TEORI
SEMIOTIK
Sistem
Tanda (Semiotik)
Semiotik
(semiotic) adalah teori tentang pemberian ‘tanda’. Secara garis besar semiotik
digolongkan menjadi tiga konsep dasar, yaitu semiotik pragmatik (semiotic
pragmatic), semiotik sintatik (semiotic syntactic), dan semiotik semantik
(semiotic semantic) (Wikipedia,2007).
Semiotik
Pragmatik (semiotic pragmatic)
Semiotik
Pragmatik menguraikan tentang asal usul tanda, kegunaan tanda oleh yang
menerapkannya, dan efek tanda bagi yang menginterpretasikan, dalam batas
perilaku subyek. Dalam arsitektur, semiotik prakmatik merupakan tinjauan
tentang pengaruh arsitektur (sebagai sistem tanda) terhadap manusia dalam
menggunakan bangunan. Semiotik Prakmatik Arsitektur berpengaruh terhadap indera
manusia dan perasaan pribadi (kesinambungan, posisi tubuh, otot dan
persendian). Hasil karya arsitektur akan dimaknai sebagai suatu hasil persepsi
oleh pengamatnya, hasil persepsi tersebut kemudian dapat mempengaruhi pengamat
sebagai pemakai dalam menggunakan hasil karya arsitektur. Dengan kata lain,
hasil karya arsitektur merupakan wujud yang dapat mempengaruhi pemakainya.
Semiotik
Sintaktik (semiotic syntactic)
Semiotik
Sintaktik menguraikan tentang kombinasi tanda tanpa memperhatikan ‘makna’nya
ataupun hubungannya terhadap perilaku subyek. Semiotik Sintaktik ini
mengabaikan pengaruh akibat bagi subyek yang menginterpretasikan. Dalam
arsitektur, semiotik sintaktik merupakan tinjauan tentang perwujudan arsitektur
sebagai paduan dan kombinasi dari berbagai sistem tanda. Hasil karya arsitektur
akan dapat diuraikan secara komposisional dan ke dalam bagian-bagiannya,
hubungan antar bagian dalam keseluruhan akan dapat diuraikan secara jelas.
Semiotik
Semantik (semiotic semantic)
Semiotik
Sematik menguraikan tentang pengertian suatu tanda sesuai dengan ‘arti’ yang
disampaikan. Dalam arsitektur semiotik semantik merupakan tinjauan tentang
sistem tanda yang dapat sesuai dengan arti yang disampaikan. Hasil karya
arsitektur merupakan perwujudan makna yang ingin disampaikan oleh perancangnya
yang disampaikan melalui ekspresi wujudnya. Wujud tersebut akan dimaknai
kembali sebagai suatu hasil persepsi oleh pengamatnya. Perwujudan makna suatu rancangan
dapat dikatakan berhasil jika makna atau ‘arti’ yang ingin disampaikan oleh
perancang melalui rancangannya dapat dipahami dan diterima secara tepat oleh
pengamatnya, jika ekspresi yang ingin disampaikan perancangnya sama dengan
persepsi pengamatnya.
TEORI
SEMIOTIK
C.S
Peirce
Peirce
mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga
elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan interpretant. Tanda adalah
sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan
merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu
sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari Simbol (tanda yang muncul dari
kesepakatan), Ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan Indeks (tanda
yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut
objek.Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari
tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda.
Interpretant
atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda
dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak
seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.Hal yang terpenting dalam
proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda
itu digunakan orang saat berkomunikasi.
Contoh:
Saat seorang gadis mengenakan rok mini, maka gadis itu sedang mengomunikasi
mengenai dirinya kepada orang lain yang bisa jadi memaknainya sebagai simbol
keseksian. Begitu pula ketika Nadia Saphira muncul di film Coklat Strowberi
dengan akting dan penampilan fisiknya yang memikat, para penonton bisa saja
memaknainya sebagai icon wanita muda cantik dan menggairahkan.
Ferdinand
De Saussure
Teori
Semiotik ini dikemukakan oleh Ferdinand De Saussure (1857-1913). Dalam teori
ini semiotik dibagi menjadi dua bagian (dikotomi) yaitu penanda (signifier) dan
pertanda (signified). Penanda dilihat sebagai bentuk/wujud fisik dapat dikenal
melalui wujud karya arsitektur, sedang pertanda dilihat sebagai makna yang
terungkap melalui konsep, fungsi dan/atau nilai-nlai yang terkandung didalam
karya arsitektur. Eksistensi semiotika Saussure adalah relasi antara penanda
dan petanda berdasarkan konvensi, biasa disebut dengan signifikasi. Semiotika
signifikasi adalah sistem tanda yang mempelajari relasi elemen tanda dalam sebuah
sistem berdasarkan aturan atau konvensi tertentu. Kesepakatan sosial diperlukan
untuk dapat memaknai tanda tersebut.
