Tuesday, April 11, 2017

Teori - GREEN THEORY, PERSPEKTIF ANTI MAINSTREAM


Green Theory atau yang biasa disebut dengan perspektif hijau merupakan salah satu teori dalam Ilmu Hubungan Internasional. Perspektif ini muncul pada tahun 1960, yang mana ketika itu muncul  isu global warming yang seperti kita ketahui membahayakan bumi tempat kita berpijak. Sebelumnya, akan disebutkan perbedaan dari environmentalis dan Green Theory. Environmentalis menerima suatu kerangka atas struktur politik, sosial, ekonomi, dan normatif dari politik internasional yang ada, dan berupaya untuk memperbaiki masalah lingkungan. Sedangkan Green Theory memandang struktur tersebut sebagai sumber utama dari krisis lingkungan dan oleh karenanya menetapkan bahwa struktur tersebut adalah objek yang perlu diuji dan lebih diutamakan (Matthew, 2001).
            Pada tahun 1970, terjadi perbedaan pendapat antara penganut Green Perspektif dengan para ekonom. Penganut Green Perspektif meyakini bahwa apabila industri meningkat atau berskala besar maka kerusakan lingkungan juga akan besar. Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya Perspektif Hijau tidak begitu mengharapkan pertumbuhan indistri yang tinggi karena nantinya hal itu dapat merusak lingkungan. Akan tetapi, para ekonom berfikir sebaliknya. Menurut mereka, apabila industri tinggi maka mereka akan mampu mengembangakan teknologi yang dapat memperbaiki lingkungan. Jadi para ekonom berfikiran bahwa mengembangkan industri salah satunya dilakukan dalam rangka pengembangan teknologi untuk memperbaiki lingkungan. Hingga pada akhirnya di tahun 1980 Perspektif Hijau resmi menjadi teori.
Perluasan ekonomi dan pertumbuhan populasi masyarakat manusia telah menghasilkan suatu rangkaian krisis yang saling berhubungan (Matthew:2001). Hal tersebut benar adanya karena dengan semakin meningkatnya populasi manusia tentu saja permintaan terhadap tempat tinggal akan meningkat pula. Apabila hal itu terjadi, maka akan dibutuhkan lahan untuk membangun hunian baru untuk memenuhi permintaan tersebut yang tentu saja akan mendantangkan keuntungan ekonomi bagi pengusaha-pengusaha properti. Bila lahan untuk membangun tidak ada, maka hutan pun akan “disulap” menjadi tempat hunian. Peningkatan pertumbuhan tersebut menciptakan suatu situasi dimana dunia dengan cepat kehabisan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan manusia atau untuk menyediakan bahan baku bagi pertumbuhan industri yang terus berlanjut hingga melampaui daya tampung dan kapasitas produksi, dan secara stimultan melampaui kapasitas penyerapan dari lingkungan untuk mengasimilasi sampah sisa industri. Menurut Donella Meadows (dalam Burchill 2001), bahwa dengan tingkat pertumbuhan pada masa sekarang ini, banyak bahan baku yang akan menipis dengan cepat, polusi dengan cepat akan melampaui kapasitas penyerapan lingkungan, dan umat manusia akan mengalami “degradasi dan jatuh” pada suatu waktu sebelum 2100.
Menanggapi peryataan Meadows, Dobson (dalam Burchill 2001) memberikan tiga argumentasi. Pertama, solusi teknologi tidak akan berguna karena teknologi bisa menunda krisis akan tetapi tidak bisa mencegahnya terjadi pada suatu titik tertentu. Hal tersebut cukup masuk akal mengingat bahwa hingga saat ini banyak ditemukan alat-alat berteknologi tinggi yang mampu menanggulangi bencana alam akibat kerusakan lingkungan, akan tetapi tidak ada satu pun alat yang mampu mencegah bencana alam akibat kerusakan lingkungan. Kedua, peningkatan pertumbuhan secara alami berarti bahwa bahaya yang tertumpuk dalam waktu yang relatif lama dapat dengan tiba-tiba menghasilkan suatu bencana. Dan yang terakhir, berbagai permasalahan yang berhubungan dengan pertumbuhan semuanya saling berhubungan.
