Posmodernitas sering diartikan mengacu pasa satu
periode sejarah tertentu yang menggantikan modernitas. Padahal sesungguhnya
posmodernisme sangatlah berbeda dan menentang atau menumbangkan banyak ide
dalam teori hubungan internasional walaupun terdapat banyak kompleksitas yang
terkandung dalam karya posmodernisme. Asal mula posmodernisme adalah gelombang
radikalisme politik yang melanda dunia Barat pada akhir 1960an yang bisa
dilihat dengan mengidentifikasi serangkaian kelompok yang tersingkir, seperti
para mahasiwa aktivis, kelompok feminis, environmentalis, dan liberasionalis
gay (Steans dan Pettiford, 2009:260). Posmodernisme mengaitkan pengetahuan
sebagai kekuatan atau sebaliknya karena posmodernisme mengacu pada hubungan
antara kekuatan dan pengetahuan. Dalam sudut pandang posmodernisme, pengetahuan
merupakan alat yang digunakan untuk menyebarkan kekuatan sedangkan kekuatan
merupakan agregasi dari pengetahuan. Perlu ditekankan disini bahwa pengetahuan
yang dimaksud tidak hanya terbatas atas pengetahuan yang terkait dengan ilmu
yang dibahas di sekolah saja. Posmodernisme menaruh perhatian pada deceptive
essentialist discourses yang berarti pengetahuan dibangun dari
kepentingan-kepentingan tertentu. Jadi apa yang dipahami atau diketahui, itulah
pengetahuan.
Terdapat beberapa hal yang merupakan karateristik dari posmodernisme, antara
lain posmodernisme masih berdebat mengenai kata “posmodernisme. Hal yang
diperdebatkan disini ialah dimana batasan dari bahasan posmodernisme itu
sendiri. Selanjutnya posmodernisme adalah perspektif yang kontroversial dalam berbagai
aspek dan penyimpangan moral dari politik pakem-pakem yang telah ada, karena
setelah dikaji, nampaknya posmodernisme tidak memiliki pakem yang dapat
dijadikan landasan. Lalu posmodernisme mengkritik hal-hal yang terkait
kelas-kelas sosial, ras, dan gender karena seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, posmodernisme dapat dilihat melalui identifikasi serangkaian
kelompok tersingkir. Contohnya posmodernisme mengkritisi perempuan dari negara
miskin, Afrika, berkulit hitam, dan pengangguran. Kritik posmodernisme tidak
akan jauh-jauh dari bahasan mengenai kelas sosial, ras, dan gender.
Posmodernisme juga melakukan pendekatan dari berbagai sudut pandang, sehingga
mereka dapat merefleksikannya terhadap diri sendiri. Selanjutnya, posmodernisme
menolak totalizing atau esensi daro sistem teori yang telah
muncul diawal, terutama klasik marxism. Posmodernisme tidak memiliki pakem, hal
ini lah yang menjadi kritik terbesar dalam posmodernisme karena tanpa pakem,
seperti yang telah digunakan oleh teori-teori pendahulunya, posmodernisme belum
berhasil membuat konstruksi pemikirannya menjadi suatu yang empiris sehingga
hanya menjadikan konstruksi pemikirannya sebatas wacana (Wardhani, 2013). Dan
yang terakhir, posmodernisme beranggapan bahwa kebenaran merupakan sesuatu yang
nol atau tidak ada keberadaannya, karena menurut mereka kebenaran merupakan
sesuatu yang mutlak dan tidak perlu diperdebatkan.