Menurut
Saussure, tanda terdiri dari: Bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier atau
penanda, dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signified.
Dalam
berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek
dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Objek bagi Saussure
disebut “referent”. Hampir serupa dengan Peirce yang mengistilahkan
interpretant untuk signified dan object untuk signifier, bedanya Saussure
memaknai “objek” sebagai referent dan menyebutkannya sebagai unsur tambahan
dalam proses penandaan. Contoh: ketika orang menyebut kata “anjing” (signifier)
dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda kesialan (signified).
Begitulah, menurut Saussure, “Signifier dan signified merupakan kesatuan, tak
dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas.” (Sobur, 2006).
Roland
Barthes
Teori
ini dikemukakan oleh Roland Barthes (1915-1980), dalam teorinya tersebut
Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat
denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan
hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit,
langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan
hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak
eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti (Yusita Kusumarini,2006).
Roland
Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks
pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi
kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan
makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.
Roland
Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks
dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi
dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan
Barthes ini dikenal dengan “order of signification”, mencakup denotasi (makna
sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman
kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes
meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung
Saussure.
Barthes
juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu
masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi
setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi
penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru.
Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang
menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.
Misalnya:
Pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi “keramat” karena
dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi “keramat” ini kemudian
berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol pohon beringin, sehingga
pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi berubah
menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini, “pohon beringin
yang keramat” akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos.
Baudrillard
Baudrillard memperkenalkan teori simulasi. Di mana peristiwa yang tampil tidak mempunyai asal-usul yang jelas, tidak merujuk pada realitas yang sudah ada, tidak mempunyai sumber otoritas yang diketahui. Konsekuensinya, kata Baudrillard, kita hidup dalam apa yang disebutnya hiperrealitas (hyper-reality). Segala sesuatu merupakan tiruan, tepatnya tiruan dari tiruan, dan yang palsu tampaknya lebih nyata dari kenyataannya (Sobur, 2006).
Baudrillard memperkenalkan teori simulasi. Di mana peristiwa yang tampil tidak mempunyai asal-usul yang jelas, tidak merujuk pada realitas yang sudah ada, tidak mempunyai sumber otoritas yang diketahui. Konsekuensinya, kata Baudrillard, kita hidup dalam apa yang disebutnya hiperrealitas (hyper-reality). Segala sesuatu merupakan tiruan, tepatnya tiruan dari tiruan, dan yang palsu tampaknya lebih nyata dari kenyataannya (Sobur, 2006).
Sebuah
iklan menampilkan seorang pria lemah yang kemudian menenggak sebutir pil
multivitamin, seketika pria tersebut memiliki energi yang luar biasa, mampu
mengerek sebuah truk, tentu hanya ‘mengada-ada’. Karena, mana mungkin hanya
karena sebutir pil seseorang dapat berubah kuat luar biasa. Padahal iklan
tersebut hanya ingin menyampaikan pesan produk sebagai multivitamin yang
memberi asupan energi tambahan untuk beraktivitas sehari-hari agar tidak mudah
capek. Namun, cerita iklan dibuat ‘luar biasa’ agar konsumen percaya. Inilah
tipuan realitas atau hiperealitas yang merupakan hasil konstruksi pembuat
iklan. Barangkali kita masih teringat dengan pengalaman masa kecil (entah
sekarang masih ada atau sudah lenyap) di pasar-pasar tradisional melihat
atraksi seorang penjual obat yang memamerkan hiburan sulap kemudian mendemokan
khasiat obat di hadapan penonton? Padahal sesungguhnya atraksi tersebut telah
‘direkayasa’ agar terlihat benar-benar manjur di hadapan penonton dan penonton
tertarik untuk beramai-ramai membeli obatnya.
J.
