Dalam dunia kontemporer, ketika
dunia didominasi oleh neoliberalisasi ekonomi, banyak muncul kekuatan-kekuatan
baru yang mulai menunjukkan pengaruhnya tidak hanya secara ekonomi namun juga
politik. Di antaranya adalah Cina, India, dan Jepang, yang secara tidak
langsung kemudian berpengaruh pada menurunnya pengaruh Amerika sebagai superpower.
Pada pembahasan kali ini akan banyak dibicarakan mengenai hubungan
negara-negara tersebut serta bagaimana geopolitik dan geostrategi ditempatkan
dalam konteks kekuatan minyak dan gas. Dimana potensi minyak yang demikian
besarnya sudah mulai nampak pada saat pertama kali ditemukannya mesin uap, yang
lebih jauh pemanfaatannya semakin terasa pada saat terjadinya revolusi industri
dan kemudian tak terelakkan minyak seolah menjadi kebutuhan pokok hampir
seluruh negara di dunia.
Negara-negara dengan kekuatan
baru tadi rupanya memanfaatkan minyak sebagai sarana dan prasarana dalam rangka
pemenuhan kebutuhan industri mereka yang demikian pesat. Sehingga sebagai
konsekuensi logis, perekonomian mereka pun tumbuh dengan cepat. Penggunaan
minyak sebagai sumber tenaga atau bahan bakar industri ini terus menerus
meningkat dalam jumlah yang semakin besar. Dan hal ini disadari oleh mereka,
bahwa minyak bukan merupakan sumber daya yang dapat diperbarui dalam waktu
singkat. Namun bagaimanapun minyak tetap merupakan kebutuhan pokok, yang harus
tetap diperoleh demi keberlangsungan industri sebagai motor perekonomian. Oleh
karena itu cara yang paling memungkinkan untuk dapat memperoleh minyak terus
menerus adalah dengan berebut minyak pada negara-negara penghasil minyak.
Berakhirnya Perang Dingin
menandai berakhirnya kuasa dua blok besar digantikan oleh industrialisasi
secara masif di berbagai wilayah di dunia. Industri diyakini dapat mengontrol
dunia (Tuathail dan Simon, 2008). Perlombaan akan perolehan minyak
inidiibaratkan seperti perlombaan terhadap perolehan rempah-rempah pada masa
kolonialisme. Pemetaan dunia mengenai sumber minyak di dunia mengerucut pada
wilayah negara-negara di Timur Tengah.
Akibat menjadi sebuah komoditas
yang sangat berharga dan diperebutkan membuatnya menjadi mahal dan mejadi salah
satu faktor penentu kebijakan negara-negara di dunia. Sebagai contoh adalah apa
yang terjadi di Indonesia beberapa waktu yang lalu, mengenai dikeluarkannya
kebijakan pemerintah mengenai naiknya harga bahan bakar minyak, sebagai bahan
bakar transportasi, yang secara konstan memicu terjadinya demonstrasi di
berbagai wilayah negara, yang mengakibatkan ditundanya realisasi atas kebijakan
tersebut. Dari sini terlihat bahwa pentingnya minyak sebagai suatu komoditas
tidak hanya mempengaruhi negara pada tingkat pemerintahan, namun juga
masyarakat sipil. Sehingga dapat dikatakan bahwa minyak telah dapat
mempengaruhi pembuatan keputusan pemerintah suatu negara.
Dalam konteks internasional
terdapat beberapa kasus atau konflik yang diakibatkan oleh usaha perolehan
minyak. Terlihat pada kasus penyerangan Irak oleh Amerika Serikat pada tahun
2003 dengan dalih penyebaran nilai-nilai demokrasi. Dimana seiring berjalannya
waktu terlihat bahwa tujuan lain dari tindakan AS tersebut adalah untuk
penguasaan kilang-kilang minyak di sana. Di samping dalih demokrasi, Amerika
Serikat juga menggunakan adanya isu pengembangan senjata pemusnah massal atau
nuklir yang didalangi oleh penguasa Irak kala itu, yaitu Saddam Hussein.
Amerika Serikat kemudian beralasan bahwa gaya kepemimpinan Saddam Hussein yang
diktator tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Masuknya AS menyebabkan
ketidakstabilan utamanya dalam bidang politik di sana.
Kasus di atas dapat dikatakan
seusai dengan pemikiran klasik Mackinder mengenai Heartland. Dimana
dunia ini memiliki pusat atau jantung yang dengan kata lain adalah sumber
kekayaan yang sangat besar. Dan dengan adanya hal ini, menurutnya siapapun yang
mampu menguasai heartlandmaka ia akan dapat menguasai dunia (Short,
1993). Dan apabila memang benar, maka dalam hal ini yang menjadi heartland saat
ini adalah wilayah Timur Tengah, yang tengah diperebutkan oleh para pengejar
minyak. Dimana bahkan negara-negara pengekspor yang tergabung dalam organisasi
pengekspor minyak OPEC (Organization of Petrolium Exporting Countries) tidak
dapat menghasilkan minyak sebanyak negara-negara di Timur Tengah (www.oilcrash.com). Maka tidak heran bahwa
Timur Tengah disebut-sebut sebagai jantung dunia sesuai dengan konsepsi
Mackinder.
Dari uraian singkat di atas
dapat disimpulkan bahwa minyak menjadi komoditas yang sangat penting dan
berpengaruh dalam dunia internasional. Ia berpengaruh tidak hanya pada bidang
politik, namun juga meluas pada aspek lain yaitu ekonomi dan sosial. Penguasaan
terhadap sumber-sumber minyak seolah menjadi tujuan utama negara-negara di
dunia pada saat ini. Dimana dalam beberapa kasus usaha perolehan minyak bahkan
menimbulkan konflik. Hal ini kemudian dapat dipahami, sebab keberadaan sumber
minyak di Timur Tengah yang sangat melimpah membuatnya diindikasikan sebagai
jantung dunia, yang mana menurut Mackinder barang siapa yang dapat menguasai
jantung dunia ini akan mampu menguasai dunia.
Referensi
Buku:
Agnew, John 1998,Geopolitics
:Re-visioning world politics Second edition, London:Routledge
Amirahmadi, Hooshang. 1996. World
Oil and Geopolitics to the Year 2010. Dalam Journal of Energy and
Development, Vol. 21, No. 1. International Research Center for Energy and
Economic Development (ICEED).
Mackinder, H.J. (1904) ‘The
geographical pivot of history’, Geographical Journal, 23: 421–44.
Le Billon, Phillippe. 2005. The
Geopolitics of Resources Wars: Resources dependence, Governance and
Violence.London: Frank Cass
Internet:
Short, J.R.,1993,An
Introduction to Political Geography,London:Routledge
www.oilcrash.com [diakses pada 12
April 2012]
No comments:
Post a Comment