Tuesday, April 11, 2017

Perdebatan Mengenai Kelas Sosial dalam Strukturalisme dan Marxisme


Setelah pembahasan mengenai perspektif realisme, liberalisme, serta perdebatan antara turunan keduanya yaitu, neorealisme dengan neoliberalisme, pada kali, ini bahasan mengenai sudut pandang dalam Hubungan Internasional yang akan diulas adalah tentang marxisme beserta kritiknya. Pada pertengahan 1840-an, Marx berkeyakinan bahwa ekspansi kapitalisme telah menghapus pemisahan klasik antar negara-bangsa yang berdaulat dan mengganti sistem-negara internasional dengan masyarakat kapitalis global yang di situ konflik utamanya terpusat pada dua kelas sosial yang saling berseberangan: kaum borjuis global dan kaum proletar internasional (Burchil dan Linklater, 1996:161). Marxisme tidak berfokus pada negara, negara dianggap sebagai perpanjangan dari borjuis. Seperti yang dikatakan oleh Marx (dalam Burchill 1996) fokus marxisme adalah pada kelas-kelas sosial antara borjuis dan proletar.
Marxisme mengatakan bahwa keadaan tanpa kelas sosial jauh lebih baik karena tidak ada unsur-unsur paksaan dari borjuis. Menurut Marxisme, keadaan akan jauh lebih baik apabila tercipta kesetaraan termasuk kaum borjuis dan proletar. Karena dengan adanya sebuah kesetaraan, maka kemungkinan adanya intimidasi dari kaum borjuis yang meliputi bangsawan dan kelas atas pada kaum proletar yang beranggotakan buruh semakin terminimalisir. Apabila intimidasi dari kaum borjuis kepada kaum proletar terminimalisir, kemungkinan besar konflik pun dapat dihindari karena tidak ada kaum yang merasa tertindas.
Sejatinya, marxisme bukanlah teori kandung Hubungan Internasional sedangkan strukturalisme mencoba untuk menjadi teori kandung Hubungan Internasional. Akan tetapi, sesungguhnya strukturalisme hanyalah kritik dari sudut pandang marxisme. Dalam studi Hubungan Internasional, prediksi Marx yang menggebu-gebu akan adanya penyatuan seluruh umat manusia ke dalam masyarakat sosialis seringkali dikritik karena mengabaikan dasar logika fragmentasi yang diciptakan oleh rivalitas tanpa akhir antar negara-bangsa (Burchill dan Linklater, 1996:162). Menurut kaum realis, harapan akan terwujudnya sistem sosialisme universal terhapus oleh pandangannya yang utopis. Sedangkan strukturalisme memandang bahwa sistem internasional sudah memiliki struktur yaitu negara core, semiphery, dan periphery.
Strukturalisme menganggap bahwa adanya teori sistem dunia yang meliputi negara core, periphery dan semiperiphery adalah hal yang dibutuhkan karena negara pasti membutuhkan satu sama lain untuk bekerja sama dan untuk memenuhi kebutuhannya. Apabila sistem dunia dalam keadaan yang setara, dapat dipastikan bahwa negara yang saling tercukupi kebutuhannya tersebut akan enggan bekerja sama dengan negara lain, yang mungkin masih membutuhkan sesuatu, karena mereka mengaggap tidak akan ada keuntungan yang akan didapat dari kerjasama tersebut. Dapat dikatakan bahwa adanya teori sistem dunia, menimbulkan adanya interdepedensi antara negara satu dengan yang lain. Penjabaran teori sistem dunia terdiri atas negara dunia pertama (core) yang merupakan negara yang makmur atau sering disebut kaum borjuis contohnya Amerika Serikat, negara dunia ketiga (periphery) yaitu negara yang dimiskinkan sistem atau negara berkembang contohnya Indonesia, dan negara semiperiphery yang sulit dikategorikan.
Adanya ketiga negara yang termasuk dalam teori sistem negara tersebut dalam pandangan penulis terdapat dua sisi yaitu positif dan negatif. Sisi positifnya adalah terdapatnya rasa saling ketergatungan sehingga sistem internasional dalam aspek ekonomi, keamanan, dan lain sebagainya dapat membuka peluang kerjasama. Contohnya, Malaysia yang kekurangan tenaga kerja mendapat “kiriman” dari Indonesia, disisi lain Indonesia yang mengiri tenaga kerja memperoleh devisa yang cukup tinggi. Sisi negatifnya adalah mencoloknya ketimpangan sosial dan kemakmuran dari suatu negara sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa negara yang lebih besar mampu mengintimidasi negara yang lebih kecil. Mungkin disebabkan oleh sisi negatif itulah marxisme menghendaki adanya kesetaraan sehingga kelas sosial pemisah botjuis dan proletar terhapuskan.
Interpretasi mengenai marxisme, sebagai sebuah pengaruh logis dalam hal ini kemudian mengharuskan untuk menciptakan ketahan yang kuat, terutama dari serangan kaum realis dan neorealis. Kaum realis membantah bahwa kapitalisme akan menyatukan dunia dalam sesuatu seperti yang diramalkan kaum Marxis dan menolak pandangan bahwa kaum proletar revolusioner global dapat muncul di dalam dunia yang terbagi-bagi atas negara-bangsa yang berbeda-beda (Burchill dal Linklater, 1996:177). Akan tetapi, realisme mengidentifikasikan salah satu kelemahan mendasar dalam pemikiran Marxis. Identifikasi dari realis yaitu interpretasi reduksionis-nya atas negara karena kaum Marxis terlalu sering menitikberatkan peran yang dimainkan negara dalam melindungi kepentingan kelas dari penguasa dari pesaing-pesaingnya dan kelas-kelas sub-ordinan. Marxisme tersebut pada akhirnya gagal karena mereka mendasarkan diri pada pandangan yang sempit atas negara dan perilakunya.
Jadi sebenarnya pandangan Marxisme menawarkan sebuah visi historis besar dalam rangka perubahan umat manusia dari keadaan asalanya dimana masyarakat skala kecil berinteraksi satu sama lain menuju kehidupan modern dimana umat manusia teritregasi, dan diperas, oleh kerasnya kehidupan kapitalisme global (Burchill dan Linklater, 1996:189). Marxisme menginginkan menginginkan adanya penghapusan kelas sosial agar kaum proletar mampu maju dengan kehidupan yang modern tanpa adanya paksaan atau tekanan dari kaum borjuis. Apa yang diharapkan oleh kaum Marxisme sebagai sebuah sudut pandang pada dasarnya adalah hal yang baik akan tetapi dikhawatirkan dengan adanya kesetaraan justru akan memunculkan berbagai konflik karena tidak adanya kerjasama dan interdepedensi.

REFERENSI
Burchill, Scott dan Andrew Linklater, 1996, Theories of International Relations, New York. ST Martin’s Press INC
Wardhani. Baiq, 2013, Marxism and Structuralism in IR, materi disampaikan pada mata kuliah Teori Hubungan Internasional pada 28 Maret 2013


No comments:

Post a Comment