Derrida
Derrida
terkenal dengan model semiotika Dekonstruksi-nya. Dekonstruksi, menurut Derrida,
adalah sebagai alternatif untuk menolak segala keterbatasan penafsiran ataupun
bentuk kesimpulan yang baku. Konsep Dekonstruksi –yang dimulai dengan
konsep demistifikasi, pembongkaran produk pikiran rasional yang percaya kepada
kemurnian realitas—pada dasarnya dimaksudkan menghilangkan struktur pemahaman
tanda-tanda (siginifier) melalui penyusunan konsep (signified). Dalam teori
Grammatology, Derrida menemukan konsepsi tak pernah membangun arti tanda-tanda
secara murni, karena semua tanda senantiasa sudah mengandung artikulasi lain
(Subangun, 1994 dalam Sobur, 2006: 100). Dekonstruksi, pertama sekali, adalah
usaha membalik secara terus-menerus hirarki oposisi biner dengan mempertaruhkan
bahasa sebagai medannya. Dengan demikian, yang semula pusat, fondasi, prinsip,
diplesetkan sehingga berada di pinggir, tidak lagi fondasi, dan tidak lagi
prinsip. Strategi pembalikan ini dijalankan dalam kesementaraan dan
ketidakstabilan yang permanen sehingga bisa dilanjutkan tanpa batas.
Sebuah
gereja tua dengan arsitektur gothic di depan Istiqlal bisa merefleksikan banyak
hal. Ke-gothic-annya bisa merefleksikan ideologi abad pertengahan yang dikenal
sebagai abad kegelapan. Seseorang bisa menafsirkan bahwa ajaran yang
dihantarkan dalam gereja tersebut cenderung ‘sesat’ atau menggiring jemaatnya
pada hal-hal yang justru bertentangan dari moral-moral keagamaan yang
seharusnya, misalnya mengadakan persembahan-persembahan berbau mistis di altar
gereja, dan sebagainya.
Namun,
Ke-gothic-an itu juga dapat ditafsirkan sebagai ‘klasik’ yang menandakan
kemurnian dan kemuliaan ajarannya. Sesuatu yang klasik biasanya dianggap
bernilai tinggi, ‘berpengalaman’, teruji zaman, sehingga lebih dipercaya
daripada sesuatu yang sifatnya temporer.Di lain pihak, bentuk gereja yang
menjulang langsing ke langit bisa ditafsirkan sebagai ‘fokus ke atas’ yang
memiliki nilai spiritual yang amat tinggi. Gereja tersebut menawarkan
kekhidmatan yang indah yang ‘mempertemukan’ jemaat dan Tuhan-nya secara khusuk,
semata-mata demi Tuhan. Sebuah persembahan jiwa yang utuh dan istimewa.
Dekonstruksi
membuka luas pemaknaan sebuah tanda, sehingga makna-makna dan ideologi baru
mengalir tanpa henti dari tanda tersebut. Munculnya ideologi baru bersifat
menyingkirkan (“menghancurkan” atau mendestruksi) makna sebelumnya,
terus-menerus tanpa henti hingga menghasilkan puing-puing makna dan ideologi
yang tak terbatas.Berbeda dari Baudrillard yang melihat tanda sebagai hasil
konstruksi simulatif suatu realitas, Derrida lebih melihat tanda sebagai
gunungan realitas yang menyembunyikan sejumlah ideologi yang membentuk atau
dibentuk oleh makna tertentu. Makna-makna dan ideologi itu dibongkar melalui
teknik dekonstruksi. Namun, baik Baurillard maupun Derrida sepakat bahwa di
balik tanda tersembunyi ideologi yang membentuk makna tanda tersebut.
Umberto
Eco
Stephen
W. Littlejohn (1996) menyebut Umberto Eco sebagai ahli semiotikan yang
menghasilkan salah satu teori mengenai tanda yang paling komprehensif dan
kontemporer. Menurut Littlejohn, teori Eco penting karena ia mengintegrasikan
teori-teori semiotika sebelumnya dan membawa semiotika secara lebih mendalam
(Sobur, 2006).
Eco
menganggap tugas ahli semiotika bagaikan menjelajahi hutan, dan ingin
memusatkan perhatian pada modifikasi sistem tanda. Eco kemudian mengubah konsep
tanda menjadi konsep fungsi tanda. Eco menyimbulkan bahwa “satu tanda bukanlah
entitas semiotik yang dapat ditawar, melainkan suatu tempat pertemuan bagi
unsur-unsur independen (yang berasal dari dua sistem berbeda dari dua tingkat
yang berbeda yakni ungkapan dan isi, dan bertemu atas dasar hubungan
pengkodean”. Eco menggunakan “kode-s” untuk menunjukkan kode yang dipakai
sesuai struktur bahasa. Tanpa kode, tanda-tanda suara atau grafis tidak
memiliki arti apapun, dan dalam pengertian yang paling radikal tidak berfungsi
secara linguistik. Kode-s bisa bersifat “denotatif” (bila suatu pernyataan bisa
dipahami secara harfiah), atau “konotatif” (bila tampak kode lain dalam
pernyataan yang sama). Penggunaan istilah ini hampir serupa dengan karya
Saussure, namun Eco ingin memperkenalkan pemahaman tentang suatu kode-s yang
lebih bersifat dinamis daripada yang ditemukan dalam teori Saussure, di samping
itu sangat terkait dengan teori linguistik masa kini.
