Sunday, April 16, 2017

Geopolitik Arab Springs


Permasalahan geopolitik di kawasan Timur Tengah hampir selalu dikaitkan dengan kekayaan sumber daya minyak yang menjadi komoditas serta kepentingan utama banyak negara industri yang maju. Hal ini menyiratkan bahwa negara-negara di kawasan Timur Tengah ini merupakan salah satu tulang punggung perekonomian negara-negara barat. Banyak cara dilakukan sebagai upaya dalam penguasaan kandungan sumber daya alam yang melimpah tersebut, seperti intervensi secara politik, ekonomi, keamanan, dan yang paling populer adalah isu terorisme dan nuklir, yang kemudian menyebabkan instabilitas kawasan. Beberapa kekuatan besar dunia yang memiliki kepentingan nasional di wilayah tersebut antara lain Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan Rusia. Salah satu isu yang paling menarik dan terjadi di kawasan Timur Tengah adalah gelombang demokrasi yang bermula pada tahun 2011 lalu di Tunisia, yang menuntut keterbukaan politis bagi rezim otoritarianisme yang berkuasa. Berhasilnya demokratisasi di Tunisia dengan runtuhnya rezim Ben Ali di sana, memicu masyarakat di negara-negara lain untuk turut berusaha menciptakan demokratisasi di negaranya, seperti Hosni Mubarak di Mesir dan Moammar Qadaffi di Libya. Lebih lanjut dalam tulisan ini akan dibahas mengenai bagaimana strategi kekuatan eksternal dalam memperjuangkan kepentingannya di kawasan ini serta bagaimana perubahan geopolitik yang terjadi sebagai akibatnya.
Berkuasanya rezim otoriter dan monarki di negara-negara kawasan Timur Tengah sendiri sebenarnya tidak terlepas dari peranan Inggris dan Perancis sebagai mandat untuk mengelola wilayah tersebut sebagai hasil dari Perang Dunia II. Akibatnya tidak sedikit dari kepentingan eksternal terhadap sumber daya alam yang terpuaskan oleh adanya rezim-rezim tersebut. Di mana hal ini tentu merugikan warga negaranya, sehingga kemudian memicu timbulnya tuntutan akan keterbukaan politis dan demokratisasi.
Dari segi demografis, penduduk di kawasan ini (Tunisia, Mesir, Libya, Bahrain, dan Syria) dapat dikatakan terdidik. Namun di dalamnya terdapat ketimpangan antara diplomasi dengan dukungan internasional yang mengatasnamakan kepentingan ekonomi dan aspirasi masyarakat. Perubahan yang terjadi pasca runtuhnya beberapa rezim otoriter kemudian memunculkan aktor geopolitik baru, yakni Turki misalnya, yang menjadi mediator antara Israel dan Syria, juga terkait isu nuklir Iran dan Amerika Serikat. Lebih jauh lagi, Turki dapat menjadi mediator dalam lingkup yang lebih luas dalam permasalahan konflik politik antar negara di Timur Tengah, menggantikan Mesir (Guttinger, 2011:5).
Tunisia.
Secara politik, Tunisia sedang mengalami transisi sejak pemerintahan Xine Al-Abidine Ben Ali yang melarikan diri pada bulan Januari 2011 lalu. Di mana sejak saat itu banyak terjadi kerusuhan dan gerakan sosial semakin meningkat, yang memicu arus demonstrasi yang tinggi di hampir seluruh wilayah negara. Sementara dalam hal ekonomi, Tunisia merupakan yang terbaik dan maju di antara negara Afrika lain yang termasuk dalam kawasan Timur Tengahia merupakan negara yang paling kompetitif secara ekonomi di Afrika berdasarkan hasil laporan dari World Economic Forum (WEF) periode 2009/2010. Namun krisis global pada 2008 lalu turut menyebabkan stagnansi ekonomi di Tunisia hingga berakibat pada meningkatnya angka pengangguran dalam jumlah besar, ketika di sisi lain keluarga dan kerabat Ben Ali kian mengalami kemakmuran. Terjadinya ketimpangan ini kemudian menjadi salah satu daktor yang memicu munculnya gerakan sosial yang menuntut mundurnya Ben Ali yang dinilai tidak dmokratism korup, dan nepotisme. Revolusi yang dilakukan dimulai pada awal 2011 lalu tersebut kemudian disebut dengan Revolusi Melati (Guttinger, 2011:4). Revolusi ini dianggap penting karena merupakan pemicu dari gelombang demokratisasi atas rezim otoriter di negara lainnya.
