Sebuah Pengantar
Etnografi
merupakan salah satu dari sekian pendekatan dalam Penelitian Kualitatif. Dalam
istilah Yunani, ethnos, berarti masyarakat, ras atau sebuah kelompok
kebudayaan, dan etnografi berarti sebuah ilmu yang menjelaskan cara hidup
manusia. Pada perkembangan selanjutnya dalam etnografi terjadi banyak
perdebatan tentang cara bagaimana manusia (baca peneliti – ‘self’) menjelaskan
cara hidup manusia lainnya (‘yang diteliti’ – ‘other’) – termasuk di dalamnya
tentang cara-cara bagaimana peneliti melihat ‘yang lainnya’ untuk kemudian
‘menceritakannya’ kepada manusia lainnya (baca: orang-orang yang
‘berkepentingan’ terhadap manusia ‘yang diteliti’). Etnografi juga diartikan
sebagai sebuah pendekatan untuk mempelajari tentang kehidupan sosial dan budaya
sebuah masyarakat, lembaga dan setting lain secara ilmiah, dengan menggunakan
sejumlah metode penelitian dan teknik pengumpulan data untuk menghindari bias
dan memperoleh akurasi data yang meyakinkan.
Bagaimana
pun para ilmuwan dan peneliti sosial mengartikannya, tampak ada kesepakatan
untuk mengatakan bahwa etnografi menempatkan perspektif masyarakat yang berada
di dalam setting penelitian sebagai hal yang terpenting. Apa yang dilakukan
orang-orang sebenarnya, dan alasan-alasan mereka melakukannya menjadi hal
pertama yang harus ditemukan dalam penelitian etnografi – sebelum kita
(kemudian) menentukan interpretasi atas tindakan mereka dari pengalaman atau
profesionalitas atau disiplin akademis kita dalam analisa. Dalam Antropologi,
interpretasi atas tindakan masyarakat tersebut kemudian ‘digunakan’ untuk
menjelaskan dan terus memperdebatkan teori-teori budaya; bagi pembuat kebijakan
interpretasi tersebut digunakan untuk menganalisa kebijakan.
Penelitian
etnografi kadang membutuhkan waktu panjang, dan interaksi temu muka dengan
masyarakat di suatu daerah dengan menggunakan sejumlah metode pengumpulan data.
Pada awal abad 20 seorang peneliti etnografi bisa menghabiskan rata-rata 2-3
tahun untuk tinggal bersama dengan masyarakat di suatu daerah – karena
dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang masyarakat dan kebudayaannya. Saat
ini penelitian etnografi lebih difokuskan pada permasalahan lebih spesifik,
tidak lagi memotret masyarakat dengan kebudayaannya yang begitu luas sehingga
waktu yang diperlukan bisa menjadi lebih singkat. Permasalahan spesifik dilihat
dari kacamata masyarakat yang ‘diteliti’ – misal: Penanganan penyakit menular
pada masyarakat Sumba. Permasalahan yang lebih fokus akan membuat penelitian
semakin mendalam, dengan tentu saja menghemat waktu, tenaga, dan biaya. Namun
lamanya waktu penelitian ditentukan terutama oleh metode pengumpulan data yang
dipakai yang juga tergantung pada permasalahan validitas data – bukan hanya
permasalahan penghematan biaya penelitian.
Etnografi, Kebudayaan dan
Masyarakat
Secara
umum etnografi disebut sebagai ‘menuliskan tentang kelompok masyarakat’. Secara
khusus hal tersebut juga berarti menuliskan tentang kebudayaan sebuah kelompok
masyarakat. Disebutkan bahwa seluruh manusia, dan juga beberapa binatang
(seperti simpanse, orangutan, gorila) menciptakan, mentransmisikan, membagi,
merubah, menolak, dan menciptakan kembali budaya di dalam sebuah kelompok.
Semua peneliti etnografi memulai, dan mengakhiri penelitiannya dengan berfokus
pada pola-pola ini, dan sifat-sifat yang ‘dipersamakan’ atau ‘disepakati’
bersama, membentuk sebuah kebudayaan masyarakat. Dokumen yang dihasilkan dari
fokus tersebut disebut dengan etnografi.