Ogden
& Richard
Teori
Semiotika C. K. Ogden dan I. A. Richard merupakan teori semiotika trikotomi
yang dikembangkan dari Teori Saussure dan Teori Barthes yang didalamnya
terdapat perkembangan hubungan antara Petanda (signified) dengan Penanda
(signifier) dimana Penanda kemudian dibagi menjadi dua yaitu Peranti (Actual
Function/Object Properties) dan Penanda (signifier) itu sendiri. Petanda
merupakan Konotasi dari Penanda, sedangkan Peranti merupakan Denotasi dari
Penanda. Pada teori ini Petanda merupakan makna, konsep, gagasan, sedang
Penanda merupakan gambaran yang menjelaskan peranti, penjelasan fisik obyek
benda, kondisi obyek/benda, dan cenderung (tetapi tidak selalu) berupa
ciri-ciri bentuk, ruang, permukaan dan volume yang memiliki suprasegmen
tertentu (irama, warna, tekstur, dsb) dan Peranti merupakan wujud
obyek/benda/fungsi aktual (Christian).
Semiotika
Teks
Pengertian
teks secara sederhana adalah “kombinasi tanda-tanda” (Piliang, 2003). Dalam
pemahaman yang sama, semua produk desain (termasuk arsitektur dan interior)
dapat dianggap sebagai sebuah teks, karena produk desain tersebut merupakan kombinasi
elemen tanda-tanda dengan kode dan aturan tertentu, sehingga menghasilkan
sebuah ekspresi bermakna dan berfungsi (Yusita Kusumarini,2006). Dalam
menganalisis dengan metode semiotika, pada prinsipnya dilakukan dalam dua
tingkatan analisis, yaitu :
Analisis tanda secara individual (jenis tanda, mekanisme atau struktur tanda), dan makna tanda secara individual.§Analisis tanda sebagai sebuah kelompok atau kombinasi (kumpulan tanda yang membentuk teks), biasa disebut analisis teks.§Untuk menganalisis tanda secara individual dapat digunakan model analisis tipologi tanda, struktur tanda, dan makna tanda (Piliang, 2003). Analisis tipologi tanda tersebut menggunakan teori semiotik pengelompokan tanda Charles Sanders Peirce. Sedangkan dalam hal analisis struktur tanda menggunakan teori semiotik Ferdinand de Saussure. Kemudian dalam menganalisis makna tanda dapat dilakukan dengan menggabungkan hasil analisis tipologi tanda dan struktur tanda. Gabungan analisis keduanya (tipologi tanda dan struktur tanda) akan menghasilkan makna tanda yang lebih kuat (Yusita Kusumarini,2006).
Untuk menganalisis tanda secara kelompok atau kombinasinya (analisis teks), tidak hanya sebatas menganalisis tanda (jenis, struktur, dan makna) tetapi juga termasuk pemilihan tanda yang dikombinasi dalam kelompok atau pola yang lebih besar (teks) yang mengandung representasi sikap, ideologi, atau mitos tertentu (latar belakang kombinasi tanda). Ada beberapa model dan prinsip analisis teks, salah satunya yang diajukan oleh Thwaites (Piliang, 2003). Prinsip dasar analisis teks adalah polisemi (keanekaragaman makna sebuah penanda). Konotasi tanda berkaitan dengan kode nilai, makna sosial, dan berbagai perasaan, sikap, atau emosi. Tiap teks adalah kombinasi sintagmatik tanda-tanda yang melalui kode sosial tertentu menghasilkan konotasi tertentu (metafora dan metonimi menjadi bagian dari kombinasi tanda). Konotasi yang berbeda bergantung pada posisi sosial pembaca dan faktor lain yang mempengaruhi cara berpikir dan menafsirkan teks. Konotasi yang diterima luas secara sosial akan menjadi denotasi (makna teks yang dianggap benar). Denotasi merepresentasikan mitos budaya, kepercayaan, dan sikap yang dianggap
Analisis tanda secara individual (jenis tanda, mekanisme atau struktur tanda), dan makna tanda secara individual.§Analisis tanda sebagai sebuah kelompok atau kombinasi (kumpulan tanda yang membentuk teks), biasa disebut analisis teks.§Untuk menganalisis tanda secara individual dapat digunakan model analisis tipologi tanda, struktur tanda, dan makna tanda (Piliang, 2003). Analisis tipologi tanda tersebut menggunakan teori semiotik pengelompokan tanda Charles Sanders Peirce. Sedangkan dalam hal analisis struktur tanda menggunakan teori semiotik Ferdinand de Saussure. Kemudian dalam menganalisis makna tanda dapat dilakukan dengan menggabungkan hasil analisis tipologi tanda dan struktur tanda. Gabungan analisis keduanya (tipologi tanda dan struktur tanda) akan menghasilkan makna tanda yang lebih kuat (Yusita Kusumarini,2006).
