PENDAHULUAN
a.Latar
belakang
Dewasa
ini keberadaan hukum sangat dirasakan urgennya di dalam masyarakat, sebab hukum
tidak hanya berperan untuk keadilan, keteraturan, ketenteraman dan ketertiban;
juga untuk menjamin adanya kepastian hukum. Bahkan hukum lebih diarahkan
sebagai sarana kemajuan dan kesejahteraan masyarakat “tool of social
engineering”. Oleh sebab itu diperlukan hukum yang dibentuk atas keinginan dan
kesadaran tiap-tiap individu di dalam masyarakat, dengan maksud agar tujuan
hukum dapat terwujud sebagaimana dicita-citakan. Yakni: hukum menghendaki
kerukunan dan perdamaian dalam pergaulan hidup bersama.
Adapun
psikologi hukum adalah cabang ilmu yang mempelajari hukum dari segi ekspresi
dan perkembangan jiwa manusia. Menurut Soedjono D., akan melihat hukum sebagai
salah satu dari pencerminan perilaku manusia suatu kenyataan bahwa salah satu
yang menon jol pada hukum, terutama pada hukum modern, adalah penggunaan secara
sadar sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang dike hendaki. Adapun yang
meninjau ilmu politik secara mendalam dalam kaitannya dengan hukum adalah ilmu
pengetahuan politik hukum.
b.
Tujuan
Tujuan
teoritis yaitu tujuan untuk mengetahui pengertian psikologi hokum, dan untuk
mencari informasi yang lebih jauh lagi tentang sejauh mana psikologi dapat
digunakan atau bermanfaat dalam ranah hokum Indonesia ataupun luar negeri
Tujuan
praktis yaitu sebagai tugas pengganti dari presentasi yang berguna mendapatkan
nilai tambahan psikologi social 2
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
- Sejarah Singkat Psikologi Hukum
Perkembangan
ilmu pengetahuan modern sejak renaisans, tidak hanya disambut baik oleh
rasionalisme melainkan juga pengetahuan yang harus bersumber dari pengalaman
(empeiria). Dengan pendirian dasar itu, pandangan mereka disebut empirisme.
Seperti halnya rasionalisme, empirisme berusaha membebaskan diri dari bentuk
spekulasi spiritual yang menandai metafisika tradisional. Lama kelamaan aliran
empirisme mempelopori kelahiran ilmu-ilmu kemanusiaan modern yang didasarkan
pada observasi empiris yaitu psikologi.
Ilmu
jiwa yang melahirkan psikologi, berabad-abad yang lalu sebenarnya manusia telah
memikirkan tentang hakikat dari jiwa manusia dan jiwa makhluk hidup lainnya.
Pikiran itu semula bersifat filsafat dalam arti terutama mencari pengetahuan
mengenai dasar-dasar dan hakikat jiwa manusia. Corak pemikiran filsafat waktu
itu atomistis, artinya jiwa manusia masih dianggap sebagai sesuatu yang konstan
dan tidak berubah, dapat dianalisa ke dalam unsur-unsur tersendiri yang bekerja
terpisah antara unsur-unsur itu.
Pandangan
atomistis terlihat dari hasil pemikiran sejak filsuf Plato kurang lebih 400
tahun sebelum Masehi sampai pertengahan abad XIX. Mereka memandang ilmu jiwa
merupakan cabang dari ilmu filsafat. sejak lahirnya experimental psycology pada
abad XIX yang bukan saja berfilsafat mengenai gejala-gejala kejiwaan
melainkan juga mencantumkan secara umum dengan menggunakan metode ilmiah yang
substantif mungkin, maka lambat laun lahirlah psikologi isu.
Psikolog experimental pada tahun 1875, Wilhelm Wunt terdorong oleh keyakinan bahwa gejala-gejala kejiwaan itu mempunyai sifat dan dalil-dalil yang khas dan yang harus diteliti oleh sarjana illmu jiwa secara khas. Wilhelm Wunt yang menitikberatkan pergolakan jiwa manusia pada alam sadar, dikembangkan oleh Sigmund Freud bahwa kegiatan dan tingkah laku manusia sangat dipengaruhi oleh pergolakan tak sadar bawah sadar tersebut.
Psikolog experimental pada tahun 1875, Wilhelm Wunt terdorong oleh keyakinan bahwa gejala-gejala kejiwaan itu mempunyai sifat dan dalil-dalil yang khas dan yang harus diteliti oleh sarjana illmu jiwa secara khas. Wilhelm Wunt yang menitikberatkan pergolakan jiwa manusia pada alam sadar, dikembangkan oleh Sigmund Freud bahwa kegiatan dan tingkah laku manusia sangat dipengaruhi oleh pergolakan tak sadar bawah sadar tersebut.
Sumbangan
yang terbesar Sigmund Freud dalam psikologi hukum yaitu melalui pidatonya
di depan hakim Austria tentang ”keputusan hakim yang dipengaruhi oleh
proses-proses tak sadar”. ”Even lain yang membuat para psikolog sadar bahwa ide
mereka dapat digunakan untuk mentransformasikan sistem hukum adalah terbitnya
buku yang berjudul on the witnes stand oleh Hugo Munstenberg (1907)”
(Constanzo, 2006:4), demikian juga dengan munculnya beberapa penelitian
psikologi dalam lapangan ilmu hukum seperti diskriminasi hukum, hukuman berat,
pornografi, perilaku seks, dan syarat penahanan seorang untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya menanandai kelahiran psikologi dan hukum.
Sejarah singkat psikologi dan hukum juga dapat diamati berdasarkan tulisan Hakim Agung Sail Warren sebagaimana dikemukakan oleh Mark Constanzo (2006: 9) “kebijakan pemisahan ras biasanya diinterpretasikan sebagai pertanda menganggap kelompok Negro sebagai kelompok inferior. Perasaan inferioritas ini mempengaruhi motivasi belajar anak, oleh sebab itu segregasi yang disertai dengan sanksi hukum, memiliki tendensi untuk memperlambat perkembangan dan pendidikan mental anak Negro dan membuat mereka tidak dapat memperoleh keuntungan yang mestinya dapat mereka peroleh di dalam sistem persekolahan yang secara rasial terintegrasi”.