Kebudayaan
bukan sebuah sifat individual. Meskipun demikian seorang individu bisa disebut
sebagai menciptakan pola-pola budaya dengan menemukannya dan
mengkomunikasikannya dengan yang lainnya. Bentuk atau unsur budaya ada hanya
ketika hal tersebut dibagi (shared) – dengan orang lain di dalam kelompok.
Kebudayaan terdiri dari pola-pola perilaku dan kepercayaan kelompok yang
berlangsung secara terus menerus. Karenanya, sebuah kelompok (bahkan kelompok
kecil sekali pun) harus mengadopsi perilaku atau kepercayaan dan
mempraktekkannya secara terus menerus jika hal tersebut akan didefinisikan
sebagai sifat budaya daripada sebagai pribadi atau individual.
Kebudayaan
juga bisa diperlakukan sebagai sebuah fenomena mental, sebagai segala sesuatu
yang ada dalam pengetahuan, kepercayaan, yang dipikirkan, dipahami, dirasakan,
atau maksud mengapa orang melakukan sesuatu. Kebudayaan bisa diperlakukan
secara perilaku dalam kerangka apa yang orang lakukan sebagaimana yang
teramati, sebagaimana yang dikatakan (yang dilaporkan), atau sebagai ‘norma’
(yang diharapkan) melawan ‘praktis’ (yang aktual). Pola-pola tersebut dikenal
sebagai: pola-pola dari perilaku (patterns of behaviour), dan pola-pola bagi
perilaku (patterns for behaviour). Pola-pola dari perilaku merepresentasikan
variasi-variasi perilaku atau pilihan-pilihan di dalam kelompok. Pola-pola bagi
perilaku merepresentasikan ekspektasi budaya terhadap perilaku – apa yang
diharapkan secara budaya dari perilaku seseorang.
Meskipun
kebudayaan didefinisikan sebagai sesuatu yang dibagi (di antara orang-orang
dalam sebuah kelompok masyarakat), kita tidak bisa menyatakan bahwa setiap
orang dalam di dalam kelompok sosial atau budaya mempercayai hal yang sama,
atau berperilaku dengan cara yang sama. Di dalam setiap kelompok dan segala
ranah kebudayaan yang bisa kita bayangkan, variasi substansial akan muncul.
Sebagai contoh, sikap, kepercayaan dan perilaku masyarakat akan bervariasi
tergagantung pada etnis, identitas rasial, gender, identitas gender, status dan
kelas sosial, tingkat pendidikan, umur, tempat tinggal, dan faktor lain yang
relevan di dalam permasalahan sosial dan politik kehidupan. Peristiwa-peristiwa
bersejarah yang unik, lingkungan, ruang, dan tempat juga bisa mempengaruhi
variasi perilaku atau kepercayaan individual sebagai bagian dari sebuah
kelompok. Variasi tersebut menjadi pertimbangan kritis di dalam penelitian
etnografi dalam kerangkan menghindari stereotip , dan jaminan untuk
mendengarkan semua pendapat di dalam setting – tidak hanya mendengarkan suara
dari satu orang saja.
Bicara
etnografi tidak bisa dilepaskan dari permasalahan definisi kebudayaan, di mana
dari proses berbagi (share) di dalamnya terbentuk suatu kelompok orang-orang,
lembaga atau masyarakat. Penelitian etnografi tidak bisa dilepaskan dari
permasalahan kebudayaan masyarakat di dalam setting tertentu. Etnografi itu
sendiri juga menjadi sebuah cara untuk memperbicangkan teori-teori kebudayaan
melalui fenomena yang diteliti di lapangan. Etnografi membangun teori
kebudayaan – atau penjelasan tentang bagaimana orang berpikir, percaya, dan
berperilaku – yang disituasikan dalam ruang dan waktu setempat.
