Monday, April 3, 2017

Teori-teori Komunikasi Part 4



1. Teori Kultivasi
Program penelitian teoritis lain yang berhubungan dengan hasil sosiokultural komunikasi massa dilakukan George Garbner dan teman-temannya. Peneliti ini percaya bahwa karena televisi adalah pengalaman bersama dari semua orang, dan mempunyai pengaruh memberikan jalan bersama dalam memandang dunia. Televisi adalah bagian yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari kita. Dramanya, iklannya, beritanya, dan acara lain membawa dunia yang relatif koheren dari kesan umum dan mengirimkan pesan ke setiap rumah. Televisi mengolah dari awal kelahiran predisposisi yang sama dan pilihan yang biasa diperoleh dari sumber primer lainnya. Hambatan sejarah yang turun temurun yaitu melek huruf dan mobilitas teratasi dengan keberadaan televisi. Televisi telah menjadi sumber umum utama dari sosialisasi dan informasi sehari-hari (kebanyakan dalam bentuk hiburan) dari populasi heterogen yang lainnya. Pola berulang dari pesan-pesan dan kesan yang diproduksi massal dari televisi membentuk arus utama dari lingkungan simbolis umum.
Garbner menamakan proses ini sebagai cultivation (kultivasi), karena televisi dipercaya dapat berperan sebagai agen penghomogen dalam kebudayaan. Teori kultivasi sangat menonjol dalam kajian mengenai dampak media televisi terhadap khalayak. Bagi Gerbner, dibandingkan media massa yang lain, televisi telah mendapatkan tempat yang sedemikian signifikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga mendominasi “lingkungan simbolik” kita, dengan cara menggantikan pesannya tentang realitas bagi pengalaman pribadi dan sarana mengetahui dunia lainnya (McQuail, 1996 : 254)

2. Teori Peniruan atau Imitasi (Imitation Theory)
Media massa dapat menimbulkan efek peniruan atau imitasi, khususnya yang menyangkut delinkuesi dan kejahatan, bertolak dari besarnya kemungkinan atau potensi pada tiap anggota masyarakat untuk meniru apa-apa yang ia peroleh dari media massa. Kemudahan isi media massa untuk dipahami memungkinkan khalayak untuk mengetahui isi media massa dan kemudian dipengaruhi oleh isi media tersebut.
Perilaku khalayak jelas amat dipengaruhi oleh media massa, hal ini dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Sebenarnya isi media massa dapat memberikan dua pengaruh pada khalayak. Isi media massa yang disukai khalayak cenderung akan ditiru oleh masyarakat, sebaliknya bila isi media massa itu tidak disukai khalayak, maka khalayak pun akan cenderung untuk menghindarinya. Sebagai contoh tayangan kriminal di televisi. Masyarakat yang tidak menyukai tindak kriminal tentu akan menghindari perilaku yang ditayangkan di televisi seperti membunuh, memperkosa, mencuri dan sebagainya. Tetapi lain dengan masyarakat yang berdarah kriminal alias penjahat. Mereka tentu akan meniru isi media massa tersebut dan bahkan “memperbaharui” tindak kejahatan tersebut agar tidak tertangkap polisi. Bukankah itu suatu kemungkinan yang amat mungkin terjadi pada manusia dalam kehidupannya sebagai makhluk sosial.
Pernyataan diatas menimbulkan pertanyaan apakah kekerasan di televisi menyebabkan perilaku kekerasan pada khalayak atau tidak. Situasi ini memang kompleks karena terdapatnya kepentingan yang bertentangan yang menyebabkan metode, hasil dan interprestasi yang juga saling bertentangan. Kalangan pendidik umumnya berpendapat bahwa isi yang negatif pada media massa akan berdampak negatif pula pada khalayak. Sedangkan pihak media cenderung untuk bertahan dan menyatakan bahwa apa-apa yang mereka siarkan itu tidak berbahaya bagi masyarakat. Mereka bahkan berpendapat bahwa dengan menyaksikan kekerasan di televisi, kita dapat mensublimasikan tekanan (tension) dan frustasi yang dialami, jadi mengurangi kemungkinan untuk melakukan tindakan agresif atau kekerasan. Jadi khalayak yang melihat kekerasan di televisi pun akan mencoba menghindari tindakan kekerasan tersebut pada kehidupan sehari-harinya. Usaha-usaha untuk mengkaji perilaku meniru secara umum dikaitkan dengan adanya dorongan pembawaan (innate urges) atau kecenderungan yang dimiliki oleh setiap manusia. Menurut pandanga umum ini, manusia cenderung untuk meniru perbuatan orang lain semata-mata karena hal itu merupakan bagian dari sifat biologis (part of biological “nature”) mereka untuk melakukan hal tersebut.
Seorang sosiolog bernama Gabriel Tarde (1903) berpendapat bahwa semua orang memiliki kecenderungan yang kuat untuk menandingi (menyamai atau bahkan melebihi) tindakan orang disekitarnya. Ia berpendapat bahwa mustahil bagi dua individu yang berinteraksi dalam waktu yang cukup panjang untuk tidak menunjukan peningkatan dalam peniruan perilaku secara timbal balik. Ia juga memandang imitasi memainkan perana yang sentral dalam tranmisi kebudayaan dan pengetahuan dari suatu generasi ke generasi selanjutnya. Dengan pengamatannya tersebut, Tarde sampai pada pernyataanya yang mengatakan bahwa “society is imitation…”. Pernyataan ini didukung oleh Mc Dougal (1908), pengarang buku teks psikologi yang pertama.
Pandangan Tarde tersebut banyak dikritik belakangan ini kerena kecenderungan manusia meniru orang lain sebagai suatu bawaan sejak lahir tidaj cocok dengan kenyataan, karena seringkali pengamatan terhadap orang lain justru membuat kita menghindari untuk meniru perilaku tersebut. Pandangan ini menganggap bahwa pernyataan Tarde tidak dipertegas dengan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya peniruan, cara seseorang dalam memilih model tertentu yang akan ditirunya, ataupun jenis perilaku yang akan disamainya itu.
Hal tersebut membuat teori yang dikemukakan Tarde ditinggalkan secara perlahan-lahan di lingkungan psikologi dan digantikan oleh teori yang berpendapat bahwa kecenderungan untuk meniru orang lain adalah sesuatu yang dipelajari (learned), atau diperoleh melalui suatu proses pengkondisian agar orang melakukan peniruan terhadap perilaku tertentu.