Sejarah singkat psikologi dan hukum juga dapat diamati berdasarkan tulisan Hakim Agung Sail Warren sebagaimana dikemukakan oleh Mark Constanzo (2006: 9) “kebijakan pemisahan ras biasanya diinterpretasikan sebagai pertanda menganggap kelompok Negro sebagai kelompok inferior. Perasaan inferioritas ini mempengaruhi motivasi belajar anak, oleh sebab itu segregasi yang disertai dengan sanksi hukum, memiliki tendensi untuk memperlambat perkembangan dan pendidikan mental anak Negro dan membuat mereka tidak dapat memperoleh keuntungan yang mestinya dapat mereka peroleh di dalam sistem persekolahan yang secara rasial terintegrasi”.
Hal
tersebut, Mark Constanzo (2006:15) menyimpulkan ”bahwa pemisahan anak
kulit hitam semata-mata karena rasnya melahirkan perasaan inferioritas terhadap
statusnya di masyarakat, yang dapat mempengaruhi jiwa dan pemikiran mereka
sedemikian rupa sehingga tidak akan pernah mungkin dipulihkan”.
B.
Pengertian Psikologi
Psikologi
apabila ditinjau dari segi ilmu bahasa berasal dari kata psycho, dan logos.
Psychosering diartikan jiwa dan logos yang berarti ilmu (ilmu pengetahuan).
Dengan demikian, psikologi sering diartikan dengan ilmu pengetahuan tentang
jiwa (ilmu jiwa).
Hukum
dibentuk oleh jiwa manusia, baik putusan pengadilan maupun perundang-undangan
merupakan hasil jiwa manusia. Oleh karena itu, psikologi merupakan
karakteristik hukum yang tidak dapat dipisahkan dari hukum itu sendiri. Dalam
hal ini Purnadi Purbacaraka, Soerjono Soekanto memberikan definisi psikologi hukum,
yaitu suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari hukum sebagai perwujudan
dari pada perkembangan jiwa manusia. (Ishaq,2009,241)
Pengenalan
psikologi pertama kali sebagai ilmu pengetahuan yang otonom dan berdiri sendiri
terjadi pada akhir abad ke- 19, yang pada waktu itu masih menjadi cabang ilmu
pengetahuan filsafat dan psikologi juga sering menjadi sudut kajian sosiologi.
Dalam perjalanan sejarah yang singkat psikologi telah didefenisikan dalam
berbagai cara, para ahli psikologi terdahulu mendefenisikan psikologi sebagai
“studi kegiatan mental”.
Kata
psikologi sering disebut ilmu jiwa, berasal dari bahasa Yunani psyche artinya
jiwa dan logos berarti ilmu. Dengan demikan psikologi dapat diartikan sebagai
ilmu yang mempelajari kejiwaan atau ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia,
atau sebab tingkah laku manusia yang dilatarbelakangi oleh kondisi jiwa
seseorang atau secara singkat dapat diartikan sebagai studi mengenai proses
perilaku dan proses mental.
Menurut
Rita Atkinson (1983: 19) Pendefenisian psikologi juga dilatarbelakangi oleh
perkembangan sejarah dalam aliran psikologi, hal ini dapat dilihat melalui
perubahan defenisi mengenai psikologi seperti berikut ini:
Wilhelm
Wunt (1892), psikologi bertugas menyelidiki apa yang kita sebut
pengalaman dalam sensasi dan perasaan kita sendiri, pikiran serta kehendak kita
yang bertolak belakang dengan setiap obyek pengalaman luar yang melahirkan
pokok permasalahan ilmu alam.
William
James (1980), psikologi adalah ilmu mengenai kehidupan mental, termasuk fenomena
dan kondisi-kondisinya. Fenomena adalah apa yang kita sebut sebagai perasaan,
keinginan, kognisi, berpikir logis, keputusan-keputusan dan sebagainya.
James
Angell (1910), psikologi adalah semua kesadaran di mana saja, normal atau
abnormal, manusia atau binatang yang dicoba untuk dijelaskan pokok
permasalahannya.
John
B Watson (1919), psikologi merupakan bagian dari ilmu alam yang menekankan
perilaku manusia, perbuatan dan ucapannya baik yang dipelajari maupun yang
tidak sebagai pokok masalah.
Kurt
Koffka (1925), psikologi adalah studi ilmiah mengenai perilaku makhluk hidup
dalam hubungan mereka dengan dunia luar.
Arthur
Gates (1931), psikologi adalah salah satu bidang yang mencoba menunjukan,
menerangkan, dan menggolongkan berbagai macam kegiatan yang sanggup dilakukan
oleh binatang, manusia, atau lainnya.
Norman
Munn (1951), psikologi sebagai “ilmu mengenai perilaku” tetapi hal yang
menarik, pengertian perilaku yang telah mengalami perkembangan, sehingga
sekarang ikut menangani hal yang pada masa lampau disebut pengalaman.
Kennet
Clark dan George Milter (1970), psikologi adalah studi ilmiah mengenai
perilaku, lingkupnya mencakup berbagai proses perilaku yang dapat diamati,
seperti gerak tangan, cara berbicara, dan perubahan kejiwaan dan proses yang hanya
dapat diartikan sebagai pikiran dan mimpi.Richard Mayer (1981), psikologi
merupakan analisis ilmiah mengenai proses mental dan struktur daya ingat
untuk memahami perilaku manusia.
Berdasarkan
defenisi di atas, mempelajari psikologi berarti mengenal manusia dalam arti
memahami, menguraikan dan memaparkan manusia sebagai individu dan sosial serta
berbagai macam tingkah laku dan kepribadian manusia, juga seluruh
aspek-aspeknya. Psyche (jiwa) adalah kekuatan hidup atau sebabnya hidup
(anima).