Penelitian di lingkungan alamiah
(natural setting)
Penelitian
etnografi dilakukan di lingkungan alamiah (natural setting) tempat di mana
‘yang diteliti’ (baca: masyarakat, lembaga atau kelompok manusia) hidup – bukan
penelitian yang dilakukan di laboratorium atau lingkungan buatan lainnya. Dalam
penelitian etnografi peneliti datang ke tempat di mana masyarakat atau kelompok
tinggal untuk ‘mengalami bersama’ apa yang mereka lakukan sehari-hari. Dari
pengalaman bersama dengan ‘yang diteliti’ ini diharapkan peneliti bisa memahami
bagaimana kehidupan sosial dan budaya dari sudut pandang mereka. Rumah, sawah, rumah
sakit, pasar, mal, ruang kelas, ruang tunggu, dan MCK umum hanyalah sebagian
kecil setting alamiah, tempat di mana orang-orang bisa berinteraksi satu dengan
yang lainnya – dan tentunya peneliti harus mengunjunginya untuk bisa melihat
‘yang diteliti’ dalam setting alamiahnya.
Peneliti
tidak bisa mengubah setting alamiah dalam penelitian etnografi – misalnya
dengan membuat sawah baru, model ruang tunggu dengan alasan ‘kemudahan’
penelitian. Namun dalam beberapa metode pengumpulan data di dalam etnografi
peneliti bisa ‘mengontrol’ setting – misal: dengan mengundang beberapa anggota
masyarakat ke balai desa setempat untuk melakukan focus group interview dan
focus group discussion.
Interaksi
manusia dengan lingkungan alam dan sosialnya menjadi hal yang penting karena di
dalamnya juga bisa terlihat bagaimana manusia berbagi – pengetahuan,
nilai-nilai, perilaku – yang kemudian disebut sebagai bentuk kebudayaan. Hal
tersebut menjadi pertimbangan mengapa peneliti tidak bisa mengubah setting.
Metode focus group interview juga tidak menjadi satu-satunya cara yang dipilih
untuk mengumpulkan data dalam etnografi. Sebagai sebuah penelitian yang
menggunakan sejumlah teknik pengumpulan data, hasil yang didapat dari focus
group interviews akan di cek ulang dengan informasi yang didapat dari teknik
lainnya –melalui observasi dan wawancara mendalam yang dilakukan di dalam
setting alamiah.
Peneliti sebagai alat pengumpul
data
Etnografi
menggunakan peneliti sebagai alat pengumpul data – melalui indera penglihatan,
pendengaran, dan perasa. Melalui kegiatan wawancara dan observasi peneliti
mengumpulkan data untuk kemudian merumuskan permasalahan, dan mencari
pemecahannya. Keberadaan peneliti sebagai alat pengumpul data ini juga
menimbulkan perdebatan panjang berkenaan dengan validitas dan reliabilitas
ketika etnografi dibandingkan dengan metode penelitian lainnya – terutama yang
tidak menggunakan peneliti sebagai alat pengumpul data. “Ilmu pengetahuan yang
obyektif” menjadi sesuatu yang memberatkan, ketika keberadaan peneliti, dan
interaksinya dengan ‘yang diteliti’ di lapangan memungkinkan terjadinya ‘bias ’
dalam data yang dihasilkan.
Sebagian
peneliti percaya bahwa metode yang digunakannya dalam penelitian etnografi bisa
dan harus netral dan bebas nilai, meskipun mereka menyadari bahwa nilai-nilai
peneliti (yang dibawa di dalam kepalanya) memainkan peranan penting dalam
penyeleksian pertanyaan penelitian. Para peneliti juga menyadari bahwa nilai
dan kepentingan mempengaruhi bagaimana hasil penelitian akan digunakan. Mereka
yang berpendapat demikian juga sepakat untuk menggunakan beberapa metode dan
teknik pengumpulan data sekaligus untuk mengatasi permasalahan obyektivitas
ini.
