Kajian Ekonomi Politik
Internasional muncul akibat semakin berkembangnya isu-isu yang ada karena
meningkatnya kompleksitas dari hubungan antar aktor internasional, terutama
dalam hal ekonomi politik internasional. Kajian ini menggeser isu politik
tradisional seperti isu perang kepada isu sosial ekonomi, yang utamanya
berbicara mengenai isu kekayaan dan kemiskinan dalam dunia internasional. Lebih
jauh, kajian ini membahas tentang siapa yang mendapatkan apa dan bagaimana
dalam interaksi ekonomi internasional.
Secara umum terdapat tiga
pendekatan utama yang mampu menjelaskan fenomena ekonomi politik internasional
pada saat ini. Robert Jackson & Georg Sorensen (2009:231) dalam artikelnya
Ekonomi Politik Internasional mengemukakan bahwa terdapat tiga teori utama EPI,
antara lain merkantilisme, liberalisasi ekonomi, dan marxisme. Ketiganya
memiliki cara yang berbeda satu sama lain untuk menjelaskan fenomena ekonomi
politik internasional, disebabkan ketiganya muncul atas latar belakang yang
berbeda-beda. Oleh karena adanya perbedaan tersebut, fenomena ekonomi politik
internasional tersebut dapat dijelaskan melalui beberapa sudut pandang.
Pendekatan yang pertama adalah
Merkantilisme. Teori ini muncul sekitar abad ke 16 dengan memandang pentingnya
negara berdaulat sebagai elit politik yang utama. Sehingga aktivitas ekonomi
seharusnya tunduk pada tujuan utama dalam membangun negara yang kuat, yang
dengan kata lain, ekonomi merupakan alat politik dan dasar bagi kekuasaan
politik (Jackson & Sorensen, 2009:231). Ketika kepentingan beberapa negara
ini bertemu dalam arena internasional, akan timbul konflik kepentingan nasional
yang saling bertentangan dan bertabrakan, dan berujung pada sistem zero-sum di
mana yang kuat lah yang akan mendominasi. Pandangan ini agaknya mirip dengan
pandangan neorealis mengenai persaingan antarnegara dalam dunia yang anarki.
Penerapan perspektif ini dapat memberikan dampak yang positif maupun negatif.
Dampak yang positif adalah ketika kepentingan ekonomi nasional dipandang
penting sebagai bagian dari mempertahankan keamanan nasional. Tetapi dampak
yang negatif muncul ketika dalam penerapannya, negara melakukan eksploitasi
atau perilaku lain yang dapat merugikan negara lain demi kepentingan ekonomi
nasionalnya sendiri. Contohnya adalah pada praktik imperialisme dan
kolonialisme oleh negara-negara Eropa kepada wilayah-wilayah di Afrika dan Asia
sejak abad ke-16. Beberapa tokoh merkantilisme ini antara lain Alexander
Hamilton, salah satu founding fathers Amerika Serikat; dan
Friedrich List, seorang ekonom yang berasal dari Jerman. Singkatnya,
merkantilisme memandang bahwa kepentingan negara merupakan hal terpenting,
sehingga segala aktivitas ekonomi berada dibawah kendali kepentingan
politik, yang dalam konteks negara adalah pemerintah. Sebab negara bertanggung
jawab atas atas tercapainya kepentingan nasional. Untuk menjaga supaya
kepentingan tersebut tidak terpecah antara kepentingan keamanan dan kepentingan
ekonomi, maka sebisa mungkin negara menghindari ketergantungan kepada negara
lain (Jackson & Sorensen, 2009:234).
Pendekatan yang kedua adalah
Liberalisme. Teori ini muncul sebagai kritik atas merkantilisme, yang dianggapnya
akan menghalangi tercapainya kesejahteraan masyarakat negara (Jackson &
Sorensen, 2009:235). Pemikiran liberalisme ekonomi berasal dari Adam Smith
melalui bukunyaWealth of Nations (1776), yang meyakini bahwa untuk
mencapai efisiensi dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemerintah tidak
seharusnya ikut campur dan justru membiarkan pasar berjalan pada mekanismenya
sendiri. Kemudian pendapat ini dikuatkan dengan konsep keunggulan komparatif
milik David Ricardo, di mana proses produksi ekonomi akan lebih efisien ketika
setiap aktor mengkhususkan produksinya yang menghasilkan keuntungan terbesar.
Dengan demikian dalam aktivitas perdagangan bebas yang lintas batas, setiap
negara akan memperoleh keuntungan yang maksimal melalui efisiensi, dan
kesejahteraan global akan meningkat (Jackson & Sorensen, 2009:235). Dan
oleh karena perspektif dasarnya yang liberal, maka ia mengedepankan kebebasan
individu untuk mengeksplor lebih jauh kesempatan untuk turut terlibat dalam
pasar. Sehingga dalam perspektif liberalisme ini setiap individu akan
memperoleh keuntungan ketika ia terlibat dalam pasar, dan kesejahteraan
individu akan lebih terjamin. Dengan demikian, perekonomian internasional
seharusnya didasarkan pada perdagangan bebas (Jackson & Sorensen,
2009:234).
