Setelah pembahasan mengenai perspektif realisme,
liberalisme, serta perdebatan antara turunan keduanya yaitu, neorealisme dengan
neoliberalisme, pada kali, ini bahasan mengenai sudut pandang dalam Hubungan
Internasional yang akan diulas adalah tentang marxisme beserta kritiknya. Pada
pertengahan 1840-an, Marx berkeyakinan bahwa ekspansi kapitalisme telah
menghapus pemisahan klasik antar negara-bangsa yang berdaulat dan mengganti
sistem-negara internasional dengan masyarakat kapitalis global yang di situ
konflik utamanya terpusat pada dua kelas sosial yang saling berseberangan: kaum
borjuis global dan kaum proletar internasional (Burchil dan Linklater,
1996:161). Marxisme tidak berfokus pada negara, negara dianggap sebagai
perpanjangan dari borjuis. Seperti yang dikatakan oleh Marx (dalam Burchill
1996) fokus marxisme adalah pada kelas-kelas sosial antara borjuis dan
proletar.
Marxisme mengatakan bahwa keadaan tanpa kelas sosial
jauh lebih baik karena tidak ada unsur-unsur paksaan dari borjuis. Menurut
Marxisme, keadaan akan jauh lebih baik apabila tercipta kesetaraan termasuk
kaum borjuis dan proletar. Karena dengan adanya sebuah kesetaraan, maka
kemungkinan adanya intimidasi dari kaum borjuis yang meliputi bangsawan dan
kelas atas pada kaum proletar yang beranggotakan buruh semakin terminimalisir.
Apabila intimidasi dari kaum borjuis kepada kaum proletar terminimalisir,
kemungkinan besar konflik pun dapat dihindari karena tidak ada kaum yang merasa
tertindas.
Sejatinya, marxisme bukanlah teori kandung Hubungan
Internasional sedangkan strukturalisme mencoba untuk menjadi teori kandung
Hubungan Internasional. Akan tetapi, sesungguhnya strukturalisme hanyalah
kritik dari sudut pandang marxisme. Dalam studi Hubungan Internasional,
prediksi Marx yang menggebu-gebu akan adanya penyatuan seluruh umat manusia ke
dalam masyarakat sosialis seringkali dikritik karena mengabaikan dasar logika
fragmentasi yang diciptakan oleh rivalitas tanpa akhir antar negara-bangsa
(Burchill dan Linklater, 1996:162). Menurut kaum realis, harapan akan
terwujudnya sistem sosialisme universal terhapus oleh pandangannya yang utopis.
Sedangkan strukturalisme memandang bahwa sistem internasional sudah memiliki
struktur yaitu negara core, semiphery, dan periphery.
Strukturalisme menganggap bahwa adanya teori sistem
dunia yang meliputi negara core, periphery dan semiperiphery adalah hal yang
dibutuhkan karena negara pasti membutuhkan satu sama lain untuk bekerja sama
dan untuk memenuhi kebutuhannya. Apabila sistem dunia dalam keadaan yang
setara, dapat dipastikan bahwa negara yang saling tercukupi kebutuhannya
tersebut akan enggan bekerja sama dengan negara lain, yang mungkin masih
membutuhkan sesuatu, karena mereka mengaggap tidak akan ada keuntungan yang
akan didapat dari kerjasama tersebut. Dapat dikatakan bahwa adanya teori sistem
dunia, menimbulkan adanya interdepedensi antara negara satu dengan yang lain.
Penjabaran teori sistem dunia terdiri atas negara dunia pertama (core) yang
merupakan negara yang makmur atau sering disebut kaum borjuis contohnya Amerika
Serikat, negara dunia ketiga (periphery) yaitu negara yang dimiskinkan sistem
atau negara berkembang contohnya Indonesia, dan negara semiperiphery yang sulit
dikategorikan.
Adanya ketiga negara yang termasuk dalam teori
sistem negara tersebut dalam pandangan penulis terdapat dua sisi yaitu positif
dan negatif. Sisi positifnya adalah terdapatnya rasa saling ketergatungan
sehingga sistem internasional dalam aspek ekonomi, keamanan, dan lain
sebagainya dapat membuka peluang kerjasama. Contohnya, Malaysia yang kekurangan
tenaga kerja mendapat “kiriman” dari Indonesia, disisi lain Indonesia yang
mengiri tenaga kerja memperoleh devisa yang cukup tinggi. Sisi negatifnya
adalah mencoloknya ketimpangan sosial dan kemakmuran dari suatu negara sehingga
tidak menutup kemungkinan bahwa negara yang lebih besar mampu mengintimidasi
negara yang lebih kecil. Mungkin disebabkan oleh sisi negatif itulah marxisme
menghendaki adanya kesetaraan sehingga kelas sosial pemisah botjuis dan
proletar terhapuskan.
Interpretasi mengenai marxisme, sebagai sebuah
pengaruh logis dalam hal ini kemudian mengharuskan untuk menciptakan ketahan
yang kuat, terutama dari serangan kaum realis dan neorealis. Kaum realis
membantah bahwa kapitalisme akan menyatukan dunia dalam sesuatu seperti yang
diramalkan kaum Marxis dan menolak pandangan bahwa kaum proletar revolusioner
global dapat muncul di dalam dunia yang terbagi-bagi atas negara-bangsa yang
berbeda-beda (Burchill dal Linklater, 1996:177). Akan tetapi, realisme
mengidentifikasikan salah satu kelemahan mendasar dalam pemikiran Marxis.
Identifikasi dari realis yaitu interpretasi reduksionis-nya atas negara karena
kaum Marxis terlalu sering menitikberatkan peran yang dimainkan negara dalam
melindungi kepentingan kelas dari penguasa dari pesaing-pesaingnya dan
kelas-kelas sub-ordinan. Marxisme tersebut pada akhirnya gagal karena mereka
mendasarkan diri pada pandangan yang sempit atas negara dan perilakunya.
Jadi sebenarnya pandangan Marxisme menawarkan sebuah
visi historis besar dalam rangka perubahan umat manusia dari keadaan asalanya
dimana masyarakat skala kecil berinteraksi satu sama lain menuju kehidupan
modern dimana umat manusia teritregasi, dan diperas, oleh kerasnya kehidupan
kapitalisme global (Burchill dan Linklater, 1996:189). Marxisme menginginkan
menginginkan adanya penghapusan kelas sosial agar kaum proletar mampu maju
dengan kehidupan yang modern tanpa adanya paksaan atau tekanan dari kaum
borjuis. Apa yang diharapkan oleh kaum Marxisme sebagai sebuah sudut pandang
pada dasarnya adalah hal yang baik akan tetapi dikhawatirkan dengan adanya
kesetaraan justru akan memunculkan berbagai konflik karena tidak adanya
kerjasama dan interdepedensi.
REFERENSI
Burchill, Scott dan Andrew Linklater, 1996, Theories
of International Relations, New York. ST Martin’s Press INC
Wardhani. Baiq, 2013, Marxism and
Structuralism in IR, materi disampaikan pada mata kuliah Teori Hubungan
Internasional pada 28 Maret 2013
No comments:
Post a Comment