Green Theory atau yang biasa disebut dengan perspektif
hijau merupakan salah satu teori dalam Ilmu Hubungan Internasional. Perspektif
ini muncul pada tahun 1960, yang mana ketika itu muncul isu global
warming yang seperti kita ketahui membahayakan bumi tempat kita berpijak.
Sebelumnya, akan disebutkan perbedaan dari environmentalis dan Green Theory.
Environmentalis menerima suatu kerangka atas struktur politik, sosial, ekonomi,
dan normatif dari politik internasional yang ada, dan berupaya untuk
memperbaiki masalah lingkungan. Sedangkan Green Theory memandang struktur
tersebut sebagai sumber utama dari krisis lingkungan dan oleh karenanya
menetapkan bahwa struktur tersebut adalah objek yang perlu diuji dan lebih
diutamakan (Matthew, 2001).
Pada tahun 1970, terjadi perbedaan pendapat antara penganut Green Perspektif
dengan para ekonom. Penganut Green Perspektif meyakini bahwa apabila industri
meningkat atau berskala besar maka kerusakan lingkungan juga akan besar. Hal
ini menunjukkan bahwa sesungguhnya Perspektif Hijau tidak begitu mengharapkan
pertumbuhan indistri yang tinggi karena nantinya hal itu dapat merusak
lingkungan. Akan tetapi, para ekonom berfikir sebaliknya. Menurut mereka,
apabila industri tinggi maka mereka akan mampu mengembangakan teknologi yang
dapat memperbaiki lingkungan. Jadi para ekonom berfikiran bahwa mengembangkan
industri salah satunya dilakukan dalam rangka pengembangan teknologi untuk
memperbaiki lingkungan. Hingga pada akhirnya di tahun 1980 Perspektif Hijau
resmi menjadi teori.
Perluasan ekonomi dan pertumbuhan populasi
masyarakat manusia telah menghasilkan suatu rangkaian krisis yang saling
berhubungan (Matthew:2001). Hal tersebut benar adanya karena dengan semakin
meningkatnya populasi manusia tentu saja permintaan terhadap tempat tinggal
akan meningkat pula. Apabila hal itu terjadi, maka akan dibutuhkan lahan untuk
membangun hunian baru untuk memenuhi permintaan tersebut yang tentu saja akan
mendantangkan keuntungan ekonomi bagi pengusaha-pengusaha properti. Bila lahan
untuk membangun tidak ada, maka hutan pun akan “disulap” menjadi tempat hunian.
Peningkatan pertumbuhan tersebut menciptakan suatu situasi dimana dunia dengan
cepat kehabisan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan manusia atau untuk
menyediakan bahan baku bagi pertumbuhan industri yang terus berlanjut hingga
melampaui daya tampung dan kapasitas produksi, dan secara stimultan melampaui
kapasitas penyerapan dari lingkungan untuk mengasimilasi sampah sisa industri.
Menurut Donella Meadows (dalam Burchill 2001), bahwa dengan tingkat pertumbuhan
pada masa sekarang ini, banyak bahan baku yang akan menipis dengan cepat,
polusi dengan cepat akan melampaui kapasitas penyerapan lingkungan, dan umat
manusia akan mengalami “degradasi dan jatuh” pada suatu waktu sebelum 2100.
Menanggapi peryataan Meadows, Dobson (dalam Burchill
2001) memberikan tiga argumentasi. Pertama, solusi teknologi tidak akan berguna
karena teknologi bisa menunda krisis akan tetapi tidak bisa mencegahnya terjadi
pada suatu titik tertentu. Hal tersebut cukup masuk akal mengingat bahwa hingga
saat ini banyak ditemukan alat-alat berteknologi tinggi yang mampu
menanggulangi bencana alam akibat kerusakan lingkungan, akan tetapi tidak ada
satu pun alat yang mampu mencegah bencana alam akibat kerusakan lingkungan.
Kedua, peningkatan pertumbuhan secara alami berarti bahwa bahaya yang tertumpuk
dalam waktu yang relatif lama dapat dengan tiba-tiba menghasilkan suatu
bencana. Dan yang terakhir, berbagai permasalahan yang berhubungan dengan
pertumbuhan semuanya saling berhubungan.