Pada
banyak kasus, peneliti diharuskan tinggal bersama dengan ‘yang diteliti’ di
dalam setting alamiah mereka. Ketika itu pula dibangun suatu hubungan
mutualisme di mana peneliti juga harus membantu ‘yang diteliti’ untuk
menyelesaikan permasalahan mereka, yang mungkin menjadi permasalahan
penelitiannya. Kedekatan yang dibangun selama berada di lapangan dalam rangka
mendapatkan jawaban yang lebih mendalam, bisa jadi akan berpengaruh di dalamnya
– terutama bila peneliti harus bekerja sama dengan orang-orang di dalam setting
yang berbeda pendapat, atau saling berlawanan. Kedekatan akan berpengaruh pada
peneliti – dalam intepretasi data ketika menuliskan dan menggambarkan ‘yang
lain’, juga ketika cara penyelesaian masalah ditentukan dalam kerangka membantu
‘yang lain’.
Serangkaian
teknik pengumpulan data digunakan – seperti observasi, wawancara, survey dan
sampel populasi, focus group interviews, metode audiovisual, pemetaan,
penelitian jaringan. Dalam satu penelitian etnografi bisa digunakan beberapa
metode pengumpulan data sekaligus dengan tujuan saling melengkapi –
menghilangkan ‘bias’ menjadi salah satu alasan di dalamnya.
Penggunaan
data kuantitatif dan kualitatif sekaligus merupakan hal yang biasa dilakukan
dalam etnografi. LeCompte & Schensul (1999) menyebut peneliti etnografi
sebagai ‘pengumpul segala data’ – mereka menggunakan segala bentuk data yang
mungkin saja bisa memperjelas jawaban yang menjadi pertanyaan penelitian.
Secara umum peneliti menyelenggarakan penelitian awal secara kualitatif
terlebih dulu untuk mengetahui apa yang terjadi di suatu tempat tertentu. Baru
kemudian mereka menentukan variabel kunci dan ranah yang akan diteliti secara
kuantitatif. Pengukuran kuantitatif digunakan untuk memverifikasi penemuan
kualitatif.
Observasi dan wawancara dalam
etnografi
Observasi
dan wawancara adalah cara pengumpulan data yang umum dilakukan dalam penelitian
etnografi. Keduanya dilakukan bersamaan di dalam setting alamiah ‘yang
diteliti’, dan saling melengkapi untuk mendapatkan gambaran tentang ‘yang
lain’. Observasi dan wawancara menggunakan peneliti sebagai alat pengumpul data
– melalui indera (penglihatan, pendengaran, dan perasa), dan kemampuan untuk
berkomunikasi.
Observasi
dan wawancara dalam etnografi tidak bisa dilepaskan dari partisipasi, yang
berarti peneliti hampir sepenuhnya ‘menenggelamkan diri’ di dalam kehidupan
bersama masyarakat yang diteliti. Kegiatan ini kemudian dikenal sebagai
pengamatan partisipatif (participant observation). Dalam pengertian
tradisionalnya pengamatan partisipatif berarti juga pengamalan ‘menenggelamkan
diri’ – di mana peneliti belajar hidup di dalam masyarakat sebagai anggota dan
penduduk tetap. Disebut sebagai ‘pengalaman belajar (untuk) hidup’ karena
biasanya peneliti tidak punya pengetahuan tentang kebudayaan masyarakat di mana
ia akan tinggal, dan kemudian mempelajarinya melalui keterlibatannya sebagai
anggota di dalamnya. Dalam pengertian modern, pengamatan partisipatif tidak
mengharuskan peneliti untuk terlibat secara penuh, menjadi anggota masyarakat
‘yang diteliti’ atau penduduk tetap. Partisipasi di sini bisa diartikan sebagai
sebuah rangkaian waktu – keberlanjutan.
Observasi
merujuk pada segala sesuatu yang dapat teramati melalui indera penglihatan
peneliti etnografi. Observasi selalu mengalami ‘penyaringan’, melalui kerangka
interpretasi peneliti. Observasi yang paling akurat adalah yang dibentuk
melalui kerangka teoritis dan perhatian yang teliti terhadap detail. Pengaruh
lain dalam observasi adalah bias personal dan nilai, dan teori yang tidak
teratikulasikan, yang justru tidak membantu. Peneliti etnografi harus memahami
dengan seksama permasalahan peneltian dan kerangka teoritis yang membentuknya,
sama baiknya dengan bias-bias yang mungkin akan muncul di dalamnya – sebagai
upaya untuk meminimalkan bias. Kualitas hasil pengamatan tergantung pada
kemampuan peneliti untuk mengamati, mendokumentasikan dan menginterpretasikan
apa yang bisa teramati.
