Tuesday, April 11, 2017

Teori - Feminisme, Studi Hubungan Internasional dalam Perspektif Gender


Kata “internasional” dalam hubungan internasional dicirikan sebagai suatu bentuk politik tingkat tinggi antar negara yang juga beresiko tinggi. Tindakan negara atau lebih tepatnya tindakan laki-laki untuk negara telah memberi dominasi lebih untuk hubungan internasional. Feminisme merupakan suatu hal yang relatif baru apabila dibandingkan dengan perspektif pendahulunya dan sangat provokatif dalam teori maupun praktik di hubungan internasional. Mauknya perempuan ke kancah pertempuran militer telah meruntuhkan pertahanan terakhir keistimewaan kewarganegaraan laki-laki pada sejumlah negara, dan eonomi global membuat sejumlah pergeseran dan perspektif tradisional pemisahan tenga kerja berdasarkan gender dengan mengenalkan perspektif feminis ke dalam politik global selama dasawarsa terakhir, telah mengancam dasar-dasar ontologis dan epistimologis Hubungan Internasional, salah satu sisi disiplin yang melindungi laki-laki dan maskulinitas (Burchill dan Linklater, 1996:282).
Menurut analisis Cristine Sylvester (dalam Burchill 1996), perempuan dan keterkaitan mereka dengan ranah pribadi ke-domestik-an, moralitas, sobyektifitas, gairah, ke-fiminim-an, yang bukan merupakan lapangan kajian, tidak termasuk dalam konteks fragmentasi disipliner dan  tantangan posmodern atas batas-batas, ketika Hubungan Internasional tidak memiliki keyakinan apa sebenarnya hal tersebut. Tidak benar adanya bahwa hanya karena Hubungan Internasional tidak mengintegrasikan aliran feminisme maka tidak ada catatan sejarah dan upaya ilmiah atas kajian tentang perempuan, gender, dan teori feminis. Rebecca Grant (dalam Burchill 1996) menyatakan teori feminis berkembang berdampingan dengan teori hubungan internasional pada abad 20 sejak berakhirnya perang dunia I dan khususnya keberhasila gerakan untuk menuntut hak pilih bagi perempuan di Inggris dan Amerika Serikat. Terdapat kontra-norma dari filosof-filosof perempuan mulai dari Sappho di era Yunani Klasik, hingga Cristine Pisan di Eropa Barat modern yang terlibat dalam perdebatan sosial-politik mengenai asal usul otoritas, legitimasi, demokrasi, dan hak-hak universal dari perspektif perempuan (Burchill dan Linklater, 1996:283)
Asumsi-asumsi dari feminisme ialah mempelajari penyebab perang dan konflik dan ekspansi global perdagangan dengan tidak ada referensi khusus kepada banyak orang. Serta Penggunaan kategori abstrak dalam Hubungan Internasional efektif menghilangkan orang sebagai agen tertanam dalam konteks sosial dan sejarah Hubungan Internasional (Wardhani, 2013). Feminisme dibagi menjadi tiga bagian yaitu feminisme empirik, feminisme analitikal, dan feminisme normatif. Feminisme empiris lebih menaruh perhatian kepada perempuan dan hubungan gender sebagai aspek empiris hubungan internasional karena menurut feminis empiris kehidupan perempuan dan pengalaman sering dikecualikan dari studi hubungan internasional. Padahal pengalaman-pengalaman tersebut dapat dijadikan alat untuk memahami suatu kondisi konflik bahkan menghentikannya. Sebagai contoh para ibu dari tentara-tentara Amerika Serikat yang menuntut agar semua tentara ditarik mundur dari kawasan perang karena menurut para ibu tersebut, anak mereka yang berprofesi sebagai tentara akan mati sia-sia dalam peperangan. Dari pengalaman sebagai ibu yang tidak ingin anaknya mati sia-sia itulah akhirnya Amerika Serikat menghentikan perang dan tentu saja menarik mundur pasukannya. Contoh tersebut menunjukkan bahwa kehidupan perempuan dan pengalaman belum diteliti secara empiris dalam konteks politik dunia, padahal seperti yang tertulis sebelumnya, pengalaman perempuan juga memiliki pengaruh terhadap suatu fenomena.