Dari
pengertian-pengertian psikologi yang telah disebutkan di atas, penulis
berpendapat antara psikologi dan hukum dari sudut kajiannya adalah
keduanya mengkaji gejala-gejala sosial, hal ini jika menilik kembali pengertian
hukum secara empirik. Keduanya memfokuskan diri pada perilaku manusia, yang
berusaha menyelesaikan masalah serta memperbaiki kondisi manusia. Craig Haney
menyatakan “bahwa psikologi bersifat deskriptif dan hukum bersifat
perskriptif” (Haney: 1981 dalam Kapardis: 1999). Artinya psikologi menjelaskan
tentang bagaimana orang berperilaku secara aktual, hukum menjelaskan bagaimana
orang seharusnya berperilaku, tujuan utama ilmu psikologi adalah memberikan
penjelasan yang lengkap dan akurat mengenai perilaku manusia, tujuan utama
hukum adalah mengatur perilaku manusia. Dalam arti yang agak lebih idealistis,
ilmu psikologi menurut Constanzo (2006: 12) “terutama tertarik untuk
menemukan kebenaran sedangkan sistem hukum terutama tertarik untuk memberikan
keadilan”.
Berdasarkan
keterkaitan kedua terminologi tersebut maka psikologi hukum dapat diartikan
sebagai studi psikologi yang mempelajari ketidakmampuan individu untuk
melakukan penyesuaian terhadap norma hukum yang berlaku atau tidak berhasilnya
mengatasi tekanan-tekanan yang dideritamya. Dalam kondisi yang demikianlah maka
diperlukan studi psikologi terhadap hukum yang disebut psikologi hukum.
Menurut Soerjono Soekanto (1983:2) “psikologi hukum adalah studi hukum
yang akan berusaha menyoroti hukum sebagai suatu perwujudan dari gejala-gejala
kejiwaan tertentu, dan juga landasan kejiwaan dari perilaku atau sikap
tindak tersebut”.
Di
bawah ini dikutip beberapa defenisi psikologi hukum yang terdapat dalam
berbagai literatur, yaitu:
Sebagai
suatu pencerminan dari perilaku manusia (human behaviour). (Sorjono Soekanto,1989;
R. Ridwan Syahrai,1999; Bernard Arief Sidharta, 2000; Soedjono
Dirdjosuwiryo,2001; Sudarsono, 2001; Soeroso, 2004; Munir Fuady, 2006).
Sebagai
bentuk pelayanan psikologi yang dilakukan dalam hukum meliputi Psycho-Legal
Issue, pendampingan di pengadilan dan prilaku kriminal (The Commite On Etnical
Guidelines For Forensic Psychology dalam Rahayu: 2003, hal. 3)
Meliputi
legal issue; penelitian dalam kesaksian, penelitian dari pengambilan keputusan
yuri dan hakim, begitu pula di dalam kriminologi untuk menentukan sebab-sebab,
langkah-langkah preventif, kurasif, perilaku kriminal dan pendampingan di
pengadilan yang dilakukan oleh para ahli di dalam pengadilan (Blackburn: 1996)
Meliputi
aspek perilaku manusia dalam proses hukum, seperti ingatan saksi, pengambilan
keputusan hukum oleh yuri, dan pelaku kriminal (Curt R. Bartol:1983)
Suatu
pendekatan yang menekankan determinan-determinan manusia dari hukum, termasuk
dari perundang-undangan dan putusan hakim, yang lebih menekankan individu
sebagai unit analisisnya. Perhatian utama dari kajian psikologi hukum yaitu
lebih tertuju pada proses penegakan hukum (saksi mata, tersangka/terdakwa,
korban kriminal, jaksa penuntut umum, pengacara hakim dan terpidana) (Rahayu:
2003)
Psikologi
hukum adalah suatu kajian tentang sifat, fungsi, dan perilaku hukum dari
pengalaman mental dari individu dalam hubungannya dengan berbagai fenomena
hukum (pengertian ini didasarkan pada defenisi psikologi sosial oleh Edward E.
Jones: 1996)
Cabang
metode studi hukum yang masih muda, yang lahir karena kebutuhan dan tuntutan
akan kehadiran psikologi dalam studi hukum, terutama sekali bagi praktik
penegakan hukum, termasuk untuk kepentingan pemeriksaan di muka sidang
pengadilan. (Ishaq: 2008, 241).
Cabang
ilmu hukum (pengembanan hukum teoritis/sistem hukum eksternal; sudut pandang
hukum sebagai pengamat) yang bertujuan untuk memahami hukum dari sudut pandang
psikologi dengan menggunakan pendekatan/sudut pandang psikoanalisis, psikologi
humanistik dan psikologi perilaku (empirik). (Meuwissen dalam Sidharta: 2008)
psychology
and law is a relatively young field of scholarhip. Connceptualized broadly, the
field encompases diverse approaches to psychology. Each of major psychologycal
subdivisions has contributed to research on legal isues: cognitive (e.g.
eyewitnes testimony), developmental (e.g., children testimony), social (e.g.,
jury behavior), clinical (e.g, assesment of competence), biological (e.g, the
polygraph), and industrial organizational psychology (e.g, sexual
harassment in the workplace). (Encyclopedia of Psychology & Law: 2008)
legal
psychology involves empirical, psychology research of the law, legal
institution, and people who come into contant with the law. Legal psychologist
typically take basic social and cogniive theories and principles and apply them
to issues in the legal system such as eyewitness memory, jury decision-making,
investigations, and interviewing. The term ” legal psychology” has only
recently come into usage, primarily as a way to differentiate the exprimental
focos of legal psycholgy from the clinically-oriented forensic psychology.
(Wikipedia, The Free Encyclopedia).