Apa
yang diamati oleh peneliti etnografi akan berbeda selama berada di lapangan.
Peneliti menghabiskan hari (minggu atau bulan) pertamanya di lapangan untuk
melakukan orientasi – melakukan pengenalan terhadap situasi dan kondisi
setting. Keingingtahuan dan kebutuhan untuk mempelajari bagaimana harus
berperan menghadapi situasi baru menjadi faktor pendorong observasi yang baik.
Makin lama, pengamatan akan jadi semakin selektif.
Selain
kondisi lingkungan, peristiwa juga merupakan hal yang menjadi sasaran
pengamatan peneliti etnografi. Peristiwa didefinisikan sebagai kegiatan yang
berurutan yang terbatas pada ruang dan waktu. Peristiwa adalah kegiatan yang
lebih luas, lebih lama, dan melibatkan lebih banyak orang di dalamnya
dibandingkan dengan kegiatan tunggal.
Peristiwa
biasanya diselenggarakan di suatu tempat spesifik, dan mempunyai arti dan
tujuan khusu yang disepakati bersama oleh kebanyakan orang, meskipun penafsiran
individu atas arti peristiwa tersebut berbeda-beda – tergantung perbedaan di
antara para informan. Peristiwa biasanya melibatkan lebih dari satu orang,
punya kesejarahan dan kepentingan, dan berulang dalam periode waktu tertentu.
Pertanyaan tentang siapa, apa yang terjadi, di mana, kapan, mengapa dan untuk
siapa merupakan hal umum yang ditanyakan untuk memperoleh gambaran tentang
peristiwa.
Penghitungan,
pengambilan sensus, dan pemetaan merupakan hal lain yang penting dilakukan oleh
peneliti etnografi dalam observasi – untuk memperoleh gambaran yang lebih akurat
tentang keberadaan orang-orang, tempat, dan hal-hal lain di dalam lingkungan
sosial. Hal tersebut sangat membantu ketika kemampuan berbahasa lokal dan akses
terhadap lingkungan sangat terbatas. Data tersebut bisa dikumpulkan dari
berbagai tempat dan jangka waktu tertentu untuk memperlihatkan perbedaan
dariwaktu ke waktu.
Merupakan
tantangan bagi peneliti untuk mentransformasikan hasil observasi ke dalam
bentuk tulisan catatan lapangan, yang nantinya menyatakan sebuah rekaman ilmiah
dari pengalaman sebagai referensi di masa yang akan datang. Semakin lengkap dan
akuratnya catatan lapangan, semakin mempermudah peneliti (lain) untuk
menggunakannya sebagai data. Seorang peneliti harus menyadari bahwa catatan
lapangannya dibuat bukanuntuk dirinya sendiri melainkan juga untuk orang lain –
bahkan bila catatan tersebt dibuat dengan sangat detail akan terlihat pola-pola
yang terjadi di dalamnya, yang tidak teramati dengan hanya menuliskan satu
bagian cerita saja.
Saat
ini detail penulisan telah banyak dibantu oleh teknologi film dan fotografi –
yang dikenal dengan sebutan film etnografi, dan fotografi etnografi. Film dan
fotografi etnografi harus bisa menggambarkan kebudayaan yang direkam – menjadi
representasi kebudayaan orang-orang di dalam setting. Namun narasi tetap
diperlukan di dalamnya untuk lebih memberikan gambaran yang jelas tentang
peristiwa budaya yang direkam.