Untuk menganalisis tanda secara kelompok atau kombinasinya (analisis teks), tidak hanya sebatas menganalisis tanda (jenis, struktur, dan makna) tetapi juga termasuk pemilihan tanda yang dikombinasi dalam kelompok atau pola yang lebih besar (teks) yang mengandung representasi sikap, ideologi, atau mitos tertentu (latar belakang kombinasi tanda). Ada beberapa model dan prinsip analisis teks, salah satunya yang diajukan oleh Thwaites (Piliang, 2003). Prinsip dasar analisis teks adalah polisemi (keanekaragaman makna sebuah penanda). Konotasi tanda berkaitan dengan kode nilai, makna sosial, dan berbagai perasaan, sikap, atau emosi. Tiap teks adalah kombinasi sintagmatik tanda-tanda yang melalui kode sosial tertentu menghasilkan konotasi tertentu (metafora dan metonimi menjadi bagian dari kombinasi tanda). Konotasi yang berbeda bergantung pada posisi sosial pembaca dan faktor lain yang mempengaruhi cara berpikir dan menafsirkan teks. Konotasi yang diterima luas secara sosial akan menjadi denotasi (makna teks yang dianggap benar). Denotasi merepresentasikan mitos budaya, kepercayaan, dan sikap yang dianggap
BIDANG
TERAPAN SEMIOTIK
Pada
prinsipnya jumlah bidang terapan semiotika tidaklah terbatas. Bidang semiotika
ini sendiri bisa berupa proses komunikatif yang tampak lebih alamiah dan
spontan hingga pada sistem budaya yang lebih kompleks.19 bidang yang bisa
dipertimbangkan sebagai bahan kajian ilmiah Semiotika menurut Eco (1979:9-14),
antara lain :
1.
Semiotika binatang (zoomsemiotic)
2.
Tanda – tanda bauan (olfactory signs)
3.
Komunikasi rabaan (tactile communication)
4.
Kode – kode cecapan (code of taste)
5.
Paralinguistik (paralinguistics)
6.
Semiotika medis (medical semiotics)
7.
Kinesik dan proksemik (kinesics and proxemics)
8.
Kode – kode musik (musical codes)
9.
Bahasa – bahasa yang diformalkan (formalized languages)
10.
Bahasa tertulis, alfabet tidak dikenal, kode rahasia (written languages,
unknown alphabets, secret codes)
11.
Bahasa alam (natural languages)
12.
Komunikasi visual (visual communication)
13.
Sistem objek (system of objects)
14.
Struktur alur (plot structure)
15.
Teori teks (text theory)1
16.
Kode – kode budaya (culture codes)
17.
Teks estetik (aesthetic texts)
18.
Komunikasi Massa (mass comunication)
19.
Retorika (rhetoric)
Pada
komunikasi, bidang terapan semiotika pun tidak terbatas. Adapun beberapa contoh
aplikasi semiotika di antara sekian banyak pilihan kajian semiotika dalam
domain komunikasi antara lain :
1.
MEDIA
Mempelajari
media adalah adalah mempelajari makna dari mana asalnya, seperti apa, seberapa
jauh tujuannya, bagaimanakah ia memasuki materi media, dan bagaimana ia
berkaitan dengan pemikiran kita sendiri.Dalam konteks mediamassa, khusunya
media cetak kajian semiotika adalah mengusut ideologi yang melatari
pemberitaan.
Untuk
teknik – teknik analisnya sendiri, secara garis besar yang diterapkan adalah :
1. Teknik
kuantitatif
Teknik
ini adalah teknik yang paling dapat mengatasi kekurangan dalam objektivitas,
namun hasilnya sering kurang mantap. Ciri – ciri yang dapat di ukur dinyatakan
sebagai tanda merupakan titik tolak penelitian ini.Menurut Van Zoest,
19993:146-147), hasil analisis kuantitatif selalu lebih spektakuler namun
sekaligus selalu mengorbankan ketahanan uji metode – metode yang digunakan.
