1.
Teori Kultivasi
Program
penelitian teoritis lain yang berhubungan dengan hasil sosiokultural komunikasi
massa dilakukan George Garbner dan teman-temannya. Peneliti ini percaya bahwa
karena televisi adalah pengalaman bersama dari semua orang, dan mempunyai
pengaruh memberikan jalan bersama dalam memandang dunia. Televisi adalah bagian
yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari kita. Dramanya, iklannya, beritanya,
dan acara lain membawa dunia yang relatif koheren dari kesan umum dan
mengirimkan pesan ke setiap rumah. Televisi mengolah dari awal kelahiran
predisposisi yang sama dan pilihan yang biasa diperoleh dari sumber primer
lainnya. Hambatan sejarah yang turun temurun yaitu melek huruf dan mobilitas
teratasi dengan keberadaan televisi. Televisi telah menjadi sumber umum utama
dari sosialisasi dan informasi sehari-hari (kebanyakan dalam bentuk hiburan)
dari populasi heterogen yang lainnya. Pola berulang dari pesan-pesan dan kesan
yang diproduksi massal dari televisi membentuk arus utama dari lingkungan
simbolis umum.
Garbner
menamakan proses ini sebagai cultivation (kultivasi), karena televisi dipercaya
dapat berperan sebagai agen penghomogen dalam kebudayaan. Teori kultivasi
sangat menonjol dalam kajian mengenai dampak media televisi terhadap khalayak.
Bagi Gerbner, dibandingkan media massa yang lain, televisi telah mendapatkan
tempat yang sedemikian signifikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga
mendominasi “lingkungan simbolik” kita, dengan cara menggantikan pesannya
tentang realitas bagi pengalaman pribadi dan sarana mengetahui dunia lainnya
(McQuail, 1996 : 254)
2. Teori
Peniruan atau Imitasi (Imitation Theory)
Media
massa dapat menimbulkan efek peniruan atau imitasi, khususnya yang menyangkut
delinkuesi dan kejahatan, bertolak dari besarnya kemungkinan atau potensi pada
tiap anggota masyarakat untuk meniru apa-apa yang ia peroleh dari media massa.
Kemudahan isi media massa untuk dipahami memungkinkan khalayak untuk mengetahui
isi media massa dan kemudian dipengaruhi oleh isi media tersebut.
Perilaku
khalayak jelas amat dipengaruhi oleh media massa, hal ini dapat kita lihat
dalam kehidupan sehari-hari. Sebenarnya isi media massa dapat memberikan dua
pengaruh pada khalayak. Isi media massa yang disukai khalayak cenderung akan
ditiru oleh masyarakat, sebaliknya bila isi media massa itu tidak disukai
khalayak, maka khalayak pun akan cenderung untuk menghindarinya. Sebagai contoh
tayangan kriminal di televisi. Masyarakat yang tidak menyukai tindak kriminal
tentu akan menghindari perilaku yang ditayangkan di televisi seperti membunuh,
memperkosa, mencuri dan sebagainya. Tetapi lain dengan masyarakat yang berdarah
kriminal alias penjahat. Mereka tentu akan meniru isi media massa tersebut dan
bahkan “memperbaharui” tindak kejahatan tersebut agar tidak tertangkap polisi.
Bukankah itu suatu kemungkinan yang amat mungkin terjadi pada manusia dalam
kehidupannya sebagai makhluk sosial.