Wawancara
dalam etnografi digunakan untuk menggali lebih dalam informasi dari topik yang
telah ditentukan, mengetahui riwayat hidup, memahami pengetahuan dan
kepercayaan, dan penjelasan tentang tindakan. Secara teknis terdapat dua macam
wawancara yang umumnya digunakan dalam etnografi, yaitu: 1) wawancara mendalam
(in-depth interview), dan 2) wawancara terbuka (open-ended interview).
Wawancara mendalam merujuk pada eksplorasi segala dan semua aspek sebuah topik
secara detail. Sementara wawancara terbuka membiarkan respon terbuka pada
penilaian yang diwawancara dan tidak terikat pada pilihan yang disediakan oleh
pewawancara atau membatasi pada sepotong jawaban. Tidak ada jawaban yang benar
, dan yang diwawancara tidak dihadapkan pada serangkaian alternatif pilihan.
Eksplorasi merujuk pada tujuan wawancara – untuk mengeksplorasi bidang-bidang
yang diyakini penting untuk dipelajari dan baru sedikit diketahui. Bentuk
pertanyaan terbuka dan eksploratif ini memungkinkan peneliti untuk menggunakan
fleksibilitasnya secara maksimal di dalam mengeksplorasi topik secara mendalam,
dan membuka topik baru yang muncul di dalamnya.
Tujuan
utama wawancara terbuka adalah mengeksplorasi bidang yang belum dijelaskan
dalam model jaringan konsep; mengidentifikasi bidang baru; merinci
bidang-bidang ke dalam bagian faktor-faktor, dan sub-faktor; mendapatkan
informasi terarah tentang konteks dan sejarah tentang permasalahan yang
diteliti dan lokasi penelitian; membangun pemahaman dan hubungan positif antara
pewawancara dan orang yang diwawancara. Sebuah wawancara eksploratif
membutuhkan ingatan yang selalu waspada, pemikiran logis, dan kemampuan
komunikasi yang bagus.
Wawancara
eksploratif bertujuan untuk memperluas pengetahuan peneliti tentang
permasalahan yang hanya sedikit diketahuinya. Orang-orang yang diidentifikasi
oleh peneliti dan anggota masyarakat sebagai ‘mempunyai pengetahuan yang baik’
tentang topik yang akan dieksplorasi dipilih sebagai informan kunci atau ahli
budaya, untuk kemudian diwawancara. Perlu dilakukan seleksi untuk memilih
informan kunci yang terbaik – yang punya pengetahuan terbanyak tentang topik
yang ditanyakan.
Representasi
bukan menjadi tujuan utama wawancara mendalam – namun penguasaan atas topik
yang ditanyakan menjadi lebih penting di dalamnya. Meskipun demikian beberapa
faktor utama tetap harus dipertimbangkan dalam pemilihan informan kunci –
seperti etnisitas, kelas sosial, dan umur – yang mungkin mempengaruhi batas
pada perpsektif mereka. Sebagai contoh: pengaruh televisi pada budaya lokal
akan dipersepsikan berbeda antara informan yang berusia di atas 50 tahun,
dengan remaja berusia belasan tahun. Faktor etnisitas menjadi penting karena
mereka yang disebut sebagai ‘penduduk asli’ akan mempunyai perspektif berbeda
tentang kebudayaan lokal dibandingkan dengan ‘pendatang’.
Wawancara
dan observasi yang eksploratif dituntun oleh rencana penelitian (research
design), dan terutama oleh pertanyaan penelitian dan beberapa pertanyaan umum
ang dimiliki oleh peneliti tentang topik spesifik yang akan dieksplorasi. Proses
wawancara dan observasi lebih lanjut dituntun oleh hipotesis awal atau
dugaan-dugaan tentang pola-pola budaya, hubungan-hubungan sosial, dan mengapa
beberapa hal terjadi demikian. Dengan demikian, meskipun terbuat di dalam kedua
bentuk kegiatan pengumpulan data, peneliti juga terlibat di dalam formulasi
teoritis tingkat rendah yang akan diuji secara terus menerus terhadap model
teoritis yang telah terbentuk dan data baru yang muncul dari lapangan.
