Pada dasarnya konflik merupakan
situasi ketika dua atau lebih pihak memiliki tujuan yang sama dan memperebutkan
tujuan tersebut serta dalam memandang tujuan tersebut pihak-pihak di dalamnya
memiliki persepsi yang berbeda. Whittaker (1999) menjelaskan bagaimana sifat
alamiah konflik dalam artikelnya yang berjudul Conflict, Resolution,
and Reconciliation bahwa konflik berangkat dari ketegangan dan
perselisihan, prasangka buruk dan kecurigaan, ke arah situasi yang tidak sesuai
harapan yang menumbuhkan sikap permusuhan dan saling menantang, pelanggaran hak
asasi manusia, kebijakan diskriminatif dan menjadikan kambing hitam sekelompok
orang, dan penyalahgunaan kekuatan militer (Whittaker, 1999:2).
Sementara itu dalam upaya
penyelesaian konflik dibuatlah resolusi yang menguntungkan semua pihak yang
berkonflik. Resolusi konflik dicapai melalui 3 cara, yakni negosiasi, mediasi,
dan intervensi. Negosiasi cenderung menuntut pilihan-pilihan kompromis yang
membuat kesepakatan sulit dicapai. Meski demikian cara ini selalu memberikan
kemungkinan alternatif. Jalan mediasi dipilih ketika konflik sudah merambat ke
wilayah lain, sehingga perlu pihak ketiga sebagai penengah, tanpa ikut campur
ke dalam permasalahan. Mediator hanya berfungsi sebagai penengah hingga
resolusi tercapai. Sedangkan intervensi hampir sama dengan mediasi, namun pihak
ketiga berhak untuk ikut campur dan mengambil keputusan (Whittaker, 1999:4-7).
Rekonsiliasi adalah bentuk
transformasi konflik dengan mengubah konflik menjadi damai. terdapat kesadaran
kedua pihak bahwa konflik yang berlarut-larut akan memakan biaya lebih banyak dan
sia-sia. Faktor masa lalu menjadi vital untuk mengetahui akar konflik yang
digunakan untuk menghilangkan potensi konflik dan menjalin hubungan yang lebih
harmonis pada waktu yang mendatang (Whittaker, 1999:8).
Miall et. al. (2000)
mengklasifikasikan penyebab konflik berdasarkan tingkat terjadinya. Di tingkat
global terdapat dua penyebab utama terjadinya konflik, yaitu berakhirnya Perang
Dingin yang ditandai dengan pergolakan di Afrika, negara Balkan, dan wilayah
lain bekas Uni Soviet; dan lebih sistemik yakni ketimpangan secara sosial dan
ekonomi secara global, konsumsi energi besar-besaran hasil alam negara
berkembang oleh negara maju namun populasi tumbuh pesat di negara berkembang
sehingga mempersulit perbaikan kualitas manusia melalui pertumbuhan ekonomi,
dan militerisasi hubungan keamanan termasuk proliferasi senjata yang mematikan.
Di tingkat regional umumnya disebabkan pola kewilayahan yang secara sosial dan
demografis saling berbatasan. Diawali instabilitas politik suatu negara akibat
konflik internal yang berakibat eksternal seperti penyebaran senjata, kejatuhan
ekonomi regional, migrasi ke negara tetangga yang lebih aman dan serumpun.
Ditingkat negara, konflik diklasifikan lagi dalam 3 bidang, yaitu sosial,
seperti perpecahan budaya dan dominasi etnis tertentu; bidang ekonomi, akibat
kurangnya sumber daya dan kemiskinan; dan politik, karena adanya pemerintah
partisan maupun rezim yang tidak sah. Kemudian pada level kelompok partai
konflik terjadi akibat gesekan kepentingan antarkelompok yang ada. Dan pada
level individu/elit dipicu oleh kebijakan pengecualian, kepentingan golongan,
dan ketamakan pemimpinnya (Miall, et. al, 2000:78-90). Pada intinya konflik
dipicu oleh tiga faktor utama, pemimpin yang tidak bertanggung jawab diperkuat
oleh persaingan elit politik, permasalahan kelompok sejak masa sebelumnya, dan
permasalahan ekonomi (Miall, et. al, 2000:91).
Terjadinya konflik baik sekecil
apapun tentu akan memberikan dampak negatif pada pihak-pihak disekitarnya. Dan
dalam skala besar utamanya skala internasional akan memberikan efek destruktif
yang luar biasa. Oleh karena itu penting untuk membuat resolusi atas konflik
yang terjadi. Resolusi dapat dibuat melalui 3 cara seperti telah dijelaskan di
atas, yakni negosiasi, mediasi, dan intervensi.