Pernyataan
diatas menimbulkan pertanyaan apakah kekerasan di televisi menyebabkan perilaku
kekerasan pada khalayak atau tidak. Situasi ini memang kompleks karena
terdapatnya kepentingan yang bertentangan yang menyebabkan metode, hasil dan
interprestasi yang juga saling bertentangan. Kalangan pendidik umumnya
berpendapat bahwa isi yang negatif pada media massa akan berdampak negatif pula
pada khalayak. Sedangkan pihak media cenderung untuk bertahan dan menyatakan
bahwa apa-apa yang mereka siarkan itu tidak berbahaya bagi masyarakat. Mereka
bahkan berpendapat bahwa dengan menyaksikan kekerasan di televisi, kita dapat
mensublimasikan tekanan (tension) dan frustasi yang dialami, jadi mengurangi
kemungkinan untuk melakukan tindakan agresif atau kekerasan. Jadi khalayak yang
melihat kekerasan di televisi pun akan mencoba menghindari tindakan kekerasan
tersebut pada kehidupan sehari-harinya. Usaha-usaha untuk mengkaji perilaku
meniru secara umum dikaitkan dengan adanya dorongan pembawaan (innate urges)
atau kecenderungan yang dimiliki oleh setiap manusia. Menurut pandanga umum
ini, manusia cenderung untuk meniru perbuatan orang lain semata-mata karena hal
itu merupakan bagian dari sifat biologis (part of biological “nature”) mereka
untuk melakukan hal tersebut.
Seorang
sosiolog bernama Gabriel Tarde (1903) berpendapat bahwa semua orang memiliki
kecenderungan yang kuat untuk menandingi (menyamai atau bahkan melebihi)
tindakan orang disekitarnya. Ia berpendapat bahwa mustahil bagi dua individu
yang berinteraksi dalam waktu yang cukup panjang untuk tidak menunjukan
peningkatan dalam peniruan perilaku secara timbal balik. Ia juga memandang
imitasi memainkan perana yang sentral dalam tranmisi kebudayaan dan pengetahuan
dari suatu generasi ke generasi selanjutnya. Dengan pengamatannya tersebut,
Tarde sampai pada pernyataanya yang mengatakan bahwa “society is imitation…”.
Pernyataan ini didukung oleh Mc Dougal (1908), pengarang buku teks psikologi
yang pertama.
Pandangan
Tarde tersebut banyak dikritik belakangan ini kerena kecenderungan manusia
meniru orang lain sebagai suatu bawaan sejak lahir tidaj cocok dengan
kenyataan, karena seringkali pengamatan terhadap orang lain justru membuat kita
menghindari untuk meniru perilaku tersebut. Pandangan ini menganggap bahwa
pernyataan Tarde tidak dipertegas dengan faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya peniruan, cara seseorang dalam memilih model tertentu yang akan
ditirunya, ataupun jenis perilaku yang akan disamainya itu.
Hal tersebut membuat teori yang dikemukakan Tarde ditinggalkan secara perlahan-lahan di lingkungan psikologi dan digantikan oleh teori yang berpendapat bahwa kecenderungan untuk meniru orang lain adalah sesuatu yang dipelajari (learned), atau diperoleh melalui suatu proses pengkondisian agar orang melakukan peniruan terhadap perilaku tertentu.
Hal tersebut membuat teori yang dikemukakan Tarde ditinggalkan secara perlahan-lahan di lingkungan psikologi dan digantikan oleh teori yang berpendapat bahwa kecenderungan untuk meniru orang lain adalah sesuatu yang dipelajari (learned), atau diperoleh melalui suatu proses pengkondisian agar orang melakukan peniruan terhadap perilaku tertentu.
Kelemahan terbesar dari teori yang mengatakan bahwa tayangan kekerasan di televisi menimbulkan kekerasan adalah bahwa teori ini diperolah dari studi-studi laboratory yang bersifat eksperimen. Jadi studi ini tidak berdasarkan studi yang dipelajari dari kehidupan nyata. Aliran ini dipimpin oleh Seymour Feshbach dan kawan-kawan (1971) yang menyatakan bahwa daripada memicu perilaku kekerasan, menonton perilaku kekerasan di televisi justru memberikan efek katarsis bagi khalayak. Menurut mereka, dengan menonton kekerasan pada televisi, kita justru menjadi frustasi dan itu mengurangi dan memperkecil kemungkinan kepada khalayak untuk meniru kekerasan yang ditampilkan oleh televisi atau media lainnya.
3.
