Sunday, April 16, 2017

Pendekatan Utama dalam Ekonomi Politik Internasional: Merkantilisme, Liberalisme, dan Marxisme




Kajian Ekonomi Politik Internasional muncul akibat semakin berkembangnya isu-isu yang ada karena meningkatnya kompleksitas dari hubungan antar aktor internasional, terutama dalam hal ekonomi politik internasional. Kajian ini menggeser isu politik tradisional seperti isu perang kepada isu sosial ekonomi, yang utamanya berbicara mengenai isu kekayaan dan kemiskinan dalam dunia internasional. Lebih jauh, kajian ini membahas tentang siapa yang mendapatkan apa dan bagaimana dalam interaksi ekonomi internasional.
Secara umum terdapat tiga pendekatan utama yang mampu menjelaskan fenomena ekonomi politik internasional pada saat ini. Robert Jackson & Georg Sorensen (2009:231) dalam artikelnya Ekonomi Politik Internasional mengemukakan bahwa terdapat tiga teori utama EPI, antara lain merkantilisme, liberalisasi ekonomi, dan marxisme. Ketiganya memiliki cara yang berbeda satu sama lain untuk menjelaskan fenomena ekonomi politik internasional, disebabkan ketiganya muncul atas latar belakang yang berbeda-beda. Oleh karena adanya perbedaan tersebut, fenomena ekonomi politik internasional tersebut dapat dijelaskan melalui beberapa sudut pandang.
Pendekatan yang pertama adalah Merkantilisme. Teori ini muncul sekitar abad ke 16 dengan memandang pentingnya negara berdaulat sebagai elit politik yang utama. Sehingga aktivitas ekonomi seharusnya tunduk pada tujuan utama dalam membangun negara yang kuat, yang dengan kata lain, ekonomi merupakan alat politik dan dasar bagi kekuasaan politik (Jackson & Sorensen, 2009:231). Ketika kepentingan beberapa negara ini bertemu dalam arena internasional, akan timbul konflik kepentingan nasional yang saling bertentangan dan bertabrakan, dan berujung pada sistem zero-sum di mana yang kuat lah yang akan mendominasi. Pandangan ini agaknya mirip dengan pandangan neorealis mengenai persaingan antarnegara dalam dunia yang anarki. Penerapan perspektif ini dapat memberikan dampak yang positif maupun negatif. Dampak yang positif adalah ketika kepentingan ekonomi nasional dipandang penting sebagai bagian dari mempertahankan keamanan nasional. Tetapi dampak yang negatif muncul ketika dalam penerapannya, negara melakukan eksploitasi atau perilaku lain yang dapat merugikan negara lain demi kepentingan ekonomi nasionalnya sendiri. Contohnya adalah pada praktik imperialisme dan kolonialisme oleh negara-negara Eropa kepada wilayah-wilayah di Afrika dan Asia sejak abad ke-16. Beberapa tokoh merkantilisme ini antara lain Alexander Hamilton, salah satu founding fathers Amerika Serikat; dan Friedrich List, seorang ekonom yang berasal dari Jerman. Singkatnya, merkantilisme memandang bahwa kepentingan negara merupakan hal terpenting, sehingga segala aktivitas ekonomi berada  dibawah kendali kepentingan politik, yang dalam konteks negara adalah pemerintah. Sebab negara bertanggung jawab atas atas tercapainya kepentingan nasional. Untuk menjaga supaya kepentingan tersebut tidak terpecah antara kepentingan keamanan dan kepentingan ekonomi, maka sebisa mungkin negara menghindari ketergantungan kepada negara lain (Jackson & Sorensen, 2009:234).
Pendekatan yang kedua adalah Liberalisme. Teori ini muncul sebagai kritik atas merkantilisme, yang dianggapnya akan menghalangi tercapainya kesejahteraan masyarakat negara (Jackson & Sorensen, 2009:235). Pemikiran liberalisme ekonomi berasal dari Adam Smith melalui bukunyaWealth of Nations (1776), yang meyakini bahwa untuk mencapai efisiensi dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemerintah tidak seharusnya ikut campur dan justru membiarkan pasar berjalan pada mekanismenya sendiri. Kemudian pendapat ini dikuatkan dengan konsep keunggulan komparatif milik David Ricardo, di mana proses produksi ekonomi akan lebih efisien ketika setiap aktor mengkhususkan produksinya yang menghasilkan keuntungan terbesar. Dengan demikian dalam aktivitas perdagangan bebas yang lintas batas, setiap negara akan memperoleh keuntungan yang maksimal melalui efisiensi, dan kesejahteraan global akan meningkat (Jackson & Sorensen, 2009:235). Dan oleh karena perspektif dasarnya yang liberal, maka ia mengedepankan kebebasan individu untuk mengeksplor lebih jauh kesempatan untuk turut terlibat dalam pasar. Sehingga dalam perspektif liberalisme ini setiap individu akan memperoleh keuntungan ketika ia terlibat dalam pasar, dan kesejahteraan individu akan lebih terjamin. Dengan demikian, perekonomian internasional seharusnya didasarkan pada perdagangan bebas (Jackson & Sorensen, 2009:234).
