga untuk mengetahui siapakah
sesungguhnya diri kita di dalam pemahaman tentang manusia yang menyeluruh itu.
Pemahaman yang pada gilirannya akan memudahkan kita dalam mengambil
keputusan-keputusan praktis atau dalam menjalankan berbagai aktivitas hidup
sehari-hari, dalam mengambil makna dan arti dari setiap peristiwa yang setiap
saat kita jalani, dalam menentukan arah dan tujuan hidup kita, yang selalu saja
tidak gampang untuk kita tentukan secara pasti, dan seterusnya. Sedangkan,
secara teoretis filsafat manusia mampu memberikan kepada kita pemahaman yang
esensial tentang manusia, hingga pada gilirannya kita bisa meninjau secar
kritis asumsi-asumsi yang tersembunyi di balik teori-teori yang terdapat di
dalam ilmu-ilmu filsafat.
Manfaat
lainnya mempelajari filsafat manusia adalah mencari dn menemukan jawaban
tentang siapakah sesungguhnya manusia itu. Akan tetapi, seperti telah
disinggung di muka, filsafat manusia tidak menawarkan jawaban yang tuntas
(final) dan seraragam tentang manusia. Kita justru dihadapkan pada kenyataan
bahwa banyak filsuf memiliki pendapat yang berbeda tentang apa atau siapa
sebetulnya manusia. Mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara berbeda dan
menjwab pertanyaan-pertanyaan tersebut secara berbeda pula. Oleh sebab itulah,
setelah kita mempelajari filsafat manusia, maka paling tidak kita akan dapatkan
sebuah pelajaran berharga tentang kompleksitas manusia, yang tidak pernah
habis-habisnya dipertanyakan apa makna dan hakikatnya.
C.
HAKIKAT PRIBADI MANUSIA
Manusia
adalah makhluk Tuhan yang otonom, berdiri pribadi yang tersusun atas kesatuan
harmonic jiwa raga dan eksis sebagai individu yang memasyarakat.
1.
Sebagai makhluk yang Otonom.
Manusia
lahir dalam keadaan serba misterius. Artinya, sangat sulit untuk diketahui
mengapa. Bagaimana, dan untuk apa kelahirannya itu. Yang pasti diketahuinya
adalah manusia dilahirkan oleh sebutlah Tuhan melalui manusia lain (orang tua),
sadar akan hidup dan kehidupannya, dan sadar pula akan tujuan hidupnya (kembali
pada Tuhan).
Antara
ketergantungan (dependansi) dan otonomi (indepedensi) adalah dua unsure potensi
kontadiktif yang ada di dalam kesatuan dinamis, keberadaannya yang demikian ini
justru memberikan makna jelas kepada dirii pribadi manusia sebagai makhluk Sang
Pencipta. Analogikanlah dengan sebuah rumah batu yang kuat, kekuatannya itu
adalah warisan kodrat dari batu sebagai benda yang memang kuat.
2.
Sebagai Makhluk yang Berjiwa Raga
Unsur
jiwa dan raga manusia itu bukan hal yang berdiri sendiri. Keduanya berada di
dalam satu struktur yang menyatu menjadi “diri-pribadi”. Sehingga diri pribadi
manusia adalah “jiwa yang meraga” dan “raga yang menjiwa”. Artinya, jiwa
menyatu dengan raganya, dan raga menjadi satu dengan jiwanya. Kejiwaan
seseorang seharusnya terlihat dari tingkah laku badannya dan badan seseorang
itu seharusnya mencerminkan jiwanya.
“Jiwa
yang meraga”. Jiwa yang menjadi satu dengan raga, yaitu jiwa yang mewujud dalam
bentuk raga. Jiwa adalah suatu yang maujud, tidak berbentuk dan tidak berbobot.
Ia dapat dipahami dari kecenderungan-kecenderungan badan. Lihatlah, jika jiwa
seseorang dalam keadaan menderita, maka badannya lemah, mukanya muram dan
gelap. Tetapi, jika bahagia, maka badannya ringan, enerjik dan muka
berseri-seri. Adapun dalam jiwa, ada unsur-unsur yang sering kita kenal sebagai
“Tripotensi Kejiwaan” yaitu cipta, rasa dan karsa.