Selain memiliki karateristik yang mampu menjadikan posmodernisme sebagai teori
yang khas, posmodernisme juga memiliki asumsi dan argumen. Pertama, tatanan
dunia adalah apa yang tidak diberikan oleh Tuhan. Dari asumsi tersebut dapat
disimpulkan bahwa penganut posmodernisme bukanlah kaum yang mempercayai
keberadaan Tuhan Menurut mereka, tatanan dunia adalah hasil rekonstruksi
manusia. Kedua, segala pemahaman yang dapat dilihat atau dirasakan oleh panca
indera merupakan hasil karya manusia. Asumsi kedua semakin memperkuat
bahwasannya kaum posmodernisme tidak percaya denganadanya Tuhan. Karena seperti
yang kita ketahui, kitab suci adalah pemahaman yang dapat dilihat, disentuh,
dan dirasakan oleh manusia yang dibuat oleh Tuhan Yang Maha Esa. Akan tetapi
dalam sudut pandang posmodernisme, kitab suci merupakan sesuatau yangman
made karena kitab suci merupakan pemahaman yang dapat tertangkap oleh
panca indera. Ketiga, manusia bertanggung jawab atas apa yang memberi arti pada
mereka. Hal ini disebut dengan istilah genealogi yang berarti sesuatu yang
bersifat historical. Posmodernisme tidak akan serta merta menerima
suatu keadaan tanpa menelaah lebih jauh sejarah dari suatu keadaan tersebut.
Contohnya terdapat warna biru, kaum posmodernis tidak akan serta merta
mempercayai perkataan tersebut, sebaliknya mereka akan mencari sejarah atau
asal-usul mengapa warna itu disebut biru, apa alasanya, dan sebagainya.
Keempat, menurut posmodernisme manusia juga memiliki kedaulatan. Tentu saja
asumsi posmodernisme sangat bertentangan dengan Hubungan Internasional dimana
dalam Hubungan Internasional, kedaulatan hanya dimiliki oleh negara. Kelima,
pengetahuan tergantung pada kebebasan atau kedaulatan manusia. Semakin manusia
tersebut bebas, makan akan semakin melimpah pengetahuan yang dimiliki, dan
begitu pula sebaliknya. Selanjutnya, posmodernisme tidak memiliki body
of knowledge yang tunggal, karena badan dari pengetahuan sudut pandang
ini sangat beragam. Padahal, salah satu syarat dari sebuah teori ialah memiliki
metodologi. Lalu dalam kacamata posmodernisme, negara merupakan artifisial
konstruksi dari identitas. Dan yang terakhir, posmodernisme sangat
mengagung-agungkan dekonstruksi atau membongkar atau mengahncurkan sesuatu,
lalu membangun lagi sesuatu yang baru.
Posmodernisme berbicara mengenai isu-isu seputar hubungan kekuasaan-ilmu
pengetahuan, strategi tekstual dan interpretatif, berteori tentang negara
berdaulat, dan mempertanyakan eksklutifitas etika (Burchill dan Linklater,
1996:276). Sumbangan posmodernisme untuk melakukan penelitian dalam ranah
tersenut telah banyak, walaupun tidak dapat dibuktikan secara empiris. Walaupun
memiliki asumsi yang bertentangan dengan hubungan internasional, posmodernisme
juga memiliki kontribusi antara lain, kritik terhadap negara berdaulat baik
secara materi maupun normatif. Lalu problematisasi kedaulatan-anarki
pertentangan, yang merupakan sebuah dekonstruksi atas pertentangan dasar dalam
teori hubungan internasional. Dan teoritisasi konstitusi historis dan
rekonstitusi negara berdaulat, yang merupakan analisis genealogis mengenai
bagaimana negara dibentuk sebagai mode utama subjektifitas dalam hubungan
internasional (Burchill dan Linklater, 1996:277). Dengan menggabungkan asumsi,
argumen, kritik, dan kontribusi, dekonstruksi dan genealogi, posmodernisme
telah membuka studi ilmu hubungan internasional ke arah yang lebih teliti dan
lebih merefleksikan terhadap diri sendiri sehingga dapat lebih memahami suatu
fenomena.
REFERENSI
Burchill, Scott & Andrew Linklater. 1996. Theories
of International Relation, New York : ST Martin’s Press, INC
Steans, Jill & Lloyd Pettiford. 2009. International
Relation : Perspective and Themes, England : Pearson Education Limited,
Edinburg Gate, Harlow, Essex CM20 2JE
Wardhani. Baiq, 2013, Postmodernism in IR,
materi disampaikan pada mata kuliah Teori Hubungan Internasional pada 2 Mei
2013
No comments:
Post a Comment