Kelemahan terbesar dari teori yang mengatakan bahwa tayangan kekerasan di televisi menimbulkan kekerasan adalah bahwa teori ini diperolah dari studi-studi laboratory yang bersifat eksperimen. Jadi studi ini tidak berdasarkan studi yang dipelajari dari kehidupan nyata. Aliran ini dipimpin oleh Seymour Feshbach dan kawan-kawan (1971) yang menyatakan bahwa daripada memicu perilaku kekerasan, menonton perilaku kekerasan di televisi justru memberikan efek katarsis bagi khalayak. Menurut mereka, dengan menonton kekerasan pada televisi, kita justru menjadi frustasi dan itu mengurangi dan memperkecil kemungkinan kepada khalayak untuk meniru kekerasan yang ditampilkan oleh televisi atau media lainnya.

3. Teori Identifikasi (Identification Theory)
Seseorang terkadang ingin menyerupai orang lain yang diidolakannya. Ia lalu bermaksud berusaha menyamai idolanya itu, dalam tingkah laku ataupun dalam penampilannya, sehingga ia tampak identik dengan sang idola. Dalam hubungan ini, teori identifikasi menjadi suatu penjelasan teoritis yang disukai untuk menjelaskan misalnya, bagaimana seseorang berperilaku dan berpenampilan mirip dengan Michael Jackson. Ia kemudian mengembangkan atribut-atribut yang luas dan pola perilaku yang secara umum mirip dengan idolanya dan model-model sosial lain yang bermakna dalam hidup mereka.
Konsep identifikasi memiliki tiga pengertian yang khas, yakni :
Menurut analisis Bronfenbrenner (1960), identifikasi menunjuk kepada perilaku ketika seseorang bertindak atau merasa seperti orang lain (yang disebut “model”). Kemiripan perilaku diantara dua orang bukan berarti bahwa ia telah identik dengan orang lain. Seorang anak misalnya yang identik dengan ayahnya, ketika ayahnya sedang merasa senang, dan si anak merasa senang pada waktu yang bersamaan. Keduanya independen satu sama lain dan berdasarkan alasan yang sepenuhnya amat berbeda. Si ayah senang karena pangkatnya naik, sedangkan si anak senang karena ia mendapat pacar baru. Hal itu memperlihatkan bahwa kemiripan seseorang dengan orang lain bukan membuat ia menjadi orang lain.
Identifikasi juga berarti suatu motif dalam bentuk suatu keinginan umum untuk berbuat atau menjadi seperti orang lain. Seseorang harus memiliki motif untuk menyamai atau menyerupai model. Besar sekali kemungkinan bahwa kebanyakan anak memiliki motif yang kuat untuk menyamai atau menyerupai orang tuanya.
Identifikasi mengacu kepada proses atau mekanisme melalui mana anak-anak menyamai suatu model dan menjadikan diri seperti model itu. Dengan teori ini dapat dipahami bahwa bagaimana seorang anak membiasakan standar-standar orang tua dan sosial untuk diidentifikasi perilakunya sesuai dengan jenis kelamin dan tindakan moral yang tepat, dan bagaimana mereka menjadikan atribut dan karakter orangtuanya menjadi bagian dari diri mereka, khususnya yang sama jenis kelaminnya. Anak laki-laki mengidentifikasikan diri dengan ayahnya sementara anak perempuan dengan ibunya.
Walaupun identifikasi melibatkan peniruan terhadap suatu model (misalnya seorang pemuda berpenampilan mirip Damon Albarn), namun istilah identifikasi dan peniruan (imitasi) tidaklah sinonim. Suatu proses peniruan semata-mata menyangkut tidak lebih sekedar emulasi dari perilaku tertentu dari suatu model. Sedangkan identifikasi merupakan proses yang jauh lebih kompleks, hingga tingkat yang bermacam-macam, membuat seseorang seolah-olah dia adalah orang lain, yaitu tokoh yang dijadikannya model itu.
Bagi anak-anak dan remaja, dua motivasi penting yang mendorong mereka untuk mengidentifikasikan diri adalah :
1.      Keinginan untuk memiliki kekuasaan (a desire for power) dan penguasaan terhadap lingkungan (mastery over the environtment).
2.      Kebutuhan akan asuhan dan perhatian (affection).
Konsep identifikasi ini membantu kita untuk memahami tentang mengapa anggota masyarakat berusaha menerupai tokoh-tokoh ideal yang mereka temukan melalui sajian media massa. Begitu banyak orang yang menjadikan bintang film, artis sinetron, musisi, atau pribadi menarik lainnya sebagai idola mereka, sehingga mereka berusaha menyamai gerak-gerik, penampilan dan tingkah laku idolanya tersebut. Khalayak yang seperti ini akan berpakaian, memilih mode, berdandan dan berbicara seperto tokoh yang diidentifikasikannya.


No comments:

Post a Comment