Kata “internasional” dalam hubungan internasional
dicirikan sebagai suatu bentuk politik tingkat tinggi antar negara yang juga
beresiko tinggi. Tindakan negara atau lebih tepatnya tindakan laki-laki untuk
negara telah memberi dominasi lebih untuk hubungan internasional. Feminisme
merupakan suatu hal yang relatif baru apabila dibandingkan dengan perspektif
pendahulunya dan sangat provokatif dalam teori maupun praktik di hubungan
internasional. Mauknya perempuan ke kancah pertempuran militer telah meruntuhkan
pertahanan terakhir keistimewaan kewarganegaraan laki-laki pada sejumlah
negara, dan eonomi global membuat sejumlah pergeseran dan perspektif
tradisional pemisahan tenga kerja berdasarkan gender dengan mengenalkan
perspektif feminis ke dalam politik global selama dasawarsa terakhir, telah
mengancam dasar-dasar ontologis dan epistimologis Hubungan Internasional, salah
satu sisi disiplin yang melindungi laki-laki dan maskulinitas (Burchill dan
Linklater, 1996:282).
Menurut analisis Cristine Sylvester (dalam Burchill
1996), perempuan dan keterkaitan mereka dengan ranah pribadi ke-domestik-an,
moralitas, sobyektifitas, gairah, ke-fiminim-an, yang bukan merupakan lapangan
kajian, tidak termasuk dalam konteks fragmentasi disipliner dan tantangan
posmodern atas batas-batas, ketika Hubungan Internasional tidak memiliki
keyakinan apa sebenarnya hal tersebut. Tidak benar adanya bahwa hanya karena
Hubungan Internasional tidak mengintegrasikan aliran feminisme maka tidak ada
catatan sejarah dan upaya ilmiah atas kajian tentang perempuan, gender, dan
teori feminis. Rebecca Grant (dalam Burchill 1996) menyatakan teori feminis
berkembang berdampingan dengan teori hubungan internasional pada abad 20 sejak
berakhirnya perang dunia I dan khususnya keberhasila gerakan untuk menuntut hak
pilih bagi perempuan di Inggris dan Amerika Serikat. Terdapat kontra-norma dari
filosof-filosof perempuan mulai dari Sappho di era Yunani Klasik, hingga
Cristine Pisan di Eropa Barat modern yang terlibat dalam perdebatan
sosial-politik mengenai asal usul otoritas, legitimasi, demokrasi, dan hak-hak
universal dari perspektif perempuan (Burchill dan Linklater, 1996:283)
Asumsi-asumsi dari feminisme ialah mempelajari
penyebab perang dan konflik dan ekspansi global perdagangan dengan tidak ada
referensi khusus kepada banyak orang. Serta Penggunaan kategori abstrak dalam
Hubungan Internasional efektif menghilangkan orang sebagai agen tertanam dalam
konteks sosial dan sejarah Hubungan Internasional (Wardhani, 2013). Feminisme
dibagi menjadi tiga bagian yaitu feminisme empirik, feminisme analitikal, dan
feminisme normatif. Feminisme empiris lebih menaruh perhatian kepada perempuan
dan hubungan gender sebagai aspek empiris hubungan internasional karena menurut
feminis empiris kehidupan perempuan dan pengalaman sering dikecualikan dari
studi hubungan internasional. Padahal pengalaman-pengalaman tersebut dapat
dijadikan alat untuk memahami suatu kondisi konflik bahkan menghentikannya.
Sebagai contoh para ibu dari tentara-tentara Amerika Serikat yang menuntut agar
semua tentara ditarik mundur dari kawasan perang karena menurut para ibu
tersebut, anak mereka yang berprofesi sebagai tentara akan mati sia-sia dalam
peperangan. Dari pengalaman sebagai ibu yang tidak ingin anaknya mati sia-sia
itulah akhirnya Amerika Serikat menghentikan perang dan tentu saja menarik
mundur pasukannya. Contoh tersebut menunjukkan bahwa kehidupan perempuan dan
pengalaman belum diteliti secara empiris dalam konteks politik dunia, padahal
seperti yang tertulis sebelumnya, pengalaman perempuan juga memiliki pengaruh
terhadap suatu fenomena.