Observasi dan wawancara adalah dua aktivitas kritis yang memungkinkan peneliti
untuk memperkaya bentuk teori etnografis dengan menanyakan pertanyaan
interpretatif, dan mengamati perilaku yang menjadi kebiasaan dan tidak
disadari, untuk kemudian dengan sukarela diterangkan oleh pelakunya ke dalam
bentuk kata-kata.
Di
dalam observasi, kita mencoba untuk menangkap aspek penting dari apa yang kita
lihat dalam detai yang konkrit. Dalam wawancara, kita memakai tahap yang sama
tetapi dengan tambahan keunggulan dengan bisa menangkapnya melalui kata-kata
‘yang diteliti’ tentang apa yang mereka lihat, percaya dan melaporkannya untuk
sebuah topik yang spesifik. Dengan kata lain wawancara bisa menjelaskan hasil
pengamatan melalui kata-kata pelakunya sendiri.
Wawancara
dan observasi merupakan tantangan bagi peneliti karena sifatnya yang ‘tidak
terduga’. Tetapi justru ‘ketakterdugaan’ ini yang membuat keduanya jadi alat
yang menarik untuk eksplorasi pada awal hingga akhir penelitian – ketika hasil
awal muncul dan dibutuhkan verifikasi di dalam masyarakat ‘yang diteliti’.
Etnografi terapan
Sebagai
sebuah pendekatan untuk mempelajari kehidupan masyarakat, hasil penelitian
etnografi seakan dihadapkan pada dua pilihan kegunaan yaitu: 1) untuk berteori
tentang kebudayaan – berkenaan dengan fenomena masyarakat yang diteliti; dan 2)
memecahkan permasalahan di dalam masyarakat yang diteliti. Untuk kegunaan yang
ke-dua dikenal istilah etnografi terapan. Etnografi terapan adalah penelitian
etnografi yang lebih bertujuan pada identifikasi dan pemecahan masalah (problem
solving) yang terjadi dalam masyarakat atau kelompok – dengan tetap memakai
‘lensa’ masyarakat yang ‘diteliti’.
LeCompte
& Schensul (1999) mengatakan bahwa penelitian etnografi terapan selalu
berpusat pada 2 tujuan, yaitu: 1) memahami permasalahan sosiokultural di dalam
masyararakat atau lembaga; dan 2) menggunakan penelitian untuk memecahkan
permasalahan atau membantu menemukan perubahan positif di dalam lembaga atau
masyarakat. Penelitian etnografi terapan berkenaan dengan pemahaman
permasalahan sosial dan menggunakan pemahaman tersebut kepada sebuah perubahan
positif di dalam masyarakat, lembaga atau kelompok. Etnografi terapan
seringkali digunakan dalam studi kebijakan – karena dianggap bisa menyediakan
perspektif lain dari masyarakat ‘yang dikenai kebijakan’, dan bukan hanya
sekedar evaluasi atas implementasi kebijakan.
Hampir
sama dengan penelitian etnografi terapan, etnografi sebagai sebuah ilmu lebih
berfokus pada penciptaan teori-teori budaya – bagaimana teori budaya
diperdebatkan melalui studi etnografi. Etnografi sebagai sebuah ilmu
menghasilkan atau membangun teori-teori tentang budaya – atau
penjelasan-penjelasan bagaimana masyarakat berfikir, percaya dan berperilaku –
yang disituasikan dalam ruang dan waktu setempat. Meskipun demikian teori-teori
kebudayaan yang dihasilkan dalam satu penelitian etnografi bisa menjadi
hipotesis, pola-pola yang teramati, atau interpretasi yang akan dibangun dan
ditelusuri dalam setting yang serupa dalam penelitian etnografis lainnya – dan
tidak tertutup kemungkinan untuk kemudian digunakan dalam penelitian etnogafi
terapan.
Sebagai
sebuah bentuk pemecahan masalah, tentu akan lebih baik bila hasil yang didapat
dari studi etnografi ini berguna bagi masyarakat – di mana permasalahan
tersebut berawal. Permasalahan bisa diidentifikasikan oleh peneliti, dan tokoh
masyarakat di dalam sebuah setting di mana studi etnografi akan dilakukan.
