Permasalahan geopolitik di
kawasan Timur Tengah hampir selalu dikaitkan dengan kekayaan sumber daya minyak
yang menjadi komoditas serta kepentingan utama banyak negara industri yang
maju. Hal ini menyiratkan bahwa negara-negara di kawasan Timur Tengah ini merupakan
salah satu tulang punggung perekonomian negara-negara barat. Banyak cara
dilakukan sebagai upaya dalam penguasaan kandungan sumber daya alam yang
melimpah tersebut, seperti intervensi secara politik, ekonomi, keamanan, dan
yang paling populer adalah isu terorisme dan nuklir, yang kemudian menyebabkan
instabilitas kawasan. Beberapa kekuatan besar dunia yang memiliki kepentingan
nasional di wilayah tersebut antara lain Amerika Serikat, Inggris, Perancis,
dan Rusia. Salah satu isu yang paling menarik dan terjadi di kawasan Timur
Tengah adalah gelombang demokrasi yang bermula pada tahun 2011 lalu di Tunisia,
yang menuntut keterbukaan politis bagi rezim otoritarianisme yang berkuasa.
Berhasilnya demokratisasi di Tunisia dengan runtuhnya rezim Ben Ali di sana,
memicu masyarakat di negara-negara lain untuk turut berusaha menciptakan
demokratisasi di negaranya, seperti Hosni Mubarak di Mesir dan Moammar Qadaffi
di Libya. Lebih lanjut dalam tulisan ini akan dibahas mengenai bagaimana
strategi kekuatan eksternal dalam memperjuangkan kepentingannya di kawasan ini
serta bagaimana perubahan geopolitik yang terjadi sebagai akibatnya.
Berkuasanya rezim otoriter dan
monarki di negara-negara kawasan Timur Tengah sendiri sebenarnya tidak terlepas
dari peranan Inggris dan Perancis sebagai mandat untuk mengelola wilayah
tersebut sebagai hasil dari Perang Dunia II. Akibatnya tidak sedikit dari
kepentingan eksternal terhadap sumber daya alam yang terpuaskan oleh adanya
rezim-rezim tersebut. Di mana hal ini tentu merugikan warga negaranya, sehingga
kemudian memicu timbulnya tuntutan akan keterbukaan politis dan demokratisasi.
Dari segi demografis, penduduk
di kawasan ini (Tunisia, Mesir, Libya, Bahrain, dan Syria) dapat dikatakan
terdidik. Namun di dalamnya terdapat ketimpangan antara diplomasi dengan
dukungan internasional yang mengatasnamakan kepentingan ekonomi dan aspirasi
masyarakat. Perubahan yang terjadi pasca runtuhnya beberapa rezim otoriter
kemudian memunculkan aktor geopolitik baru, yakni Turki misalnya, yang menjadi
mediator antara Israel dan Syria, juga terkait isu nuklir Iran dan Amerika
Serikat. Lebih jauh lagi, Turki dapat menjadi mediator dalam lingkup yang lebih
luas dalam permasalahan konflik politik antar negara di Timur Tengah,
menggantikan Mesir (Guttinger, 2011:5).
Tunisia.
Secara politik, Tunisia sedang
mengalami transisi sejak pemerintahan Xine Al-Abidine Ben Ali yang melarikan
diri pada bulan Januari 2011 lalu. Di mana sejak saat itu banyak terjadi
kerusuhan dan gerakan sosial semakin meningkat, yang memicu arus demonstrasi
yang tinggi di hampir seluruh wilayah negara. Sementara dalam hal ekonomi,
Tunisia merupakan yang terbaik dan maju di antara negara Afrika lain yang
termasuk dalam kawasan Timur Tengahia merupakan negara yang paling kompetitif
secara ekonomi di Afrika berdasarkan hasil laporan dari World Economic Forum
(WEF) periode 2009/2010. Namun krisis global pada 2008 lalu turut menyebabkan
stagnansi ekonomi di Tunisia hingga berakibat pada meningkatnya angka
pengangguran dalam jumlah besar, ketika di sisi lain keluarga dan kerabat Ben
Ali kian mengalami kemakmuran. Terjadinya ketimpangan ini kemudian menjadi
salah satu daktor yang memicu munculnya gerakan sosial yang menuntut mundurnya
Ben Ali yang dinilai tidak dmokratism korup, dan nepotisme. Revolusi yang
dilakukan dimulai pada awal 2011 lalu tersebut kemudian disebut dengan Revolusi
Melati (Guttinger, 2011:4). Revolusi ini dianggap penting karena merupakan
pemicu dari gelombang demokratisasi atas rezim otoriter di negara lainnya.
