Tuesday, April 11, 2017

Teori - Posmodernisme, Sudut Pandang Tanpa Pakem


Posmodernitas sering diartikan mengacu pasa satu periode sejarah tertentu yang menggantikan modernitas. Padahal sesungguhnya posmodernisme sangatlah berbeda dan menentang atau menumbangkan banyak ide dalam teori hubungan internasional walaupun terdapat banyak kompleksitas yang terkandung dalam karya posmodernisme. Asal mula posmodernisme adalah gelombang radikalisme politik yang melanda dunia Barat pada akhir 1960an yang bisa dilihat dengan mengidentifikasi serangkaian kelompok yang tersingkir, seperti para mahasiwa aktivis, kelompok feminis, environmentalis, dan liberasionalis gay (Steans dan Pettiford, 2009:260). Posmodernisme mengaitkan pengetahuan sebagai kekuatan atau sebaliknya karena posmodernisme mengacu pada hubungan antara kekuatan dan pengetahuan. Dalam sudut pandang posmodernisme, pengetahuan merupakan alat yang digunakan untuk menyebarkan kekuatan sedangkan kekuatan merupakan agregasi dari pengetahuan. Perlu ditekankan disini bahwa pengetahuan yang dimaksud tidak hanya terbatas atas pengetahuan yang terkait dengan ilmu yang dibahas di sekolah saja. Posmodernisme menaruh perhatian pada deceptive essentialist discourses  yang berarti pengetahuan dibangun dari kepentingan-kepentingan tertentu. Jadi apa yang dipahami atau diketahui, itulah pengetahuan.
            Terdapat beberapa hal yang merupakan karateristik dari posmodernisme, antara lain posmodernisme masih berdebat mengenai kata “posmodernisme. Hal yang diperdebatkan disini ialah dimana batasan dari bahasan posmodernisme itu sendiri. Selanjutnya posmodernisme adalah perspektif yang kontroversial dalam berbagai aspek dan penyimpangan moral dari politik pakem-pakem yang telah ada, karena setelah dikaji, nampaknya posmodernisme tidak memiliki pakem yang dapat dijadikan landasan. Lalu posmodernisme mengkritik hal-hal yang terkait kelas-kelas sosial, ras, dan gender karena seperti yang telah disebutkan sebelumnya, posmodernisme dapat dilihat melalui identifikasi serangkaian kelompok tersingkir. Contohnya posmodernisme mengkritisi perempuan dari negara miskin, Afrika, berkulit hitam, dan pengangguran. Kritik posmodernisme tidak akan jauh-jauh dari bahasan mengenai kelas sosial, ras, dan gender. Posmodernisme juga melakukan pendekatan dari berbagai sudut pandang, sehingga mereka dapat merefleksikannya terhadap diri sendiri. Selanjutnya, posmodernisme menolak totalizing atau esensi daro sistem teori yang telah muncul diawal, terutama klasik marxism. Posmodernisme tidak memiliki pakem, hal ini lah yang menjadi kritik terbesar dalam posmodernisme karena tanpa pakem, seperti yang telah digunakan oleh teori-teori pendahulunya, posmodernisme belum berhasil membuat konstruksi pemikirannya menjadi suatu yang empiris sehingga hanya menjadikan konstruksi pemikirannya sebatas wacana (Wardhani, 2013). Dan yang terakhir, posmodernisme beranggapan bahwa kebenaran merupakan sesuatu yang nol atau tidak ada keberadaannya, karena menurut mereka kebenaran merupakan sesuatu yang mutlak dan tidak perlu diperdebatkan.