Selain penganut Perspektif Hijau dan para ekonom,
modernis dan eko radikal pun turut berdebat. Menurut para modernis, lingkungan
hidup bukan merupakan suatu hal yang penting. Sedangkan dalam kacamata eko
radikal, lingkungan hidup merupakan sesuatu yang vital (Sorensen, t.t ). Sebagai
bentuk nyata dari perhatian terhadap lingkungan, pada tahun 1972 dibentuklah
sebuah rezim yaitu Stockhol Conference yang membahas
lingkungan secara eksplisit serta menginisiasi sustainable development.
Akan tetapi, rezim tersebut dirasa kurang memberi perubahan yang signifikan
terhadap lingkungan sehinga kemudian dilanjutkan lagi dengan Rio
Conference. Rio Coference memberikan tiga kontribusi
diawala perjuangan untuk memelihara lingkungan, antara lain membatasi peubahan
iklim, melestarikan keanekaragaman hayati, dan memerangi penggurunan (Greene,
2001:410). Selain dua rezim diatas yang merupakan awal mula terbentuknya rezim
lingkungan hidup, terdapat pula rezim-rezim lingkungan hidup yang lahir setelahnya
yaituUN Framework on Climate Change pada tahun 1992 serta Protokol
Kyoto yang lahir pada 1997.
Adapun asumsi dari Green Theory menurut Steans dan
Pettiford (2009) ialah pertama, sebagai pemerhati lingkungan menekankan global
diatas internasional. Kedua, sebagai pemerhati lingkungan berangkat dari
pemahaman implisit bahwa kebiasaan-kebiasaan manusia masa kini dalam beberapa
pengertian tidak lagi sejalan dengan dunia non-manusia. Terakhir, pemerhati
lingkungan menekankan bahwa kebiasaan manusia zaman modern, yang di dukung oleh
sistem kepercayaan filsafat antroposentris, sebagai penyebab utama dari krisis
lingkungan hidup. Sedangkan kontribusi Perspektif Hijau terhadap Hubungan
Intenasional adalah wawasan, space atau ruang, dan kesadaran.
Wawasan, Perspektif Hijau dibutuhkan karena hubungan
internasional tidak semata-mata hanya membahasa konflik, perang, dan
sebagainya. Akan tetapi dengan wawasan ini, perspektif ini mencoba untuk
menyadarkan dunia bahwa dalam kancah internasional, lingkungan pun perlu diberi
perhatian. Ruang, mengapa menjadi kontribusi dari Perspektif Hijau? Tentu saja
karena ruang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan dalam hubungan internasional.
Apabila lingkungan rusak maka ruang pun akan rusak sehingaa secara otomatis
tidak ada ruang yang tersedia untuk berinteraksi antar negara, bahkan untuk
pemerintahan. Kesadaran, dalam hal ini Perspektif Hijau ingin menyadarkan
masyarakat global bahwa menjaga lingkungan itu perlu karena lingkungan
dibutuhkan.
Walaupun Perspektif Hijau memberikan kontribusi
untuk menjaga lingkungan demi kebaikan bersama, sudut pandang ini pun tidak
terlepas dari kritik yang menganggap bahwa Perspektif Hijau selalu memisahkan
antroposentris (egois, manusia merupakan puncak evolusi) dengan ekosentris.
Ekosentrisme sendiri ialah sebuah penolakan terhadap pandangan dunia
antroposentris yang hanya menempatkan nilai moral atas manusia menuju sebuah
pandangan yang juga menempatkan nilai independen atas ekosistem dan semua
makhluk hidup. Hal tersebut dianggap rasional dan terlalu memanjakan manusia.
Perspektif Hijau merupakan suatu sudut pandang yang berbeda dari
perspektif-perspektif yang menjadi pendahulunya karena seperti yang telah
dibahas, Perspektif Hijau berfokus pada kelestarian lingkungan. Akan tetapi
akan ada baiknya apabila dalam usaha memperbaiki lingkungan tersebut, lebih
dipertegas agar antroposentris dan ekosentris tidak terpisah supaya tidak
dinilai memanjakan manusia. Karena manusia juga merupakan orang yang pada saat
yang bersamaan mampu menjaga sekaligus merusak ingkungan.
REFERENSI
Greene, Owen, 2001. Environmental issues, in; John
Baylis & Steve Smith (eds.) The
Globalization of World Politics, 2nd edition,
Oxford, pp. 387-414.
Paterson, Matthew, 2001. in; Scott Burchill, et al,
Theories of International Relations,
Palgrave, pp. 277-307.
Steans, Jill & Lloyd Pettiford. 2009. International
Relation : Perspective and Themes,
England : Pearson Education Limited, Edinburg Gate,
Harlow, Essex CM20 2JE
No comments:
Post a Comment