Realisme merupakan teori yang paling sederhana,
paling tua, dan paling klasik dalam hubungan internasional. Teori ini melihat
persoalan dari sisi perang-damai, kompetisi, dan konfliktual. Realisme pada
umumnya dianggap sebagai tradisi teoritis paling berpengaruh dalam hubungan
internasional. Warisan filsafatnya, yakni kritiknya yang keras terhadap
internasionalisme liberal dan pengaruhnya terhadap praktek diplomasi
internasional telah menempatkannya dalam posisi penting walaupun tidak dominan
(Burchill, 1996:90).
Dalam dua dekade terakhir setelah perang dunia I, ketika terjadi perdebatan
serius mengenai bentuk-bentuk yang tepat dari disiplin hubungan internasional,
ada kesadaran yang semakin bertambah bahwa tujuan penelitian haruslah untuk
mengembangkan generasi pola-pola perilaku dalam hubungan internasional, dan
untuk menegaskan fenomena yang muncul kembali daripada peristiwa-peristiwa
unik. Kaum realis terdahulu membawa kedalam sebuah disiplin ilmu yang masih
baru ini bermacam pengalaman dan para perintis intelektual yang sangat berjasa
bagi kelangsungan hidup wacana teoritis (Burchill, 1996:107)
Perspektif adalah cara untuk mendekati persoalan, maka berbagai macam masalah
dan fakta dapat dilihat melalui berbagai sudut pandang (Wardhani, 2013). Tidak
ada yang salah tentang perspektif, yang ada hanya perbedaan.
Kaum realis menarik perhatian ke realitas konflik dalam hubungan internasional,
dan pelajaran-pelajaran yang diserap dari pola siklis dan intensitasnya. Tidak
seperti kaum idealis, kaum realis menekankan fungsi positif dari ciri-ciri
diplomasi intrnasional yang secara normal terhubung dengan “politik kekuasaan”
– kedaulatan negara, keseimbangan kekuasaan, dan perang terbatas (Burchill,
1996:107)
Morghentau (dalam Burchill, 1996) mencatat enam prinsip realisme politik yang,
keseluruhan, merumuskan pendekatan teoritisnya terhadap hubungan internasional.
- Politik
ditentukan oleh hukum-hukum obyektif yang berakar pada kodrat manusia. Hal ini berarti bahwa plotik
internasional merupakan cerminat dari sifat dsar manusia. Hukum ini tidak
berubah dari waktu ke waktu dan kedap terhadap pilihan manusia.
- Kunci untuk
memhamai politik internasional adalah mendefinisikan konsep kepentingn dan
kaitannya dengan kekuasaan.
Dengan merujuk pada konsep ini, kita memiliki peluang untuk melihat
politik sebagai tindakan yang otonom.
- Bentuk dan
sifat kekuasaan negara akan bermacam-macam dalam waktu, tempat dan
konteks, tetapi konsep kepentingan masih tetap sama. Dapat dikatakan bahwa kekuasaan
bersifat konseptual yaitu tergantung situasi dan kondisi akan tetapi
konsep kepentingan tidak sama dengan konsep kekuasaan, mereka masih stabil
dan sama.
- Prinsip-prinsip
moral universal tidak menuntun sikap negara, meski sikap
negara jelas aka memiliki implikasi moral dan etika. Individu jelas terpengaruh oleh
kode moral, tetapi negara perantara moral.
- Tidak ada
serangkaian prinsip-prinsip moral yang disetujui universal. Meski negara dari waktu ke waku
akan memperbaiki tampilan dengan pengertian etis, penggunaan bahasa moral
untuk membenarkan sikap mereka ke dunia luar akan dirancang untuk
mendatangkan keuntungan.
- Secara
intelektual, bidang politik itu otonom dari setiap bidang
perhatian manusia lainnya, entah bidang-bidang lain tersebut bersifat
legal, moral, atau ekonomi. Posisi
ini memungkinkan kita untuk melihat suatu wilayah internasional sebagai
sesuatu yang berbedasecara anilitis dari bidang penelitian intelektual lainnya.