Perubahan politik internal Tunisia juga berdampak pada aktor eksternal yang memiliki kepentingan di sana, antara lain (1) meningkatnya harga minyak per barel di pasar internasional, (2) timbulnya ketakutan para diktator di negara tetangga, seperti Mesir yang melakukan antisipasi dan strategi dalam rangka mencegah gelombang protes di negaranya, (3) Tunisia menjadi penghubung antara Eropa dengan negara-negara Afrika Utara (Guttinger, 2011:7).
Dalam sejarahnya Tunisia memiliki hubungan bilateral yang baik dengan AS, utamanya dalam hal militer. AS memainkan peran penting dalam mempertahankan hubungan keduanya dalam hal bantuan keamanan. Sementara dengan Perancis, Tunisia menjalin hubungan dagang, sebab Perancis merupakan importir utama hasil produksi Tunisia. Selain itu Perancis merupakan mitra utama Tunisia dalam hal rencana pengembangan kekuatan nuklir. Berbeda lagi dengan Cina, Tunisia mendukung kebijakan “One China Policy”, di mana pemerintah keduanya telah menandatangani kerjasama budaya pada tahun 1979. Dan hal ini terwujud dalam pertukaran pelajar dan budaya. Sedangkan hubungannya dengan negara kawasannya, Tunisia merupakan negara yang menyuarakan modernisme dan realisme di Timur Tengah, melalui partisipasinya dalam organisasi-organisasi regional.
Mesir.
Mesir, yang hasil utamanya adalah minyak mentah dan produk-produk petrolium, katun, tekstil, metal, dan pertanian, merupakan satu-satunya negara di kawasan Timur Tengah yang menjalin kesepakatan damai dengan Israel, meski sikapnya seringkali kurang menyenangkan terhadap Israel yang mewakili kepentingan Barat dalam konflik Palestina-Israel. Demokratisasi di Mesir yang melengserkan Hosni Mubarak juga merupakan respon dari lengsernya Ben Ali di Tunisia. Upaya pencegahan Mubarak dari aksi demonstrasi masyarakat rupanya tidak berhasil sehingga represi pemerintah dan kekerasan pun tak terelakkan. Atas kejadian ini, AS pun turun tangan atas nama pelanggaran hak asasi manusia.
Perubahan geopolitik pasca demokratisasi di Mesir berakibat pada peran penting Mesir yang tergeser oleh Turki, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Instabilitas internal politik Mesir yang dipicu oleh gelombang demokrasi, menjadi bukti lain adanya efek domino yang sedang melanda negara-negara Arab (Guttinger, 2011:5).
Selanjutnya hubungannya dengan major power. Yang pertama dengan Cina. Cina berperan penting dalam perekonomian Mesir, melalui perannya sebagai investor, mitra dagang, kompetitor, dan lain sebagainya. Kemudian dengan AS yang hubungannya cukup baik. Dimana demokrasi disebarkan dengan menyisipkan kapitalisasi dalam sejarah kepemimpinan Mesir. AS mengharapkan adanya pengaruh Mesir terhadap negara Timur Tengah lainnya dalam hal perlawanan terhadap terorisme (Sharp, 2005). Sementara Perancis mendukung Mubarak dalam menghadapi protes di jalan-jalan Mesir. He has traditionally proved willing to collaborate with autocrats when it has coincided with his country’s interests. Dari sini terlihat bahwa Perancis tidak ingin kehilangan antek-anteknya hanya karena demokrasi. Dan Inggris, selain kerjasama perdagangan, juga mempunyai kepentingan dalam proyek Terusan Suez.
Libya.
Demokratisasi di Libya menjatuhkan rezim Moammar Qadaffi, yang menggunakan militer dalam menumpas perlawanan demonstran dan protes anti pemerintah. Pergolakan yang terjadi banyak memakan korban, hingga menghadirkan intervensi barat atas nama pelanggaran hak asasi manusia, seperti yang terjadi di Mesir. Kehadiran kekuatan eksternal tersebut  juga untuk mengamankan kepentingan nasionalnya di Libya terkait ladang minyak hingga suplai senjata.
