Tuesday, April 11, 2017

Teori - Post-strukturalisme dan Post-kolonialisme, Perspektif Pembela Negara Korban Sistem Kolonialisasi


 Dunia yang terus mengalami perkembangan tentu saja lama kelamaan akan membutuhkan setidaknya sudut pandang yang berbeda dari sudut pandang yang sudah ada, seperti post-structuralism dan post-colonialism. Post-strukturalisme yang mulai berkembang dalam Ilmu Hubungan Internasional sejak tahun 1980, merupakan sudut pandang yang berawal dari adanya rasa tidak puas terhadap sudut pandang strukturalisme. Campbell (2007) dalam bukunya menyatakan bahwa sebagai bentuk baru dari strukturalisme, post-strukturalisme mencoba mendekonstruksi pemikiran strukturalisme yang hanya terfokus terhadap konstruksi sosial ke pemikiran identitas sebagai pemberi makna objek. Adapun tokoh besar dari post-strukturalisme ialah Richard Ashley, James der Derian, Micheal Saphiro, dan R.B.J. Walker (Campbell, 2007). Sedangkan post-kolonialisme muncul pada tahun 1960-an dan terlahir sebagai kritikan terhadap konstruksi kolonialisme. Tokoh besar dari perspektif post-kolonialisme antara lain Franz Fanon, Edward Said, dan Homi Bhabha (Grovogui, 2007). Kedua perspektif ini memiliki prefix yang sama yakni ‘post’ yang berarti bahwa kedua perspektif ini bersifat mengkritisi pandangan yang telah ada, mereka membahasnya dengan lebih mendalam (Dugis, 2013).
            Seperti pada umumnya, post-strukturalisme juga memiliki beberapa asumsi dasar. Pertama, pandangan ini terus mempertanyakan dan mengkritisi segala sesuatu dalam hal ini adalah teori “mainstream” dalam hubungan internasional (Wardhani, 2013). Kedua, pandangan postif terhadap kritik. Kritik diartikan sebagai bentuk dari sebuah usaha sehingga kritik tidak sepenuhnya berarti penolakan. Terakhir, pandangan mengenai interpretasi dan representasi merupakan hal yang sangat dibutuhkan dalam politik internasional yang mempercayai adanya keterkaitan yang berkesinambungan antara ilmu pengetahuan dan kekuatan. Sehingga apa yang ada merupakan hasil dari konstruksi manusia karena ilmu pengetahuan merupakan hasil konstruksi sosial. Post-strukturalisme mencoba mengkritisi strukturalisme dengan mengkritisi bahwa strukturalisme sangat mengagungkan kebenaran yang mutlak terhadap suatu hal. Berangkat dari kritisi itulah muncul gagasan dari post-strukturalisme dengan mempertanyakan kebenaran serta hal-hal yang dapat dijadikan dasar. Post-strukturalisme menyatakan apa yang terjadi dan berkembang saat ini merupakan produk sejarah berikut aspek-aspek yang di masa lalu yang bersinergi ataupun justru terpecah dan menciptakan gagasan mengenai hegemoni dan kekuatan (Champbell, 2007).
            Lain halnya dengan sudut pandang post-kolonialisme yang menyorot sudut pandang baru. Kali ini post-kolonialisme berfokus pada negara-negara yang termarginalkan karena akibat adanya sistem kolonialisasi yang pernah terjadi khususnya di masa Perang Dunia. Post-kolonialisme beranggapan bahwa perspektif-perspektif yang terdapat dalam Ilmu Hubungan Internasional terlalu kebarat-baratan atau western-centric. Dengan adanya post-kolonialisme, permasalahan dan isu - isu dalam hubungan internasional bisa dikaji dari kacamata timur atau bangsa yang terjajah (Wardhani, 2013). Perspektif ini menentang dampak yang dihasilkan dari sistem kolonialisasi. Post-kolonialisme dikatakan memiliki keterkaitan erat denganThird- Worldism  yang mangacu pada adanya kelas-kelas negara di dunia yakni 1stworld country sebagai negara maju yang identik dengan negara Barat dan Utara, 2ndworld country sebagai kumpulan negara berpaham komunis atau negara tirai besi, dan yang terakhir ialah 3rd world country yang terdiri dari berbagai negara berkembang dan miskin atau disebut kelompok negara Selatan (Wardhani, 2013). Terdapat tiga bahasan utama dalam sudut pandang post-kolonialisme, yakni pengetahuan, identitas, dan perlawanan.
            Pengetahuan yang dibangun oleh bangsa Eropa condong pada satu sudut, yakni dunia Barat. Dua hal yang menggelitik postkolonialisme adalah otoritas akademik dengan validitas idenya dan wacana publik akan (expert knowledges) yang mengacu pada imperialisme dan ekspansi nilai-nilai serta budaya Barat (Grovogui 2007:233). Sehingga dapat dikatakan pengetahuan yang ada merupakan hasil konstruksi negara hegemon. Sedangkan identitas dalam konteks post-kolonialisme merupakan kemunculan Negara Barat dan Timur, Utara dan Selatan serta bangsa Putih dan bangsa Hitam. Grovogui (2007) menyatakan bahwa perlawanan merupakan titik dimana pihak yang terjajah mampu beradaptasi dan mencari kelemahan dari penjajah, maka apa yang disuntikan oleh penjajah akan menjadi boomerang untuk negaranya sendiri. Dari penjabaran diatas, kedua perspektif menitikberatkan hubungan antara antara kebebasan dan politik, dimana kedua aspek ini harus dimiliki oleh negara tanpa diganggu gugat oleh negara lain (Grovogui, 2007). Sehingga diharapkan dengan kemunculan dua perspektif ini mampu membantu aktor yang termarjinalisasikan karena dampak dari masa penjajahan.


REFERENSI
Campbell, David, 2007. Poststructuralism, in; Tim Dunne, Milja Kurki & Steve Smith (eds.) International Relations Theories, Oxford University Press, pp. 203-228.
Dugis, Vinsensio. 2013. “Post-structuralism & Post-colonialism”. Materi kuliah disampaikan pada kuliah Teori Hubungan Internasional. 13 Juni 2013
Grovogni, Siba N., 2007. Postcolonialism, in; Tim Dunne, Milja Kurki & Steve Smith (eds.) International Relations Theories, Oxford University Press, pp. 229-246
Wardhani, Baiq. 2013. “Post-structuralism & Post-colonialism” Materi kuliah disampaikan pada kuliah Teori Hubungan Internasional. 13 Juni 2013


No comments:

Post a Comment