“Raga
yang menjiwa”. Raga yang menjadi satu dengan jiwa adalah suatu kecenderungan
fenomena badan yang menjadi bersifat kejiwaan. Raga adalah sesuatu yang maujud,
berbentuk dan berbobot (berukuran).
Diri
pribadi manusia yang berbentuk atas jiwa yang meraga dan raga yang menjiwa ini
sebenarnya dapat terjadi karena suatu sebab, yaitu dominasi jiwa atas badannya.
Jiwa manusia itu tidak sama dengan jiwa hewan. Jiwa manusia adalah
berkesadaran. Sadar aka nasal-mula dan tujuannya. Kesadarn jiwa ini selanjtnya
membentuk perbedaan badan manusia, dengan segal gerak-geriknya, dengan
badan-badan hewan.
Menurut
posisinya, jiwa manusia itu bertabiat di dalam badan. Artinya jiwa mempunyai
kekuasaan atas badan. Jiwa yang sehat, pasti akan membuat badan menjadi sehat,
tetapi badan yang sehat belum tentu bisa membuat bisa membuat jiwa munjadi
sehat.
3.
Sebagai Makhluk Individu yang Memasyarakat.
Seperti
hubungan antara “jiwa dan raga”, kedudukannya sebagai individu dan anggota
masyarakat juga berada didalam suatu struktur kesatuan. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa manusia adalah makhluk individu yang memasyarakat dan sekaligus
makhluk social yang mengindividu.Mentalitas seseorang dapat menjadi sumber yang
berpengaruh kuat terhadap perkembangan mentalitas masyarakatnya dan masyarakat
sendiri dapat memberikan kontrol terhadap dinamika mentalitas seseorang.
•
Individu yang memasyarakat
Dalam
kenyataannya yang kongkretnya, kelahiran manusia adalah satu persatu, orang
seorang, karena itu, ia lahir secara individual sebagai suatu diri pribadi yang
berbeda dan terpisah dengan yang lain diantara sesamanya, termasuk ibu (orang
tua) yang melahirkannya.
Akan
tetapi, manusia lahir dengan segala keadaan yang serba lemah keberadaan dan
hidupnya hanya bisa bergantung pada pihak lain, ibunya, bapaknya,
saudara-saudaranya, tetangganya dan jika sudah mulai dewasa semakin terlihat dengan
orang lain seluas-luasnya. Ini adalah realitas tidak bisa dihindari sama
sekali. Memang harus begitu, karena memang sudah merupakan, hukum alam.
Tetapi
sebagai individu yang berdiri pribadi, ia memiliki otonomi dan kebebasan (jiwa
yang bebas). Ia mempunyai hak untuk berbuat atau tidak berbuat.
•
Masyarakat yang mengindividu.
Kalimat
ini mengandung arti bahwa masyarakat menciptakan individu-individunya dalam
berbagai hal, seperti sifat mentalitas, karakteristik dan sikap pribadi.
Lihatlah pada tingkat yang paling inti orang tua pada umumnya ingin
anak-anaknya berkembang sesuai dengan imajinasinya.
Orang
tua cendrung mendidik anak-anaknya dengan mendikte-kan apa saja, karena ia
merasa memiliki mereka. Orang tua membentuk sifat-sifat dan sikap moral anak-anaknya
dengan kurang memperhatikan potensi kodrat mereka masing-masing.
Oleh
sebab itu, ideal jika masyarakat adalah taraf perkembangan individu dalam
menyelenggarakan hidup dan mengembangkan kehidupannya jadi yang real adalah
individu, bukan masyarakat; yang berkuasa adalah individu, bukan masyarakat;
yang berdiri sebagai subjek adalah individu, bukan masyarakat; dan masyarakat
adalah suatu kesadaran tertentu, demi keteraturan kehidupan bersama sedemikian
rupa sehingga setiap individu mendapatkan kesempatan untuk memerankan dirinya
sebagai manusia yang otonom dan bebas. Masyarakat itu sebenarnya hanya ada
didalam angan-angan setiap orang (kesadaran), dan yang ada didalam kenyataan
konkret adalah individu-individu dengan segala macam tingkah lakunya. Maka
jenis, bentuk, dan sifat tingkah laku seseorang itu menunjukkan “suatu
sosialitas”.
D.