Leon
Petraryki (1867 – 1931), seorang ahli filsafat hukum, menggarap unsur
psikologis dalam hukum dengan mendudukkannya sebagai unsur yang utama. Sarjana
tersebut berpendapat, bahwa fenomen-fenomen hukum itu terdiri dari
proses-proses psikis yang unik, yang dapat dilihat dengan mcngggunakan metoda
introspeksi (Satjipto , 2006: 360). Apabila kita mempersoalkan tentang hak-hak
kita scrta hak-hak orang lain dan melakukan perbuatan sesuai dengan itu, maka
itu semua bukan karena hak-hak itu dicantumkan dalam peraturan-peraturan,
melainkan semata-mata karena keyakinan kita sendiri, bahwa kita harus berbuat
seperti itu, demikian Petraricky. Ia memandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban
sebagai “phantasmata”, yang hanya ada dalam pikiran kita, tetapi yang mempunyai
arti sosial penting, oleh karena ia menciptakan “pengalaman
imperatif-atributit” yang mempengaruhi tingkah laku mereka yang merasa terikat
olehnya (Sutjipto, 2006 : 360).
Penulis
berikutnya yang akan dibicarakan adalah Jerome Frank. Melalui bukunya “Law and
the Modern Mind” (1930), Frank kemudian menjadi terkenal, bahwa ada yang
menamakannya suatu karya klasik dalam ilmu hukum umum.
Frank, biasanya digolongkan ke dalam Aliran Realismv di Amerika Serikat. Sesuai dcngan pola pemikiran aliran tersebut, hal yang menjadi sasaran adalah hukum scbagaimana diproses dalam pengadilan. Tetapi penggarapan Frank tcrnyata tidak hanya terbatas pada proses-proses dalam pengadilan, melainkan ia mengangkatnya sampai ke peringkat yang lebih tinggi lagi, sehingga sudah bergerak dalam teori hukum yang umum.
Frank menyerang angrapan dan pandangan kebanyakan orang tentang hukum dan dalam bukunya yang disebut di muka> ia mulai dengan mengupas apa yang disebutnya sebagai suatu “mitos dasar” dalam hukum (Sutjipto, 2006 : 361). Frank yang sendirinya adalah seorang hakim, melihat, bahwa hukum itu tidak akan pernah bisa memuaskan keinginan kita untuk memberikan kepastian. Sejak dulu, sekarang dan di waktu-waktu yang akan datang, bagian terbesar dan hukum bersifat samar-samar dan bervariasi. Menurut dia, keadaan yang demikian itu tidak bisa lain, oleh karena hukum itu berurusan dcngan hubungan-hubung an antara manusia dalam segi-seginya yang sangat kompleks. Olch karena itu mengharapkan, bahwa hukum akan bisa memberikan kepastian yang berlebihan, adalah suatu perbuatan yang keliru dan tidak perlu.
Tetapi, yang justru merisaukan Frank adalah persoalan, mengapa orang sampai menghendaki dan mengharapkan kepastian hukum yang berlebihan itu. Menurut Frank, hal itu tentunya tidak berakar pada sesuatu yang nyata, melainkan menginginkan sesuatu yang tidak nyata (unreal)(Soetjipto, 2006 : 361).
Dalam usahanya untuk menjawab dan menjelaskan apa yang menjadi sebab-sebab keinginan sebagaimana disebut di atas, Frank mulai memasuki bidang psikologi. Dalam hal ini ia menarik pelajaran dari karya-karya tentang psikologi anak-anak dari Freud dan Piaget, khususnya yang menyangkut soal ketergantungan kepada sang ayah dari seorang anak dan hasil dari ketergantungan yang demikian itu, pada saat anak tersebut menjadi dewasa, berupa kegandrungann (hanker) kepada pengganti sang ayah (Soetjipto, 2006: 361). Penjelasannya secara terperinci adalah sebagai berikut (Soetjipto, 2006: 361) :
Frank, biasanya digolongkan ke dalam Aliran Realismv di Amerika Serikat. Sesuai dcngan pola pemikiran aliran tersebut, hal yang menjadi sasaran adalah hukum scbagaimana diproses dalam pengadilan. Tetapi penggarapan Frank tcrnyata tidak hanya terbatas pada proses-proses dalam pengadilan, melainkan ia mengangkatnya sampai ke peringkat yang lebih tinggi lagi, sehingga sudah bergerak dalam teori hukum yang umum.
Frank menyerang angrapan dan pandangan kebanyakan orang tentang hukum dan dalam bukunya yang disebut di muka> ia mulai dengan mengupas apa yang disebutnya sebagai suatu “mitos dasar” dalam hukum (Sutjipto, 2006 : 361). Frank yang sendirinya adalah seorang hakim, melihat, bahwa hukum itu tidak akan pernah bisa memuaskan keinginan kita untuk memberikan kepastian. Sejak dulu, sekarang dan di waktu-waktu yang akan datang, bagian terbesar dan hukum bersifat samar-samar dan bervariasi. Menurut dia, keadaan yang demikian itu tidak bisa lain, oleh karena hukum itu berurusan dcngan hubungan-hubung an antara manusia dalam segi-seginya yang sangat kompleks. Olch karena itu mengharapkan, bahwa hukum akan bisa memberikan kepastian yang berlebihan, adalah suatu perbuatan yang keliru dan tidak perlu.
Tetapi, yang justru merisaukan Frank adalah persoalan, mengapa orang sampai menghendaki dan mengharapkan kepastian hukum yang berlebihan itu. Menurut Frank, hal itu tentunya tidak berakar pada sesuatu yang nyata, melainkan menginginkan sesuatu yang tidak nyata (unreal)(Soetjipto, 2006 : 361).
