Semenjak setelah Perang Dunia pertama, disiplin ilmu
dalam hubungan internasional telah menjaga identitas dan batasan yang
dimilikinya dengan sangat teliti dan waspada selayaknya penjaga perbatasan yang
menjaga daerah perbatasan negaranya. Tidak hanya hingga tahun 1980-an bahwa
Hubungan Internasional dihadapkan pada kritik radikal, akan tetapi yang paling
mendasar, asumsi-asumsi yang tidak dipertanyakan mengenai klaim ilmu
pengetahuan dan tatanan hal yang saat ini diteliti dengan seksama begitu
Hubungan Internasional merasakan dampak teori kritis (Burchill dan Linklater,
1996:195). Di balik teori internasional kritis terdapat keyakinan bahwa
hubungan internasional bisa menjadi sesuatu yang lain dari yang sebelumnya pada
tingkat teoritis maupun prakteknya. Asal usul teori kritis berakar pada
pemikiran yang sering mengarah kembali pada pencerahan dan berkaitan dengan
tulisan Kant, Hegel dan Marx (Burchill dan Linklater, 1996:196). Akan tetapi,
terdapat pula jejak pemikiran Yunani Kuno pada otonomi dan demokrasi yang bisa
dipertimbangkan, seperti halnya pemikiran Nietzsche dan Weber, sehingga
menjadikan tulisan Kant, Hegel dan Marx (dalam Burchill dan Linklater 1996)
bukanlah hal satu-satunya garis yang mungkin dirunut.
Pada abad ke-20, teori kritis menjadi sangat berkaitan menjadi sangat berkaitan
dengan sebuah pemikiran berbeda yang dikenal dengan Mazhab Frankfurt. Hal
penting pada teori kritis Mazhab Frankfurt adalah pemikiran untuk memahami
sifat-sifat utama dari masyarakat kontemporer dengan memahami perkembangan
sejarah dan sosialnya. Teori kritis dimaksudkan untuk tidak hanya
menyingkirkan satu ancaman atau yang lainnya melainkan untuk menganalisis
struktur sosial yang ada dan yang muncul dalam ancaman-ancaman tersebut, dengan
tujuan untuk mengatasi semua itu (Burchill dan Linklater, 1996:196). Terdapat
perbedaan penting antara teori kritis dan Yunani yang diutarakan oleh Hegel dan
Marxis (dalam Burchill dan Linklater 1996) mengenai imu pengetahuan dan
ideologi. Pokok-pokok yang harus diketahui dalam hal ini ialah refleksi pada
batas apa yang bisa diketahui merupakan bagian yang mendasar dari mengajukan
teori dan ilmu pengetahuan selalu terkondisi oleh konteks-konteks sejarah.
Dalam banyak cara, teori internasional kritis muncul sebagai respons terhadap
neo-realisme Waltz. Dalam wacana pentingnya, Theory of International Politics
(1979), Waltz (dalam Burchill dan Linklater 1996) berusaha menempatkan
realisme, atau teori keseimbangan kekuasaan pada landasan saintifik yang lebih
kokoh yang bertujuan menjelaskan mengapa pola-pola tertentu tetap konstan dalam
politik internasional. Teori kritis bermula dari dasar pemikiran bahwa teori
selalu terkondisikan dalam waktu dan tempat tertentu. Teori, seperti semua ilmu
pengetahuan, perlu dikondisikan oleh pengaruh sosial, kultural, dan ideologis,
dan satu tugas utama dari teori kritis adalah menunjukkan dampak pengkondisian
tersebut (Burchill dan Linklater, 1996:202). Teori kritis tidak hanya berkaitan
dengan pemberian penjelasan atas realitas yang ada di politik internsional,
tetapi juga bertujuan mengupas untuk mengubahnya yang merupakan usaha untuk
memahami proses-proses sosial yang penting untuk tujuan menginaugurasi
perubahan, atau setidaknya mengetahui apakah mungkin diadakan perubahan
(Burchill dan Linklater 1996:203). Dalam istilah Hoffman (dalam Burchill dan
Linklater 1996), ini “bukanlah sekedar sebuah ekspresi realitas konkret dari
keadaan sejarah, tetapi juga merupakan kekuatan untuk berubah dalam
kondisi-kondisi tersebut”.
Teori kritis harus mampu memberikan penilaian kritis, historis, terhadap asal
usul dan perubahan tatanan yang berlaku jika teori itu hendak menghadirkan
sebuah penilaian yang logis mengenai kemungkinan adanya perubahan. Jangkar
historis inilah yang mencegah kepentingan normatif teori internasional kritis
dalam perubahan progresif tidak tergelincir ke dalam fantasi belaka. Penggunaan
praktis teori kritis adalah untuk mempertimbangkan kekuatan-kekuatan sosial dan
politik yang harus digerakkan nantinya untuk menghasilkan satu hasil yang
mungkin (Burchill dan Linklater, 1996:209). Dalam pendekatan yang ditawarkan
oleh teori kritis terkandung sebuah fokus pada totalitas masyarakat. Fokus ini
mendesak metodologi holistik seperti yang digunakan Hegel juga Marx yang
terdiri atas momen abstraksi dan momen rekonstruksi. Momen abstraksi ialah
dimana suatu struktur atau obyek yang spesifik untuk sementara waktu diambil
dari konteksnya untuk dipelajari secara terpisah, sedangkan momen rekonstruksi
adalah dimana yang di abstraksi tersebut dimasukkan kembali menjadi satu
keseluruhan (Burchill dan Linklater, 1996:210). Dapat dikatakan momen abstraksi
ialah bagian dari kajian dari momen rekonstruksi yang diambil untuk dipelajari
secara terpisah.
Teori kritis memberikan sebuah kontribusi penting terhadap studi hubungan
internasional berkaitan dengan pertanyaan dasar mengenai epistimologi dan
ontologi di awal tahun 1980-an. Kontribusi teori kritis berkaitan dengan tiga
bidang, yang pertama yaitu analisis sosiologis-historis terhadap struktur
politik dunia modern. Kedua, kritik filosofis terhadap partikularisme dan
eksklusi. Dan ketiga, penyelidikan filosofis ke dalam suatu kondisi yang
memungkinkan terjadinya emansipasi dalam politik dunia (Burchill dan Linklater,
1996:233). Dari ketiga bidang ini terdapat tema umum yang dapat dibentuk. Tema
umum yang terbentuk dari ketiga topik ini adalah negara yang berdaulat yang
merupakan aktor sentral dalam dunia. Negara berdaulat adalah contoh utama dari
institusi politik. Maka dari itu, teori kritis menjadi diperlukan dalam
hubungan internasional karena ketiga bidang yang merupakan kontribusi dari
teori kritik menggabungkan unsur-unsur yang diperlukan dalam mengkaji sebuah
ilmu maupun fenomena, karena tidak hanya mempertimbangakan unsur sosial yang
terjadi disekitar namun juga unsur sejarah yang berdampak pada aktivitas dunia
sosial yang terjadi saat ini.
REFERENSI
Burchill, Scott & Andrew Linklater. 1996.
Theories of International Relation, New York : ST Martin’s Press, INC
No comments:
Post a Comment