Pendekatan yang ketiga yaitu
Marxisme. Pendekatan ini muncul sebagai kritik atas liberalisme ekonomi.
Pandangan liberalisme bahwa kebebasan akan mengarah pada positive sum
game justru dipandang oleh kaum marxis sebagai eksploitasi individu
yang akan menimbulkan perbedaan kelas. Asumsi dasar marxisme berpandangan bahwa
dalam sistem ekonomi kapitalis, masyarakat terbagi dalam dua kelas utama, yaitu
kelas borjuis, yakni mereka yang memiliki faktor-faktor produksi; dan kelas
proletar, yakni mereka yang memiliki kekuatan kerja yang harus dijual pada kaum
borjuis (Jackson & Sorensen, 2009:239). Dalam praktisnya kelas borjuis yang
menguasai faktor produksi akan mendominasi perekonomian kapitalis yang dengan
demikian juga akan mendominasi perpolitikan. Pandangan marxisme ini jika
diaplikasikan dalam kerangka studi Ekonomi Politik Internasional, dapat
dianalisis bahwa (1) negara tidak otonom, ia digerakkan oleh kelas borjuisnya
dalam menerapkan kepentingan ekonominya; (2) sifat ekonomi kapitalisme yang
ekspansif akan cenderung mencari pasar baru yang lebih menguntungkan, sehingga
gelombang kapitalisme akan meluas ke seluruh dunia (Jackson & Sorensen,
2009:240). Dalam prakteknya, perluasan pasar yang ekspansif dan eksploitatif
berada pada bentuk imperialisme yang pada masa kolonialisme berada pada formasi
yang lebih tradisional dibandingkan sekarang, yaitu bentuk globalisasi ekonomi
yang didominasi oleh perusahaan multinasional raksasa yang mendominasi
perekonomian internasional.
Bentuk pembagian kelas dalam
konsep marxisme yang dapat dilihat pada dunia internasional adalah adanya
bentuk-bentuk tingkatan negara berdasarkan tingkat kesejahteraan dan
kemajuannya, yaitu negara dunia pertama (core), adalah negara kaya-maju
seeperti Amerika Serikat dan negara di Eropa Barat; dunia kedua (semi
periphery), adalah negara sedang seperti Jepang; dan dunia ketiga (periphery),
adalah negara miskin-berkembang seperti negara di Afrika dan Asia. Adanya
bentuk kelas ini menunjukkan adanya ketergantungan mereka yang berada pada
wiayahperiphery terhadap mereka yang core. Jackson
& Sorensen (2009:75) juga menyebutkan adanya paham Neo-Marxis, yang dapat
menjelaskan fenomena tersebut. Keduanya berpendapat bahwa negara kaya
menggunakan sistem perekonomian yang kapitalis global untuk memiskinkan negara
miskin di dunia, dengan menekankan konsep ketergantungan. Agar dapat ikut serta
dalam perekonomian kapitalis global, negara miskin tersebut harus menjual bahan
mentah pada tingkat harga murah dan membelinya dalam bentuk barang jadi dengan
harga yang mahal (Jackson & Sorensen, 2009:75).
Dari penjabaran di atas dapat
disimpulkan bahwa ketiga pendekatan tersebut menjelaskan konsep ekonomi politik
internasional dari sudut pandang yang berbeda-beda. Dalam hal hubungan
antara ekonomi dan politik, merkantilisme berpendapat bahwa politik-lah
yang mendominasi sehingga menentukan jalannya ekonomi, sementara liberalisme
menganggap bahwa ekonomi secara otonom terpisah dengan politik negara, dan
marxisme beranggapan bahwa ekonomi-lah yang menentukan jalannya politik. Sedangkan
dalam hal aktor utama dalam perekonomi-politikan internasional menurut
merkantilisme adalah negara, menurut liberalisme adalah individu serta
perusahaan privat/swasta, dan menurut marxisme adalah kelas-kelas. Dalam hal sifat
hubungan ekonomi, merkantilisme dan marxisme sama-sama menganggap kondisi
yang ada konfliktual dan berujung pada zero sum game, sementara liberalisme
menganggap kondisi yang ada koopeatif dan berujung pada positive sum
game. Terakhir, dalam hal tujuan ekonomis, pandangan merkantilisme
adalah demi tercapainya kekuatan negara, pandangan liberalisme adalah
kesejahteraan maksimal individu dan sosial, dan pandangan marxisme adalah
kepentingan masing-masing kelas.
Referensi:
Jackson, Robert & Sorensen,
Georg. 2009. “Ekonomi Politik Internasional” dalam Pengantar Studi
Hubungan Internasional [terj.]. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm.
227-277
No comments:
Post a Comment