2. Teknik
kualitatif
Pada
analisis kualitatif, data – data yang diteliti tidak dapat diukur secara
matematis. Analisis ini sering menyerang masalah yang berkaitan dengan arti
atau arti tambahan dari istilah yang digunakan.
Tiga
pendekatan untuk menjelaskan media (McNair, 1994, dalam Sudibyo, 2001:2-4)
1.
Pendekatan Politik-Ekonomi
Pendekatan
ini berpendapat bahwa isi media lebih ditentukan oleh kekuatan – kekuatan
ekonomi dan politik di luar pengelolaan media.
2.
Pendekatan Organisasi
Bertolak
belakang dengan pendekatan politik-ekonomi, pendekatan ini menekankan bahwa isi
media diasumsikan dipengaruhi oleh kekuatan – kekuatan eksternal di luar diri
pengelola media.
3.
Pendekatan Kulturalis
Merupakan
pendekatan politik-ekonomi dan pendekatan organisasi. Proses produksi berita
dilihat sebagai mekanisme yang rumit yang melibatkan faktor internal media.
Media pada dasarnya memang mempunyai mekanisme untuk menentukan pola dan aturan
oragnisasi, tapi berbagai pola yang dipakai untuk memaknai peristiwa tersebut
tidak dapat dilepaskan dari kekuatan – kekuatan politik-ekonomi di luar
media.Secara teoritis, media massa bertujuan menyampaikan informasi
dengan benar secara efektif dan efisien. Namun, pada praktiknya apa yang
disebut sebagai kebenaran ini sangat ditentukan oleh jalinan banyak
kepentingan.
Terdapat
pemilahan atas fakta atau informasi yang dianggap penting dan yang dianggap
tidak penting, serta yang dianggap penting namun demi kepentingan survival
menjadi tidak perlu disebar luaskan. Media menyunting bahkan menggunting
realitas dan kemudian memolesnya menjadi suatu kemasan yang layak disebar
luaskan.
Tiga
zona dalam teori media menurut Berger dan Luckman :
1. Orders
and practices of signification = Tatanan dan praktik – praktik signifikasi.
2. Orders
and practises of power = Tatanan dan praktik – praktik kekuasaan.
3. Orders
and practises of production = Tatanan dan praktik – praktik produksi.
Praktik
– praktik kekuasaan media memiliki banyak bentuk ( John B. Thomson, 1994)
antara lain:
· Kekuasaan
Ekonomi —— dilembagakan dalam industri dan perdagangan.
· Kekuasaan
Politik ——— dilembagakan dalam aparatur negara
· Kekuasaan
Koersif ——– dilembagakan dalam organisasi militer dan paramiliter.
2.
Periklanan
Dalam
perspektif semiotika iklan dikaji lewat sistem tanda dalam iklan, yang terdiri
atas 2 lambang yakni lambang verbal (bahasa) dan lambang non verbal (bentuk dan
warna yang disajikan dalam iklan).Dalam menganalisis iklan, beberapa hal yang
perlu diperhatikan antara lain (Berger) :
· Penanda
dan petanda
· Gambar,
indeks, simbol
· Fenomena
sosiologi
· Sifat
daya tarik yang dibuat untuk menjual produk
· Desain
dari iklan
· Publikasi
yang ditemukan dalam iklan dan khayalan yang diharapkan oleh publikasi
tersebut.
Lain
halnya dengan model Roland Barthes, iklan dianalisis berdasarkan pesan yang
dikandungnya yaitu :
o Pesan
Linguistik ————————– Semua kata dan kalimat dalam iklan
o Pesan
yang terkodekan —————— Konotasi yang muncul dalam foto iklan
o Pesan
ikonik yang tak terkodekan —– Denotasi dalam foto iklan
3.
Tanda NonVerbal
Komunikasi
nonverbal adalah semua tanda yang bukan kata – kata dan bahasa.
Tanda
– tanda digolongkan dalam berbagai cara :
· Tanda
yang ditimbulkan oleh alam yang kemudian diketahui manusia melalui
pengalamannya.
· Tanda
yang ditimbulkan oleh binatang
· Tanda
yang ditimbulkan oleh manusia, bersifat verbal dan nonverbal.