Dalam usahanya untuk menjawab dan menjelaskan apa yang menjadi sebab-sebab keinginan sebagaimana disebut di atas, Frank mulai memasuki bidang psikologi. Dalam hal ini ia menarik pelajaran dari karya-karya tentang psikologi anak-anak dari Freud dan Piaget, khususnya yang menyangkut soal ketergantungan kepada sang ayah dari seorang anak dan hasil dari ketergantungan yang demikian itu, pada saat anak tersebut menjadi dewasa, berupa kegandrungann (hanker) kepada pengganti sang ayah (Soetjipto, 2006: 361). Penjelasannya secara terperinci adalah sebagai berikut (Soetjipto, 2006: 361) :
Dorongan
keinginan seperti pada bayi untuk mendapatkan keadaan damai seperti sebelum
dilahirkan. Sebaliknya adalah, ketakutan kepada hal-hal yang tidak diketahui,
kepada kesenipatan dan perubahan, sebagai faktor-faktor yang penting dalam
kehidupan seorang anak.
Faktor-faktor
ini mewujudkan dirinya sendiri ke dalam cita rasa kekanak-kanakan yang
mendambakan kedamaian sempurna, kesenangan, perlindungan terhadap bahaya-bahaya
yang tidak diketahui. Si anak secara tidak realistis akan merindukan dunia yang
teguh dan penuh kepastian dan bisa dikontrol.
Si
anak mendapatkan kepuasan akan kerinduannya ilu, pada umumnya, melalui
kepercayaannya dan penyandaran dirinya kepada sang ayah yang tidak ada bandingannya,
yang serba bisa dan yang selalu berhasil.
Sekalipun
orang menjadi semakin dewasa, kebanyakan orang pada waktu-waktu tertentu
menjadi korban dari keinginan-kcinginan kekanak-kanakan tersebut di atas. Baik
dalam situasi aman, apalagi dalam bahaya, dalam keadaan yang penuh ancaman,
seorang ingin melarikan diri kepada ayahnya. “Kebergantungan kepada ayah” yang
semula merupakan sarana untuk melakukan adaptasi, pada akhirnya berubah menjadi
tujuan sendiri.
Hukum
bisa dengan mudah dibuat sebagai sesuatu yang memainkan peranan penting dalam
usaha untuk mendapatkan kembali sang ayah. Sebab, secara fungsional, tampaknya
hukum mirip dengan sang ayah sebagai Hakim.
Ayah
sebagai Hakim dari si anak tidak pernah gagal. Keputusan-keputusan dan
perintah-perintahnya dianggap menciptakan ketertiban .dari keadaan yang kacau
serta konflik-konflik pandangan mengenai tingkah laku yang baik. Hukum baginya
tampak sebagai mutlak pasti dan dapat diramalkan. Orang yang menjadi dewasa,
pada saat mereka ingin menangkap kembali suasana kepuasan dunia anak-anak,
tanpa menyadari sepenuhnya akan motivasi di belakangnya, mencari kewibawaan
(authoritativeness), kapasilas dan prediktabilitas dalam sistem-sistem hukum.
Anak ini percaya, bahwa sang ayah telah meletakkan itu semga di dalam hukum.
Dari
sinilah munculnya mitos hukum, bahwa hukum itu adalah, atau bisa-dibuat tidak
bergetar, pasti dan mapan.
- Ruang lingkup psikologi hukum
Orientasi
lapangan psikologi tersebut diatas, sebagai ilmu sosial, tentunya akan
melakukan pengujian (hipotesa) dalam lapangan ilmu hukum khususnya dalam
penegakan hukum (law enforcement). Melalui sintesa dari riset psikologi juga
akan melahirkan ruang lingkup psikologi hukum.
Psikologi hukum sebagai cabang ilmu yang baru yang melihat kaitan antara jiwa manusia disatu pihak dengan hukum di lain pihak terbagi dalam beberapa ruang lingkup antara lain:
Psikologi hukum sebagai cabang ilmu yang baru yang melihat kaitan antara jiwa manusia disatu pihak dengan hukum di lain pihak terbagi dalam beberapa ruang lingkup antara lain:
Menurut
Soedjono, ruang lingkup psikologi hukum (1983:40) sebagai berikut:
Segi
psikologi tentang terbentuknya norma atau kaidah hukum.
Kepatuhan
atau ketaatan terhadap kaedah hukum.
Perilaku
menyimpang.
Psikologi
dalam hukum pidana dan pengawasan perilaku.
Demikianpun
Soerjono Soekanto (1979: 11) membagi ruang lingkup psikologi hukum yaitu:
Dasar-dasar
kejiwaan dan fungsi pelanggaran terhadap kaidah hukum.
Dasar-dasar
kejiwaan dan fungsi pola-pola peyelesaian pelanggaran kaidah hukum.
Akibat-akibat
dari pola penyelesaian sengketa tertentu.
Pada
negara yang memiliki sistem hukum common law seperti Amerika, juga membagi
penerapan psikologi dalam hukum. Kelimpahan penerapan psikologi dalam hukum
(Blackburn 1996, 6; Curt R. Bartol 1983, 20 -21; David S. Clark, 2007;
Stephenson, 2007; ) dibedakan dari sudut pandang apa yang diistilahkan:
Psikologi
dalam hukum (psychology in law), mengacu kepenerapan-penerapan spesifik dari
psikologi di dalam hukum seperti tugas psikolog menjadi saksi ahli,
kehandalan kesaksian saksi mata, kondisi mental terdakwa, dan memberikan
rekomendasi hak penentuan perwalian anak, dan menentukan realibitas kesaksian
saksi mata.
Psikologi
dan hukum (psychology and law), meliputi psyco-legal research yaitu penelitian
individu yang terlibat di dalam hukum, seperti kajian terhadap perilaku
pengacara, yuri, dan hakim.
Psikologi
hukum (psychology of law), mengacu pada riset psikologi mengapa orang-orang mematuhi
atau tidak mematuhi Undang-undang tertentu, perkembangan moral, dan persepsi
dan sikap publik terhadap berbagai sanksi pidana, seperti apakah hukuman mati
dapat mempengaruhi penurunan kejahatan.
Psikologi
forensik (forensic psychology), suatu cabang psikologi untuk penyiapan
informasi bagi pengadilan (psikologi di dalam pengadilan).