Perubahan politik internal
Tunisia juga berdampak pada aktor eksternal yang memiliki kepentingan di sana,
antara lain (1) meningkatnya harga minyak per barel di pasar internasional, (2)
timbulnya ketakutan para diktator di negara tetangga, seperti Mesir yang
melakukan antisipasi dan strategi dalam rangka mencegah gelombang protes di
negaranya, (3) Tunisia menjadi penghubung antara Eropa dengan negara-negara
Afrika Utara (Guttinger, 2011:7).
Dalam sejarahnya Tunisia
memiliki hubungan bilateral yang baik dengan AS, utamanya dalam hal militer. AS
memainkan peran penting dalam mempertahankan hubungan keduanya dalam hal
bantuan keamanan. Sementara dengan Perancis, Tunisia menjalin hubungan dagang,
sebab Perancis merupakan importir utama hasil produksi Tunisia. Selain itu Perancis
merupakan mitra utama Tunisia dalam hal rencana pengembangan kekuatan nuklir.
Berbeda lagi dengan Cina, Tunisia mendukung kebijakan “One China Policy”,
di mana pemerintah keduanya telah menandatangani kerjasama budaya pada tahun
1979. Dan hal ini terwujud dalam pertukaran pelajar dan budaya. Sedangkan
hubungannya dengan negara kawasannya, Tunisia merupakan negara yang menyuarakan
modernisme dan realisme di Timur Tengah, melalui partisipasinya dalam
organisasi-organisasi regional.
Mesir.
Mesir, yang hasil utamanya
adalah minyak mentah dan produk-produk petrolium, katun, tekstil, metal, dan
pertanian, merupakan satu-satunya negara di kawasan Timur Tengah yang menjalin
kesepakatan damai dengan Israel, meski sikapnya seringkali kurang menyenangkan
terhadap Israel yang mewakili kepentingan Barat dalam konflik Palestina-Israel.
Demokratisasi di Mesir yang melengserkan Hosni Mubarak juga merupakan respon
dari lengsernya Ben Ali di Tunisia. Upaya pencegahan Mubarak dari aksi
demonstrasi masyarakat rupanya tidak berhasil sehingga represi pemerintah dan
kekerasan pun tak terelakkan. Atas kejadian ini, AS pun turun tangan atas nama
pelanggaran hak asasi manusia.
Perubahan geopolitik pasca
demokratisasi di Mesir berakibat pada peran penting Mesir yang tergeser oleh Turki,
seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Instabilitas internal politik Mesir
yang dipicu oleh gelombang demokrasi, menjadi bukti lain adanya efek domino
yang sedang melanda negara-negara Arab (Guttinger, 2011:5).
Selanjutnya hubungannya dengan major
power. Yang pertama dengan Cina. Cina berperan penting dalam perekonomian
Mesir, melalui perannya sebagai investor, mitra dagang, kompetitor, dan lain
sebagainya. Kemudian dengan AS yang hubungannya cukup baik. Dimana demokrasi
disebarkan dengan menyisipkan kapitalisasi dalam sejarah kepemimpinan Mesir. AS
mengharapkan adanya pengaruh Mesir terhadap negara Timur Tengah lainnya dalam
hal perlawanan terhadap terorisme (Sharp, 2005). Sementara Perancis mendukung
Mubarak dalam menghadapi protes di jalan-jalan Mesir. He has
traditionally proved willing to collaborate with autocrats when it has
coincided with his country’s interests. Dari sini terlihat bahwa
Perancis tidak ingin kehilangan antek-anteknya hanya karena demokrasi. Dan
Inggris, selain kerjasama perdagangan, juga mempunyai kepentingan dalam proyek
Terusan Suez.
Libya.
Demokratisasi di Libya
menjatuhkan rezim Moammar Qadaffi, yang menggunakan militer dalam menumpas
perlawanan demonstran dan protes anti pemerintah. Pergolakan yang terjadi
banyak memakan korban, hingga menghadirkan intervensi barat atas nama
pelanggaran hak asasi manusia, seperti yang terjadi di Mesir. Kehadiran
kekuatan eksternal tersebut juga untuk mengamankan kepentingan
nasionalnya di Libya terkait ladang minyak hingga suplai senjata.
