Dunia yang
terus mengalami perkembangan tentu saja lama kelamaan akan membutuhkan
setidaknya sudut pandang yang berbeda dari sudut pandang yang sudah ada,
seperti post-structuralism dan post-colonialism.
Post-strukturalisme yang mulai berkembang dalam Ilmu Hubungan Internasional
sejak tahun 1980, merupakan sudut pandang yang berawal dari adanya rasa tidak
puas terhadap sudut pandang strukturalisme. Campbell (2007) dalam bukunya
menyatakan bahwa sebagai bentuk baru dari strukturalisme, post-strukturalisme
mencoba mendekonstruksi pemikiran strukturalisme yang hanya terfokus terhadap
konstruksi sosial ke pemikiran identitas sebagai pemberi makna objek. Adapun
tokoh besar dari post-strukturalisme ialah Richard Ashley, James der Derian,
Micheal Saphiro, dan R.B.J. Walker (Campbell, 2007). Sedangkan
post-kolonialisme muncul pada tahun 1960-an dan terlahir sebagai kritikan
terhadap konstruksi kolonialisme. Tokoh besar dari perspektif post-kolonialisme
antara lain Franz Fanon, Edward Said, dan Homi Bhabha (Grovogui, 2007). Kedua
perspektif ini memiliki prefix yang sama yakni ‘post’
yang berarti bahwa kedua perspektif ini bersifat mengkritisi pandangan yang
telah ada, mereka membahasnya dengan lebih mendalam (Dugis, 2013).
Seperti pada umumnya, post-strukturalisme juga memiliki beberapa asumsi dasar.
Pertama, pandangan ini terus mempertanyakan dan mengkritisi segala sesuatu
dalam hal ini adalah teori “mainstream” dalam hubungan internasional
(Wardhani, 2013). Kedua, pandangan postif terhadap kritik. Kritik diartikan
sebagai bentuk dari sebuah usaha sehingga kritik tidak sepenuhnya berarti
penolakan. Terakhir, pandangan mengenai interpretasi dan representasi merupakan
hal yang sangat dibutuhkan dalam politik internasional yang mempercayai adanya
keterkaitan yang berkesinambungan antara ilmu pengetahuan dan kekuatan.
Sehingga apa yang ada merupakan hasil dari konstruksi manusia karena ilmu
pengetahuan merupakan hasil konstruksi sosial. Post-strukturalisme mencoba
mengkritisi strukturalisme dengan mengkritisi bahwa strukturalisme sangat
mengagungkan kebenaran yang mutlak terhadap suatu hal. Berangkat dari kritisi
itulah muncul gagasan dari post-strukturalisme dengan mempertanyakan kebenaran
serta hal-hal yang dapat dijadikan dasar. Post-strukturalisme menyatakan
apa yang terjadi dan berkembang saat ini merupakan produk sejarah berikut
aspek-aspek yang di masa lalu yang bersinergi ataupun justru terpecah dan
menciptakan gagasan mengenai hegemoni dan kekuatan (Champbell, 2007).
Lain halnya dengan sudut pandang post-kolonialisme yang menyorot sudut pandang
baru. Kali ini post-kolonialisme berfokus pada negara-negara yang
termarginalkan karena akibat adanya sistem kolonialisasi yang pernah terjadi
khususnya di masa Perang Dunia. Post-kolonialisme beranggapan bahwa
perspektif-perspektif yang terdapat dalam Ilmu Hubungan Internasional terlalu
kebarat-baratan atau western-centric. Dengan adanya
post-kolonialisme, permasalahan dan isu - isu dalam hubungan internasional bisa
dikaji dari kacamata timur atau bangsa yang terjajah (Wardhani, 2013).
Perspektif ini menentang dampak yang dihasilkan dari sistem kolonialisasi.
Post-kolonialisme dikatakan memiliki keterkaitan erat denganThird- Worldism yang
mangacu pada adanya kelas-kelas negara di dunia yakni 1stworld
country sebagai negara maju yang identik dengan negara Barat dan
Utara, 2ndworld country sebagai kumpulan negara
berpaham komunis atau negara tirai besi, dan yang terakhir ialah 3rd world
country yang terdiri dari berbagai negara berkembang dan miskin atau
disebut kelompok negara Selatan (Wardhani, 2013). Terdapat tiga bahasan utama
dalam sudut pandang post-kolonialisme, yakni pengetahuan, identitas, dan
perlawanan.
Pengetahuan yang dibangun oleh bangsa Eropa condong pada satu sudut, yakni
dunia Barat. Dua hal yang menggelitik postkolonialisme adalah otoritas akademik
dengan validitas idenya dan wacana publik akan (expert knowledges) yang
mengacu pada imperialisme dan ekspansi nilai-nilai serta budaya Barat (Grovogui
2007:233). Sehingga dapat dikatakan pengetahuan yang ada merupakan hasil
konstruksi negara hegemon. Sedangkan identitas dalam konteks post-kolonialisme merupakan
kemunculan Negara Barat dan Timur, Utara dan Selatan serta bangsa Putih dan
bangsa Hitam. Grovogui (2007) menyatakan bahwa perlawanan merupakan titik
dimana pihak yang terjajah mampu beradaptasi dan mencari kelemahan dari
penjajah, maka apa yang disuntikan oleh penjajah akan menjadi boomerang untuk
negaranya sendiri. Dari penjabaran diatas, kedua perspektif menitikberatkan
hubungan antara antara kebebasan dan politik, dimana kedua aspek ini harus
dimiliki oleh negara tanpa diganggu gugat oleh negara lain (Grovogui, 2007).
Sehingga diharapkan dengan kemunculan dua perspektif ini mampu membantu aktor
yang termarjinalisasikan karena dampak dari masa penjajahan.
REFERENSI
Campbell, David, 2007. Poststructuralism, in; Tim
Dunne, Milja Kurki & Steve Smith (eds.) International Relations
Theories, Oxford University Press, pp. 203-228.
Dugis, Vinsensio. 2013. “Post-structuralism
& Post-colonialism”. Materi kuliah disampaikan pada kuliah Teori
Hubungan Internasional. 13 Juni 2013
Grovogni, Siba N., 2007. Postcolonialism, in; Tim
Dunne, Milja Kurki & Steve Smith (eds.) International Relations
Theories, Oxford University Press, pp. 229-246
Wardhani, Baiq. 2013. “Post-structuralism
& Post-colonialism” Materi kuliah disampaikan pada kuliah Teori
Hubungan Internasional. 13 Juni 2013
No comments:
Post a Comment