Dinamika geopolitik suatu
kawasan selalu dipengaruhi oleh jatuh bangunnya rezim dan supremasi. Kekuatan
geopolitik dunia mengalami pergeseran setelah Perang Dingin berakhir, dimana
sebeleumnya indikator utama kekuatan geopolitik suatu negara adalah hard power,
sementara setelahnya bergeser menjadi pemenuhak atas sumber daya energi, yaitu
minyak dan gas. Contohnya adalah China yang memiliki kapabilitas strategis
dalam hal ekonomi pasca liberalisasi ekonomi dalam rangka menjamin proyeksi sphere
of influence di banyak kawasan seperti Afrika dan beberapa wilayah di
Asia. Dan aspek penting yang menjadi fokus kajian strategi Amerika Serikat (AS)
adalah beberapa hal yakni deposit minyak di Asia Tengah dan Afrika; Afrika
sebagai pasar potensial produk industri China; dan menjamin kestabilan
perdamaian di semenanjung Korea.
Geopolitik dan geostrategi
China di berbagai kawasan secara umum terkait dengan sumber daya alam dalam hal
ini minyak dan gas sebagai sumber energi utama saat ini, yang juga merupakan
komoditas ekonomi dunia. Hal ini dapat dipahami pada strategi String of
Pearls China. Dimana String of Pearls ini merupakan
menifestasi dari peningkatan pengaruh geopolitik China melalui usaha untuk
meningkatkan akses pelabuhannya dan bantuan udara, pengembangan hubungan
diplomatis khusus, dan modernisasi kekuatan militer yang memanjang dari Laut
China Selatan melalui Selat Malaka, Samudera Hindia, hingga ke Teluk Arab
(Pherson, 2011). Sementara itu akses jalur laut atau Sea-line dan
pelabuhan diinisiasi oleh China dimulai dari Selat Hormus, Samudera Hindia,
Selat Malaka, dan Laut China Selatan, sementara Pearls yang
merujuk pada pelabuhan terletak di Pakistan (Pelabuhan Gwadar), Sri Lanka,
(Pelabuhan Hambantota), Bangladesh (Pelabuhan Kontainer di Chittagong), Burma
(dukungan sebagai pensuplai minyak), Kamboja (jalur kereta), dan Thailand di
Kra Istmus (proyek dihentikan). Tujuan utama dari strategi String of
Pearls ini adalah dalam rangka menjamin (1) energy-shipping minyak dan
gas, (2) kelancaran jalur perdagangan internasional, dan (3) menjamin
kepentingan penyebaran pengaruh secara politik dan militer di kawasan tersebut.
Bentuk nyata atau implikasi yang terlihat saat ini adalah dari seperempat jalur
perdagangan barang internasional, tercatat sejumlah 94.000 kapal termasuk kapal
angkutan minyak yang melewati Selat Malaka, serta 30% transportasi minyak
dilakukan setiap harinya melalui Teluk Arab.
Dalam hubungannya dengan
Afrika, China telah menjalin hubungan dengan Afrika dalam hal perdagangan sejak
abad ke-15. Di mana selama abad ke-20 China berusaha memasukkan ide-ide
imperialisme. Misalnya adalah pemberian bantuan militer. Selain itu China juga
mengirimkan teknisi untuk pembangunan jalan kereta api antara Tanzania dengan
Zamibia. Dan juga China menjadi investor utama minyak bagi Sudan, serta
sahamnya di perusahaan Greater Nile Petroleum sebesar 40%. Keeratan hubungan
keduanya juga semakin meningkat dengan diadakannya Konferensi Tingkat Tinggi
pada tahun 2006. Dimana kemudian China mengumumkan terjalinnya hubungan Strategic
Partnership antara China dan Afrika dalam Forum on
China-Africa Cooperation (FoCAC) dalam bidang politik dan ekonomi yang
dihadiri oleh 48 negara. Dari sini terlihat bahwa China memiliki posisi yang
strategis di negara-negara Afrika (Dw-World, 2007).
Penempatan diri secara
strategis tersebut tak lepas dari adanya beberapa faktor pendorong, antara lain
(1) faktor ekonomi, yakni China memandang Afrika sebagai kawasan yang
strategis dan dipandang berpotensi untuk dapat memenuhi kebutuhan energy China
dalam hal minyak seta merupakan pasar yang berpotensi bagi hasil industri
China, (2) faktor politik, yakni untuk memperkuat posisi bargaining China
di dunia internasional melalui dukungan dari negara-negara Afrika dalam
keanggotaan di berbagai rezim, organisasi, maupun institusi internasional, (3)
proyeksi China terhadap beberapa kawasan lain seperti Amerika Selatan, Timur
Tengah, dan Asia Tenggara yang dianggap mengalami trend stagnansi, adanya
persaingan dari AS, konvergensi militer AS, dan lain sebagainya (Gross, 1988).
Perbedaan kawasan tentu
menciptakan geopolitik dan geostrategi yang berbeda pula. Di kawasan Asia
Tengah, China memberlakukan strategi terkait dengan jaringan pipa di Asia
Tengah seperti di Kazakhstan yang terhubung hingga provinsi Xin Jiang di China.
Proyeksi strategis China terlihat dari pembentukan Shanghai Cooperation
Organisation pada tahun 2001 yang sebagian besar anggotanya merupakan
negara-negara Asia Tengah, sebagai usaha atas pengisian kekosongan kekuasaan
pasca runtuhnya Uni Soviet.
Sementara itu berbeda pula
dengan kondisi di Semenanjung Korea yang berpengaruh terhadap geopolitik dan
geostrategi China. Di mana situasi yang sangat kompleks terjadi antara dua
negara di wilayah tersebut, yakni Korea Utara dan Korea Selatan. Konflik yang
berkaitan dengan masalah kebutuhan energi, peran dua kekuatan eksternal yang
mempengaruhi, dan konflik masa lalu yang mengakibatkan adanya pengaruh
demokrasi berhadapan dengan komunisme, yang tentu saja hal ini turut mengganggu
kestabilan kawasan. Dan isu yang paling menonjol di antaranya adalah
pengembangan dan percobaan senjata nuklir. Dalam hal ini China memiliki
beberapa kepentingan, seperti memaksa AS supaya pengaruhnya keluar dari kawasan
Asia dan China dapat menyebarkan sphere of influence-nya,
menjadikan Korea Utara sebagai daerah penyangga pengaruh AS di Korea Selatan
dan basis militer AS di Okinawa-Jepang, dan mencari dukungan atas One China
Policy seputar perselisihannya dengan Taiwan. Akan tetapi seputar perseteruan
antara Korea Utara dan Selatan, China tidak terlalu berambisi untuk menjadi
mediator yang agresif.
Dari penjelasan di atas dapat
disimpulkan bahwa geostrategi suatu negara sangat ditentukan oleh dinamika
geopolitik kawasan tersebut. China sangat mengedepankan srategi diplomasi dan
tidak ingin terlalu mencampuri urusan internal suatu kawasan, namun tetap
sedapat mungkin memperoleh keuntungan setinggi mungkin melalui hubungan bisnis,
ikatan ekonomi, dan persamaan kepentingan politik.
Referensi:
Christopher J. Pehrson, String
of Pearls: Meeting the challenge of china’s rising power across the Asian
littoral
Dw-World. 2007. Hubungan
China-Afrika Lebih Untungkan China. Tersedia dalam http://www.dw-world.de/dw/article/0,2144,3042763,00.html[diakses
pada 13 Juni 2012]
Gross, John. 1988. The NewYork
Times, August
No comments:
Post a Comment