Namun
tidak keseluruhan tanda – tanda nonverbal memiliki makna yang universal. Hal
ini dikarenakan tanda – tanda nonverbal memiliki arti yang berbeda bagi setiap
budaya yang lain.Dalam hal pengaplikasian semiotika pada tanda nonverbal, yang
penting untuk diperhatikan adalah pemahaman tentang bidang nonverbal yang
berkaitan dengan benda konkret, nyata, dan dapat dibuktikan melalui indera
manusia.
Pada
dasarnya, aplikasi atau penerapan semiotika pada tanda nonverbal bertujuan
untuk mencari dan menemukan makna yang terdapat pada benda – benda atau sesuatu
yang bersifat nonverbal. Dalam pencarian makna tersebut, menurut Budianto, ada
beberapa hal atau beberapa langkah yang perlu diperhatikan peneliti, antara
lain :
· Langkah
Pertama ——- Melakukan survai lapangan untuk mencari dan menemukan objek
penelitian yang sesuai dengan keinginan si peneliti.
· Langkah
Kedua ———- Melakukan pertimbangan terminologis terhadap konsep –konsep pada
tanda nonverbal.
· Langkah
Ketiga ———- Memperhatikan perilaku nonverbal, tanda dan komunikasi terhadap
objek yang ditelitinya.
· Langkah
Keempat —– Merupakan langkah terpenting —– menentukan model semiotika yang
dipilih untuk digunakan dalam penelitian. Tujuan digunakannya model tertentu
adalah pembenaran secara metodologis agar keabsahan atau objektivitas
penelitian tersebut dapat terjaga.
4.
Film
Film
merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis struktural atau
semiotika.
Van
Zoest—– film dibangun dengan tanda semata – mata. Pada
film digunakan tanda – tanda ikonis, yakni tanda – tanda yang menggambarkan
sesuatu. Gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang
dinotasikannya.Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Yang paling penting
dalam film adalah gambar and suara. Film menuturkan ceritanya dengan cara
khususnya sendiri yakni, mediumnya, cara pembuatannya dengan kamera dan
pertunjukannya dengan proyektor dan layar.
Sardar
& Loon ——– Film dan televisi memiliki bahasanya
sendiri dengan sintaksis dan tata bahasa yang berbeda. Film pada dasarnya bisa
melibatkan bentuk – bentuk simbol visual dan linguistik untuk mengkodekan pesan
yang sedang disampaikan.Figur utama dalam pemikiran semiotika sinematografi
hingga sekarang adalah Christian Metz dari Ecole des Hautes Etudes et Sciences
Sociales (EHESS) Paris. Menurutnya, penanda (signifant) sinematografis memiliki
hubungan motivasi atau beralasan dengan penanda yang tampak jelas melalui
hubungan penanda dengan alam yang dirujuk. Penanda sinematografis selalu kurang
lebih beralasan dan tidak pernah semena.
5.
Komik Kartun Karikatur
Sebelum
memasuki pembahasan, terlebih dahulu kita ketahui apa yang dimaksud dengan
komik, kartun, serta karikatur.Komik adalah cerita bergambar dalam majalah, suratkabar,
atau berbentuk buku yang pada umumnya mudah dicerna dan lucu. Komik sendiri
dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu, comic strips dan comic book. Komik
bertujuan utama menghibur pembaca dengan bacaan ringan, cerita rekaan yang
dilukiskan relatif panjang dan tidak selamanya mengangkat masalah hangat
meskipun menyampaikan moral tertentu. Bahasa komik adalah bahasa gambar dan
bahasa teks.
Kartun
adalah sebuah gambar lelucon yang muncul di media massa, yang hanya
berisikan humor semata, tanpa membawa beban kritik sosial apapun. Pada
dasarnya, kartun mengungkapkan masalah sesaat secara ringkas namun tajam dan
humoristis sehingga tidak jarang membuat pembaca senyum sendirian.
Karikatur
adalah deformasi berlebihan atas wajah seseorang, biasanya orang terkenal,
dengan mempercantiknya dengan penggambaran ciri khas lahiriyahnya untuk tujuan
mengejek (Sudarta,1987). Empat teknis yang harus diingat sebagai karikatur
adalah, harus informatif dan komunikatif, harus situasional dengan pengungkapan
yang hangat, cukup memuat kandungan humor, harus mempunyai gambar yang baik.
Semula karikatur hanya merupakan selingan atau ilustrasi belaka. Namun pada
perkembangannya, karikatur dijadikan sarana untuk menyampaikan kritik yang
sehat karena penyampaiannya dilakukan dengan gambar – gambar lucu dan menarik
bahkan tidak jarang membuat orang yang dikritik justru tersenyum.