Selain penganut Perspektif Hijau dan para ekonom, modernis dan eko radikal pun turut berdebat. Menurut para modernis, lingkungan hidup bukan merupakan suatu hal yang penting. Sedangkan dalam kacamata eko radikal, lingkungan hidup merupakan sesuatu yang vital (Sorensen, t.t ). Sebagai bentuk nyata dari perhatian terhadap lingkungan, pada tahun 1972 dibentuklah sebuah rezim yaitu Stockhol Conference yang membahas lingkungan secara eksplisit serta menginisiasi sustainable development. Akan tetapi, rezim tersebut dirasa kurang memberi perubahan yang signifikan terhadap lingkungan sehinga kemudian dilanjutkan lagi dengan Rio ConferenceRio Coference memberikan tiga kontribusi diawala perjuangan untuk memelihara lingkungan, antara lain membatasi peubahan iklim, melestarikan keanekaragaman hayati, dan memerangi penggurunan (Greene, 2001:410). Selain dua rezim diatas yang merupakan awal mula terbentuknya rezim lingkungan hidup, terdapat pula rezim-rezim lingkungan hidup yang lahir setelahnya yaituUN Framework on Climate Change pada tahun 1992 serta Protokol Kyoto yang lahir pada 1997.
Adapun asumsi dari Green Theory menurut Steans dan Pettiford (2009) ialah pertama, sebagai pemerhati lingkungan menekankan global diatas internasional. Kedua, sebagai pemerhati lingkungan berangkat dari pemahaman implisit bahwa kebiasaan-kebiasaan manusia masa kini dalam beberapa pengertian tidak lagi sejalan dengan dunia non-manusia. Terakhir, pemerhati lingkungan menekankan bahwa kebiasaan manusia zaman modern, yang di dukung oleh sistem kepercayaan filsafat antroposentris, sebagai penyebab utama dari krisis lingkungan hidup. Sedangkan kontribusi Perspektif Hijau terhadap Hubungan Intenasional adalah wawasan, space atau ruang, dan kesadaran.
Wawasan, Perspektif Hijau dibutuhkan karena hubungan internasional tidak semata-mata hanya membahasa konflik, perang, dan sebagainya. Akan tetapi dengan wawasan ini, perspektif ini mencoba untuk menyadarkan dunia bahwa dalam kancah internasional, lingkungan pun perlu diberi perhatian. Ruang, mengapa menjadi kontribusi dari Perspektif Hijau? Tentu saja karena ruang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan dalam hubungan internasional. Apabila lingkungan rusak maka ruang pun akan rusak sehingaa secara otomatis tidak ada ruang yang tersedia untuk berinteraksi antar negara, bahkan untuk pemerintahan. Kesadaran, dalam hal ini Perspektif Hijau ingin menyadarkan masyarakat global bahwa menjaga lingkungan itu perlu karena lingkungan dibutuhkan.
Walaupun Perspektif Hijau memberikan kontribusi untuk menjaga lingkungan demi kebaikan bersama, sudut pandang ini pun tidak terlepas dari kritik yang menganggap bahwa Perspektif Hijau selalu memisahkan antroposentris (egois, manusia merupakan puncak evolusi) dengan ekosentris. Ekosentrisme sendiri ialah sebuah penolakan terhadap pandangan dunia antroposentris yang hanya menempatkan nilai moral atas manusia menuju sebuah pandangan yang juga menempatkan nilai independen atas ekosistem dan semua makhluk hidup. Hal tersebut dianggap rasional dan terlalu memanjakan manusia. Perspektif Hijau merupakan suatu sudut pandang yang berbeda dari perspektif-perspektif yang menjadi pendahulunya karena seperti yang telah dibahas, Perspektif Hijau berfokus pada kelestarian lingkungan. Akan tetapi akan ada baiknya apabila dalam usaha memperbaiki lingkungan tersebut, lebih dipertegas agar antroposentris dan ekosentris tidak terpisah supaya tidak dinilai memanjakan manusia. Karena manusia juga merupakan orang yang pada saat yang bersamaan mampu menjaga sekaligus merusak ingkungan.
REFERENSI
Greene, Owen, 2001. Environmental issues, in; John Baylis & Steve Smith (eds.) The
Globalization of World Politics, 2nd edition, Oxford, pp. 387-414.
Paterson, Matthew, 2001. in; Scott Burchill, et al, Theories of International Relations,
Palgrave, pp. 277-307.
Steans, Jill & Lloyd Pettiford. 2009. International Relation : Perspective and Themes,
England : Pearson Education Limited, Edinburg Gate, Harlow, Essex CM20 2JE


No comments:

Post a Comment