Eksistensi Manusia
Manusia
dalam eksistensinya yang konkrit atau caranya berada, maka nampaklah bahwa dia
bukan lah “monade “ atau barang yang terpisah, tanpa hubungan dengan apapun
juga. Seperti yang pernah diajarkan oleh Filsuf G.W. Leibnitz. Kita tidak
mengerti siapakah manusia itu, kecuali sebagai serba terhubung dengan segala
sesuatu. Kita tidak bisa berbicara tentang manusia, kecuali dengan mengakui
kesatuannya dengan segala sesuatu. Masing-masing dari kita tidak bisa memiliki
keterangan dan pengertian yang lebih jelas tentang diri kita sendiri, tetapi
dengan menunjuk hubungannya dengan alam semesta.
Dalam
hubungan penguraian ini, yang terdahulu dikemukakan adalah hubungan manusia
dengan alam jasmani. Hal ini tidaklah berarti bahwa hubungan itu terlebih
dahulu dari pada hubungan kita dengan sesama manusia. Demikianlah manusia itu
mengerti, mengalami dan merasakan alam jasmani. Dengan demikian ia memasuki
alam jasmani. Dan hanya dengan demikian itu ia menjadi sadar akan dirinya
sendiri.
Jadi
dengan hanya “ke luar” dari dirinya sendiri ia memasuki dirinya sendiri.
Mahusia itu adalah sesuatu yang dengan mengasing dirinya sendiri, dari dirinya
sendiri, menemukan dirinya sendiri, dalam dirinya sendiri.
Dengan
meminjam filsafat modern dewasa ini dari tokoh Eksistensialisme Gabriel Marcel,
maka caranya manusia berada itu kita sebut: ‘etre-au-monde’ (ada di dunia),
‘etre in-carne’ (ada yang mendaging), ‘geist-in-welt’ (ruh di dunia), atau
dengan meminjam istilah Fredich Hegel orang bisa juga berkata bahwa manusia itu
‘berdialektik’.
Eksistensialisme
ialah suatu aliran fil asat di abad XX ini berseru kepada aliran Materialisme,
bahwa manusia itu bukanlah hanya obyek belaka dan seterusnya berseru kepada
aliran Idealisme, bahwa manusia itu bukanlah hanya kesadaran belaka.
Manusia
itu adalah eksistensi . Apakah artinya itu?
Untuk
mengerti hal ini, pandanglah manusia didunia ini . ia mengakui dirinya dan
menyebut dirinya “aku”. Hal ini Nampak dalam semua perbuatan manusia sebab tiap
perbuatan manusia disebut perbuatanku. Selanjutnya manusia itu menentukan
situasinya, memilih perbuatannya, mengadakan aksi-reaksi. Ia berjuang dan
melawan, ia menyelenggarakan hidupnya. Dengan kata lain ia adalah ia sendiri,
ia mengalami diri sendiri sebagai pribadi. Disamping itu manusia tidak hanya
sibuk dengan diri sendiri, tetapi ia juga sibuk dengan dunia luar, ia
mengerjakan dunia luar dan dengan berbuat itu ia mempergunakan barang-barang,
ia seolah mencurahkan dirinya kedunia luar. Justru dengan demikian ia bisa
berkata: aku sedang ini atau itu (misalnya mencangkul sawah). Dengan keluar
dari dirinya sendiri itu, manusia sampai kedirinya sendiri, menemukan dirinya
sendiri berarti mengakui, mengalami adanya,berdirinya. Itulah yang oleh kaum
‘Eksistensialis’ disebut ‘eksistensi’. Eks berarti keluar, sistensia berarti
berdiri. Jadi eksistensi berarti : berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar
dari diri sendiri. Pikiran seperti ini dalam kalangan bangsa Jerman diterangkan
dengan istilah : Dasein. Filsuf Heidegger berkata: “Das Wesen des Daseins
Lieght in seiner Esistenz’, yang artinya : De sein tersusun dari Dad an sein.
Dan
berarti disana. Sein berarti berada. Berada bagi manusia selalu berarti: da
atau disana, disuatu tempat. Tak mungkin ada manusia tampa bertempat. Bertempat
berarti terlihat dan bersatu dalam alam jasmani. Manusia itu sadar akan
tempatnya, sadar akan dirinya, yang berbeda dengan bertempat dari batu atau
pepohonan. Jadi dengan meng-eks atau keluar dan hanya dengan demikian manusia
sampai kepada kesadaran diri sendiri, berdiri sebagai AKU atau pribadi.