Negara menurut realis adalah primary actor. Konsep realisme sama
halnya dengan segitiga yang tiap titik sudutnya dihubungkan dengan sisi agar
dapat membentuk satu segitiga yang utuh. Tiap titik sudut dalam “segitiga
realisme” adalah statism (state), self help (anarki),
dan survival (gaining power). Dalam interaksi antara state, gaining
power, dan anarki akan ditemukan banyak proporsisi. Namun daam keadaan
anarki akan memunculkan security dilemma (Hobbes), yaitu
adanya kecurigaan antara negara satu dengan yang lain.
Asumsi-asumsi dasar dalam perspektif realisme adalah; sistem internasional
merupakan hal yang anarki, lalu bagaimana dengan PBB ? Sejatinya, PBB bukan
merupakan kekuasaan yang lebih tinggi dari negara karena PBB merupakan
organisasi internasional dan tidak memiliki kedaulatan. Negara dipandang
sebagai unit yang satu dan rasional. Lalu,state are the principal actors.
Fokus utamanya adalah bertahan, siapa yang harus bertahan ? tentu saja negara
yang merupakan aktor utama dalam sistem internasional ini. Dalam sudut pandang
realis, moral memiliki tempat dan porsi yang sangat sedikit dan terbatas. Yang
terpenting ialah relative gains, bukan absolute gains karena
dalam sudut pandangnya, kemenangan mutlak adalah sesuatu yang tidak perlu
karena kemenangan mutlak adalah hal yang mudah digoyahkan. Dalam
perspektif realis, negara tidak terlalu penting dibandingkan dengan politik
internasional karena negara hanya merupakan obyek dalam sistem internasional,
negara menjadi sesuatu yang penting jika mengganggu sistem internasional.
Negara sebagai pricipal actor cenderung untuk lebih memikirkan
bagaimana keadaan negaranya sendiri, struggle of power untuk mencapai
tujuan, serta skeptis terhadap etika dan moral. Apabila realis klasik memiliki
konsep national interest yang masih mempertimbangkan moral,
berbeda dengan radikal realis yang sama sekali tidak mempertimbangkan moral.
Radikal realis membebaskan negara untuk melakukan apapun karena bagi mereka
kemenangan adalah segalanya, entah kemenangan dalam bentuk tercapainya tujuan
negara mereka maupun kemenangan yang lain, dan radikal realis sama sekali tidak
memperhitungkan norma. Jadi sejauh kepentingan negara mereka dapat tercapai,
apapun akan dilakukan sekalipun hal tersebut bertentangan dengan norma.
Sebuah negara akan bertindak apapun untuk mencapai keamanan negaranya. Supaya
aman, negara tersebut meningkatkan kekuatan atau powernya. Namun ada suatu
pendapat yang mengatakan bahwa jika ingin berdamai, maka berperanglah terlebih
dahulu. Karena selama masih ada agresor, negara tidak akan damai sebab agresi
merupakan pertahanan terbaik untuk mengamankan negara.
Jadi dapat disimpulkan bahwa sebagai perspektif terlama dalam hubungan
internasional, walaupun tidak dominan akan tetapi realisme masih digunakan
dalam sistem internasional. Perspektif realis memberikan gambaran tentang apa
yang benar-benar dibutuhkan dan diinginkan oleh sebuah negara, dan untuk
mencapainya, norma dan moral pun diacuhkan.
REFERENSI
Wardhani, Baiq. 2013. Realisme in
International Relations. Materi kuliah disampaikan pada kuliah Teori
Hubungan Internasional. 7 Maret 2013
Burchill, Scoot & Linklater, Andrew, 1966, Teori-Teori
Hubungan Internasional, New York : ST Martin’s Press, INC
No comments:
Post a Comment