Sunday, April 16, 2017

Pencegahan dan Penyelesaian Kekerasan Konflik



Konflik dan kekerasan hampir selalu menjadi isu yang berkaitan. Kekerasan dapat terjadi sebagai bagian dari konflik, namun juga dapat terjadi sebagai satu tahapan dalam rangka mengakhiri konflik. Konflik sendiri tidak selalu buruk karena ia dapat menjadi suatu fase untuk mencapai tahapan yang lebih baik. Yang kurang baik adalah penggunaan kekerasan untuk menyelesaikan konflik.
Suganami (1996) mengidentifikasi kondisi-kondisi penyebab konflik menjadi tiga. Kondisi yang pertama ialah kondisi di mana konflik mungkin terjadi, yang mneyangkut penyebab pasti konflik. Kondisi yang kedua terkait dengan bagaimana potensi konflik itu muncul, serta bagaimana cara untuk mengontrol situasi supaya konflik tidak berkembang. bagaimana konflik khusus dapat terjadi, ini menyangkut penyebab konflik tertentu, dalam kasus ketiga ini konflik dapat dicegah dengan mencegah kekerasan yang terjadi di awal (Suganami,1996:6). Ia juga mengatakan bahwa sudah menjadi kodratnya manusia menjadi “pembunuh” sesama jenisnya, ini juga menyangkut kepercayaan diantara masyarakat, namun semua tersebut kondisi dapat diubah maupun dihilangkan, konflik dapat dihindari dengan mengubah pembawaan manusia (Miall et al.,2000:98).
Terdapat dua jenis cara untuk mencegah konflik Miall et al. (2000) menyebutnya sebagai light prevention dan deep preventionLight prevention ini berupaya untuk mencegah situasi kekerasan mengarah pada konflik bersenjata sehingga ia tidak berusaha untuk menyelidik lebih dalam pada sumber dan akar konflik (Miall et al., 2000). Contohnya adalah usaha-usaha mediasi dan intervensi diplomatic. Sedangkan deep prevention berupaya untuk menemukan akar konflik dengan menekankan hubungan dan kepentingan atas konflik tersebut dalam tatanan kapasitas domestik, regional, dan internasional untk mengelola konflik, yang melibatkan seluruh elemen konflik dan bertujuan untuk mengurangi kemungkinan timbulnya konflik (Miall et al., 2000). Untuk mencegah konflik atau perang sebelumnya harus diidentifikasi terlebih dahulu tipe konflik dan lokasi potensi-potensi konflik. Dan pencegahan bersifat relatif, bergantung pada aktornya baik konflik interstate wars  maupun non-interstate warInterstate war menitikberatkan pada perang yang dilakukan antara negara-negara dengan kapasitas power yang besar (Miall et al., 2000). Misalnya adalah LBB dan Perjanjian Versailles bertindak sebagai alat preventif perang yang terjadi pada Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Sementara non-interstate war mengarah pada konflik-konflik yang meliputi konflik etnis karena adanya stratifikasi sosial, polarisasi masyarakat, inappropriate systemic, regional diasporas, dan sebagainya (Miall et al., 2000).
Berhasil atau tidaknya pencegahan konflik dapat dinilai dari beberapa tolak ukur, seperti implementasi kebijakan yang berlangsung segera dan cepat; adanya koordinasi antar aktor-aktor yang terlibat dalam pencegahan konflik; pendekatan yang cenderung bebas dari pemerintah atau negara-negara yang peduli; adanya pendekatan jangka panjang; dan keikutsertaan kepentingan nasional dari salah satu negara yang turut campur tangan (Ugglas, 1994 dalam Miall et al. et al., 2000). Miall et al. (2000) juga menyebutkan bahwa pencegahan konflik dapat dikatakan gagal apabila terjadi konflik senjata (light measures) dan ketika situasi yang ada mengarah pada konflik yang lebih besar (deep measures). Akan tetapi pencegahan konflik dapat dikatakan berhasil apabila konflik bersenjata dapat beralih ke arah perdamaian (Miall et al. et al., 2000).
Salah satu contoh kasus resolusi konflik yang berhasil adalah Resolusi Dewan Keamanan PBB terkait dengan konflik etnis antara etnis Albania dan etnis Serbia yang terjadi di Kosovo setelah lengsernya pemerintahan Milosevic. DK PBB kemudian membentuk apa yang disebut UNMIK (United Nations Interim Administration for Kosovo) yang dibentuk pada 10 Juni 1999 dengan mengeluarkan Resolusi No. 1244 yang bertujuan untuk memulihkan kondisi di Kosovo pasca perang. UNMIK sendiri bertugas untuk melakukan pembangunan kembali sarana dan prasarana yang ada di Kosovo antara lain pendidikan, kesehatan, perbankan, telekomunikasi, hukum, ketertiban masyarakat, dan lain sebagainya (http://umy.ac.id).  Dari sini terlihat bahwa peran resolusi tidak hanya sebatas menyelesaikan konflik namun juga merekonsiliasikan dan berusaha mengembalikan kondisi dan situasi yang damai seperti sebelum masa perang.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal mengenai encegahan dan penyelesaian konflik. Konflik sendiri dapat terjadi atas beberapa kondisi yang dapat memicu terjadinya konflik. Untuk mencegah Miall et al. (2000) menyebutkan light dan deep preventionLight prevention berarti mencegah terjadinya konflik hingga mengarah pada kekerasan yang bersenjata tanpa perlu mengurut darimana konflik berakar. Sementara deep preventionberarti menemukan akar konflik dengan menekankan hubungan dan kepentingan atas konflik tersebut dan berusaha untuk mengurangi kemungkinan timbulnya konflik. Pencegahan konflik dapat dikatakan berhasil apabila konflik bersenjata dapat beralih ke arah perdamaian. Dari contoh kasus yang diberikan, dapat dikatakan bahwa konflik antara etnis Albania dan Serbia yang terjadi tidak dapat dicegah sehingga memerlukan resolusi sebagai bagian dari penyelesaian konflik. Dan konflik Kosovo tersebut dapat dikatakan berakhir karena sudah mengalami tahap peralihan dari konflik bersenjata ke arah perdamaian. Dan dari sini perlu adanya usaha untuk menjaga dan mencegah terjadinya konflik ketika potensi-potensi konflik mulai muncul supaya perdamaian dapat tetap terjaga secara berkelanjutan.

Referensi:
Harris, Peter dan Reilly, Ben, t.t. Democracy and Deep-Rooted Conflict: Options for Negotiators. IDEA.    
Miall, Hugh, Rambsbotham, Oliver dan Woodhouse, Tom 2000. “Chapter 4: Preventing          Violent Conflict” dalam Contemporary Conflict Resolution. Oxford: Polity Press.
Suganami, Hidemi. 1996. “ On the Causes of War”. Oxford: Clarendon Press. Pp. 06-07


No comments:

Post a Comment