Mungkin kata
globalisasi sudah bukan hal asing bagi telinga kita sehingga fenomenanya pun
tidak lagi mempengaruhi aspek kehidupah seperti gaya hidup maupun cara
berfikir. Akan tetapi, bukan berarti globalisasi maupun fenomenanya tidak
memiliki dampak. Justru fenomena globalisasi ini memiliki dampak yang bersifat
lanjutan sehingga akan terjadi terus menerus dan dikhawatirkan hal tersebut
dapat mempengaruhi kedaulatan suatu negara bahkan dapat menghancurkannya. Dalam
tulisannya yang berjudul “Globalization and the Transformation of Political
Community” Andrew Linklater (2001) menjelaskan bahwasannya bukanlah suatu
hal yang tidak wajar jika dewasa ini banyak ditemukan berbagai macam komunitas
baru. Komunitas tersebut terbagi atas beberapa macam, yaitu komunitas lokal
(kelompok persaudaraan), komunitas nasional (negara-bangsa), komunitas
internasional (organisasi-organisasi non-pemerintahan), dan komunitas vitual
yang merupakan dampak dari berkembangnya tekhnologi. Oleh sebab itu, Fukuyama
berpendapat bahwasannya hal tersebut kemudian akan menghadirkan suatu kajian
baru yang tidak kalah pentingnya dengan eksistensi negara sebagai salah satu
objek kajian paling penting dalam studi mengenai globalisasi (Weber, 2005:104).
Kemunculan
globalisasi beserta fenomenanya memunculkan berbagai perdebatan yang sebenarnya
diawali dari satu kata yaitu aktor. Aktor utama yaitu aktor negara pada
kenyataannya bukanlah aktor yang mendominasi fenomena globalisasi. Justru
eksistensi aktor negara digantikan oleh aktor non-negara. Hal ini dibuktikan
dengan berkembangnya MNC yang juga memberikan dampak bagi perkembangan
globalisasi. Terus berkembangnya zaman, sitambah lagi dengan adanya fenomena
globalisasi membuat teori tradisional dalam Ilmu Hubungan Internasional dinggap
sudah tidak lagi mampu menjelaskan fenomena globalisasi serta fenomena-fenomena
lain yang semakin rumit. Sehingga muncullan perspektof baru atau yang biasa
disebut dengan perspektof alternatif.
Terdapat tiga
pendekatan yang bisa dikatakan cocok dengan isu-isu yang datang bersama
fenomena globalisasi, yaitu cosmopolitanism, communitarianism, danpostmodernism (Linklater,
2001). Pendekatan pertama adalah cosmopolitanism, dimana pendekatan
ini mempercayai bahwasannya untuk bertahan dalam arus globalisasi diperlukan
adanya suatu sistem internasional yang mampu memberikan penghargaan setinggi-tingginya
pada kesetaraan individu. Pendekatan yang kedua adalah communitarianism yang
berasumsi bahwa sebagian besar orang atau masyarakat dunia pasti menyisipkan
kepentingan individunya masing-masing dalam komunitas dimana mereka berada,
sehingga yang terjadi adalah ketidakmurniaan kepentingan kelompok dalam
menguntungkan seluruh anggotanya. Pendekatan yang ketiga adalah postmodernisme,
yang berasumsi bahwa seluruh komunitas dengan bentuk apapun beresiko untuk
mendominasi kehidupan bermasyarakat sehingga memiliki potensi yang cukup
berbahaya (Baylis & Smith, 2001:629-631). Akan tetapi, ketiga pendekatan
tersebut dirasa kurang berguna untuk mengahdapi isu globalisasi karena setelah
ditinjau ulang, ketiga pendekatan tersebut memiliki kesamaan dengan perspektif mainstream yang
terdapat dalam Ilmu Hubungan Internasional karena sering berdebat serta
mengkritisi antara satu pendekatan dengan pendekatan lainnya tanpa ada usaha
untuk memperbaiki diri.
Bagai angin
segar, Lake dan Powell (1999) menawarkan pendekatan baru dalam Ilmu Hubungan
Internasional yang diyakini mampu menyatukan perbedaan yang terdapat pada
perspektif-perspektif sebelumnya. Pendekatan berbasis strategic choicemencangkup
tiga elemen prinsip dasar. Pertama, menganalisa interaksi antara dua kator atau
lebih dan kemudian menjelaskan bagaimana interaksi-interaksi tersebut bisa
terungkap. Kedua, menyelenggarakan riset pada interaksi strategis dengan cara
memahami dan mengenali aktor dan lingkungannya sebagai dasar dari penelitian
untuk menganalisis masalah yang strategis. Ketiga, pendekatan metedologi untuk
menetapkan metedologi mana guna menunjukan apa yang akan dibuktikan agar
menjadi cara berfikir yang produktif tentang interaksi strategis. Pendekatan
ini ingin mematahkan paradigma dunia yang telah terlanjur bersikap pragmatis
dalam menyikapi konstruksi teori adalah hal yang mampu menjawab segala
pertanyaan (Lake & Powell, 1999:4).
Tidak
berhenti sampai disitu, Airlangga School of Thought juga
mengembangkan hal tersebut karena lulusan jurusan Ilmu Hubungan Internasional
dituntut untuk menjadi seorang yang global strategist yang
dengan empat kompetensi dasar utama yaitu kemampuan dasar analisis, komunikasi,
negoisasi, dan manajerial (Departemen Hubungan Internasional Airlangga dalam
Road Map Studi Hubungan Internasional). Hal tersebut direalisasikan dengan
disusun dan diajarkannya mata kuliah Strategi dan Tata Kelola Strategi (STKS)
yang bertujuan untuk membentuk seorang yang strategis dalam berpikir dan
bertindak.
REFERENSI
Dugis, Vinsensio. 2013. “Strategic Choice
Partnership in Asymmetric Globalized Power-Relationship”. Materi kuliah
disampaikan pada kuliah Teori Hubungan Internasional. 13 Juni 2013
Lake, David A. & Powell, Robert, 1999.
International Relations: A Strategic-Choice Approach, in; David A. Lake &
Robert Powell (eds.), Strategic Choice and International Relations, Princeton
University Press, pp. 3-38.
Departemen Hubungan Internasional Airlangga. 2005.
2005-2020 Road Map Studi Hubungan Internasional Universitas Airlangga.
Linklater, Andrew, 2001. Globalization and the
transformation of political community, in; John Baylis & Steve Smith (eds.) The
Globalization of World Politics, 2ndedition, Oxford, pp.
617-633.
Weber, Cynthia, 2005. International
Relations Theory, A Critical Introduction,Routledge, Chap. 6 pp. 103-122.
No comments:
Post a Comment