Pendekatan yang ketiga yaitu Marxisme. Pendekatan ini muncul sebagai kritik atas liberalisme ekonomi. Pandangan liberalisme bahwa kebebasan akan mengarah pada positive sum game justru dipandang oleh kaum marxis sebagai eksploitasi individu yang akan menimbulkan perbedaan kelas. Asumsi dasar marxisme berpandangan bahwa dalam sistem ekonomi kapitalis, masyarakat terbagi dalam dua kelas utama, yaitu kelas borjuis, yakni mereka yang memiliki faktor-faktor produksi; dan kelas proletar, yakni mereka yang memiliki kekuatan kerja yang harus dijual pada kaum borjuis (Jackson & Sorensen, 2009:239). Dalam praktisnya kelas borjuis yang menguasai faktor produksi akan mendominasi perekonomian kapitalis yang dengan demikian juga akan mendominasi perpolitikan. Pandangan marxisme ini jika diaplikasikan dalam kerangka studi Ekonomi Politik Internasional, dapat dianalisis bahwa (1) negara tidak otonom, ia digerakkan oleh kelas borjuisnya dalam menerapkan kepentingan ekonominya; (2) sifat ekonomi kapitalisme yang ekspansif akan cenderung mencari pasar baru yang lebih menguntungkan, sehingga gelombang kapitalisme akan meluas ke seluruh dunia (Jackson & Sorensen, 2009:240). Dalam prakteknya, perluasan pasar yang ekspansif dan eksploitatif berada pada bentuk imperialisme yang pada masa kolonialisme berada pada formasi yang lebih tradisional dibandingkan sekarang, yaitu bentuk globalisasi ekonomi yang didominasi oleh perusahaan multinasional raksasa yang mendominasi perekonomian internasional.
Bentuk pembagian kelas dalam konsep marxisme yang dapat dilihat pada dunia internasional adalah adanya bentuk-bentuk tingkatan negara berdasarkan tingkat kesejahteraan dan kemajuannya, yaitu negara dunia pertama (core), adalah negara kaya-maju seeperti Amerika Serikat dan negara di Eropa Barat; dunia kedua (semi periphery), adalah negara sedang seperti Jepang; dan dunia ketiga (periphery), adalah negara miskin-berkembang seperti negara di Afrika dan Asia. Adanya bentuk kelas ini menunjukkan adanya ketergantungan mereka yang berada pada wiayahperiphery terhadap mereka yang core. Jackson & Sorensen (2009:75) juga menyebutkan adanya paham Neo-Marxis, yang dapat menjelaskan fenomena tersebut. Keduanya berpendapat bahwa negara kaya menggunakan sistem perekonomian yang kapitalis global untuk memiskinkan negara miskin di dunia, dengan menekankan konsep ketergantungan. Agar dapat ikut serta dalam perekonomian kapitalis global, negara miskin tersebut harus menjual bahan mentah pada tingkat harga murah dan membelinya dalam bentuk barang jadi dengan harga yang mahal (Jackson & Sorensen, 2009:75).
Dari penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa ketiga pendekatan tersebut menjelaskan konsep ekonomi politik internasional dari sudut pandang yang berbeda-beda. Dalam hal hubungan antara ekonomi dan politik, merkantilisme berpendapat bahwa politik-lah yang mendominasi sehingga menentukan jalannya ekonomi, sementara liberalisme menganggap bahwa ekonomi secara otonom terpisah dengan politik negara, dan marxisme beranggapan bahwa ekonomi-lah yang menentukan jalannya politik. Sedangkan dalam hal aktor utama dalam perekonomi-politikan internasional menurut merkantilisme adalah negara, menurut liberalisme adalah individu serta perusahaan privat/swasta, dan menurut marxisme adalah kelas-kelas. Dalam hal sifat hubungan ekonomi, merkantilisme dan marxisme sama-sama menganggap kondisi yang ada konfliktual dan berujung pada zero sum game, sementara liberalisme menganggap kondisi yang ada koopeatif dan berujung pada positive sum game. Terakhir, dalam hal tujuan ekonomis, pandangan merkantilisme adalah demi tercapainya kekuatan negara, pandangan liberalisme adalah kesejahteraan maksimal individu dan sosial, dan pandangan marxisme adalah kepentingan masing-masing kelas.

Referensi:
Jackson, Robert & Sorensen, Georg. 2009. “Ekonomi Politik Internasional” dalam Pengantar Studi Hubungan Internasional [terj.]. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 227-277


No comments:

Post a Comment