Nampaklah persamaan antara Desein dan Eksistensi, Eksistensi lebih menunjuk
pangkalannya, sedangkan Dasein lebih memperhatikan kehadirannya.
Dalam
hubungan kesaran manusia tentang eksistensinya, terdapat3 (tiga) buah jenis
eksistensi manusia yaitu :
a.
Eksistensi Kultural adalah kesadaran manusia bahwa untuk tetap lestari dalam
hidup dan kehidupan ini manusia haruslah berusaha menguasai dan menaklukkan
alam ini. Kesadaran inilah yang merupakan landasan pokok terciptanya kebudayaan
manusia.
b.
Eksistensi sosial adalah kesadaran manusia, bahwa dalam hidup dan kehidupannya
didunia ini manusia serba terhubung dengan manusia lain. Manusia saling
tergantung dengan sesamanya manusia . kesadaran inilah yang merupakan dasar
hakiki timbulnya masyarakat.
c.
Eksistensi religius adalah kesadaran manusia tentang keterhubungannya sebagai
makhluk dengan khaliknya atau penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa .
kesadaran inilah sebagai sumber adanya agama.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Filsafat
manusia atau antropologi filsafati adalah bagian integral dari system filsafat,
yang secar spsesifik menyoroti hakikat atau esensi manusia. Sebagai bagian dari
system filsafat, secara metodis ia mempunyai kedudukan yang kurang lebih setara
dengan cabang-cabang filsafat lainnya, seperti etika, kosmologi, epistimologi,
filsafat sosial, dan estetika. Tetapi secara ontologism (berdasarkan pada objek
kajiannya), ia mempunyai kedudukan yang relative lebih penting, karena semua
cabang filsafat tersebut pada prinsipnya bermuara pada persoalan asasi mengenai
esensi manusia, yang tidak lain merupakan persoalan yang secara spesifik
menjadi objek kajian filsafat manusia.
Filsafat
manusia menyoroti gejala dan kejadian manusia secara sintesis dan reflektif.
Dan memiliki cirri-ciri ekstensif, intensif dan kritis. Kalau betul demikian,
maka dengan mempelajari filsafat manusia berarti kita dibawa ke dalam suatu
panorama pengetahuan yang sangat luas, dalam, dan kritis, yang menggambarkan
esensi manusia. Panorama pengetahuan seperti itu paling tidak, mempunyai
manfaat ganda, yakni manfaat praktis dan teoretis.
Manusia
adalah makhluk Tuhan yang otonom, berdiri pribadi yang tersusun atas kesatuan
harmonic jiwa raga dan eksis sebagai individu yang memasyarakat.
Manusia
dalam eksistensinya yang konkrit atau caranya berada, maka nampaklah bahwa dia
bukan lah “monade “ atau barang yang terpisah, tanpa hubungan dengan apapun
juga. Seperti yang pernah diajarkan oleh Filsuf G.W. Leibnitz. Kita tidak
mengerti siapakah manusia itu, kecuali sebagai serba terhubung dengan segala
sesuatu. Kita tidak bisa berbicara tentang manusia, kecuali dengan mengakui
kesatuannya dengan segala sesuatu. Masing-masing dari kita tidak bisa memiliki
keterangan dan pengertian yang lebih jelas tentang diri kita sendiri, tetapi
dengan menunjuk hubungannya dengan alam semesta.
DAFTAR
PUSTAKA
Abiding,
Zainal.______.Filsafat Manusia.______
Burhanudin,
Salam. 1988. Filsafat Manusia Antropologi Metafisika. Jakarta : Bina Aksara
Leahy,
Louis. 1993. Manusia, Sebuah Misteri. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
Ricoeour,
Paul. 1982. Hermeneutics and Human sciences. London : Cambridge University
Press
Sudarsomo.
1993. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta : PT. Rineka Cipta
Suparlan,
Suharto. , 2005. Dasar Filsafat Manusia. Jogjakarta : Ar.Ruzz Media
No comments:
Post a Comment