Pada masa berakhirnya Perang
Dingin menandai munculnya banyak negara-negara baru seiring dengan runtuhnya
Uni Soviet yang secara bersamaan juga mengakhiri masa kekuatan dua blok besar.
Hingga abad ke-21, terjadi berbagai macam perubahan yang terjadi terhadap arena
geopolitik dunia. Yang pertama adalah adanya transformasi dari elemen
tradisional kekuatan nasional. Dimana konsep kekuatan yang pada masa sebelumnya
didominasi oleh hardpower bergeser menjadi softpower. Hal ini kemudian juga
turut menggeser isu-isu yang menonjol dalam dunia internasional. Dari isu-isu high
politics seperti militer menjadi isu-isu low politics seperti
ekonomi dan lingkungan. Perubahan isu ini kemudian juga menimbulkan timbulnya
jenis konflik baru yang terjadi, menyesuaikan dengan isu yang berkembang.
Bergesernya isu internasional
juga menghasilkan tantangan baru bagi geopolitik. Berdasarkan apa yang
dikemukakan oleh Huntington (1993) dalam tesisnya Clash of Civilization,
bahwa konflik antara dua poros pada Perang Dingin lebih lanjut akan meluas pada
konflik budaya dan agama. Oleh karena itu, ketika Perang Dingin berakhir,
banyak negara yang kemudian memerdekakan diri, dengan membawa identitas budaya
dan agamanya masing-masing. Di sini Huntington (1993) menganggap akan
terjadinya benturan dari banyaknya peradaban baru yang mencuat. Dan hal inilah
yang kemudian menjadi tantangan bagi arena geopolitik dunia. Terlihat dari
beberapa kasus yang ada, diantaranya The “Kin – country syndrome” yang
cenderung membentuk aliansi dengan peradaban yang sama, misal: perang Teluk; The
“West“ versus the “Rest”, dimana “world community” dan “the
free world” adalah semata-mata kepentingan barat; The Torn
countries, yakni ada beberapa peradaban di suatu negara yang berbenturan,
seperti Meksiko, Turki, Russia; dan Confucian – Islamic connection, yang
disoroti akibat pengembangan senjata nuklir, yang sangat ditentang oleh
negara-negara barat.
Pada masa Perang Dingin,
pengaruh Soviet yang semakin meluas pada wilayah Eurasia membuat Amerika
Serikat Serikat semakin gerah. Presiden AS, Kennan kemudian mengeluarkan
kebijakan pembendungan. Hal ini dikarenakan Kennan merasa bahwa keamanan
Amerika Serikat sangat dipengaruhi oleh adanya keseimbangan kekuatan di wilayah
Euraisa, bukan oleh adanya dominasi Soviet. Mengingat Eurasia merupakan wilayah
Heartland, menurut Mackinder. Adanya dominasi Soviet di tanah Eurasia pasca
Perang Dunia II akan meyebabkan ketidakseimbangan, dimana hal ini hanya dapat
diseimbangkan kembali dengan mudah oleh AS. Spykman mengungkapkan bahwa hal ini
adalah penindaklanjutan dari apa yang sebelumnya telah terjadi pada masa Perang
Dunia, yaitu perebutan kekuasaan atas Eurasia oleh landpowers dan seapowers.
Lebih lanjut Skypman mengatakan bahwa, “because the first line of defense of
the United States lies in the preservation of balance of power in Europe and
Asia” (Sempa, 2002:94). Maka dari itu, bukan sesuatu yang mengherankan
apabila kemudian AS menggunakan strategi containment policy untuk
membendung kekuatan Soviet yang menyebar di daratan Eropa dan Asia. Wilayah
tersebut merupakan wilayah kunci pertahanan AS dan ini bukanlah hal yang baru.
Konsep pembendungan Kennan ini juga dianggap oleh Sempa sebagai timeless
geopolitical concepts, bahkan hingga pada masa Post Cold War. Dimana
meskipun usai Perang Dingin Uni Soviet telah runtuh, muncul kekuatan-kekuatan
baru di wilayah Eropa dan Asia. Di Eropa, Jerman yang telah bersatu seiring
dengan berakhirnya Perang Dingin menjadi jauh lebih makmur, potensi-potensi
ekonomi berkembang dan menjadi salah satu yang terkuat di Eropa. Di Asia, China
dan Jepang muncul sebagai kekuatan baru. China meskipun tetap bertahan dengan
komunisme dan total powernya, memanfaatkan teknologi barat untuk
modernisasi ekonomi. Jepang dengan jumlah populasi yang cukup besar namun terdidik
dengan baik, membuat mereka dapat memanfaatkan sumber daya alamnya yang
melimpah dengan peningkatan teknologi secara mandiri. Jepang merupakan the
economic powerhouse of Asia (Sempa, 2002:97). AS kini merupakan
satu-satunya penguasa ekonomi dan militer. Komitmen keamanannya menjadi lebih
luas yang dijalin dengan Eropa, Asia, Amerika Tengah, Karibia, Mediterania,
Teluk Persia, India, Pasifik, dan Samudera Atlantik.
Secara geopolitics, kemenangan
AS dalam Perang Dingin tidak terlalu berdampak signifikan. Hal ini disebabkan
Rusia tetap menguasai wilayah strategis Heartland, kejatuhan Rusia justru
menyebabkan reunifikasi jerman, pembagian politik di Asia justru menyebabkan
beberapa negara yang saling berkonflik saat ini –pakistan dan India, China dan Vietnam.
Atau dengan kata lain Sempa mengatakan, “In short, there is no Eurasian
power or alliance of Eurasian powers which can at this time counterbalance a
revived Heartland power” (Sempa, 2002:99).
Dari uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa kebijakan pembendungan AS pasca Perang Dunia II yang pertama
kali dikeluarkan oleh George F. Kennan, mempunyai fokus geografis secara
implisit, yaitu membendung pengaruh komunis Soviet dalam batasan geografis usai
Perang Dunia. Hingga akhirnya terbentuklah beberapa pakta pertahanan seperti
NATO dan SEATO yang dimaksudkan untuk membendung ekspansi Soviet menuju wilayah
Eurasia. Memasuki abad baru, Amerika Serikat menemui semakin banyak masalah
yang mendesak dan kompleks. Dengan terbatasnya sumber daya alam, kemauan yang
besar, dan perubahan kondisi politik domestik maupun internasional dalam era
prkembangan teknologi yang serba pesat, AS harus membuat pilihan yang sulit
dalam formula strategi global.
Referensi:
Sempa, Francis. 2002. Geopolitics,
from Cold War to the 21st Century. Transaction Publishers.
Huntington, Samuel P. 1993. The
Clash of Civilization. From Foreign Affairs dalam Geraroid O Tuathail,
Simon Dalby and paul Routledge “Geopolitics Reader”. London: Routledge
No comments:
Post a Comment