            Selain memiliki karateristik yang mampu menjadikan posmodernisme sebagai teori yang khas, posmodernisme juga memiliki asumsi dan argumen. Pertama, tatanan dunia adalah apa yang tidak diberikan oleh Tuhan. Dari asumsi tersebut dapat disimpulkan bahwa penganut posmodernisme bukanlah kaum yang mempercayai keberadaan Tuhan Menurut mereka, tatanan dunia adalah hasil rekonstruksi manusia. Kedua, segala pemahaman yang dapat dilihat atau dirasakan oleh panca indera merupakan hasil karya manusia. Asumsi kedua semakin memperkuat bahwasannya kaum posmodernisme tidak percaya denganadanya Tuhan. Karena seperti yang kita ketahui, kitab suci adalah pemahaman yang dapat dilihat, disentuh, dan dirasakan oleh manusia yang dibuat oleh Tuhan Yang Maha Esa. Akan tetapi dalam sudut pandang posmodernisme, kitab suci merupakan sesuatau yangman made karena kitab suci merupakan pemahaman yang dapat tertangkap oleh panca indera. Ketiga, manusia bertanggung jawab atas apa yang memberi arti pada mereka. Hal ini disebut dengan istilah genealogi yang berarti sesuatu yang bersifat historical. Posmodernisme tidak akan serta merta menerima suatu keadaan tanpa menelaah lebih jauh sejarah dari suatu keadaan tersebut. Contohnya terdapat warna biru, kaum posmodernis tidak akan serta merta mempercayai perkataan tersebut, sebaliknya mereka akan mencari sejarah atau asal-usul mengapa warna itu disebut biru, apa alasanya, dan sebagainya. Keempat, menurut posmodernisme manusia juga memiliki kedaulatan. Tentu saja asumsi posmodernisme sangat bertentangan dengan Hubungan Internasional dimana dalam Hubungan Internasional, kedaulatan hanya dimiliki oleh negara. Kelima, pengetahuan tergantung pada kebebasan atau kedaulatan manusia. Semakin manusia tersebut bebas, makan akan semakin melimpah pengetahuan yang dimiliki, dan begitu pula sebaliknya. Selanjutnya, posmodernisme tidak memiliki body of knowledge yang tunggal, karena badan dari pengetahuan sudut pandang ini sangat beragam. Padahal, salah satu syarat dari sebuah teori ialah memiliki metodologi. Lalu dalam kacamata posmodernisme, negara merupakan artifisial konstruksi dari identitas. Dan yang terakhir, posmodernisme sangat mengagung-agungkan dekonstruksi atau membongkar atau mengahncurkan sesuatu, lalu membangun lagi sesuatu yang baru.
            Posmodernisme berbicara mengenai isu-isu seputar hubungan kekuasaan-ilmu pengetahuan, strategi tekstual dan interpretatif, berteori tentang negara berdaulat, dan mempertanyakan eksklutifitas etika (Burchill dan Linklater, 1996:276). Sumbangan posmodernisme untuk melakukan penelitian dalam ranah tersenut telah banyak, walaupun tidak dapat dibuktikan secara empiris. Walaupun memiliki asumsi yang bertentangan dengan hubungan internasional, posmodernisme juga memiliki kontribusi antara lain, kritik terhadap negara berdaulat baik secara materi maupun normatif. Lalu problematisasi kedaulatan-anarki pertentangan, yang merupakan sebuah dekonstruksi atas pertentangan dasar dalam teori hubungan internasional. Dan teoritisasi konstitusi historis dan rekonstitusi negara berdaulat, yang merupakan analisis genealogis mengenai bagaimana negara dibentuk sebagai mode utama subjektifitas dalam hubungan internasional (Burchill dan Linklater, 1996:277). Dengan menggabungkan asumsi, argumen, kritik, dan kontribusi, dekonstruksi dan genealogi, posmodernisme telah membuka studi ilmu hubungan internasional ke arah yang lebih teliti dan lebih merefleksikan terhadap diri sendiri sehingga dapat lebih memahami suatu fenomena.

REFERENSI
Burchill, Scott & Andrew Linklater. 1996. Theories of International Relation, New York : ST Martin’s Press, INC
Steans, Jill & Lloyd Pettiford. 2009. International Relation : Perspective and Themes, England : Pearson Education Limited, Edinburg Gate, Harlow, Essex CM20 2JE
Wardhani. Baiq, 2013, Postmodernism in IR, materi disampaikan pada mata kuliah Teori Hubungan Internasional pada 2 Mei 2013


No comments:

Post a Comment