Salah satu tingkatan dalam analisis kebijakan luar
negeri adalah dengan berdasarkan pada individu, lebih tepatnya pada figur
seorang pemimpin. Terma ‘pemimpin’ sendiri dapat dipahami sebagai chief executive
dari suatu negara, satuan penting yang terkandung dari terma ‘kepemimpinan’
yang merujuk pada sekelompok orang-orang pembuat keputusan seperti halnya
kabinet ataupun badan sentral lain yang bertindak sebagai pembuat keputusan.
Lebih lanjut perlu diketahui pula bahwasanya terma ‘kepemimpinan’ adalah
berbeda dengan terma ‘rezim’ yang didefinisikan sebagai kelompok yang
mengontrol sentral dari struktur politik di pemerintahan suatu negara. Rezim
juga kerap didenotasikan sebagai pemerintahan yang otoriter atau pemerintahan
yang dinilai buruk meskipun definisi yang obyektif dari rezim tidaklah
demikian. Terlepas dari terma-terma yang disebutkan tersebut, pada intinya
analisis kebijakan luar negeri pada tingkatan individu diketahui berfokus pada
pemimpin yang membuat pilihan-pilihan on behalf of their countries (Neack,
2008: 30 – 1).
Pendekatan rasional yang dimiliki oleh seorang aktor
(individu) datang dari pandangan kaum realis yang kemudian mengkonseptualisasi
negara sebagai sebuah ‘aktor yang satu’. Melihat individu sebagai aktor untuk
menolakukur negara sebagai aktor pun kemudian menjadikan pilihan-pilihan yang
diambil oleh seorang pemimpin (yang mana merupakan aktor individu) adalah
pilihan-pilihan yang diambil oleh suatu negara pula. Hal ini didsasari oleh
asumsi kunci kaum realis mengenai pemimpin yang mengatakan bahwa “pemimpin mana
pun akan bertindak dalam konsistensi dengan kepentingan nasional dari negaranya
yang sifatnya kuat dan berjangkapanjang” (Neack, 2008: 31). Kaitannya dengan
kepentingan nasional, kepentingan nasional kerap digunakan oleh pemimpin untuk
menyamaratakan kebijakan-kebijakan yang beragam, yang cara untuk menggapainya
adalah mungkin untuk berubah-ubah meskipun kepentingan nasional itu sendiri
tidak berubah. Laura Neack dalam bukunya yang berjudul The New Foreign
Policy: Power Seeking in a Globalized Era (2008: 32) juga mengutip
pernyataan Michael McGinnis soal pemimpin dan kepentingan nasional yakni
“setiap individu yang memperoleh tanggung jawab besar dalam kebijakan luar
negeri tentu sudah disosialisasikan melalui proses edukasi dan proses seleksi
untuk menggapai beberapa set dari tujuan bersama” sehingga dapat dipahami bahwa
tentu seorang pemimpin (seharusnya) memiliki kapabilitas untuk meraih tujuan
bersama yang berbentuk kepentingan nasional. Kemudian dalam rangka
mempromosikan dan memproteksi kepentingan nasional, seorang pemimpin akan
bertingkah rasional meskipun Hans Morgenthau pernah menyebutkan bahwa dalam
beberapa kasus, gangguan psikologis dalam diri seorang pemimpin dapat
menyebabkan pemimpin tersebut membuat pilihan yang sebenarnya bertolak dengan
kepentingan nasional dari negaranya (Neack, 2008: 32). Terlepas dari adanya
kemungkinan gangguan psikologis dalam diri seorang pemimpin tersebut,
rasionalitas lebih bermain secara signifikan dalam diri seorang pemimpin untuk
kemudian ia dapat membuat pilihan – yang tentu berkaitan dengan kepentingan
nasional –. Proses pembuatan pilihan sendiri dapat dimaknai sebagai langkah
yang dilakukan untuk memilih diantara berbagai alternatif yang ada, disamping
adanya ketidakpastian. Model dari proses pembuatan pilihan kerap
dianalogikan sebagai ‘kotak hitam’ yang mana dari sebuah kotak hitam tidak
dapat dilihat apa yang terdapat di dalamnya, dan seluruh kotak hitam – dalam
hal ini negara ataupun pemimpin – terlihat sama dari tampilan luarnya.
Penganalogian dengan ‘kotak hitam’ juga menunjukkan bahwa pembuatan pilihan
secara rasional mempertimbangkan soal adanya sebuah permasalahan, kemungkinan
aksi terhadap permasalahan tersebut, dan kemungkinan reaksi dari aksi yang
diberikan terhadap masalah tersebut. Estimasi kesuksesan dari aksi-aksi yang
berbeda terhadap permasalahan yang dihadapi kemudian menuntut rasionalitas
pemimpin untuk menentukan pilihan mana dari aksi yang ada yang kemudian dapat
memaksimalisasi kepentingan nasional sekaligus meminimalisir biaya – dalam hal
ini bermaknakan tanggungan atas aksi yang dipilih – (Neack, 2008: 33 – 4).
Ditekankan kembali bahwasannya rasionalitas dalam diri aktor pembuat pilihan
sesungguhnya berdasarkan atas asumsi kaum realis yang banyak dimuat dalam
konsep game theory. Konsep game theory menerangkan
bahwa apabila seseorang berada dalam situasi tertentu dan berharap untuk
mendapatkan keuntungan, orang tersebut dapat mengatur dan mengkalkulasi
keuntungan yang hendak didapat melalui aksi seperti apa yang akan dipilih
berdasarkan konsentrasi-konsentrasi yang dimiliki. Dengan dapat
dikalkulasikannya keuntungan tersebut kemudian seseorang dapat memilih output dari
aksi yang ia pilih, apakah ia menginginkan outputyang bersifat zero-sum atau
bersifat mixed-motives. Dalam hal tersebut pula rasionalitas
kemudian bermain.
Berdasarkan penjabaran tersebut kemudian dapat
ditarik kesimpulan bahwa analisis kebijakan luar negeri pada tingkat individu,
khususnya seorang pemimpin menjadi suatu hal yang penting oleh karena adanya
keterkaitan antara kebijakan luar negeri dengan kepentingan nasional. Pemimpin
yang bertindak sebagai seorang aktor yang dapat mempengaruhi tercapai atau
tidaknya kepentingan nasional kemudian harus memanfaatkan rasionalitasnya untuk
mempertimbangkan segala kemungkinan yang tidak tampak dari suatu proses
pemilihan aksi, dan harus dapat mengkalkulasikan keuntungan yang didapat dari
dipilihnya suatu aksi pula. Adanya konsep game theory yang
dapat bersifat zero-sum dan mixed-motives kiranya
juga menjadi salah satu faktor dari seorang pemimpin untuk menentukan aksi yang
akan dipilihnya – demi kepentingan nasional – berdasarkan rasionalitas yang ia
miliki.
Referensi:
Neack, Laura. (2008). The New Foreign
Policy: Power Seeking in a Globalized Era 2nd Ed. Maryland:
Rowman & Littlefield Publishers, Inc. [PDF].
No comments:
Post a Comment