Mengenai hubungannya major
power, China lebih banyak berinvestasi dalam bidang energi, dan lebih
mendukung peran PBB dalam penanganan masalah di Libya. Sedangkan dengan Inggris
dan Perancis yang memberikan mandat pasca berakhirnya Perang Dunia II. Kemudian
diberlakukan “No Fly Zone” untuk menghentikan serangan-serangan pesawat
terbang oleh pasukan Moammar Qadaffi terhadap gerilyawan oposisi. Selain itu
kepentingan keduanya juga tidak jauh dari sumber energi di Libya. Dan dengan
AS, dengan kepentingan minyak ia menggunakan strategi untuk melawan kekuatan
militer Qadaffi dan mendukung ide demokrasi yang dibawa oleh rakyat sipil.
Bahrain.
Kerajaan yang tidak berbatasan
dengan daratan manapun ini memiliki permasalahan dengan struktur masyarakat
yang terbagi menjadi dua etnis besar yang berkonflik yakni Syiah dan Sunni dan
sistem politik yang tidak demokratis. Sistem yang diskriminatif membuat
kelompok minoritas (Sunni) terhalang untuk memperoleh kebebasan politik yang
sama. Perserteruan tersebut mengundang intervensi asing, yakni dukungan
politis dari negara GCC (Gulf Cooperation Council) bagi kelompok masyarakat
Sunni dan dukungan baik dana maupun politis dari Iran bagi kelompok masyarakat
Syiah.
Arena geopolitik Bahraian
antara lain adalah Bahrain merupakan pemasok minyak dunia dan arus demonstrasi
dan gerakan sosial di Bahrain mengakibatkan meningkatnya harga minyak dunia.
Sementara Bahrain sendiri merupakan negara kepulauan kecil dengan sumber daya
yang melimpah dan dekat dengan negara dengan kekuatan besar.
Syria.
Seperti halnya dengan negara
kawasan Timur Tengah lainnya, Syria memiliki sumber daya alam yang melimpah.
Dan hal ini tentu berakibat pada banyaknya kepentingan asing terhadapnya. Dalam
hal pengolahan minyak sendiri dilakukan kerjasama dagang dengan produsen minyak
internasional seperti Pecten, Shell, dan Deminex. Gelombang demokratisasi pun
juga tidak terlepas dari Syria. Presiden Bahsar Al-Assad menjadi target
penggulingan selanjutnya atas nama demokrasi.
Kepentingan asing pun tidak
lain adalah seputar minyak. Cina mengutamakan suplai pupuknya. Inggris,
Perancis, dan AS mengatasnamakan sejarah dan usaha perwujudan demokrasi di
sana. Dan dalam perkembangannya Syria bekerjasama dengan Iran untuk menahan
pengaruh keterlibatan barat ke Timur Tengah. Akibatnya konstelasi politik
disana menjadi tidak stabil disebabkan oleh konflik Syria dengan Liga Arab.
Dari penjelasan diatas dapat
disimpulkan bahwa berlimpahnya sumber daya energi di kawasan Timur Tengah
membuatnya menjadi tulang punggung perekonomian negara industri. Arena
geopolitik mulai berubah seiring dengan hadirnya Arab Springs atau
gelombang demokratisasi di kawasan tersebut. Intervensi asing utamanya barat
masuk dengan dalih mendukung demokratisasi yang diinginkan oleh rakyat setempat
yang menginginkan adanya keterbukaan politik dari rezim otoriter dan diktatir
yang tengah berkuasa. Dan ari beberapa negara tersebut, masing-masing negara
memiliki strategi yang berbeda-beda untuk menghadapi intervensi dari berbagai
pihak yang memiliki kepentingan masing-masing.
Referensi:
Bureau of Near Eastern Affairs,
2012. Tunisia [online]. Dalam
http://www.state.gov/r/pa/ei/bgn/5439.htm [diakses pada 23 Mei 2012].
Guttinger, Anne F. 2011. Arab
Spring-ppt. Surabaya : Universitas Airlangga, 2011.
Rubin, Barry. 1998. The
Geopolitics of Middle East Conflict and Crisis. Meri: Middle East
Review of International Affairs. [Online] MERIA JOURNAL, September
1998. [Dikutip: 17 Juni 2011.]
http://meria.idc.ac.il/journal/1998/issue3/jv2n3a7.html. Volume 2, No.
3-September 1998.
Shah, Anup. 2011. Middle
East. Global Issues: Social, Political, Economic and Envirionmental
Issues That Affect Us All. [Online] Globalissues.org, 15 Mei 2011.
[Dikutip: 17 Mei 2011.] http://www.globalissues.org/issue/103/middle-east.
Warren Alex, 2012. Tunisia
Step Out [online]. Dalam
http://www.foreignpolicy.com/articles/2012/02/23/tunisia_steps_out?page=0,1
[diakses pada 23 Mei 2012].
No comments:
Post a Comment