Criminal
psychology (psikologi hukum pidana), sumbangan psikologi hukum yang
menggambarkan dinamika interpersonal dan kelompok dari pembuatan putusan pada
suatu tahapan kunci di dalam proses mendakwa seseorang mulai dari waktu
penetapannya sebagai tersangka hingga pada momen penjatuhan pidana
Neuroscience
and law, suatu kajian baru tentang keunikan pentingnya pengaruh otak dan syaraf
bagi perilaku manusia, masyarakat , dan hukum. Kajiannya meliputi wawasan baru
tentang isu-isu pertanggungjawaban, meningkatkan kemampuan untuk membaca
pikiran, prediksi yang lebih baik terhadap perilaku yang akan datang, dan
prospek terhadap peningkatan kemampuan otak manusia.
Selanjutnya Constanzo (1994:3); encyclopedia of psychology & law, volume 1 (2008: xiii) melakukan pendekatan psikologi terhadap hukum melalui bidang ilmu psikologi. Beberapa contohnya adalah:
Selanjutnya Constanzo (1994:3); encyclopedia of psychology & law, volume 1 (2008: xiii) melakukan pendekatan psikologi terhadap hukum melalui bidang ilmu psikologi. Beberapa contohnya adalah:
Psikologi
perkembangan, menyusul terjadinya perceraian, pengaturan hak asuh anak seperti
apa yang akan mendukung perkembangan kesehatan anak? dapatkah seorang
anak yang melakukan tindakan pembunuhan benar-benar memahami sifat dan kondisi
tindakannya?.
Psikologi
sosial, bagaimana polisi yang melaksanakan interogasi menggunakan
prinsip-prinsip koersi dan persuasi untuk membuat tersangka mengakui tindak
kejahatannya? Apakah dinamika kelompok di dalam tim juri mempengaruhi keputusan
yang mereka ambil?
Psikologi
klinis, bagaimana cara memutuskan bahwa seseorang yang menderita gangguan jiwa
cukup kompeten untuk menghadapi proses persidangan? Mungkinkah memperediksi
bahwa seseorang yang menderita gangguan jiwa kelak akan menjadi orang yang
berbahaya?
Psikologi
kognitif, seberapa akuratkah kesaksian para saksi mata? dalam kondisi seperti
apa saksi mata mampu mengingat kembali apa yang pernah mereka lihat? Apakah
para juri memahami instruksi tim juri dengan cara yang sama seperti yang
diinginkan oleh para pengacara dan hakim?
Ruang
lingkup psikologi hukum sebagaimana yang tertera di atas merupakan suatu tanda
dari suatu perkembangan di lapangan studi psikologi. Dalam hubungan dengan
perkembangan di bidang psikologi, psikologi hukum tergolong psikologi khusus,
yaitu psikologi yang menyelidiki dan mempelajari segi-segi kekhususan
dari aktifitas psikis manusia.
Berdasarkan
hal tersebut menurut Ishaq (2008:241) dalam psikologi hukum akan
dipelajari sikap tindak/ perikelakuan yang terdiri atas:
Sikap
tindak perikelakuan hukum yang normal, yang menyebabkan seorang akan mematuhi
hukum.
Sikap
tindak/perikelakuan yang abnormal, yang menyebabkan seorang melanggar hukum,
meskipun dalam keadaan tertentu dapat dikesampingkan.
Masalah
normal dan abnormal merupakan suatu gerak antara dua kutub yang ekstrim. Kedua
kutub yang ekstrim tersebut adalah keadaan normal dan keadaan abnormal.
Penyimpangan terhadap kedaan normal dalam keadaan tertentu masih dapat
diterima, tetapi hal itu sudah menuju pada penyelewengan, maka kecenderungan
kaedah abnormalitas semakin kuat, secara skematis perosesnya adalah sebagai
berikut:
Pada
titik normal, seseorang mematuhi kaidah hukum dan dalam keadaan
tertentu dapat disimpangi. Psikologi hukum di satu pihak, yaitu menelaah
faktor-faktor psikologis yang mendorong orang untuk mematuhi kaidah hukum,
dilain pihak juga meneliti faktor-faktor yang mungkin mendorong orang untuk
melanggar kaedah hukum (Soerjono Soekanto 1989:17-18).
D.
Perkembangan kejiwaan
Perkembangan
kejiwaan dalam kehidupan manusia menurut Saut P. Panjaitan paling sedikit dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti berikut.
Proses
pematangan, yang meliputi penyempurnaan fungsi tubuh.
Proses
belajar, yang berhubungan dengan proses memperbaiki sikap-tindak/ perikelakuan,
baik melalui imitasi maupun edukasi.
Proses
pengalaman, yang berkaitan dengan interaksi terhadap lingkungan kemasyarakatan
di manapun seseorang berada.
Ketiga
faktor di atas dapatlah dipahami sementara bahwa setiap manusia akan mempunyai
kepribadian (perkembangan kejiwaan) yang berbeda antara satu dengan yang
lainnya. Oleh karena itu, psikologi penting bagi ilmu hukum untuk mengetahui
latar belakang kejiwaan dari suatu sikap tindak/perikelakuan hukum tertentu.
Jiwa merupakan suatu organ yang membentuk gagasan dan pelaksanaannya
mempengaruhi nalar, maka hukum seharusnya menarik bagi jiwa manusia yang
dipengaruhi oleh hukum.
Berdasarkan
hal tersebut, dalam psikologi hukum akan dipelajari sikap
tindak/perikelakuan hukum dari seseorang yang terdiri atas: (1) sikap tindak/
perikelakuan hukum yang normal, yang menyebabkan seseorang akan mematuhi hukum,
(2) sikap tindak/perikelakuan yang abnormal, yang menyebabkan seseorang
melanggar hukum, meskipun dalam keadaan tertentu dapat dikesampingkan.
