Soft power adalah
salah satu konsep yang diusung oleh Joseph S. Nye selain smart power. Soft
power adalah sebuah istilah yang mulai banyak digunakan untuk
mengartikan atau menjelaskan sebuah proses relasi dan realisasi kekuasaan.
Makna soft power sendiri dapat dilihat dari istilah ‘soft’
yang berarti ‘lunak’ atau ‘halus’ dan ‘power’, yakni suatu kemampuan
untuk melakukan segala sesuatu dan mengontrol pihak lain, untuk membuatnya
melakukan sesuatu yang belum tentu ingin mereka lakukan (“an ability to do
things and control others, to get others to do what they otherwise would not”).
Sehingga, soft power dapat didefinisikan sebagai sebuah
kemampuan suatu negara untuk mempengaruhi perilaku negara lain dengan cara
persuasif daripada dengan koersi atau maupun imbalan. Soft power ini
bersumber dari kebudayaan, nilai-nilai yang dianut dan elemen-elemen intangible lainnya
yang menjadi daya tarik:
“ Soft power is the
ability to get what you want through attraction rather than through coercion or
payments”– Joseph Nye
Menurut Nye, soft power suatu
negara bertumpu pada tiga sumber: “budaya (di tempat-tempat menarik bagi orang
lain), nilai-nilai politik (ketika mereka hidup di dalam dan di luar negeri),
dan kebijakan luar negeri (saat orang lain melihat negara ini memiliki
kepemilikan yang sah atas suatu kebijakan politik dan otoritas.)” Suatu negara
dapat memperoleh hasil yang diinginkan dalam politik dunia karena negara-negara
lain mengagumi nilai-nilainya, meniru contohnya, bercita-cita untuk
meningkatkan kemakmuran dan keterbukaan negaranya. Dalam pengertian ini penting
juga untuk mengatur agenda dan menarik pihak lain dalam politik dunia, dan
bukan hanya untuk memaksa mereka berubah dengan ancaman kekuatan militer atau sanksi
ekonomi tetapi juga dengan soft power.
Beberapa bentuk soft power antara
lain ialah ideologi, teknologi, pendidikan, dan kebudayaan. Dengan demikian,
dalam mengejar kepentingan nasionalnya negara tidak pernah bisa bertindak
sendirian. Ia membutuhkan aktor-aktor lain seperti agen-agen swasta, institusi
keagamaan dan pendidikan, serta perusahaan transnasional yang bergerak dalam
bisnis perdagangan, komunikasi dan informasi, seni, dan budaya (interdependence).
Konsep ini mengacu pada kekuatan non-militer negara
seperti perekonomian, budaya dan hal-hal yang disebut kaum realis sebagai low
politics dibanding dengan hard power seperti masalah
pertahanan dan militer, soft power juga memiliki masalah yang cukup kruisial
bagi negara, menurut Joseph S Nye, “Soft power is more difficult, because
many of its crucial resources are outside the control of governments, and their
effects depend heavily on acceptance by the receiving audiences. Moreover, soft
power resources often work indirectly by shaping the environment for policy,
and sometimes take years to produce the desired outcomes.”
[1] J.S. Nye, Jr., ‘Soft Power’, dalam Foreign
Policy, Twentieth Anniversary, No. 80, Autumun 1990, p. 154
[2]J.S. Nye, Soft Power and Higher Education,
Harvard University, 2008, p. 11, <http://net.educause.edu/ir/library/pdf/ffp0502s.pdf>,
diakses 15 April 2013
[4] J.S. Nye, SOFT POWER : The Means to
Succes in World Politics, Public Affairs, New York, 2004, p. 1
No comments:
Post a Comment