Tuesday, April 11, 2017

Teori - Rasionalisme, Jembatan antara Realisme dan Liberalisme


English School of Thougt atau yang biasanya disebut dengan rasionalisme merupakan sebuah sudut pandang yang berfokus pada masyarakat internasional. Terdapat dua versi yang diyakini sebagai sejarah kemunculan perspektif ini. Versi pertama, rasionalisme didirikan atau diawali oleh kelompok studi di British Community of International School pada tahun 1959  yang membahas politik internasional dan mendapat bantuan keuangan dari yayasan Rockefeller yang merupakan yayasan kemanusiaan di New York. Sedangkan versi kedua datang dari C. A. Manning yang berasal dari London School of Economics, dalam versi kedua asal muasal rasionalisme, Manning lebih berfokus pada kondisi anarki dunia.
            Sama halnya dengan teori-teori dalam hubungan internasional sebelumnya, rasionalisme pun juga memiliki asumsi-asumsi dasar. Asumsi pertama, seperti yang dikemukakan Wight (dalam Linklater dan Suganami, 2006) bahwa semua negara memiliki kedudukan yang sama di level internasional. Wight menekankan bahwa besar kecilnya negara tidak begitu penting karena tiap negara memiliki posisi yang sama dengan negara lain dalam dunia internasional. Asumsi kedua menyatakan bahwa terdapat anarki didalam sistem internasional, akan tetapi walaupun berada dalam sistem anarki, tidak menutup kemungkinan perdamaian kolektif dapat terwujud. Maksud dari anarki dalam konteks ini adalah masih terdapat high level of order dan low level of violence.  Akan tetapi, tidak berarti rasionalime mengabaikan fenomena kekerasan dalam hubungan antar negara dalam sistem internasional, melainkan menurut pandangan rasionalis, hal ini masih dapat diminimalisir dan dikendalikan oleh hukum yang berlaku.
            Rasionalisme tidak berfokus pada sistem negara ataupun komunitas umat manusia, tetapi pada apa yang dianggap pada sebagai realitas dasar yang diabaikan oleh realisme dan liberalisme. Pada beberapa tingkatan, rasionalism tertarik ke arah elemen-elemen realisme dan liberalisme, yang meski demikian menempati titik tengah antara kedua kubu ekstrim ini. Rasionalisme, ungkap Wight (dalam Burchill, 1996), adalah via media (media penengah) antara realisme dan revosionalisme: istilah revosionalisme adalah ekspresi Wight untuk jalan pemikiran liberalis atau kosmopolitan (Burchill dan Linklater, 1996:127). Posisi yang didudukin oleh rasionalisme sebagai via media memunculkan pertanyaan mengenai bagaimana tatanan dan perubahan dikonsepkan oleh para rasionalis. Rasionalisme menyimpang dari realisme dengan berusaha menjelaskan bagaimana negara mengatur pencarian kekuasaan dalam konteks anarki (Burchill dan Linklater, 1996:128). Dibandingkan dengan realisme, rasionalisme kurang menaruh perhatian pada masalah negara-negara yang berbuat curang, serta negara yang mengatur dan mengalahkan negara lain.
            Proyek utama kaum rasionalis adalah menjelaskan tingkat tatanan yang sangat tinggi yang ada diantara kesatuan-kesatuan politik yang menolak untuk tunduk kepada otoritas politik yang lebih tinggi. Bull (dalam Burchill dan Linklater, 1996) percaya bahwa suatu tatanan bisa muncul di antara negara yang tidak merasa bahwa mereka masuk ke dalam peradaban yang sama. Terdapat tiga pemikiran besar dalam memandang hubungan antar negara. Pertama, hobbesian atau realism yang fokus terhadap sistem internasional berpikiran bahwa negara merupakan agen kekuasaan yang mengejar kepentingannya sendiri. Kedua, Grotian atau rasionalisme yang fokus terhadap masyarakat internasional yang berpikiran bahwa negara merupakan organisasi hukum dan hubungan internasional sebagai aktifitas aturan-perintah berdasarkan pada kekuasaan yang saling diakui dari negara berdaulat. Ketiga, kantian atau revosionalisme yang fokus pada masyarakat dunia dan menitikberatkan pada manusia yang membentuk komunitas dunia yang lebih fundamental daripada masyarakat.
            Seperti yang telah dituliskan pada paragraf sebelumnya, rasionalisme berfokus pada masyarakat internasional. Untuk memahami konsep masyarakat internasional terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan yaitu pendekatan pluralis dan grotian. Dalam pendekatan grotian, potensi solidaritas dari negara-negara yang tergabung dalam masyarakat internasional yang menghormati pelaksanaan hukum dengan pengaturan institusional untuk membentuk peraturan dan keadilan. Sedangkan dalam pendekatan pluralis negara-negara mengikuti peraturan yang ada disebabkan oleh kepentingan yang sama untuk menjaga tatanan, dan tatanan inilah yang kemudian membentuk institusi.
            Seperti halnya teori-teori hubungan internasional yang telah dibahas sebelumnya, rasionalisme pun memiliki kekuatan dan kelemahan. Dengan kekuatannya, rasionalisme menghindari apa yang oleh E.H. Carr (dalam Burchill dan Linklater, 1996) disebut “sterilitas” realisme dan “kenaifan serta kegembiraan” idealisme. Rasionalisme harus dibedakan dari realisme karena menekankan pada bagaimana negara mempelajari kemampuan mengakomodasi kepentingan pihak lain dan menciptakan ketertiban pihak sipil bahkan dalam suasana anarki. Rasionalis giat menekankan pentingnya toleransi sebagai satu prinsip hubungan internasional dan perlunya memahami bahwa preferensi moral dan politik dari satu negara atau kelompok negara bisa membangkitkan sedikit loyalitas dimana saja. Sedangkan kelemahannya adalah masih banyak aspek yang belum dikaji dalam rasionalisme khususnya aspek historis dan pluralis. Lalu, rasionalisme menolak nilai “bebas nilai” dengan melihat bahwasannya adanya berbagai fenomena yang terjadi selalu menyelipkan unsur moralitas didalamnya.
            Kenneth Waltz (dalam Linklater, 2006) menghargai adanya rasionalisme karena menilai rasionalisme sebagai usaha yang berharga. Akan tetapi, rasionalisme tidak dapat dikatakan sebagai teoti karena pengertiannya tidak akan diakui oleh para penstudi. Rasionalisme adalah cabang teori hubungan internasional yang berusha memahami bagaimana negara-negara yang berbeda kultur bisa mencapai kesepakatan dalam hal prinsip-prinsip ketertiban dan keadilan internasional.

            REFERENSI
Burchill, Scott & Andrew Linklater. 1996. Theories of International Relation, New York : ST Martin’s Press, INC
Linklater, Andrew & Hidemi Suganami. 2006. The English School of International Relations: A Contemporary Reassessment. Cambridge University Press, pp1-116.
Wardhani, Baiq Lekar Sinayang. 2013. Rationalism and English School of Thought,  dalam Kuliah Teori-teori Hubungan Internasional, Fisip Universitas Airlangga. Kamis, 5 April 2013.


No comments:

Post a Comment