Sikap
tindak/perikelakuan seseorang yang mematuhi hukum dilandasi oleh adanya
keyakinan atau kesadaran akan kedamaian pergaulan hidup. Keyakinan atau
kesadaran hukum ini menjadi landasan keajegan (regelmatigheden) maupun
keputusan-keputusan (beslissingen), merupakan wadah dari jalinan nilai hukum
yang mengendap dalam sanubari manusia. Inilah kesadaran hokum
(rechtsbewustzijn) atau perasaan hukum.
Kesadaran
hukum sebenarnya merupakan kesadaran akan nilai-nilai yang terdapat di dalam
diri manusia tentang hukum yang ada atau yang diharapkan akan ada. Jalinan
nilai-nilai dalam diri manusia tersebut merupakan abstraksi sosial yang
kontinu, dan bersifat dinamis, dalam rangka memilih tujuan dalam kehidupan
sosial, yang menjadi penggerak manusia ke arah pemenuhan hasrat hidupnya.
Sikap tindak/perikelakuan yang abnormal menyebabkan seseorang melanggar norma/kaedah hukum. Ada beberapa gejala psikologis yang berpengaruh terhadap perilaku menyimpang yang melanggar hukum, antara lain sebagai berikut.
Sikap tindak/perikelakuan yang abnormal menyebabkan seseorang melanggar norma/kaedah hukum. Ada beberapa gejala psikologis yang berpengaruh terhadap perilaku menyimpang yang melanggar hukum, antara lain sebagai berikut.
Neurosis,
yaitu suatu gangguan jasmaniah yang disebabkan oleh faktor kejiwaan atau
gangguan pada fungsi jaringan saraf. Contoh: phobia, rasa takut terhadap
hal-hal yang dianggap mengancam, misalnya rasa takut pada tempat yang tinggi.
Depresi, adanya rasa negatif terhadap diri sendiri (putus asa).
Psikhosis,
merupakan suatu gejala seperti reaksi schizophrenic, yang menyangkut proses
emosional dan intelektual. Gejalanya adalah seseorang sama sekali tidak
mengacuhkan apa yang terjadi di sekitarnya. Reaksi paranoid, di mana seseorang
selalu dibayangi oleh hal-hal yang (seolah-olah) mengancam dirinya. Oleh karena
itu, dia akan “menyerang” terlebih dahulu. Reaksi efektif dan involutional, di
mana seseorang merasakan adanya depresi yang sangat kuat.
Gejala
sosiopatik, yang mencakup:
reaksi
antisosial (psikhopat), yang ciri utamanya adalah orang tersebut hampir-hampir
tidak mempunyai etika/moral. Misalnya tidak pernah merasa bersalah, tidak
pernah bertanggung jawab, tidak mempunyai tujuan hidup dan sebagainya.
reaksi
dissosial, yakni orang selalu berurusan dengan.hukum, karena ada
kekurangan dalam latar belakang kehidupannya.
deviasi
seksual, yaitu perikelakuan seksual yang menyimpang dilakukan oleh orang-orang
yang menikmati perbuatan tersebut, yang bertentangan dengan norma-norma yang
berlaku. Seperti homosek sualitas, pelacuran, perkosaan, dan sebagainya.
addiction
(ketergantungan), misalnya ketergantungan pada “naza” (narkotika,
alkohol, dan zat adiktif lainnya).(Ishaq,2009,241)
- Proses perubahan dalam hukum
Setiap
proses perubahan, selalu menyangkut bermacam-macam aspek, seperti misalnya,
aspek politis, ekonomis, sosial, dan lain sebagainya. Yang mungkin agak kurang
diperhatikan, adalah masalah psikologis yang dihadapi di dalam pem bangunan,
walaupun tidak jarang orang menyinggung soal mentalitas di dalam pembangunan.
Masalah psikologis tersebut menyangkut soal bagaimana manusia mengubah dirinya
di dalam proses pembangunan tersebut. Hal itu mungkin menyangkut orang-orang
macam apa yang mempelopori perubahan, manusia bagaimanakah yang mudah berubah
dan pihak manakah yang sulit untuk menyesuaikan diri dengan perubah an yang
terjadi. Di dalam proses pembangunan hukum, hal-hal itu juga perlu
dipertimbangkan, oleh karena hukum adat secara tradisional telah menjiwai bagian
terbesar dari warga-warga masyarakat Indonesia.
Salah seorang pelopor yang mempelajari aspek psikologis di dalam proses perubahan, adalah L.W. Doob, seorang guru besar dari Yale Univer sity, Amerika Serikat. Menurut Doob, maka masalah utamanya menyang kut dua hal, yakni:
Salah seorang pelopor yang mempelajari aspek psikologis di dalam proses perubahan, adalah L.W. Doob, seorang guru besar dari Yale Univer sity, Amerika Serikat. Menurut Doob, maka masalah utamanya menyang kut dua hal, yakni:
Mengapa
warga masyarakat yang mengalami perubahan dalam hal- hal tertentu bertambah
modern (dalam pengertiannya, tambah ber adab)
Apakah
yang terjadi dengan mereka yang tambah modern; artinya apakah yang berubah
dalam cara berpikir, kepercayaan, kepribadian, dan selanjutnya?
Di
dalam studinya, juga dipergunakan dikotomi tradisional dan modern, dan ada
suatu usaha untuk mengadakan klasifikasi ciri-ciri masyarakat yang lebih
sederhana. Ciri-ciri tersebut adalah, sempitnya ruang lingkup hubungan-hubungan
sosial, adanya pelbagai pembatasan-pembatasan, kepercayaan dan kemutlakan,
keseragaman perilaku, dan kesederhanaan. Penelitian Doob terutama dilakukan di
Luo, Ganda, Zulu dan Jamaica, dengan jalan memperbandingkan kecende
rungan-kecenderungan yang ada pada generasi tua dan muda, serta antara mereka
yang berpendidikan dengan yang taraf pendidikannya kurang tinggi. Kemudian dia
juga membandingkan pola-pola kehidupan orang-orang Indian dan kulit putih di
Amerika Serikat, serta mem pergunakan konsep-konsep yang pernah dikembangkan
oleh Daniel Lerner mengenai tahap tradisional, transisi, dan modern. Dari
hasil-hasil penelitiannya, antara lain, dapat diambil kesimpulan, bahwa
perubahan lebih banyak dialami oleh orang-orang yang mempunyai orientasi jauh
kemuka. Kecuali itu, maka ada suatu kecenderungan, bahwa perubahan sangat sukar
terjadi pada pola kehidupan keluarga.
