Monday, April 17, 2017

Analisis Kebijakan Luar Negeri pada Tingkat Rasioinalitas Pemimpin




Salah satu tingkatan dalam analisis kebijakan luar negeri adalah dengan berdasarkan pada individu, lebih tepatnya pada figur seorang pemimpin. Terma ‘pemimpin’ sendiri dapat dipahami sebagai chief executive dari suatu negara, satuan penting yang terkandung dari terma ‘kepemimpinan’ yang merujuk pada sekelompok orang-orang pembuat keputusan seperti halnya kabinet ataupun badan sentral lain yang bertindak sebagai pembuat keputusan. Lebih lanjut perlu diketahui pula bahwasanya terma ‘kepemimpinan’ adalah berbeda dengan terma ‘rezim’ yang didefinisikan sebagai kelompok yang mengontrol sentral dari struktur politik di pemerintahan suatu negara. Rezim juga kerap didenotasikan sebagai pemerintahan yang otoriter atau pemerintahan yang dinilai buruk meskipun definisi yang obyektif dari rezim tidaklah demikian. Terlepas dari terma-terma yang disebutkan tersebut, pada intinya analisis kebijakan luar negeri pada tingkatan individu diketahui berfokus pada pemimpin yang membuat pilihan-pilihan on behalf of their countries (Neack, 2008: 30 – 1).
Pendekatan rasional yang dimiliki oleh seorang aktor (individu) datang dari pandangan kaum realis yang kemudian mengkonseptualisasi negara sebagai sebuah ‘aktor yang satu’. Melihat individu sebagai aktor untuk menolakukur negara sebagai aktor pun kemudian menjadikan pilihan-pilihan yang diambil oleh seorang pemimpin (yang mana merupakan aktor individu) adalah pilihan-pilihan yang diambil oleh suatu negara pula. Hal ini didsasari oleh asumsi kunci kaum realis mengenai pemimpin yang mengatakan bahwa “pemimpin mana pun akan bertindak dalam konsistensi dengan kepentingan nasional dari negaranya yang sifatnya kuat dan berjangkapanjang” (Neack, 2008: 31). Kaitannya dengan kepentingan nasional, kepentingan nasional kerap digunakan oleh pemimpin untuk menyamaratakan kebijakan-kebijakan yang beragam, yang cara untuk menggapainya adalah mungkin untuk berubah-ubah meskipun kepentingan nasional itu sendiri tidak berubah. Laura Neack dalam bukunya yang berjudul The New Foreign Policy: Power Seeking in a Globalized Era (2008: 32) juga mengutip pernyataan Michael McGinnis soal pemimpin dan kepentingan nasional yakni “setiap individu yang memperoleh tanggung jawab besar dalam kebijakan luar negeri tentu sudah disosialisasikan melalui proses edukasi dan proses seleksi untuk menggapai beberapa set dari tujuan bersama” sehingga dapat dipahami bahwa tentu seorang pemimpin (seharusnya) memiliki kapabilitas untuk meraih tujuan bersama yang berbentuk kepentingan nasional. Kemudian dalam rangka mempromosikan dan memproteksi kepentingan nasional, seorang pemimpin akan bertingkah rasional meskipun Hans Morgenthau pernah menyebutkan bahwa dalam beberapa kasus, gangguan psikologis dalam diri seorang pemimpin dapat menyebabkan pemimpin tersebut membuat pilihan yang sebenarnya bertolak dengan kepentingan nasional dari negaranya (Neack, 2008: 32). Terlepas dari adanya kemungkinan gangguan psikologis dalam diri seorang pemimpin tersebut, rasionalitas lebih bermain secara signifikan dalam diri seorang pemimpin untuk kemudian ia dapat membuat pilihan – yang tentu berkaitan dengan kepentingan nasional –. Proses pembuatan pilihan sendiri dapat dimaknai sebagai langkah yang dilakukan untuk memilih diantara berbagai alternatif yang ada, disamping adanya ketidakpastian. Model dari proses pembuatan  pilihan kerap dianalogikan sebagai ‘kotak hitam’ yang mana dari sebuah kotak hitam tidak dapat dilihat apa yang terdapat di dalamnya, dan seluruh kotak hitam – dalam hal ini negara ataupun pemimpin – terlihat sama dari tampilan luarnya. Penganalogian dengan ‘kotak hitam’ juga menunjukkan bahwa pembuatan pilihan secara rasional mempertimbangkan soal adanya sebuah permasalahan, kemungkinan aksi terhadap permasalahan tersebut, dan kemungkinan reaksi dari aksi yang diberikan terhadap masalah tersebut. Estimasi kesuksesan dari aksi-aksi yang berbeda terhadap permasalahan yang dihadapi kemudian menuntut rasionalitas pemimpin untuk menentukan pilihan mana dari aksi yang ada yang kemudian dapat memaksimalisasi kepentingan nasional sekaligus meminimalisir biaya – dalam hal ini bermaknakan tanggungan atas aksi yang dipilih – (Neack, 2008: 33 – 4). Ditekankan kembali bahwasannya rasionalitas dalam diri aktor pembuat pilihan sesungguhnya berdasarkan atas asumsi kaum realis yang banyak dimuat dalam konsep game theory.  Konsep game theory menerangkan bahwa apabila seseorang berada dalam situasi tertentu dan berharap untuk mendapatkan keuntungan, orang tersebut dapat mengatur dan mengkalkulasi keuntungan yang hendak didapat melalui aksi seperti apa yang akan dipilih berdasarkan konsentrasi-konsentrasi yang dimiliki. Dengan dapat dikalkulasikannya keuntungan tersebut kemudian seseorang dapat memilih output dari aksi yang ia pilih, apakah ia menginginkan outputyang bersifat zero-sum atau bersifat mixed-motives. Dalam hal tersebut pula rasionalitas kemudian bermain.
Berdasarkan penjabaran tersebut kemudian dapat ditarik kesimpulan bahwa analisis kebijakan luar negeri pada tingkat individu, khususnya seorang pemimpin menjadi suatu hal yang penting oleh karena adanya keterkaitan antara kebijakan luar negeri dengan kepentingan nasional. Pemimpin yang bertindak sebagai seorang aktor yang dapat mempengaruhi tercapai atau tidaknya kepentingan nasional kemudian harus memanfaatkan rasionalitasnya untuk mempertimbangkan segala kemungkinan yang tidak tampak dari suatu proses pemilihan aksi, dan harus dapat mengkalkulasikan keuntungan yang didapat dari dipilihnya suatu aksi pula. Adanya konsep game theory yang dapat bersifat zero-sum ­dan mixed-motives kiranya juga menjadi salah satu faktor dari seorang pemimpin untuk menentukan aksi yang akan dipilihnya – demi kepentingan nasional – berdasarkan rasionalitas yang ia miliki.


Referensi:
Neack, Laura. (2008). The New Foreign Policy: Power Seeking in a Globalized Era 2nd Ed. Maryland: Rowman & Littlefield Publishers, Inc. [PDF].


No comments:

Post a Comment