Menurut feminisme empiris, pria adalah hal yang bias dalam proses pembangunan. Walaupun pada kenyataannya yang sering menjadi buruh di negara asing adalah wanita karena gender perempuan Dunia Ketiga menjadi sumber buruh yang murah dan fleksibel untuk menjadi tenaga kerja di perusahaan multinasional di zona perdagangan bebas. Selain itu adanya pertumbuhan fenomenal seks pariwisata dan perdagangan transnasional perempuan dan anak perempuan untuk prostitusi menjadi hal yang makin merendahkan gender perempuan karena hingga saat ini belum ditemukan adanya perdagangan laki-laki khususnya untuk sex tourism. Untuk negara-negara bawahan dalam sistem dunia, kegiatan ekonomi merupakan sumber utama devisa dan pendapatan nasional (Jeffrey 2002; Hanochi 2003). Akan tetapi, kegiatan ekonomi yang dilakukan negara-negara bawahan yang”menjual” para wanita untuk kepentingan ekonomi negara merupakan hal yang ingin dikritik serta dikaji oleh para feminis.
Feminisme yang kedua ialah analytical feminism yang mendekonstruksi kerangka teoritis Hubungan Internasional serta mengungkapkan  bias  gender yang meliputi  konsep kunci  dan menghambat  pemahaman yang akurat dan komprehensif dalam Hubungan Internasional (True:2001). Pada  feminisme  analitis  tidak  memandang  gender sebagai pembedaan secara biologis pria dan wanita melainkan lebih kepada konstruksi sosial terhadap maskulinitas-feminimitas.  Para hegemonik barat  memandang maskulinitas  sangat cocok  dengan  otonomi,  kedaulatan,  objektivitas,  dan  universalisme,  sedangkan  feminitas dianggap tidak memiliki kesemua karakter tersebut. Dengan begitu maskulinitas seolah-olah telah tertanam pada suatu institusi. Analisis feminis berpendapat bahwa kemerdekaan politik domestik  dari  politik  internasional  dan  pemisahan  publik  dari  ruang  privat  tidak  dapat menjadi dasar untuk batas disiplin, karena anarki diluar biasanya mendukung hirarki gender dirumah dan begitu pula sebaliknya (True:2001).
Dan yang terakhir adalah feminisme normatif. Feminisme normatif mencerminkan pada proses Hubungan Internasional berteori sebagai bagian dari agenda normatif bagi perubahan global (True:2001). Feminisme melihat konteks sosial politik sebagai bagian dari penjelasan teoretik. Feminisme tidak hanya berisi dengan hal-hal yang empiris melainkan tentu saja hal-hal normatif. Feminisme normatif ini membawa hal-hal yang normatif seperti etika dan aktvisme sosial perempuan. Perpektif normatif juga memandang perbedaan gender tida hanya tentang hubungan maskulin-feminin tetapi juga politik pengetahuan. Kesimpulannya, tidak sepenuhnya diabaikan oleh Hubungan Internasional walaupun masalah gender tidak sepenuhnya diutamakan dalam fenomena-fenomena yang terjadi.

REFERENSI
Burchill, Scott & Andrew Linklater. 1996. Theories of International Relation, New York : ST Martin’s Press, INC
True, Jacqui, 2001. Feminism, in; Scott Burchill, et al, Theories of International Relations, Palgrave, pp. 231-276.
Steans, Jill & Lloyd Pettiford. 2009. International Relation : Perspective and Themes, England : Pearson Education Limited, Edinburg Gate, Harlow, Essex CM20 2JE
Wardhani. Baiq, 2013, Gender and Feminism, materi disampaikan pada mata kuliah Teori Hubungan Internasional pada 16 Mei 2013


No comments:

Post a Comment