Menurut Paul Wehr (1979)
pemetaan konflik merupakan langkah awal untuk ikut campur dalam mengelola suatu
konflik. Hal ini memberikan pemahaman kepada pengintervensi dan pihak yang
berkonflik mengenai asal, dinamika, dan kemungkinan bagi resolusi konflik (Miall,
et. al, 2000:91). Pemetaan konflik berfungsi untuk mengidentifikasi perubahan
dalam konteks apa situasi konflik dapat terjadi, termasuk kepentingan dan
kapasitas pihak ketiga untuk dapat mempengaruhi; termasuk kepemimpinan di
dalamnya, macam-macam prospek militer, kesiapan masyarakat secara umum terhadap
peredaman konflik; kemungkinan untuk menilai kembali tujuan dan mencari metode
lain pemecahan masalah, termasuk saran bagi langkah ke depan; dll (Miall, et.
al, 2000:91-3).
Salah satu konflik internasional
yang sedang mengemuka adalah konflik Suriah, yang merupakan rentetan dari Arab
Spring, yaitu pergolakan dan revolusi negara-negara Timur Tengah untuk
menggulingkan rezim otoriter dan menciptakan tatanan baru. Arab Spring terjadi
sebagai perwujudan keinginan rakyat untuk dipimpin pemerintahan demokratis yang
memberikan rakyat kebebasan berpendapat. Arab Spring dimulai dari Tunisia, lalu
merembet ke Mesir, Libya, Bahrain, dan saat ini Suriah. Konflik Suriah bisa
dikatakan merupakan “seri” Arab Spring paling masif, paling banyak melibatkan
kelompok masyarakat, paling besar dalam penggunaan senjata, dan paling banyak
menelan korban jiwa.
Dari perspektif pemetaan
konflik, kasus Suriah awalnya merupakan konflik internal dalam negeri Suriah.
Konflik Suriah dimulai dengan demonstrasi besar-besaran pada Maret 2011 oleh
kelompok anti-pemerintah yang menuntut mundur Rezim Bashar Al Assad.
Demonstrasi meluas dan terjadi kontak bersenjata dengan pihak oposisi atau
pemberontak anti-pemerintah. Konflik bersenjata menjadi cara yang lazim bagi
pihak oposisi untuk menggulingkan kekuasaan Al Assad dan sebaliknya. Setiap
kelompok memiliki basis kota masing-masing sebagai pusat kekuatan. Korban jiwa
tidak terhindarkan. PBB mencatat hampir 20.000 warga Suriah tewas, sementara
ratusan ribu lainnya mengungsi di beberapa negara tetangga seperti Turki,
Yordania, dan Lebanon. Setiap pihak mengajukan klaim masing-masing atas
pertempuran yang terjadi. Pihak oposisi mengklaim pemerintah membantai warga
sipil dengan mengerahkan tank-tank dan jet tempur, di mana pihak oposisi
mendapat dukungan dari Amerika Serikat (AS) dan negara-negara NATO lain.
Sebaliknya, pemerintah mengklaim melakukan prosedur penanganan konflik yang
benar dan menuduh barat terlibat konspirasi dan mendukung kekerasan ini dengan
menyuplai senjata dan dana bagi oposisi.
Seperti yang sebelumnya telah
disinggung, konflik di Suriah juga sampai mendapat perhatian dan keterlibatan
pihak-pihak asing yaitu NATO dan PBB beserta negara-negara berpengaruh di
dalamnya seperti AS dan Rusia. Maka dapat dikatakan pula konflik Suriah
merupakan konflik domestik, regional, dan internasional karena seperti
diketahui, Arab Spring merupakan fenomena yang dikhawatirkan
negara-negara Arab yang belum terkena imbasnya, sementara di wilayah Timur
Tengah banyak bercokol kepentingan asing. Sikap negara-negara Arab bias dengan
adanya keberpihakan berbeda dalam mengambil sikap kasus Suriah. Arab Saudi,
Qatar, Uni Emirat Arab, dan Kuwait menyetujui rekomendasi PBB bahwa Assad harus
mundur karena melakukan pembantaian warga sipil. Sementara Iran menentang
intervensi asing di Suriah. Di dunia internasional, AS menuntut intervensi
asing dalam konflik Suriah guna menggulingkan rezim Al Assad, sedangkan Rusia
paling lantang dalam menolak kebijakan Amerika Serikat terhadap Suriah.
Kesimpulannya konflik Suriah
merupakan konflik internasional, sebab banyak negara yang ikut terkena dampak
dari konflik ini, yaitu negara yang warga negaranya berada di Suriah otomatis
terancam. Pihak yang idealnya mampu bersikap netral yakni PBB, seharusnya bisa
mendorong aktor-aktor yang memiliki kepentingan untuk bersama-sama mengatasi
konflik ini.
Referensi:
Miall, Hugh. Oliver Rambsbotham
and Tom Woodhouse, 2000. Contemporary Conflict Resolution. Oxford: Polity
Press.
Harris, Peter dan Reilly, Ben,
t.t. Democracy and Deep-Rooted Conflict: Options for Negotiators.
IDEA.
Whittaker, David J., 1999.
Conflict and Reconciliation in the Contemporary World. Routledge
Wehr, Paul. t.t. Conflict
Mapping. tersedia padahttp://www.colorado.edu/conflict/peace/treatment/cmap.htm [diakses
16 September 2012]
No comments:
Post a Comment