Penelitian etnografi terapan akan menghasilkan sesuatu yang berguna bagi
anggota-anggota masyarakat atau lembaga di dalam setting di mana permasalahan
dipecahkan.
Penelitian
etnografi dilakukan untuk mengetahui cara pengobatan yang sesuai dengan konteks
kebudayaan masyarakat setempat – dan tentu saja apa yang bisa dilakukan oleh
pihak dinas kesehatan dan pemerintah daerah setempat dalam penanganan masalah
kesehatan masyarakat.
Dalam
pekerjaan etnografi terapan, peneliti bukan hanya berperan sebagai penerjemah
kata-kata dan perbuatan ‘yang diteliti’ tetapi juga menjadi salah satu pihak
yang berkepentingan (stakeholder) dalam penggunaan penelitian untuk memecahkan
masalah. Parapihak yang berkepentingan (stakeholders) adalah orang-orang yang
punya kepentingan dalam usaha untuk meyakinkan bahwa hasil-hasil yang didapat
dari penelitian digunakan untuk memecahkan masalah – yang menjadi tujuan
penelitian. Parapihak tersebut menjadi jurubicara dan penerjemah bersama dengan
peneliti etnografi, dan bekerjasama dengan peneliti etnografi untuk
mengkonstruksikan konteks sosial dan politik sebuah permasalahan, membaca dan
menginterpretasikan data etnografi bersama, dan menentukan cara-cara terbaik
dan efektif penggunaan hasil penelitian untuk kepentingan masyarakat.
Daftar Pustaka
Bernard, H. Russel
1994 “Methods Belong to All of
Us”, dalam Robert Borofsky (peny.) Assessing Cultural Anthropology, New York:
McGraw-Hill,Inc hlm.168-179.
Chambers, Robert
1997 Whose Reality Counts?:
Putting the first last, London: Intermediate Technology Publications.
Clair, Robert Patric (ed.)
2003 Expressions of Ethnography:
Novel approaches to qualitative methods, Albany: State University of New York
Press.
Denzin, Norman dan Yvonna S.
Lincoln (ed.)
2000 Handbook of Qualitative
Research, Second Edition, California: Sage Publication.
Ervin, Alexander M.
2000 Applied Anthropology: Tools
and Perspectives for Contemporary Practice, Boston: Allyn & Bacon.
Grimshaw, Anna
2001 The Ethnographer’s Eye: Ways
to Seeing in Modern Anthropology, Cambridge: Cambridge University Press.
Kuper, Adam
1999 Culture: The Anthropologists’
Account, Cambridge: Harvard University Press.
LeCompte, Margaret D. & Jean
J. Schensul
1999 Designing and Conducting
Ethnographic Research, Walnut Creek: Altamira Press.
Marcus, George E.
1994 “After the Critique of
Ethnography: Faith, Hope, and Charity, But the Greatest of These Is Charity”,
dalam Robert Borofsky (ed.) Assessing Cultural Anthropology, New York:
McGraw-Hill, Inc. , hlm.40-54.
Martin, Emily
1997 “Managing Americans: Policy
and changes in the meaning of work and self”, dalam Chris Shore & Susan
Wright (eds.) Anthropology of Policy: critical perspectives on governance and
power, London & New York: Routledge.
Schensul, Stephen L, Jean J.
Schensul & Margaret D. LeCompte
1999 Essential Ethnographic
Methods: Observations, Interviews and Questionairs, Walnut Creek: Altamira
Press.
Shore, Chris
1997 “Governing Europe: European
Union audiovisual policy and the politics of identity”, dalam Chris Shore &
Susan Wright (eds.) Anthropology of Policy: critical perspectives on governance
and power, London & New York: Routledge.
Vidich, Arthur J. dan Stanford M.
Lyman
2000 “Qualitative Methods: Their
History in Sosiology and Anthropology”, dalam (Denzin dan Lincoln, ed.),
Handbook of Qualitative Research, Second Edition, California: Sage Publication,
hlm. 37-65.
No comments:
Post a Comment