Mengenai hubungannya major power, China lebih banyak berinvestasi dalam bidang energi, dan lebih mendukung peran PBB dalam penanganan masalah di Libya. Sedangkan dengan Inggris dan Perancis yang memberikan mandat pasca berakhirnya Perang Dunia II. Kemudian diberlakukan “No Fly Zone” untuk menghentikan serangan-serangan pesawat terbang oleh pasukan Moammar Qadaffi terhadap gerilyawan oposisi. Selain itu kepentingan keduanya juga tidak jauh dari sumber energi di Libya. Dan dengan AS, dengan kepentingan minyak ia menggunakan strategi untuk melawan kekuatan militer Qadaffi dan mendukung ide demokrasi yang dibawa oleh rakyat sipil.
Bahrain.
Kerajaan yang tidak berbatasan dengan daratan manapun ini memiliki permasalahan dengan struktur masyarakat yang terbagi menjadi dua etnis besar yang berkonflik yakni Syiah dan Sunni dan sistem politik yang tidak demokratis. Sistem yang diskriminatif membuat kelompok minoritas (Sunni) terhalang untuk memperoleh kebebasan politik yang sama. Perserteruan tersebut  mengundang intervensi asing, yakni dukungan politis dari negara GCC (Gulf Cooperation Council) bagi kelompok masyarakat Sunni dan dukungan baik dana maupun politis dari Iran bagi kelompok masyarakat Syiah.
Arena geopolitik Bahraian antara lain adalah Bahrain merupakan pemasok minyak dunia dan arus demonstrasi dan gerakan sosial di Bahrain mengakibatkan meningkatnya harga minyak dunia. Sementara Bahrain sendiri merupakan negara kepulauan kecil dengan sumber daya yang melimpah dan dekat dengan negara dengan kekuatan besar.
Syria.
Seperti halnya dengan negara kawasan Timur Tengah lainnya, Syria memiliki sumber daya alam yang melimpah. Dan hal ini tentu berakibat pada banyaknya kepentingan asing terhadapnya. Dalam hal pengolahan minyak sendiri dilakukan kerjasama dagang dengan produsen minyak internasional seperti Pecten, Shell, dan Deminex. Gelombang demokratisasi pun juga tidak terlepas dari Syria. Presiden Bahsar Al-Assad menjadi target penggulingan selanjutnya atas nama demokrasi.
Kepentingan asing pun tidak lain adalah seputar minyak. Cina mengutamakan suplai pupuknya. Inggris, Perancis, dan AS mengatasnamakan sejarah dan usaha perwujudan demokrasi di sana. Dan dalam perkembangannya Syria bekerjasama dengan Iran untuk menahan pengaruh keterlibatan barat ke Timur Tengah. Akibatnya konstelasi politik disana menjadi tidak stabil disebabkan oleh konflik Syria dengan Liga Arab.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa berlimpahnya sumber daya energi di kawasan Timur Tengah membuatnya menjadi tulang punggung perekonomian negara industri. Arena geopolitik mulai berubah seiring dengan hadirnya Arab Springs atau gelombang demokratisasi di kawasan tersebut. Intervensi asing utamanya barat masuk dengan dalih mendukung demokratisasi yang diinginkan oleh rakyat setempat yang menginginkan adanya keterbukaan politik dari rezim otoriter dan diktatir yang tengah berkuasa. Dan ari beberapa negara tersebut, masing-masing negara memiliki strategi yang berbeda-beda untuk menghadapi intervensi dari berbagai pihak yang memiliki kepentingan masing-masing.

Referensi:
Bureau of Near Eastern Affairs, 2012. Tunisia [online]. Dalam http://www.state.gov/r/pa/ei/bgn/5439.htm [diakses pada 23 Mei 2012].
Guttinger, Anne F. 2011. Arab Spring-ppt. Surabaya : Universitas Airlangga, 2011.
Rubin, Barry. 1998. The Geopolitics of Middle East Conflict and Crisis. Meri: Middle East Review of International Affairs. [Online] MERIA JOURNAL, September 1998. [Dikutip: 17 Juni 2011.] http://meria.idc.ac.il/journal/1998/issue3/jv2n3a7.html. Volume 2, No. 3-September 1998.
Shah, Anup. 2011. Middle East. Global Issues: Social, Political, Economic and Envirionmental Issues That Affect Us All. [Online] Globalissues.org, 15 Mei 2011. [Dikutip: 17 Mei 2011.] http://www.globalissues.org/issue/103/middle-east.
Warren Alex, 2012. Tunisia Step Out [online]. Dalam http://www.foreignpolicy.com/articles/2012/02/23/tunisia_steps_out?page=0,1 [diakses pada 23 Mei 2012].


No comments:

Post a Comment