Konflik dan kekerasan hampir
selalu menjadi isu yang berkaitan. Kekerasan dapat terjadi sebagai bagian dari
konflik, namun juga dapat terjadi sebagai satu tahapan dalam rangka mengakhiri
konflik. Konflik sendiri tidak selalu buruk karena ia dapat menjadi suatu fase
untuk mencapai tahapan yang lebih baik. Yang kurang baik adalah penggunaan
kekerasan untuk menyelesaikan konflik.
Suganami (1996)
mengidentifikasi kondisi-kondisi penyebab konflik menjadi tiga. Kondisi yang
pertama ialah kondisi di mana konflik mungkin terjadi, yang mneyangkut penyebab
pasti konflik. Kondisi yang kedua terkait dengan bagaimana potensi konflik itu
muncul, serta bagaimana cara untuk mengontrol situasi supaya konflik tidak
berkembang. bagaimana konflik khusus dapat terjadi, ini menyangkut penyebab
konflik tertentu, dalam kasus ketiga ini konflik dapat dicegah dengan mencegah
kekerasan yang terjadi di awal (Suganami,1996:6). Ia juga mengatakan bahwa
sudah menjadi kodratnya manusia menjadi “pembunuh” sesama jenisnya, ini juga
menyangkut kepercayaan diantara masyarakat, namun semua tersebut kondisi dapat
diubah maupun dihilangkan, konflik dapat dihindari dengan mengubah pembawaan
manusia (Miall et al.,2000:98).
Terdapat dua jenis cara untuk
mencegah konflik Miall et al. (2000) menyebutnya sebagai light
prevention dan deep prevention. Light prevention ini
berupaya untuk mencegah situasi kekerasan mengarah pada konflik bersenjata
sehingga ia tidak berusaha untuk menyelidik lebih dalam pada sumber dan akar
konflik (Miall et al., 2000). Contohnya adalah usaha-usaha mediasi dan
intervensi diplomatic. Sedangkan deep prevention berupaya
untuk menemukan akar konflik dengan menekankan hubungan dan kepentingan atas
konflik tersebut dalam tatanan kapasitas domestik, regional, dan internasional
untk mengelola konflik, yang melibatkan seluruh elemen konflik dan bertujuan
untuk mengurangi kemungkinan timbulnya konflik (Miall et al., 2000). Untuk
mencegah konflik atau perang sebelumnya harus diidentifikasi terlebih dahulu
tipe konflik dan lokasi potensi-potensi konflik. Dan pencegahan bersifat
relatif, bergantung pada aktornya baik konflik interstate wars
maupun non-interstate war. Interstate war menitikberatkan
pada perang yang dilakukan antara negara-negara dengan kapasitas power yang
besar (Miall et al., 2000). Misalnya adalah LBB dan Perjanjian Versailles
bertindak sebagai alat preventif perang yang terjadi pada Perang Dunia I dan
Perang Dunia II. Sementara non-interstate war mengarah pada
konflik-konflik yang meliputi konflik etnis karena adanya stratifikasi sosial,
polarisasi masyarakat, inappropriate systemic, regional diasporas,
dan sebagainya (Miall et al., 2000).
Berhasil atau tidaknya
pencegahan konflik dapat dinilai dari beberapa tolak ukur, seperti implementasi
kebijakan yang berlangsung segera dan cepat; adanya koordinasi antar
aktor-aktor yang terlibat dalam pencegahan konflik; pendekatan yang cenderung
bebas dari pemerintah atau negara-negara yang peduli; adanya pendekatan jangka
panjang; dan keikutsertaan kepentingan nasional dari salah satu negara yang
turut campur tangan (Ugglas, 1994 dalam Miall et al. et al., 2000). Miall et
al. (2000) juga menyebutkan bahwa pencegahan konflik dapat dikatakan gagal
apabila terjadi konflik senjata (light measures) dan ketika situasi yang
ada mengarah pada konflik yang lebih besar (deep measures). Akan tetapi
pencegahan konflik dapat dikatakan berhasil apabila konflik bersenjata dapat
beralih ke arah perdamaian (Miall et al. et al., 2000).
Salah satu contoh kasus
resolusi konflik yang berhasil adalah Resolusi Dewan Keamanan PBB terkait
dengan konflik etnis antara etnis Albania dan etnis Serbia yang terjadi di
Kosovo setelah lengsernya pemerintahan Milosevic. DK PBB kemudian membentuk apa
yang disebut UNMIK (United Nations Interim Administration for Kosovo) yang
dibentuk pada 10 Juni 1999 dengan mengeluarkan Resolusi No. 1244 yang bertujuan
untuk memulihkan kondisi di Kosovo pasca perang. UNMIK sendiri bertugas untuk
melakukan pembangunan kembali sarana dan prasarana yang ada di Kosovo antara
lain pendidikan, kesehatan, perbankan, telekomunikasi, hukum, ketertiban
masyarakat, dan lain sebagainya (http://umy.ac.id). Dari sini terlihat
bahwa peran resolusi tidak hanya sebatas menyelesaikan konflik namun juga
merekonsiliasikan dan berusaha mengembalikan kondisi dan situasi yang damai
seperti sebelum masa perang.
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan beberapa hal mengenai encegahan dan penyelesaian konflik. Konflik
sendiri dapat terjadi atas beberapa kondisi yang dapat memicu terjadinya
konflik. Untuk mencegah Miall et al. (2000) menyebutkan light dan deep
prevention. Light prevention berarti mencegah terjadinya
konflik hingga mengarah pada kekerasan yang bersenjata tanpa perlu mengurut
darimana konflik berakar. Sementara deep preventionberarti
menemukan akar konflik dengan menekankan hubungan dan kepentingan atas konflik
tersebut dan berusaha untuk mengurangi kemungkinan timbulnya konflik.
Pencegahan konflik dapat dikatakan berhasil apabila konflik bersenjata dapat
beralih ke arah perdamaian. Dari contoh kasus yang diberikan, dapat dikatakan
bahwa konflik antara etnis Albania dan Serbia yang terjadi tidak dapat dicegah
sehingga memerlukan resolusi sebagai bagian dari penyelesaian konflik. Dan
konflik Kosovo tersebut dapat dikatakan berakhir karena sudah mengalami tahap
peralihan dari konflik bersenjata ke arah perdamaian. Dan dari sini perlu
adanya usaha untuk menjaga dan mencegah terjadinya konflik ketika
potensi-potensi konflik mulai muncul supaya perdamaian dapat tetap terjaga
secara berkelanjutan.
Referensi:
Harris, Peter dan Reilly, Ben,
t.t. Democracy and Deep-Rooted Conflict: Options for Negotiators. IDEA.
Miall, Hugh, Rambsbotham,
Oliver dan Woodhouse, Tom 2000. “Chapter 4: Preventing
Violent Conflict” dalam Contemporary Conflict Resolution.
Oxford: Polity Press.
Suganami, Hidemi. 1996. “ On
the Causes of War”. Oxford: Clarendon Press. Pp. 06-07
No comments:
Post a Comment