Menurut feminisme empiris, pria adalah hal yang bias
dalam proses pembangunan. Walaupun pada kenyataannya yang sering menjadi buruh
di negara asing adalah wanita karena gender perempuan Dunia Ketiga menjadi
sumber buruh yang murah dan fleksibel untuk menjadi tenaga kerja di perusahaan
multinasional di zona perdagangan bebas. Selain itu adanya pertumbuhan
fenomenal seks pariwisata dan perdagangan transnasional perempuan dan anak
perempuan untuk prostitusi menjadi hal yang makin merendahkan gender perempuan
karena hingga saat ini belum ditemukan adanya perdagangan laki-laki khususnya
untuk sex tourism. Untuk negara-negara bawahan dalam sistem
dunia, kegiatan ekonomi merupakan sumber utama devisa dan pendapatan nasional
(Jeffrey 2002; Hanochi 2003). Akan tetapi, kegiatan ekonomi yang dilakukan
negara-negara bawahan yang”menjual” para wanita untuk kepentingan ekonomi
negara merupakan hal yang ingin dikritik serta dikaji oleh para feminis.
Feminisme yang kedua ialah analytical
feminism yang mendekonstruksi kerangka teoritis Hubungan Internasional
serta mengungkapkan bias gender yang meliputi konsep
kunci dan menghambat pemahaman yang akurat dan komprehensif dalam
Hubungan Internasional (True:2001). Pada feminisme analitis
tidak memandang gender sebagai pembedaan secara biologis pria dan
wanita melainkan lebih kepada konstruksi sosial terhadap
maskulinitas-feminimitas. Para hegemonik barat memandang
maskulinitas sangat cocok dengan otonomi, kedaulatan,
objektivitas, dan universalisme, sedangkan feminitas
dianggap tidak memiliki kesemua karakter tersebut. Dengan begitu maskulinitas
seolah-olah telah tertanam pada suatu institusi. Analisis feminis berpendapat
bahwa kemerdekaan politik domestik dari politik
internasional dan pemisahan publik dari
ruang privat tidak dapat menjadi dasar untuk batas disiplin,
karena anarki diluar biasanya mendukung hirarki gender dirumah dan begitu pula
sebaliknya (True:2001).
Dan yang terakhir adalah feminisme normatif.
Feminisme normatif mencerminkan pada proses Hubungan Internasional berteori
sebagai bagian dari agenda normatif bagi perubahan global (True:2001).
Feminisme melihat konteks sosial politik sebagai bagian dari penjelasan
teoretik. Feminisme tidak hanya berisi dengan hal-hal yang empiris melainkan
tentu saja hal-hal normatif. Feminisme normatif ini membawa hal-hal yang
normatif seperti etika dan aktvisme sosial perempuan. Perpektif normatif juga
memandang perbedaan gender tida hanya tentang hubungan maskulin-feminin tetapi
juga politik pengetahuan. Kesimpulannya, tidak sepenuhnya diabaikan oleh
Hubungan Internasional walaupun masalah gender tidak sepenuhnya diutamakan
dalam fenomena-fenomena yang terjadi.
REFERENSI
Burchill, Scott & Andrew Linklater. 1996. Theories
of International Relation, New York : ST Martin’s Press, INC
True, Jacqui, 2001. Feminism, in; Scott Burchill, et
al, Theories of International Relations, Palgrave, pp.
231-276.
Steans, Jill & Lloyd Pettiford. 2009. International
Relation : Perspective and Themes, England : Pearson Education Limited,
Edinburg Gate, Harlow, Essex CM20 2JE
Wardhani. Baiq, 2013, Gender and Feminism,
materi disampaikan pada mata kuliah Teori Hubungan Internasional pada 16 Mei
2013
No comments:
Post a Comment