Monday, April 3, 2017

Teori-teori Komunikasi Part 6



1. Teori Inokulasi (Innoculation Theory)
Teori inokulasi atau teori suntikan yang pada mulanya ditampilkan oleh Mcguire ini mengambil analogi dari peristiwa medis. Orang yang terserang penyakit cacar, polio disuntik. Diberi vaksin untuk merangsang mekanisme daya tahan tubuhnya. Demikian pula halnya dengan orang yang tidak memiliki informasi mengenai suatu hal atau tidak menyadari posisi mengenai hal tersebut, maka ia akan lebih mudah untuk dipersuasi atau dibujuk. Suatu cara untuk membuatnya agar tidak mudah kena pengaruh adalah ”menyuntiknya” dengan argumentasi balasan (counterarguments).

2. Teori Analisis Transaksional
Teori analisis transaksional merupakan karya besar Eric Berne (1964), yang ditulisnya dalam buku Games People Play. Berne adalah seorang ahli ilmu jiwa terkenal dari kelompok Humanisme. Teori analisis transaksional merupakan teori terapi yang sangat populer dan digunakan dalam konsultasi pada hampir semua bidang ilmu-ilmu perilaku. Teori analisis transaksional telah menjadi salah satu teori komunikasi antarpribadi yang mendasar.
Kata transaksi selalu mengacu pada proses pertukaran dalam suatu hubungan. Dalam komunikasi antarpribadi pun dikenal transaksi. Yang dipertukarkan adalah pesan-pesan baik verbal maupun nonverbal. Analisis transaksional sebenarnya ber­tujuan untuk mengkaji secara mendalam proses transaksi (siapa-­siapa yang terlibat di dalamnya dan pesan apa yang dipertukarkan).
Dalam diri setiap manusia, seperti dikutip Collins (1983), memiliki tiga status ego. Sikap dasar ego yang mengacu pada sikap orangtua (Parent= P. exteropsychic); sikap orang dewasa (Adult=A. neopsychic); dan ego anak (Child = C, arheopsychic). Ketiga sikap tersebut dimiliki setiap orang (baik dewasa, anak-anak, maupun orangtua).

3. Teori Norma Budaya (Cultural Norms Theory)
Teori norma budaya menurut Melvin DeFleur hakikatnya adalah bahwa media massa melalui penyajiannya yang selektif dan penekanannya pada tema-tema tertentu, menciptakan kesan-kesan pada khalayak dimana norma-norma budaya umum mengenai topik yang diberi bobot itu dibentuk dengan cara-cara tertentu. Oleh karena itu perilaku individual biasanya dipandu oleh norma-norma budaya mengenai suatu hal tertentu, amak media komunikasi secara tidak langsung akan mempengaruhi perilaku.

4. Standpoint Theory
Teori ini menjelaskan bahwa pengalaman individu, pengetahuan, dan perilaku komunikasi sebagian besar dibentuk oleh kelompok sosial dimana mereka aktif (Wood, J. T.,1982 dalam West, R., & Turner, L. H., 2000). Dari sinilah kita dapat menarik kerangka tentang sistematika pengaruh kekuatan pembentuk identitas.
Secara kultural, bangsa Indonesia sebelum kemerdekaan dan masa awal kemerdekaan adalah bangsa yang guyub. Keguyuban ini pun terbawa pada kolektif-kolektif komunitas Islam. Kita mengenal adanya komunitas pesantren NU, dan Muhamadiyyah pada masa sebelum kemerdekaan. Setelah kebijakan Soeharto di era tahun 1980-an yang lebih dekat dengan Islam, dan komunitas kolektif Islam menjadi semakin menjamur. Dan semakin banyaknya komunitas kolektif inilah yang kemudian banyak sekali mempengaruhi kehidupan warga Indonesia yang lain. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengaruh media global telah tereduksi oleh keberadaan dan pengaruh komunitas kolektif yang memiliki high context culture.

5. Teori Systematic Behavior (Hull)
Clark C Hull meng­ikuti jejak Thorndike dalam usahanya mengembangkan teori belajar. Prinsipprinsip yang digunakanya mirip de­ngan apa yang dikemukakan oleh para behavioris yaitu dasar stimulusrespon dan adanya reinforcement.
Clark C. Hull mengemukakan teorinya, yaitu bahwa suatu kebutuhan atau “keadaan terdorong” (oleh motif, tujuan, maksud, aspirasi, ambisi) harus ada dalam diri seseorang yang belajar, sebelum suatu respon dapat di­perkuat atas dasar pengurangan kebutuhan itu. Dalam hal ini efisiensi belajar tergantung pada besarnya tingkat pengurangan dan kepuasan motif yang menyebabkan timbulnya usaha belajar itu oleh responrespon yang dibuat individu itu. Setiap obyek, kejadian atau situasi dapat mempunyai nilai sebagai penguat apabila hal itu dihubungkan dengan penurunan terhadap suatu keadaan deprivasi (kekurangan) pada diri individu itu; yaitu jika obyek, kejadian atau situasi tadi dapat menjawab suatu kebutuhan pada saat individu itu melakukan respon.
Prinsip penguat (reinforcer) menggunakan seluruh situasi yang memotivasi, mulai dari dorongan biologis yang merupakan kebutuhan utama seseorang sampai pada hasilhasil yang memberikan ganjaran bagi seseorang (misalnya: uang, perhatian, afeksi, dan aspirasi sosial ting­kat tinggi). Jadi, prinsip yang utama adalah suatu ke­butuhan atau motif harus ada pada seseorang sebelum belajar itu terjadi; dan bahwa apa yang dipelajari itu harus diamati oleh orang yang belajar sebagai sesuatu yang dapat mengurangi kekuatan kebutuhannya atau memuaskan kebutuhannya.



No comments:

Post a Comment