Teori Identifikasi (Identification Theory)
Seseorang
terkadang ingin menyerupai orang lain yang diidolakannya. Ia lalu bermaksud
berusaha menyamai idolanya itu, dalam tingkah laku ataupun dalam penampilannya,
sehingga ia tampak identik dengan sang idola. Dalam hubungan ini, teori
identifikasi menjadi suatu penjelasan teoritis yang disukai untuk menjelaskan
misalnya, bagaimana seseorang berperilaku dan berpenampilan mirip dengan
Michael Jackson. Ia kemudian mengembangkan atribut-atribut yang luas dan pola
perilaku yang secara umum mirip dengan idolanya dan model-model sosial lain
yang bermakna dalam hidup mereka.
Konsep
identifikasi memiliki tiga pengertian yang khas, yakni :
Menurut
analisis Bronfenbrenner (1960), identifikasi menunjuk kepada
perilaku ketika seseorang bertindak atau merasa seperti orang lain (yang
disebut “model”). Kemiripan perilaku diantara dua orang bukan berarti bahwa ia
telah identik dengan orang lain. Seorang anak misalnya yang identik dengan
ayahnya, ketika ayahnya sedang merasa senang, dan si anak merasa senang pada
waktu yang bersamaan. Keduanya independen satu sama lain dan berdasarkan alasan
yang sepenuhnya amat berbeda. Si ayah senang karena pangkatnya naik, sedangkan
si anak senang karena ia mendapat pacar baru. Hal itu memperlihatkan bahwa
kemiripan seseorang dengan orang lain bukan membuat ia menjadi orang lain.
Identifikasi
juga berarti suatu motif dalam bentuk suatu keinginan umum untuk berbuat atau
menjadi seperti orang lain. Seseorang harus memiliki motif untuk menyamai atau
menyerupai model. Besar sekali kemungkinan bahwa kebanyakan anak memiliki motif
yang kuat untuk menyamai atau menyerupai orang tuanya.
Identifikasi
mengacu kepada proses atau mekanisme melalui mana anak-anak menyamai suatu
model dan menjadikan diri seperti model itu. Dengan teori ini dapat dipahami
bahwa bagaimana seorang anak membiasakan standar-standar orang tua dan sosial
untuk diidentifikasi perilakunya sesuai dengan jenis kelamin dan tindakan moral
yang tepat, dan bagaimana mereka menjadikan atribut dan karakter orangtuanya
menjadi bagian dari diri mereka, khususnya yang sama jenis kelaminnya. Anak
laki-laki mengidentifikasikan diri dengan ayahnya sementara anak perempuan
dengan ibunya.
Walaupun
identifikasi melibatkan peniruan terhadap suatu model (misalnya seorang pemuda
berpenampilan mirip Damon Albarn), namun istilah identifikasi dan peniruan
(imitasi) tidaklah sinonim. Suatu proses peniruan semata-mata menyangkut tidak
lebih sekedar emulasi dari perilaku tertentu dari suatu model. Sedangkan
identifikasi merupakan proses yang jauh lebih kompleks, hingga tingkat yang
bermacam-macam, membuat seseorang seolah-olah dia adalah orang lain, yaitu
tokoh yang dijadikannya model itu.
Bagi
anak-anak dan remaja, dua motivasi penting yang mendorong mereka untuk
mengidentifikasikan diri adalah :
1.
Keinginan untuk memiliki kekuasaan (a
desire for power) dan penguasaan terhadap lingkungan (mastery over the
environtment).
2.
Kebutuhan akan asuhan dan perhatian
(affection).
Konsep
identifikasi ini membantu kita untuk memahami tentang mengapa anggota
masyarakat berusaha menerupai tokoh-tokoh ideal yang mereka temukan melalui
sajian media massa. Begitu banyak orang yang menjadikan bintang film, artis
sinetron, musisi, atau pribadi menarik lainnya sebagai idola mereka, sehingga
mereka berusaha menyamai gerak-gerik, penampilan dan tingkah laku idolanya
tersebut. Khalayak yang seperti ini akan berpakaian, memilih mode, berdandan
dan berbicara seperto tokoh yang diidentifikasikannya.
No comments:
Post a Comment