Kemudian Doob pernah mengemukakan suatu teori, yang dinama kannya the piecemealness of change. Intinya adalah bahwa apabila suatu pola perilaku yang tertanam dengan kuatnya dan sangat memuaskan ingin diubah, maka perubahan tersebut baru akan terjadi apabila beberapa unsur tertentu diganti. Oleh karena itu, teorinya disebut piece meal. Halnya adalah sama, apabila suatu perilaku baru harus dipelajari, maka hal itu akan berlangsung bagian demi bagian, atau unsur demi unsur. Untuk kemudian dipelajari secara menyeluruh.
Teori maupun hasil-hasil penelitian Doob yang kemudian diberi komentar oleh Godthorpe, dapat dijadikan bahan pertimbangan di dalam pembangunan hukum, terutama di dalam hubungannya dengan hukum adat. Ada aspek-aspek tertentu, di mana pembangunan hukum mau tidak mau harus dilakukan melalui hukum adat; aspek-aspek manakah itu, perlu diteliti secara seksama. Memang, suatu pembangunan hukum memakan waktu yang relatif lama, oleh karena sekaligus juga memerlukan pelembagaan dan pembudayaan secara sistematis. (Soerjono, 2007: 366)
Kemudian Doob pernah mengemukakan suatu teori, yang dinama kannya the piecemealness of change. Intinya adalah bahwa apabila suatu pola perilaku yang tertanam dengan kuatnya dan sangat memuaskan ingin diubah, maka perubahan tersebut baru akan terjadi apabila beberapa unsur tertentu diganti. Oleh karena itu, teorinya disebut piece meal. Halnya adalah sama, apabila suatu perilaku baru harus dipelajari, maka hal itu akan berlangsung bagian demi bagian, atau unsur demi unsur. Untuk kemudian dipelajari secara menyeluruh.
Teori maupun hasil-hasil penelitian Doob yang kemudian diberi komentar oleh Godthorpe, dapat dijadikan bahan pertimbangan di dalam pembangunan hukum, terutama di dalam hubungannya dengan hukum adat. Ada aspek-aspek tertentu, di mana pembangunan hukum mau tidak mau harus dilakukan melalui hukum adat; aspek-aspek manakah itu, perlu diteliti secara seksama. Memang, suatu pembangunan hukum memakan waktu yang relatif lama, oleh karena sekaligus juga memerlukan pelembagaan dan pembudayaan secara sistematis. (Soerjono, 2007: 366)
BAB III
KESIMPULAN
Psychology Hukum ialah suatu cabang pengetahuan yang mempelajari hukum sebagai suatu perwujudan dari perkembangan jiwa manusia. Psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku manusia (human behaviour), maka dalam kaitannya dengan studi hu kum, ia akan melihat hukum sebagai salah satu dari pen cerminan perilaku manusia suatu kenyataan bahwa salah satu yang menonjol pada hukum, terutama pada hukum modern, adalah penggunaannya secara sadar sebagai alat untuk rnen capai tujuan-tujuan yang dikehendaki.
Dengan
demikian sadar atau tidak, hukum telah memasuki bidang yang meng garap
tingkah-laku manusia. Bukankah proses demikian ini menunjukkan bahwa hukum
telah mernasuki bidang psiko logi. Terutama psikologi sosial. Sebagai contoh
hukum pidana misalnya merupakan bidang hukum yang berkait rapat dengan
psikologi, seperti tentang paksaan psikologis, peranan sanksi pidana terhadap
kriminalitas dan lain sebagainya yang menunjukkan hubungan antara hukum dan
psikologi. Contoh studi yang jelas misalnya yang diketengahkan dalam pendapat
Leon Petrazic (1867 -1931), ahli filsafat hukum yang menggarap unsur psikologis
dalam hukum dengan menempatkannya sebagai unsur utama. Leon Petrazycki
beranggapan bahwa fe nomen-fenomen hukum itu terdiri dari proses-proses psikis
yang unik, yang dapat dilihat dengan menggunakan metode introspeksi.
Apabila
kita mempersoalkan tentang hak-hak kita serta hak-hak orang lain dan melakukan
perbuatan sesuai dengan itu, maka semua itu bukan karena hak-hak itu dican
tumkan dalam peraturan-peraturan saja, melainkan karena keyakinan sendiri bahwa
kita harus berbuat seperti itu. Petrazicky memandang hak-hak dan kewajiban
sebagai hal yang hanya ada dalam pikiran manusia, tetapi yang mempunyai arti
sosial. Oleh karena ia menciptakan “pengalaman imperatif atributif’ yang
mempengaruhi tingkah-laku mereka yang me rasa terikat olehnya. Beberapa sarjana
hukurn secara khusus dan mendalam mempelajari psikologi hukum, sehingga me
ngembangkan ilmu ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Ishaq, Dasar-Dasar
Ilmu Hukum, Jakarta; Sinar Grafika, 2009
Rahardjo Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung; Citra Aditya Bakti, 2006
Soekanto Soerjono, Hukum Adat Indonesia, Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2007
Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta; Sinar Grafika, 2002
Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta; Rineka Cipta, 1995
Rahardjo Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung; Citra Aditya Bakti, 2006
Soekanto Soerjono, Hukum Adat Indonesia, Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2007
Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta; Sinar Grafika, 2002
Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta; Rineka Cipta, 1995
No comments:
Post a Comment