Sunday, April 16, 2017

Strategi String of Pearls China


Dinamika geopolitik suatu kawasan selalu dipengaruhi oleh jatuh bangunnya rezim dan supremasi. Kekuatan geopolitik dunia mengalami pergeseran setelah Perang Dingin berakhir, dimana sebeleumnya indikator utama kekuatan geopolitik suatu negara adalah hard power, sementara setelahnya bergeser menjadi pemenuhak atas sumber daya energi, yaitu minyak dan gas. Contohnya adalah China yang memiliki kapabilitas strategis dalam hal ekonomi pasca liberalisasi ekonomi dalam rangka menjamin proyeksi sphere of influence di banyak kawasan seperti Afrika dan beberapa wilayah di Asia. Dan aspek penting yang menjadi fokus kajian strategi Amerika Serikat (AS) adalah beberapa hal yakni deposit minyak di Asia Tengah dan Afrika; Afrika sebagai pasar potensial produk industri China; dan menjamin kestabilan perdamaian di semenanjung Korea.
Geopolitik dan geostrategi China di berbagai kawasan secara umum terkait dengan sumber daya alam dalam hal ini minyak dan gas sebagai sumber energi utama saat ini, yang juga merupakan komoditas ekonomi dunia. Hal ini dapat dipahami pada strategi String of Pearls China. Dimana String of Pearls ini merupakan menifestasi dari peningkatan pengaruh geopolitik China melalui usaha untuk meningkatkan akses pelabuhannya dan bantuan udara, pengembangan hubungan diplomatis khusus, dan modernisasi kekuatan militer yang memanjang dari Laut China Selatan melalui Selat Malaka, Samudera Hindia, hingga ke Teluk Arab (Pherson, 2011).  Sementara itu akses jalur laut atau Sea-line dan pelabuhan diinisiasi oleh China dimulai dari Selat Hormus, Samudera Hindia, Selat Malaka, dan Laut China Selatan, sementara Pearls yang merujuk pada pelabuhan terletak di Pakistan (Pelabuhan Gwadar), Sri Lanka, (Pelabuhan Hambantota), Bangladesh (Pelabuhan Kontainer di Chittagong), Burma (dukungan sebagai pensuplai minyak), Kamboja (jalur kereta), dan Thailand di Kra Istmus (proyek dihentikan). Tujuan utama dari strategi String of Pearls ini adalah dalam rangka menjamin (1) energy-shipping minyak dan gas, (2) kelancaran jalur perdagangan internasional, dan (3) menjamin kepentingan penyebaran pengaruh secara politik dan militer di kawasan tersebut. Bentuk nyata atau implikasi yang terlihat saat ini adalah dari seperempat jalur perdagangan barang internasional, tercatat sejumlah 94.000 kapal termasuk kapal angkutan minyak yang melewati Selat Malaka, serta 30% transportasi minyak dilakukan setiap harinya melalui Teluk Arab.
Dalam hubungannya dengan Afrika, China telah menjalin hubungan dengan Afrika dalam hal perdagangan sejak abad ke-15. Di mana selama abad ke-20 China berusaha memasukkan ide-ide imperialisme. Misalnya adalah pemberian bantuan militer. Selain itu China juga mengirimkan teknisi untuk pembangunan jalan kereta api antara Tanzania dengan Zamibia. Dan juga China menjadi investor utama minyak bagi Sudan, serta sahamnya di perusahaan Greater Nile Petroleum sebesar 40%. Keeratan hubungan keduanya juga semakin meningkat dengan diadakannya Konferensi Tingkat Tinggi pada tahun 2006. Dimana kemudian China mengumumkan terjalinnya hubungan Strategic Partnership antara China dan Afrika dalam Forum on China-Africa Cooperation (FoCAC) dalam bidang politik dan ekonomi yang dihadiri oleh 48 negara. Dari sini terlihat bahwa China memiliki posisi yang strategis di negara-negara Afrika (Dw-World, 2007).
Penempatan diri secara strategis tersebut tak lepas dari adanya beberapa faktor pendorong, antara lain (1) faktor ekonomi, yakni  China memandang Afrika sebagai kawasan yang strategis dan dipandang berpotensi untuk dapat memenuhi kebutuhan energy China dalam hal minyak seta merupakan pasar yang berpotensi bagi hasil industri China, (2) faktor politik, yakni untuk memperkuat posisi bargaining China di dunia internasional melalui dukungan dari negara-negara Afrika dalam keanggotaan di berbagai rezim, organisasi, maupun institusi internasional, (3) proyeksi China terhadap beberapa kawasan lain seperti Amerika Selatan, Timur Tengah, dan Asia Tenggara yang dianggap mengalami trend stagnansi, adanya persaingan dari AS, konvergensi militer AS, dan lain sebagainya (Gross, 1988).
Perbedaan kawasan tentu menciptakan geopolitik dan geostrategi yang berbeda pula. Di kawasan Asia Tengah, China memberlakukan strategi terkait dengan jaringan pipa di Asia Tengah seperti di Kazakhstan yang terhubung hingga provinsi Xin Jiang di China. Proyeksi strategis China terlihat dari pembentukan Shanghai Cooperation Organisation pada tahun 2001 yang sebagian besar anggotanya merupakan negara-negara Asia Tengah, sebagai usaha atas pengisian kekosongan kekuasaan pasca runtuhnya Uni Soviet.
Sementara itu berbeda pula dengan kondisi di Semenanjung Korea yang berpengaruh terhadap geopolitik dan geostrategi China. Di mana situasi yang sangat kompleks terjadi antara dua negara di wilayah tersebut, yakni Korea Utara dan Korea Selatan. Konflik yang berkaitan dengan masalah kebutuhan energi, peran dua kekuatan eksternal yang mempengaruhi, dan konflik masa lalu yang mengakibatkan adanya pengaruh demokrasi berhadapan dengan komunisme, yang tentu saja hal ini turut mengganggu kestabilan kawasan. Dan isu yang paling menonjol di antaranya adalah pengembangan dan percobaan senjata nuklir. Dalam hal ini China memiliki beberapa kepentingan, seperti memaksa AS supaya pengaruhnya keluar dari kawasan Asia dan China dapat menyebarkan sphere of influence-nya, menjadikan Korea Utara sebagai daerah penyangga pengaruh AS di Korea Selatan dan basis militer AS di Okinawa-Jepang, dan mencari dukungan atas One China Policy seputar perselisihannya dengan Taiwan. Akan tetapi seputar perseteruan antara Korea Utara dan Selatan, China tidak terlalu berambisi untuk menjadi mediator yang agresif.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa geostrategi suatu negara sangat ditentukan oleh dinamika geopolitik kawasan tersebut. China sangat mengedepankan srategi diplomasi dan tidak ingin terlalu mencampuri urusan internal suatu kawasan, namun tetap sedapat mungkin memperoleh keuntungan setinggi mungkin melalui hubungan bisnis, ikatan ekonomi, dan persamaan kepentingan politik.

Referensi:
Christopher J. Pehrson, String of Pearls: Meeting the challenge of china’s rising power across the Asian littoral
Dw-World. 2007. Hubungan China-Afrika Lebih Untungkan China. Tersedia dalam http://www.dw-world.de/dw/article/0,2144,3042763,00.html[diakses pada 13 Juni 2012]
Gross, John. 1988. The NewYork Times, August


No comments:

Post a Comment