Tommy
Christomy ——— Secara formal proses semiosis yang paling
dominan dalam kartun adalah gabungan atau proposisi (visual dan verbal) yang
dibentuk oleh kombinasi tanda argumen indexical legisign.Untuk menganalisis
kartun atau komik-kartun, seyogyanya kita menempatkan diri sebagai kritikus
agar secara leluasa dapat melakukan penilaian dan memberi tafsiran terhadap
komik-kartun tersebut.
Setiawan ——
Komik-kartun penuh dengan perlambangan – perlambangan yang kaya akan makna.
Selain dikaji sebagai teks, secara kontekstual juga dilakukan yakni dengan
menghubungkan karya seni tersebut dengan situasi yang sedang menonjol di
masyarakat. Dalam pandangan Setiawan hal ini di maksudkan untuk menjaga
signifikasi permasalahan dan sekaligus menghindari pembiasan tafsiran
6.
Sastra
Santosa ——
Dalam lapangan sastra, karya sastra dengan keutuhannya secara semiotik dapat
dipandang sebagai sebuah tanda. Sebagai suatu bentuk, karya sastra secara tulis
akan memiliki sifat kerungan. Dimensi ruang dan waktu dalam sebuah cerita
rekaan mengandung tabiat tanda-menanda yang menyiratkan makna semiotika.
Aminudin ——
Wawasan semiotika dalam studi sastra memiliki tiga asumsi :
· Karya
sastra merupakan gejala komunikasi yang berkaitan dengan pengarang, wujud
sastra sebagai sistem tanda, dan pembaca.
· Karya
sastra merupakan salah satu bentuk pengunaan sistem tanda (system of signs)
yang memiliki struktur dalam tata tingkat tertentu.
· Karya
sastra merupakan fakta yang harus direkonstruksikan pembaca sejalan dengan
dunia pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya.
Sasaran
kajian sastra secara ilmiah bukan pada wujud konkret wacananya, melainkan pada
metadiscourse atau bentuk dan ciri kewacanaan yang tidak teramati secara
konkret
Junus —– Pradopo —-
Penelitian sastra dengan pendekatan semiotika sesungguhnya merupakan lanjutan
dari pendekatan strukturalisme. Strukturalisme tidak dapat dipisahkan dengan
semiotika karena karya sastra merupakan struktur tanda – tanda yang bermakna.
Tanpa memperhatikan sistem tanda dan maknanya, serta konvensi tanda, struktur
karya sastra atau karya sastra tidak dapat dimengerti secara optimal.Dalam
penelitian sastra dengan menggunakan pendekatan semiotika, tanda yang berupa
indekslah yang paling banyak dicari, yaitu berupa tanda – tanda yang
menunjukkan hubungan sebab-akibat.
Preminger ——-
Studi semiotika sastra adalah usaha untuk menganalisis sistem tanda – tanda.
Oleh karena itu, peneliti harus menentukan konvensi – konvensi apa yang
memungkinkan karya sastra mempunyai makna.
7.
Musik
Sistem
tanda musik adalah oditif. Bagi semiotikus musik, adanya tanda – tanda
perantara, yakni, musik yang dicatat dalam partitur orkestra, merupakan jalan
keluar. Hal ini sangat memudahkan dalam menganalisis karya musik sebagai teks.
Itulah sebabnya mengapa penelitian musik semula terutama terarah pada sintaksis.
Meski demikian, semiotika tidak dapat hidup hanya dengan mengandalkan sintaksis
karena tidak ada semiotika tanpa semantik juga tidak ada semiotika musik tanpa
semantik musik.
Aart
van Zoest —– Tiga kemungkinan dalam mencari denotatum
musik ke arah isi tanggapan dan perasaan :
· Untuk
menganggap unsur – unsur struktur musik sebagai ikonis bagi gejala – gejala
neurofisiologis pendengar,
· Untuk
menganggap gejala – gejala struktural dalam musik sebagai ikonis bagi gejala –
gejala struktural dunia penghayatan yang dikenal.
· Untuk
mencari denotatum musik ke arah isi tanggapan dan perasaan yang dimunculkan
musik lewat indeksial.
Untuk
menganalisi musik tentu juga diperlukan disiplin lain, misalnya ethnomusicology
dan antropologi. Dalam ethnomusicology, musik dipelajari melalui aturan
tertentu yang dihubungkan dengan bentuk kesenian lainnya termasuk bahasa,
agama, dan falsafah
No comments:
Post a Comment