Konstruktivisme merupakan salah satu teori
alternatif dalam hubungan internasional. Konstruktivisme muncul ketika tidak
ada sudut pandang yang mampu menjelaskan keadaan suatu fenomena. Ketika perang
dingin terjadi, tidak ada satu pun sudut pandang yang mampu menjelaskan
bagaimana perang yang melibatkan dua negara super power ini dapat berakhir
tanpa perang nuklir. Teori alternatif pun tidak mampu menjelaskan hal tersebut.
Realisme misalnya, dengan tonggaknya yaitu kekuatan, tidak mampu menjelaskan
mengapa perang dingin dapat berakhir. Begitu pula dengan sudut pandang
liberalisme, dan yang lainnya. Dari situasi itulah muncul konstruktivisme yang
merupakan pendekatan atau sudut pandang yang dapat memecahkan misteri
berakhirnya perang dingin. Dalam hubungan internasional, terdapat beberapa
tokoh dalam konstruktivisme. Mereka antara lain ialah Friedrich Kratochwill
(1989), Nicholas Onuf (1989), Alexander Wendt (1992), dan John Ruggie (1998)
(Jackson dan Sorensen, 2009:307).
Para konstruktivis beranggapan bahwa dunia merupakan sesuatu yang
intersubjektif yaitu bahwasanya dunia ini menjadi bagi masyarakat yang tinggal
di dalamnya, menciptakannya, dan memahaminya sebagai dunia mereka (Jackson dan
Sorensen 2009, 307). Dari pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa mereka-kaum
konstruktivis, mempercayai bahwa ada keterlibatan dari pemikiran dan
pengetahuan sehingga melahirkan dunia sosial. Selain itu, dalam konstruktivisme
terdapat suatu pandangan bahwa sistem internasional merupakan satu “karya” atau
konstruksi manusia, begitu pula dengan hubungan internasional. Alexander Wendt
(1992) dalam Jackson dan Sorensen memaparkan bahwa bahwa “anarki adalah apa
yang dibuat negara darinya.”. Negara-negara dalam hubungannya dengan negara
lain membangun anarki internasional yang kemudian dapat menegaskan hubungan
mereka (Jackson dan Sorensen 2009, 309).
Tiap-tiap negara memiliki identitas yang mencirikan karakter mereka, seperti
contohnya Amerika yang lebih khawatir akan ancaman lima nuklir dari Korea Utara
dibandingkan dengan lima ratus nuklir dari Inggris. Hal tersebut terjadi karena
menurut Amerika Serikat, Inggris merupakan kawan seperjuangan sedangkan Korea
Utara merupakan lawan atau musuh mereka sehingga dibandingkan dengan lima ratus
nuklir dari kawan, lima nuklir dari lawan terasa lebih mengancam. Dari contoh
tersebut dapat dikatakan bahwa masalah keamanan negara dibangun dari konstruksi
antara aktor sehingga dalam contoh diatas, masalah yang muncul bukan disebabkan
dari nuklir itu sendiri melainkan dari hubungan yang terjalin antar aktor.
Sudut pandang konstruktivisme memandang bahwa sistem internasional yang
terjalin di dunia ini merupakan sesuatu yang dibuat, sesuatu hasil interaksi
dan konstruksi manusia dan bukannya sesuatu yang sudah ada.
Dalam tiap sudut pandang pasti terdapat kritik yang menyertainya. John
Mearsheimer (dalam Jackson dan Sorensen 2009) mewakili kaum positivis,
memberikan penolakan atas pernyataan kaum konstruktivis mengenai anarki
merupakan hasil konstruksi manusia. Sementara itu, Steve Smith (dalam Jackson
dan Sorensen 2009) mewakili kaum postpositivis, berpendapat bahwa
konstruktivisme masih agak tradisional dan hanya memandang segala sesuatu dalam
pembahasannya dari sudut pandang interaksi manusia, tidak ada tempat bagi
struktur seperti kapitalisme dan patriarki. Akan tetapi, konstruktivisme
menegaskan bahwa dalam konstruksi yang dibuat manusia di sistem internasional
masih terdapat struktur material yang juga bereperan penting dalam sistem
internasional. Sehingga sudut pandang konstruktivisme tidak semata-mata hanya
dari konstruksi manusia melainkan juga terdapat struktur material di dalamnya.
REFERENSI
Jackson, Robert dan Georg Sorensen. 2009.
“Masyarakat Internasional”, dalaPengantar Studi Hubungan Internasional.
(diterjemahkan oleh: Dadan Suryadipura). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
No comments:
Post a Comment